bertahan

24K 1.4K 30
                                    

Jam 4 dini hari lampu dapur sudah kembali menyala dan dia juga lebih dulu mengambil alih menyiapkan sarapan pagi.

Lagi-lagi Ainun tersenyum pahit, tetap kalah dari Zila yang selalu bangun lebih dulu. Walau begitu, ia tetap mengayunkan kakinya ke sana, membantu mencuci peralatan yang kotor.

"Mbak," sapa Zila tetap tersenyum ramah. Ketika melihat wajah itu, begitu bengkak matanya, bibirnya pun sangat pucat.

Rasa bersalah kembali hinggap di hatinya, tak tega ia melihatnya.

Ainun menoleh dan mengangguk sebagai jawaban sapaan itu. "Aku rasa di dapur belakang masih ada ikan, biar aku ambil dulu." setelah mencuci tangannya yang sempat berbusa Ainun beranjak dari sana meninggalkan Zila bersama kesunyian.

Helaan nafas putus asa keluar dari bibirnya. Dengan perasaan yang begitu gundah Zila kembali melanjutkan pekerjaannya mengiris bawang.

Melayang jauh pikiran Zila. Tentang ia yang harus terjebak dalam pernikahan pelik ini. Tanpa sengaja menjadi sumber terluka nya wanita lain.

Ia juga seorang wanita, begitu mengerti apa yang Ainun rasakan. Tetapi, apa Ainun juga tau perasaannya yang begitu menyedihkan ini?

Tatapan sendu yang terpancar di sana selalu membuat ia seakan menjadi wanita tak berhati.

"Astagfirullah." pekik Zila tertahan kala tak sengaja menggores tangannya sendiri.

"Zila," panggil Fajar panik.

Pria itu mendekat sedikit tergesa dan langsung mengambil jari telunjuk yang berlumuran darah itu.

"Kalau sedang memasak jangan melamun. Begini kan jadinya." omel Fajar.

"Maaf, mas." ucap Zila merasa bersalah.

"Hanya goresan kecil, sakitnya tak seberapa." ungkapnya.

"Tapi ini darahnya," Fajar langsung membawa jari itu ke mulutnya. Hal itu dia lakukan agar darah tersebut tidak keluar lebih banyak.

Perlakuan Fajar jelas membuat Zila terkejut bukan main. Namun ia tak bisa melakukan apapun termasuk menarik jarinya.

"Apa masih sakit?" Zila mengangguk kecil.

"Ikut mas," ajak Fajar menarik tangan Zila membawanya ke sofa depan.

"Mas mau ngapain?" tanya Zila melihat Fajar yang membuka laci.

"Ambil obat." jawabnya. Tak lama ia akhirnya menemukan kotak segiempat yang berlambang

Duduk ia di samping istrinya, mengambil tangan Zila kembali lali ia obati dengan penuh kelembutan.

Terakhir, Fajar menutup goresan kecil itu dengan plester agar darahnya tak keluar lagi.

"Jangan menyepelekan luka kecil, karena itu bisa menjadi ganas jika tak kunjung di obati."

Cup

Lagi dan lagi, Zila terpaku saat Fajar mengecup jari telunjuknya yang luka. Sama seperti sebelumnya, Zila tak bisa menolak perlakuan manis Fajar.

Memandangi wajah suaminya, Zila tak tau apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana. Yang jelas jantungnya berdetak kuat, hatinya pun turut menghangat.

Zila benci, Zila benci dengan detakan itu!

Zila benci dengan perasaan itu!

Dan, Zila benci saat cinta itu untuk suaminya semakin membesar, bahkan setiap detiknya.

"Mas," tersadar apa yang sedang terjadi diantara mereka dengan cepat Zila menarik tangannya.

"Maaf." sesal Fajar sembari menghela nafas. Pria itu membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan.

Senandung Keikhlasan (New Version)Where stories live. Discover now