direnggut takdir

24.3K 1.5K 87
                                    

Setelah memastikan Ainun sudah kembali tertidur Fajar akhirnya bernafas lega. Tanpa suara, ruangan khas bau obat-obatan itu terdengar begitu sunyi. Mulut Fajar tertutup rapat, hanya matanya yang bergerak menyelusuri setiap inci wajah damai istrinya. Ia pandangi begitu sendu wajah yang begitu pucat, matanya bengkak nan memerah, pipinya basah akibat air mata. Begitu sakit hatinya melihat kehancuran sang istri, apalagi harus tidur di bawah pengaruh obat.

Ia sama, ia juga merasakan kehilangan janin yang sudah begitu lama didambakan. Namun jika harus ikut menangis dan memperlihatkan sisi rapuhnya siapa yang akan menjadi tiang penguat mereka?

Sama saja ia menambah kesedihan istrinya.

"Sayang, semuanya akan baik-baik saja. Kita akan memiliki buah hati kembali, mas yakin Allah akan mengganti secepatnya. Jangan seperti ini, hati mas sakit."

"Maaf mas telah membagi cinta untuk mu, maaf mas menghadirkan surga lain di rumah kita, maaf mas menambah luka kamu. Tapi Ai, sampai kapan pun cinta mas akan tetap untuk kamu. Kamu istri mas sayang, kamu orang yang begitu mas sayangi. Maaf karena mas juga gak bisa menolak cinta lain," suara Fajar memelan saat tenggorokannya tercekat pilu.

"Cinta mas tak akan hilang untuk kamu walau mas juga mencintai Zila. Mas sayang sama dia Ai, mas juga gak mau kehilangan dia, mas juga gak mau kehilangan kamu."

"Apa mas egois saat menginginkan dua hati sekaligus?"

Tanpa Fajar sadari suara pelan itu seakan memberi reaksi walau dibawah alam sadar. Meluruh lagi mutiara itu dalam tutupan mata. Seakan ikut merasakan nyeri kala pengakuan terus Fajar lontarkan tanpa henti.

Mencurahkan isi hatinya namun justru menyakiti hati Ainun yang selalu ia torehkan garam di tengah goresan luka yang menganga.

"Bagaimana agar mas bisa adil, Ai? Gimana agar mas bisa membahagiakan kalian?"

Fajar tak sanggup mengeluarkan suaranya lagi, bayangan kedua tangisan istrinya membuat hatinya semakin sesak. Begitu runyam mencari cara untuk adil pada keduanya, begitu sulit kala takdir selalu bertentangan dengan rencana.

Begitu pelik hingga bukan bahagia yang ia dapati, justru kehancuran yang perlahan tak memperlihatkan senyum lagi.

Cukup lama terdiam dalam lamunan pelik hingga Fajar tersadar belum mengabari istri keduanya yang pasti sedang khawatir. Ia juga harus memberi tahu kabar tak mengenakan ini karena bagaimana pun Zila juga berhak mengetahuinya.

Sekali lagi Fajar pandangi Ainun yang masih terlelap. "Sayang, mas pamit sebentar ya. Mas tinggal gak papa kan?" tanya Fajar walau ia tau tak akan mendapat jawaban.

Fajar mengecup kening Ainun, sebelum pergi ia membenarkan letak selimut agar tidur Ainun lebih nyaman juga meminta perawat untuk mengawasi keadaan nya.

Menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menitan akhirnya Fajar sampai di rumah yang sudah ada Zila menunggu di depan pintu menyambut kedatangan nya.

Fajar melangkah, memberi senyum pada istri keduanya walau begitu amat sulit bibir itu terangkat kala teringat musibah yang menimpa.

"Mas dari mana aja, Zila khawatir tau. Handphone mas juga gak bisa di hubungin." ujar Zila sembari mencium punggung tangan suaminya.

"Maaf, hp mas tinggal di mobil. Mas lupa membawanya. Maaf ya udah buat kamu khawatir." ucap Fajar lembut sembari mengelus kepala istrinya.

Senandung Keikhlasan (New Version)Where stories live. Discover now