Bab 36

99.1K 17.1K 2.8K
                                    

Hmmm jadi kondangan nggak yaaa? 🤔🤔🤔😁

NADIA

"Rendra, apa impian yang ingin kamu wujudkan di masa depan?" Bu Asih, Guru BK yang paling ditakuti siswa mengajukan pertanyaan pada Rendra yang duduk di deretan kursi paling belakang.

Semua siswa menoleh ke belakang. Aku yang duduk di deretan tengah juga ikut menoleh. Semua siswa kelas XII sedang dikumpulkan di aula sekolah untuk diberi pembekalan tentang impian dan masa depan. Bu Asih memberi kami tugas untuk menulis impian kami di selembar kertas. Namun siswa yang duduk di deretan paling belakang kelihatannya sibuk dengan urusan mereka sendiri. Sedari tadi gelak tawa mereka terdengar.

Aku geleng-geleng kepala melihat Rendra yang ada di antara mereka. Kalau Bu Asih sedang bicara sudah pasti aku nggak akan berani mengucapkan sepatah kata, berbeda dengan Rendra and the gank yang kelihatannya santai saja. Sempat-sempatnya ia mengedipkan mata saat melihatku melotot ke arahnya. Dasar manusia tengil.

"Impan saya bisa keliling dunia, Bu. Mengunjungi setiap negara yang ada di peta," ucapnya lantang tanpa keraguan.

"Kamu punya bayangan nggak pekerjaan apa yang ingin kamu lakukan untuk bisa mewujudkan impian kamu itu?" tanya Bu Asih lagi.

"Belum ada, Bu. Yang pasti pekerjaan yang gajinya banyak, nggak mungkin bisa keliling dunia kalau gaji cuma sedikit, kan?" jawabnya santai yang disambut gelak tawa siswa lainnya.

"Nadia diajak nggak kalo kamu keliling dunia?" goda salah seorang teman Rendra.

"Pengennya sih, tapi Nadia-nya nggak mau. Jadi tungguin aku pulang ya, Nad. Jangan lirik cowok lain. Nanti kita langsung nikah setelah aku pulang," balas Rendra yang langsung disambut ledekan riuh siswa lainnya. Bukannya malu, Rendra malah menatapku sambil tersenyum jail. Aku langsung melengos dengan wajah terbakar. Itu anak ngapain bawa-bawa namaku, sih?

Rendra memang sering mengutarakan keinginannya keliling dunia bersamaku tapi aku dengan tegas menolak. Aku mengatakan padanya kalau aku nggak mungkin meninggalkan Ayah sendirian. Ayah hanya memiliki aku. Selama ini Ayah nggak pernah meninggalkanku bahkan di saat terberatnya sekali pun. Dia selalu ada untukku. Aku juga ingin di masa tuanya nanti, saat dia membutuhkanku, aku akan selalu ada untuknya. Jadi aku nggak akan pergi kemana pun.

"Wah..wah..Nadia malu tuh. Belum apa-apa udah dilamar aja, Ren. Takut Nadia diambil orang ya?" ledek salah seorang teman Rendra yang membuat derai tawa semakin membahana. Kepalaku tertunduk dalam karena aku paling nggak suka jadi pusat perhatian.

"Jangan mau, Nad. Nanti kamu udah setia nungguin, Rendranya malah nggak pulang-pulang kayak Bang Toyib," ujar Rani temanku yang malah semakin memanaskan suasana.

"Nggak mungkin. Percaya aku, Nad. Aku pasti kembali, kok," balas Rendra yang langsung disambut nyayian dari teman-temannya.

"Aku hanya pergi 'tuk sementara. Bukan 'tuk meninggalkanmu selamanya. Aku pasti 'kan kembali pada dirimu. Tapi kau jangan nakal. Aku pasti kembaliiiii."

Seisi aula riuh oleh tawa sementara aku nggak tahu lagi wajahku sudah semerah apa. Bu Asih berdeham, berusaha meredakan kegaduhan yang terjadi. Saat suasana sudah terkendali, Bu Asih kembali memberikan beberapa instruksi.

"Kita adakan sebuah permainan sederhana ya. Mirip seperti permainan time capsule. Kalian tulis impian kalian di atas kertas, masukkan ke amplop lalu nanti kalian bawa pulang dan simpan di tempat yang aman. Sepuluh tahun dari sekarang, kalian buka amplop itu, kalian baca isinya lalu lakukan refleksi diri. Sudah sejauh apa kalian melangkah selama rentang waktu sepuluh tahun itu. Mungkin ada yang impiannya sudah tercapai, mungkin ada yang tinggal selangkah lagi, mungkin juga ada yang impiannya sudah berganti. Surat ini sekedar pengingat bahwa sejak SMA-pun kalian sudah punya impian. Kelak di masa depan semoga surat ini bisa jadi pemicu semangat agar kalian jangan pernah berhenti bermimpi dan jangan pernah lelah berusaha menggapai impian kalian."

Dari Balik Jendela (COMPLETED)Where stories live. Discover now