Bab 18

87.5K 14.8K 1.5K
                                    

Haii...ujan deres nih di sini dan aku belum mandi gara gara nulis ini hahaha. Selamat membaca, aku mandi dulu... 😂😂

Aku berlari ke UGD dengan jantung berdegup kencang. Walaupun Ayah mengatakan nggak ada yang perlu dikhawatirkan tetap saja aku merasa khawatir. Mungkin saja Ayah sengaja menyembunyikan keadaan sebenarnya agar aku nggak terlalu shock. Sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau semua baik-baik saja, aku nggak akan bisa tenang.

Pintu bertuliskan UGD sudah tampak beberapa meter di depan maka aku mempercepat lariku hingga saat masuk ke ruangan UGD napasku menderu. Suasana di ruangan UGD tidak terlalu ramai, bergegas aku melangkah ke meja pendaftaran.

"Pasien atas nama Elang Shankara Surya dimana ya, Sus? Saya Ibunya," tanyaku dengan napas terengah.

"Oh anak ganteng yang barusan masuk ya, ada di ruangan 10, Bu," jawab petugas UGD sambil tersenyum ramah.

Aku mengucapkan terima kasih dengan perasaan sedikit lega karena wajah petugas tadi terlihat santai, mungkin memang nggak ada yang harus dikhawatirkan.

Aku melangkah menyusuri koridor UGD, meneliti sekat-sekat tirai yang memisahkan antar ruangan hingga menemukan nomor 10. Aku menyibakkan tirai dan langsung menghembuskan napas lega saat melihat Elang tengah duduk bersandar di atas brankar dengan kondisi yang terlihat baik-baik saja sementara Ayah duduk menemani di sebelahnya.

"Bunda," panggil Elang begitu dia melihatku. Bergegas aku mendekat lalu memeluknya erat. Rasanya begitu lega hingga tak terasa air mata mengalir di pipiku. Buru-buru aku menghapusnya agar nggak membuat Elang khawatir.

Aku melepas pelukanku lalu meneliti seluruh tubuh Elang dengan seksama, ada memar-memar di kaki dan tangannya, ada juga luka-luka kecil yang sudah diobati. Yang paling parah mungkin di pergelangan kaki kanannya karena dibalut perban cukup besar.

"Kata dokter, Elang nggak apa-apa kok, tadi darahnya memang cukup banyak yang di kaki itu. Ayah pikir perlu dijahit, tapi kata dokter nggak usah, tadi udah dibersihin terus diobati," jelas Ayah. Aku mengangguk sambil berulang kali mengucap syukur.

"Bunda kok baru datang, sih?" protes Elang.

"Iya maaf, Bunda masih ada urusan tadi," jawabku lalu kembali memeluknya.

"Sakit nggak?" tanyaku sambil mengusap kepalanya. Elang menggeleng cepat.

"Enggak sakit," jawabnya enteng.

"Tapi tadi nangis panggil-panggil Bunda sampai Kakek bingung," ledek Ayah.

"Soalnya sepedanya rusak." Wajah Elang langsung berubah murung sementara aku dan Ayah hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Sepeda bisa dibeli lagi El, kalo kamu kenapa-kenapa, gimana? Nanti Bunda sedih lo, emang kamu mau bikin Bunda sedih terus nangis?" Elang menatapku dengan matanya yang bening lalu menggeleng pelan.

"Nggak mau liatin Bunda nangis. Maafin Elang, Bun. Tapi kata dokter aku nggak apa-apa, cuma keselo."

"Keseleo," ralatku.

"Iya keselo, aku nggak bisa jalan tapi kata dokter kalo minum obat sembuh." Aku menatap Ayah dengan pandangan penuh tanya yang disambut anggukan Ayah.

"Iyaa cuma keseleo, tadi udah dirontgen, nggak ada tulang yang patah kok," jelas Ayah membuatku lagi-lagi menghela napas lega.

"Lain kali hati-hati ya, Nak. Tadi gimana ceritanya bisa sampai ketabrak motor?" Tadi di telepon Ayah memang belum jelas bercerita, hanya bilang kalau Elang ketabrak motor waktu naik sepeda dan harus dibawa ke UGD.

Dari Balik Jendela (COMPLETED)Where stories live. Discover now