LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]

By lunetha_lu

486K 31.4K 1.3K

Semula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang dita... More

Prolog
#1 Vanta Lollyta
#2 Lapangan Basket
#3 Pembalasan Berikutnya
#4 Boyfriend?
#5 So Embarrassed
#6 Jealousy
#7 Rencana Alvin
#8 Hate You 3000!
#9 Semua Orang Punya Rahasia
#10 Unexpected
#11 Bahan Gosip
#12 Panas Dingin (1)
#13 Panas Dingin (2)
#15 Sleep Well
#16 Last War
#17 Soft Drink
#18 Black Rose
#19 Hide and Seek?
#20 About Her
#21 Rest in Love
#22 Jaminan
#23 New Begin
#24 Past
#25 Cheer Up
Announce
#26 Who is He?
#27 Bala Bantuan
#28 Vodka Beryls
#29 Bukan Pacar
#30 First Attempt
#31 Bertemu Lagi
#32 Teman Baik
#33 Permintaan Sulit
#34 Tentangnya
#35 Pilihan Tepat
#36 Once More
#37 Mulai Berpikir
#38 Akhirnya Terucap
#39 - Move Forward
#40 Perkara Status
#41 Yours
#42 Ungkapan
#43 Benda Keramat
#44 Momen Baru
#45 Namanya Cemburu
#46 Hidden Truth
#47 Tell the Truth
#48 Bucin Detected!
#49 Dilema
#50 Trurth or Lie
#51 Berawal dari Akhir
#52 Reason
#53 Gamon?
#54 Identitas Black Rose
#55 Dumbfounded
#56 Memulai
#57 Yang Sebenarnya
#58 D-Day
#59 Dajjal Kesayangan (END)

#14 Stay

14.6K 880 14
By lunetha_lu

Perlahan ia membuka mata. Pusing, itulah yang pertama kali dirasakannya. Vanta mengerjap pelan beberapa kali, namun dia tidak dapat melihat apa-apa. Ruangan itu sangat gelap. Ia lupa apa yang terjadi padanya. Seingatnya terakhir kali dia berada di kampus ditemani oleh Nathan. Sejak pagi memang merasa tidak enak badan, kemudian ia ingin pulang ke rumah bersama Nathan yang akan mengantarnya sampai ke depan kampus. Setelah itu tidak ada lagi yang dapat diingat.

Dipaksanya tubuh untuk bangkit dari posisi tiduran. Samar-samar ia melihat segaris cahaya vertikal berada dalam jarak beberapa meter dari tempatnya terduduk.

Kalau baru bangun tidur, penglihatan itu memang agak aneh ya, pikir Vanta. Buktinya pintu kamarnya terlihat lebih jauh dari pandangan mata. Ia mengangkat sebelah tangan, menyentuh kepalanya yang masih terasa berat. Tiba-tiba sesuatu menerjang masuk dari balik pintu. Segaris cahaya itu kini meluas.

"Aw!" pekik Vanta ketika dirasakannya sesuatu yang berat menubruk badannya hingga jatuh kembali dalam posisi berbaring.

Terdengar derap langkah kaki cepat disusul teriakan, "Sam!"

Pemandangan yang semula hanya dihiasi redup cahaya dari luar seketika menjadi terang benderang oleh cahaya lampu yang menyala. Vanta mendapati seekor Golden Retriever besar tengah melangkahi badannya dan menggoyangkan ekor dengan riang.

Beraaatttttt.

Tahu sendiri kan, ukuran anjing itu sebesar apa?

"Samy! Turun!" Suara itu membuat Vanta menoleh ke arahnya.

Vanta menyipitkan mata, ia betul-betul tidak mengerti dengan penglihatannya. Dia melihat... Alvin? Di rumahnya?

Pandangannya langsung beredar ke sekeliling ruangan. Kamar yang luas, ranjang yang besar, beberapa bingkai tergantung di dinding, lemari yang besar, dan perabot yang cuma sekali lihat saja ia yakin kalau itu bukan miliknya. Karena semua yang berada di ruangan itu tampak seperti kamar lelaki.

"Di mana ini?" tanya Vanta tanpa sadar.

"Rumah gue."

Seperti tersengat, Vanta mengerutkan wajah, menatap Alvin penuh curiga. Sambil menarik selimut ia memasang kuda-kuda untuk waspada.

