Message In The Bottle; Abrian

382 42 3
                                    

"Tolonglah, Bri, lo wakilin jurusan kita soalnya nggak ada yang mau."

Gea memohon-mohon di depan gue sambil menangkupkan kedua tangannya, seolah gue adalah biksu yang ia datangi untuk ia mintai pertolongan. Gea yang tiba-tiba mendatangi gue untuk ikut andil dalam relawan posko bencana untuk bencana tsunami di Anyer.

"Lagian, kita kan jurusan Administrasi Bisnis, ngapain harus ikut turun ngurusin ke posko bencana?"

Gue mengaduh kesakitan begitu Gea memukul kepala gue dengan tangannya. Benar kan perkataan gue? Rata-rata tuh fakultas yang ditunjuk kampus untuk turun relawan bencana kayak begini misalnya kedokteran, keperawatan, psikologi, kesehatan masyarakat. Ya pokoknya yang ada urusannya sama kesehatan. Lah... Jurusan gue kan administrasi bisnis, gue disana ngapain? Ngitungin kerugian daerah? Jualan beras?

"Ini bukan masalah kita jurusan apa, bego. Ya ini karena kemanusiaan juga. Ayolah.... Please? Gue juga ikut kok." Gea memasang wajah melasnya dan berharap gue mengatakan iya sekarang juga.

"Kumpul jam berapa? Gue bawa apa aja?" Jawab gue sedikit ogah-ogahan.

Wajah Gea terlihat sangat sumringah dan hampir saja berteriak kesenangan.

"Besok kumpul di sini jam tiga pagi--"

"BUSET!" Gue berteriak begitu Gea menyebut jam sepagi itu, "Pagi bener, Ge."

Nggak. Bagi gue justru itu masih masuk waktu malam. Waktunya gue masih terlelap dan nggak ada yang bahkan berani menyuruh gue bangun di jam krusial itu.

"Ya iya... Emang pagi. Kita kan mau ke Anyer, jauh banget dari sini, Bri. Harus berangkat pagi-pagi. Barang bawaan udah gue kirim ke chat lo tadi, make sure lo bawa semua ya. Besok kita bakal dibagiin rompi, biar nggak ada yang hilang."

"Iya. Gampang elah."

"Oh iya, Bri. Bawa gitar dong hehe, lumayan lo buat ngehibur para pengungsi di sana. Biar mereka nggak stress banget."

Udah maksa. Banyak mau lagi. Kalau nggak terpaksa juga nggak akan gue iyain.

Ya udahlah, hitung-hitung nambah pahala gue juga.

---

Sesuai perkataan Gea, gue berangkat ke kampus jam tiga pagi dari kostan. Gila. Ini pengalaman perdana gue, keluar pagi buta begini hanya demi menjadi relawan. Iya sih, namanya juga relawan. Harus rela. Kecuali gue kayaknya yang nggak rela sama sekali. Gue juga harus memberitahu teman-teman kost gue agar nggak memberitahu berita ini pada mama dan papa gue yang ada di Surabaya. Kalau mereka tahu, pasti mereka tidak akan memperbolehkan gue.

Gue juga sudah memberikan wasiat terakhir pada teman-teman gue. Bahkan gue sempat menuliskan surat terakhir yang gue letakkan di atas meja belajar, in case, ada tsunami susulan dan gue nggak selamat. Siapa yang tahu kan?

"Bri, bantuin naikin logistik dong ke atas truk." Gea berujar begitu melihat gue baru saja datang dengan membawa tas carrier milik bang Satria yang memang hobi naik gunung.

"Iya buset, sabar, Ge. Gue baru sampe ini."

Semua relawan sedang sibuk mondar-mandir untuk mengangkut barang-barang logistik yang akan dibawa ke Banten. Gue melihat ada dua truk TNI dan satu bus.

"Tas lo taruh aja di dalem truk nomer dua, nanti ada yang beresin. Ini rompi sama name tag. Jangan dilepas ya selama di sana." Gea memberikan gue satu rompi berwarna kuning dengan lambang kampus di bagian dada sebelah kiri dan satu name tag tali yang sudah bertuliskan nama lengkap gue dengan jurusan.

Gue berjalan menuju truk nomer dua untuk menaruh tas carrier gue dan case gitar. Setelah memasukkan tas gue ke dalam truk, gue memakai rompi, dan lanjut berjalan menuju ruang logistik.

point of viewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang