Wanita murahan

24.8K 1.5K 201
                                    

"Mau kemana kamu, nak?" Ricard menghentikan langkahnya kala suara pria yang begitu muak untuk ia lihat terdengar ditelinga.


Sebagai asisten Fajar dan orang di harapannya adalah mertua dari bosnya, mau tak mau ia harus bersikap sopan walau terpaksa.

"Saya mau balik ke kantor, ada beberapa berkas yang harus saya urus." jawab Ricard.

"Gak pamit sama istri kamu?" Ricard bergeming.

"Tidak baik begitu, rezeki suami ada pada ridho istrinya. Ayo pamitan dulu, jangan di biasain lain kali." titahnya.

Ricard hanya diam di sana, sakit hatinya saat melihat Ainun yang terlihat begitu malang. Tanpa sadar tangannya mengepal erat, sebisa mungkin untuk tak emosi.

"Ainun_" panggil Idris menggapai dengan tangannya.

Ainun melirik Fajar, tanpa peduli akan persetujuan suami aslinya ia tetap melangkah ke sana mematuhi perintah Idris.

"Mas_"

Uhuk uhuk

Uhuk

Perkataan Ainun terhenti kala mendengar Fajar yang tiba-tiba batuk padahal sedang tidak meminum apapun.

"Nak, ya Allah kamu kenapa?" cemas Idris berlalu dari sana dan duduk di samping Fajar.

Fajar tak menanggapi, ia terus batuk dengan sorot menatap Ainun penuh arti.

"Zila, ambilkan suami mu air nak." titah Idris. Zila yang baru datang hanya membisu tanpa respon apapun kala tatapan pertamanya langsung mengarah pada Ricard yang berdiri di ambang pintu.

"Zila," panggilnya lagi.

"Biar saya aja pak." tawar Ainun langsung berlalu dari sana.

Ricard yang masih berdiri di sana menyunggingkan senyum pada Zila. Ia membalikkan tubuhnya menghadap Fajar. "Tuan saya pamit ke kantor." ucapnya membungkukkan sedikit badan, kemudian melangkah keluar.

Disisi lain, Ainun tak mengambil air minum, justru membelokkan langkah ke arah kamar dan mengunci pintunya.

Bertepatan dengan ia duduk, deringan di handphone nya membuat tatapannya terfokus pada benda yang terletak di atas nakas.

Melihat nama yang tertera Ainun tersenyum miris. "Sangat menyedihkan bukan?" tanyanya kala panggilan itu terhubung.

Dalam garis bibir yang terangkat menetes buliran bening di sana. Begitu amat memilukan. Ia mungkin bisa berbohong, namun perasaan tak bisa di bohongi. Hasilnya? Senyum yang mengembang tetap di kalahkan dengan air mata menunjukan.

Ia mungkin kuat di hadapannya, tutur katanya mungkin kejam. Tetapi, tak akan ada darah jika tidak ada goresan. Tak kan ada asap tanpa api. Nyatanya ketika sendiri, tak bisa ia mengeluarkan suara kala tenggorokannya tercekat pilu. Tatapan tajam di sana nyatanya selalu mengeluarkan air mata.

Mereka tak tau! Mereka tak mengerti!

Ainun dengan kesendiriannya, hanya putri kecil yang begitu rapuh.

Senandung Keikhlasan (New Version)Where stories live. Discover now