27. Permintaan

5.4K 386 4
                                    

Menyibak gorden, Ziva tersenyum lebar menemukan mobil sang suami terparkir di halaman rumah. Ziva cepat-cepat menuju pintu rumah. Ketika pintu rumah terbuka menampilkan Sagara yang hendak berjalan masuk, Ziva menghadangnya dengan cara berdiri dan merentangkan tangannya dihadapan cowok itu.

"Jangan bergerak!" ujar Ziva, sehingga Sagara berdiri dengan senyum geli ke arahnya. Kali ini, hal rendom apa lagi yang akan Ziva lakukan? Perempuan itu lantas mendekat dan memeluk pinggang Sagara.

"Kamu ditahan karena terlalu tampan! Gendong saya lebih dulu jika ingin di bebaskan!" Ziva mendongak, cengengesan kearah Sagara.

Sagara tergelak pelan. Kedua lengannya lantas mengangkat Ziva ke gendongan bridalstyle sehingga Ziva tertawa kesenangan dan memeluk lehernya erat.

"Now it's my turn to catch you. Kiss me first if you wanna let go." bisik Sagara dengan senyum jahil, membuat Ziva berdecak.

"Curang. Aku syaratnya gendong, kok kamu cium?!" katanya cemberut.

Sagara terkekeh. Dia membawa Ziva untuk duduk di sofa ruang tamu. Kini posisi perempuan itu berada di pangkuannya. Dia mengelus lembut pipi Ziva dengan ibu jari.

Matanya menatap tepat di kedua manik jernih Ziva, menunggu apa yang dia meminta dari perempuan itu. Senyumnya lantas mengembang saat Ziva mengecup bibirnya selama beberapa beberapa detik sebelum berubah menjadi lumatan lembut, seolah tahu kalau Sagara tak cukup dengan sebuah kecupan.

Kali ini Sagara diam tidak mau mendominasi. Dia ingin menikmatinya. Kedua matanya semakin menatap Ziva dalam. Istrinya sudah semakin pintar, tentu saja dia yang mengajari.

Ziva melepaskan ciumannya dengan wajah memerah malu. "Jangan liatin aku, ih!" decaknya sambil menyembunyikan wajah meronanya di leher Sagara.

Sagara tersenyum geli. Dia menepuk-nepuk kepala Ziva lembut. "Pinter banget. Di ajarin siapa?"

"Kamu lah," jawab Ziva tak santai. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Sagara sebal. Salah tingkah sebenarnya karena di puji. "Tadi siang ada Altair,"

Sagara mengangguk sambil menciumi pipi Ziva dan menggigit nya pelan sebelum membalas. "Aku tau. Pak Satpam telepon,"

"Kamu nggak marah?" tanya Ziva seraya menjauhkan wajah Sagara dari pipinya. Tatapan heran dia berikan padanya.

"Gimana aku bisa marah kalau kamu jujur sama aku, hm?" Kehilangan pipi nya, Sagara meraih lengan Ziva, menggenggamnya dan mengecup punggung tangannya lembut.

Padahal Ziva bisa tetap tutup mulut agar Sagara tidak marah, sebab Sagara pun tidak berniat membahasnya. Tapi perempuan itu malah mengadu padanya. Bagaimana bisa Sagara marah jika Ziva mau terbuka seperti ini?

"Aku nggak mau bohong sama kamu,"

Cukup Ziva berbohong tentang identitasnya saja, dia tidak mau berbohong untuk yang lainnnya juga.

"Nanti kamu kecewa sama aku, terus benci sama aku," Sebab hidupnya sudah sepenuhnya bergantung pada Sagara. Ziva bisa menjamin dirinya akan gila jika Sagara meninggalkannya.

Sagara tersenyum tipis. "Aku emang bakal kecewa, tapi untuk benci sama kamu aku nggak bisa. My love for you is greater than anything."

Ziva mengerucutkan bibirnya berusaha menahan senyum. Seharusnya dia tidak perlu salah tingkah sebab bukan sekali dua kali Sagara berkata manis seperti demikian. Mulut Sagara memang seperti punya bisa hingga Ziva selalu malu, baper dan salah tingkah mendengarnya.

"Aku sayang kamu," kata Ziva gregetan.

"I'm too."

"Kok 'I'm too'?! Aku sayang kamu juga dong, balesnya!" decak Ziva.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 01 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Figuran Wife [Republish]Where stories live. Discover now