-39-

25K 2.9K 19
                                    

Part ini di dominasi narasi.




Al menghela nafas nya kasar setelah ia kembali ke kamarnya yang sangat sunyi.

Ia mendekati cermin besar yang ada di dalam kamar nya itu.

Perlahan ia melepas baju yang ia kenakan dan berbalik.

Netra nya melihat pemandangan yang mengerikan itu lalu mendengus kesal.

Banyak orang menatap kagum akan proporsi tubuhnya, tapi karena mereka hanya melihatnya dari luar saja.

Kalau saja mereka tau kondisi asli tubuhnya, bahkan seorang pun takkan sudi berlama-lama melihat nya.

Luka lebam dimana-mana, dan luka bekas cambukan yang masih berair membuat ia memejamkan matanya sejenak.

Pukulan Riana tadi memang sangat pelan, dan mungkin saja tidak ada rasa nya kalau saja punggung nya baik-baik saja.

Ia meraih kotak obat-obatan di atas lemarinya.

Barang-barang yang sangat ia perlukan setelah diamuk ayah nya.

Perlahan ia membersihkan luka nya sendiri, dan memberi nya salep agar lebih cepat kering, dan tentu saja itu sangat susah jika dilakukan sendiri, mati-matian ia menahan cairan bening yang berlomba-lomba ingin keluar dari mata sayu nya.

Meringis sesekali hingga akhirnya ia menyerah, hanya sebagian luka saja yang sanggup ia obati, ia membuang kapas bekas yang ia pakai, lalu menyusun isi kotak itu tadi.

Tanpa memakai baju lagi, ia perlahan naik ke atas kasur nya, dan mengambil posisi untuk tidur, tentu saja dengan posisi tengkurap.

Bayang kan seberapa tersiksanya ia harus hidup seperti ini selama 10 tahun, kadang luka sebelum nya belum sembuh tapi dengan tega nya Ayah nya akan membumbui nya lagi dengan corak baru.

Akhirnya liquid bening itupun mengalir melewati hidung mancung Al, ia menangis untuk kesekian kalinya.

Berkali-kali ia ingin memegang prinsip bahwa laki-laki tidak boleh menangis.

Nyata nya menangis mungkin sudah menjadi rutinitas nya di malam hari.

Ia menangis bukan karena perih nya luka yang ia tahan, bukan karena pemandangan tubuhnya yang tak mengenakkan.

Ia hanya menangis karena perlakuan orang tua nya, bahkan salah satu dari antara mereka tak ada yang memaafkan nya, sakit sekali.

Sepuluh tahun lebih ia berjuang mati-matian agar bisa mengimbangi prestasi Abang nya, dulu memegang buku pun dia tak sudi, namun dengan sepenuhnya hati ia belajar setiap malam, bahkan kadang kepala nya ingin pecah karena terlalu di paksakan.

Berbagai kejuaraan ia menangkan, piagam penghargaan menumpuk di lemari hias rumah nya, bahkan piala nya sudah mengalahkan banyak nya piala milik Abang nya, semua ia lakukan hanya untuk mengemis maaf dari orang tuanya

Namun itu semua tak ada harganya bagi kedua orangtuanya, ia selalu diabaikan, bukan kasih sayang ia terima, melainkan tamparan, cambukan dan siksaan lainnya yang ia terima, kejam sekali.

Dunia mereka hanya berpusat pada Abang nya, Arkan Caesar.

Siapa pun tak kuat dengan hidup abstrak nya, namun ia bertekad, sebelum permintaan maaf nya di terima oleh orang tua nya, ia tak akan mau pergi meninggalkan hidupnya ini.

Biarlah ia berusaha lagi dan lagi entah sampai kapan, mungkin sampai kekuatan nya berada di titik paling terendah, mungkin.

Al menggigit sprai kasurnya untuk menahan isakan nya.

Kenapa dunia masih saja mempermainkan nya, dengan waktu yang cukup lama, kapan permainan ini akan selesai?

Ia lelah, sungguh.

-------

Riana kembali berjalan di pelataran sekolah terburuk yang pernah ia temui.

Ocehan siswi yang terlontar untuk nya adalah kalimat sambutan pertama yang ia terima setelah 2 minggu tak menginjak kaki di sekolah ini lagi.

Ia berjalan dengan tatapan lurus ke depan, ia sudah berjanji tidak akan meladeni mereka lagi, karena kenyataannya meskipun ia melakukan hal benar, semesta tidak akan pernah berpihak padanya, itu salah satu hukum alam yang ia percayai.

Setelah sampai di bangkunya, pelukan hangat lah yang pertama ia terima dan itu dari Rea, perempuan yang masih mau berteman dengan nya.

"Kamu udah datang, aku happy banget, selama kamu nggak sekolah, aku cuman sendirian, belum lagi harus dengar omongan sampah dari mereka," ucap Rea setelah pelukan mereka terurai.

"Sabar," balas Riana singkat sambil menepuk pundak Rea sambil terkekeh singkat.

"Ouh iya Riana, bentar lagi Ujian Bulanan," ujar Rea tiba-tiba, mumpung jam masuk masih setengah jam lagi, ia ingin melepas rindu pada Riana, walaupun sekedar mengobrol saja.

"Iya tau, terus? Kan Lo udah ngasih tau info-info tentang ujian nya, lagian gue udah pernah ikut sekali," balas Riana meletakkan kepalanya di atas meja.

"Kali ini ada yang beda Na, nggak kayak biasanya," jelas Rea.

"Beda apanya?" Tanya Riana penasaran.

"Katanya kali ini kalau bisa Ranking 30 besar, bakalan dapat benefit, benefit nya itu bakalan diajak jalan-jalan kayak tour gitu, katanya itu sebagai bentuk apresiasi buat mereka yang udah berjuang keras biar bisa dapetin Rank tinggi itu," jelas Rea.

Riana langsung mengangkat kepalanya, cukup menarik, tapi setelah mengingat nantinya dia tidak akan memiliki teman perempuan untuk berjalan bersama, ia kembali melemaskan badan nya.

"Kenapa Na?" Tanya Rea bingung.

"Males ah, nggak seru, palingan nanti gue sendiri kayak orang dongo," jawab Riana lalu menggerutu di lipatan tangan nya.

Lalu dengan tiba-tiba Riana mengangkat kepalanya dan memandang lekat wajah Rea.

"Gue punya ide," ujar Riana menggenggam erat pundak Rea.

"Na? Jangan bilang kamu mau aku ikut tour itu nanti?" Tanya Rea ragu.

"Gotcha! waktu ujian masih lama lagi, pelajaran bulan ini materi nya gampang-gampang Re," jawab Riana.

"Nggak, nggak, aku nggak mungkin bisa ikut, yang bisa ikut cuman rank 30 besar, jauh banget sama aku yang di rank 200-an, nggak deh Na jangan berharap lebih," elak Rea, ia sadar diri akan kemampuan nya.

"Dengerin gue dulu, materi bulan ini cuman sedikit, gampang-gampang pula, gue bakalan ngajarin Lo, percaya sama gue,"

"Pokoknya Lo juga harus ikut-

Kita harus pergi bareng-bareng."


Tbc.

Si Culun Glow Up [TERBIT]Where stories live. Discover now