And Now Jakarta

263 45 2
                                    

Sejak pulang dari acara perayaan wisuda Aga, Ayu hanya berdiam diri di kamar, melanjutkan revisinya. Ia tidak ada semangat apapun untuk bergerak dan berinteraksi dengan siapapun, bahkan dengan Dhiska. Beruntungnya Dhiska juga sedang sibuk mengerjakan revisinya, sehingga Ayu tidak perlu menjelaskan kenapa ia tidak keluar kamar sama sekali.

Ayu juga hanya memakan wafer coklat yang selalu ia stok di dalam box makanan. Meskipun tidak terlalu kenyang, tapi Ayu tidak masalah.

Ia hanya merasa lelah. Bukan fisiknya. Tetapi, perasaannya.

Tidak ada yang melarangnya untuk menangis sebenarnya, tetapi Ayu tidak ingin saja membuang-buang air matanya kali ini. Sudah cukup ia merasa dipermainkan oleh Aga.

Jakarta dan Aga akan berangkat tiga hari lagi tanpa memberitahu Ayu. Wajar kan Ayu merasa kesal? Lelaki itu selalu saja mengingatkan Ayu jika Ayu memiliki banyak hal yang disembunyikan, selalu menasehati Ayu agar tidak memendam semuanya, dan tidak sungkan untuk menceritakan masalahnya pada Aga.

Tetapi, sekarang apa? Kenapa ini tidak berlaku bagi Ayu?

Kenapa Ayu tidak boleh tahu tentang urusan-urusan Aga dan merasa menjadi orang paling bodoh karena tidak tahu pacarnya ingin mengejar cita-citanya ke ibu kota.

Ayu tidak mempermasalahkan jarak dan waktu tempuh Jakarta-Bandung yang hanya tiga jam jika tidak macet.

Tetapi, Ayu mempermasalahkan Aga yang tidak memberitahunya apa-apa. Pulang ke Lembang dan bersiap ke Jakarta diam-diam tanpa sepengetahuan Ayu. Ia benar-benar sudah merasa tidak dianggap lagi.

Belum lagi, ia sudah menyiapkan beberapa hal untuk merayakan wisuda Aga, hanya mereka berdua. Ayu sudah belanja bahan-bahan membuat kue untuk ia berikan pada Aga saat makan malam nanti. Ia sudah memiliki list restoran di Bandung untuk makan malam berdua dengan Aga. Ayu sudah membeli kertas foto polaroid untuk kameranya. Ayu sudah memesan dress lewat online shop langganannya dan menyisihkan duit dari hasil magang dan duit jajan dari ayah.

Sekarang ekspektasi itu sudah benar-benar musnah dan buyar. Tidak ada lagi yang bisa Ayu harapkan.

Ia hanya memandangi layar ponselnya, tadi Aga sempat mengirimi pesan pada Ayu saat cowok itu ingin bersiap pulang ke Lembang. Ayu tidak peduli lagi. Ia menyerah. Tubuhnya berbaring dan matanya menatap langit-langit atap. Ia tidak mengenali dirinya sendiri untuk hari ini. Ayunda bukan tipe yang sangat pamrih, ia tidak masalah jika usahanya tidak dibalas dengan hal yang setimpal. Tapi, untuk hari ini entah kenapa ia merasa emosi yang menumpuk pada dirinya, membawa Ayu pada pikiran-pikiran yang negatif.

Ponselnya bergetar, Ayu menyusuri kasurnya, tanpa melihat dimana ponselnya berada. Dan dapat. Notifikasi panggilan dari Aga hanya Ayu pandangi hingga panggilan itu berakhir. Ayu menghela nafasnya gusar, deringan kedua berbunyi lagi. Aga memanggilnya untuk kedua kali. Ayu menjawabnya dan memejamkan matanya.

"Ay, udah tidur?"

"Belum." Suara Ayu terdengar sangat dingin.

"Maaf, harusnya aku nggak jelasin lewat telfon karena aku tau ini gak sopan. Tapi, mau gimana lagi jelasinnya?"

"Emang nggak bisa jelasin dari awal? Nggak bisa kasih tau aku setelah kamu dapet kabar?"  Tukas Ayu agak geram.

"Ayu, sulit buat aku kasih tau kamu. Berat banget, Ay. Ternyata bener kan, kamu sedikit nggak setuju sama keputusanku."

"Siapa yang nggak setuju? Aku pernah bilang aku keberatan kamu kejar karir kamu di musik? Pernah aku bilang gitu?"

Ayu bisa mendengar sedikit suara grasak-grusuk dari seberang, entah apa yang dilakukan Aga, "Bukan begitu maksudku—"

point of viewWhere stories live. Discover now