Bab 22

97.1K 14.9K 2.1K
                                    

Haiii, rekor nih, lewat tengah malam hahaha. Silakan dibacaa... 🤗🤗

NADIA

Rendra menatap foto Elang yang dipasang di dinding ruang tamu. Foto Elang yang tengah tertawa lebar di atas sepedanya. Saat Elang tertawa dia jadi sangat mirip dengan Rendra, nggak akan ada yang bisa mendebat kenyataan itu.

Harusnya aku nggak membiarkan Rendra masuk rumah, tapi aku juga nggak mau tetangga melihat perdebatan yang mungkin terjadi. Pilihannya tadi hanya masuk rumah atau jadi tontonan. Dan aku paling nggak suka jadi tontonan.

Sedari tadi Rendra hanya berdiri diam mengamati setiap detail foto Elang sementara aku hanya bisa memandang punggung tegapnya dari sofa tempatku duduk.

"Wajahnya mirip kamu, tapi tawanya sangat mirip aku. He's my son, right? Our son?" Pertanyaan itu akhirnya terucap.

Ia membalikkan tubuhnya hingga kini kami berhadapan. Wajahnya serius, tak ada lagi keceriaan yang tadi ditampilkannya saat turun dari mobil. Aku mencoba menyelami perasaan Rendra lewat sepasang matanya yang lekat menatapku. Nggak terlihat kemarahan, hanya kesedihan yang begitu dalam. Aku masih menatapnya, tak sedetik pun memalingkan muka saat akhirnya mengangguk.

"Ya," jawabku pelan. Kesedihan itu semakin pekat seiring lapisan bening yang perlahan menghias sepasang matanya yang kelam.

"Wow."

Hanya kata itu yang terucap dari bibirnya. Ia lalu mengalihkan pandangan, kepalanya mendongak ke atas, entah apa yang dilihatnya di langit-langit ruang tamu. Aku tak lagi bisa membaca ekspresinya, namun dari tangannya yang terkepal erat aku tahu ia tengah berusaha menahan segala emosi yang pasti berkecamuk di dadanya.

Rendra terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku pun begitu, nggak tahu harus berkata apa sementara rasa bersalah kembali menggerogoti hatiku. Suasana hening yang menckam akhirnya dipecahkan oleh helaan napas berat Rendra. Ia kembali menatapku dengan sepasang matanya yang sendu, tampaknya sudah bisa lebih menguasai diri. Perlahan ia lalu melangkah mendekat.

Aku langsung duduk tegak saat tubuh jangkungnya melesak di sofa tepat di sebelahku. Ruang tamu rumahku tidak besar, kami juga sangat jarang menerima tamu, jadi aku hanya memilih sebuah sofa minimalis untuk diletakkan di ruangan ini. Sekarang aku menyesali pilihanku karena saat ini duduk kami jadi sangat berdekatan, sedikit saja aku bergerak mungkin lenganku akan bersentuhan dengan lengannya. Aku berdeham, berusaha meredakan rasa gugup yang tiba-tiba menyerang.

"Kamu memberinya nama Elang." Rendra berucap pelan. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Aku nggak tahu Rendra melihatnya atau tidak karena matanya masih lekat menatap foto Elang.

"Aku pernah bilang, kelak kalo kita punya anak laki-laki aku ingin memberinya nama Elang. Saat kamu melahirkan Elang, pasti kamu masih sangat membenciku, tapi kamu memberinya nama Elang. Why?"

Pertanyaan Rendra membuatku tersenyum sedih. Pikiranku berkelana ke masa lalu. Ke saat persalinan yang begitu menyakitkan. Kontraksi hebat setiap saat namun bukaan tak kunjung lengkap, butuh waktu hampir dua hari.

Aku teringat Ibu, mungkin hal yang sama dialami Ibu saat melahirkanku, mungkin Ibu pergi karena nggak kuat lagi, mungkin itu juga yang akan aku alami. Harusnya aku ketakutan, namun untuk takut pun rasanya aku udah nggak punya energi.

Saat tangis bayi terdengar, tubuhku sudah sangat lemas, kesadaranku sudah hampir melayang. Aku masih mendengar suster bilang kalau anakku laki-laki, sehat dan tak kurang suatu apa pun, lalu mendengar dia bertanya bayi laki-laki tampan ini akan diberi nama apa. Aku sudah menyiapkan sebuah nama, maka dengan suara lemah aku menyebutkannya sebelum akhirnya menutup mata dan segalanya jadi gelap gulita.

Dari Balik Jendela (COMPLETED)Where stories live. Discover now