🦋 PART 23 🦋

7.9K 428 17
                                    

"Ah maafkan saya, Pak. Bukannya tidak mau menunjukkan bukti rekaman cctv, tapi selama satu minggu yang lalu, cctv sekolah ini dalam masa perbaikan. Tidak ada yang merekam kejadian di sekolah ini kecuali di parkiran dan ruang guru. Hanya di dua tempat itu cctv yang masih berfungsi," papar Bu Momon, tak enak hati.

Pria yang duduk menghadapnya dibatasi sebuah meja itu memalingkan wajah mendengar penuturan kepala sekolah tersebut. Ya, pria itu papa Kiara.

"Lalu bagaimana? Anak saya masuk rumah sakit dengan luka-luka dan lebam tidak wajar di tubuhnya. Tidak mungkin dia melukai dirinya sendiri. Mental Kiara masih normal," kata papa sedikit emosi.

Bu Momon mengangguk disertai hembusan napas berat. "Ya, Pak. Saya mengerti itu. Tapi..."

"Pokoknya saya tidak mau tau, Bu. Siapapun yang membully anak saya, dia harus segera ditemukan. Saya tidak rela anak saya dibully seperti itu."

Bu Momon tahu itu. Memangnya hati orangtua mana yang tak hancur saat anaknya mengalami perundungan. Bahkan bagi Bu Momon sendiri, ia tak terbayangkan jika anaknya sendiri harus mengalami yang namanya bullying.

"Jangan khawatir, Pak. Bapak bisa mempercayai saya. Akan saya temukan pelaku bullying itu. Kiara harus mendapat keadilan," ucap Bu Momon meyakinkan.

Papa mengangguk. "Terimakasih sudah mau mengerti, Bu. Saya tunggu kabar baiknya. Kalau begitu, saya permisi. Sekali lagi terimakasih."

"Ya, Pak. Saya atas nama sekolah juga meminta maaf sebesar-besarnya dan akan mengusut tuntas kasus ini. Saya tidak terima ada pembullyan di SMA Treekleyn 03 ini." Bu Momon turut berdiri ketika papa bangkit dari kursi.

Kepala sekolah yang masih terbilang muda umurnya tersebut mengantar papa sampai ke depan pintu ruangan ini. Selepasnya, ia masuk lagi dengan pikiran yang dipenuhi kecamuk.

"Apa lagi ini? Kenapa bisa ada kasus bullying lagi?" pikir Bu Momon gusar. "Terakhir kali terjadi bullying adalah sekitar tiga tahun yang lalu. Dan mengapa sekarang malah terulang lagi? Korbannya pun tak jauh-jauh dari adik kelas."

Bu Momon memijat pelipisnya. "Saya harus mencari tahu siapa pelaku bullying ini. Perundungan harus berhenti, karena itu akan berakibat buruk bagi korban serta sekolah ini."

Sementara itu, papa yang sudah sampai di area parkiran sekolah merogoh ponselnya dari saku celana. Pria itu mencari nomor ponsel Jehan lalu meneleponnya.

"Halo, Jehan? Gimana keadaan Kia? Kamu lagi jagain dia kan?" tanya papa bertubi-tubi.

Jehan yang ditanyai seperti itu merasa bimbang. Dia tidak sedang bersama Kiara saat ini.

"Emm Jehan ada urusan mendadak, Pa. Tadi emang sempet jagain pas Ara lagi tidur. Tapi Jehan otw ke kampus karena ada kelas dadakan," balas Jehan ragu-ragu.

Papa melotot kaget. "Jadi maksudnya kamu ninggalin Kia sendirian di rumah sakit?! Kamu ini gimana sih! Kenapa tega tinggalin Kia yang lagi sakit sendirian?!"

Jehan tak tahu harus menjawab apa. Maka dari itu dia memilih untuk diam saja. Daripada salah bicara dan berakhir uang saku dipotong, makanya dia tak melawan kata-kata sang papa.

Papa tanpa banyak cakap lagi mematikan handphone dan bergegas masuk mobil. Beliau tancap gas pergi dari area SMA Treekleyn 03 menuju rumah sakit tempat Kiara dirawat. Perasaannya tiba-tiba berdesir aneh, sangat tidak tenang.

***

"Tumben lo tadi pagi bisa barengan sama Leana. Selingkuh lo?" ledek Saga sambil saling sikut dengan Rivan.

Elgar meliriknya tak minat. "Selingkuh sih kagak. Tapi tuh cewek nanyain tentang marga gue sama Kiara. Kok bisa samaan gitu."

"Wih jadi ada yang mulai nyadar nih?" timpal Zhico.

ANIMOUS #1 | 2022 [ END ]Where stories live. Discover now