"Kenapa gue di rumah lo?"

Alvin berjalan beberapa langkah, menepukkan tangan dua kali memanggil Golden Retriever cokelat yang sedang berlenggak-lenggok di ranjang. Anjing itu segera melompat menghampiri Alvin. Cowok itu membungkukkan badannya dan mengelus anjing yang tadi dipanggil Samy.

"Jangan nakal ya, Sam," ujar Alvin memberikan snack berbentuk stik kepada Samy.

Vanta masih memandangnya dengan tatapan menyelidik. Dari sorot matanya terbaca jelas apa yang ada dipikirannya.

Lelaki itu menghela napas lalu bertanya, "Lo inget nggak tadi siang pingsan?"

Yang ditanya hanya diam, sepertinya berusaha mengingat.

"Lo pingsan di lift tadi. Si gendut nggak tau rumah lo. Temen cewek lo—yang nggak tau siapa namanya—itu juga ditanyain alamat lo nggak tau. Jadi, ya gue bawa ke sini."

Tunggu.

Vanta berpikir sejenak.

Apa itu artinya Alvin yang menolongnya?

Cowok itu nggak meracuninya?

"Itu... beneran?"

Alvin berdecak sebal sambil berkacak pinggang. "Ya masa bohongan? Tanya aja sama temen lo. Udahlah, ikut gue dulu."

"Ke mana?"

"Makan di bawah."

Ragu sejenak. Tapi kemudian Vanta beringsut dari ranjang dan mengikuti Alvin keluar kamar. Cowok itu telah menyiapkan makan malam untuk mereka. Ralat, maksudnya seorang wanita paruh baya yang kelihatannya bekerja di rumah ini yang menyiapkannya. Wajahnya tampak ramah menyambut mereka ketika turun. Menarik bangku sebelum mereka duduk. Masakannya enak, Vanta suka.

"Omong-omong, bonyok lo mana?" tanya Vanta sambil celingukan. Dia merasa tidak enak bertamu ke rumah orang tanpa menyapa orang tuanya. Apa lagi hari sudah malam. Ditambah dia berada di rumah cowok. Kan aneh kesannya kalau diam-diam aja.

"Nggak ada."

"Tapi nanti pulang nggak? Gue nggak enak diem-diem aja di rumah orang."

"Nggak. Lo nggak perlu temuin siapa-siapa. Cuma ada gue sama asisten rumah doang."

"Ohh..." Ia mengangguk mengerti, tidak mau bertanya lebih lanjut.

Selesai makan mereka kembali naik ke kamar Alvin. Entah kenapa Vanta mengikutinya dengan patuh. Sampai cowok itu lalu menyerahkan tas karton padanya.

"Nih, lo bersih-bersih, ganti baju."

Vanta melirik kantong yang dipegang Alvin dengan waspada. "Apa ini?"

"Baju ganti dari temen lo," sahut cowok itu datar.

Akhirnya ia meraih tas karton itu. Betapa kagetnya Vanta ketika mengeluarkan isinya. Buru-buru dia memasukkan kembali ke dalam tas dengan wajah memerah. Gimana nggak malu coba, isinya satu set baju ganti beserta dalaman. Pasti Jessi yang mengirimkannya. Karena baju itu bukan miliknya.

Dia mendongak sambil menggigit bibir bawahnya. Rupanya Alvin juga tengah buang muka. Mungkin sama salah tingkahnya dengan dia. Ah, kacau. Benar-benar memalukan.

"Gue mau pulang," ujar Vanta mengabaikan perintah Alvin tadi.

"Lo liat di luar, hujannya deras gitu. Emang ada orang yang mau keluar di tengah hujan angin? Lo nyari taksi online juga nggak bakal dapet."

"Terus gue pulangnya gimana?"

"Besok."

"HAH?!" Ia kontan memekik kaget. Masa iya dia harus semalaman di rumah Alvin? Bersama laki-laki yang selama ini jadi musuh terbesarnya?

"Berisik lo. Besok aja pulangnya, udah malem. Temen lo juga udah hubungin nyokab lo. Mending sekarang ganti baju."

"Tapi..."

Dia melirik Alvin ragu. Kalau dipikir, baru kali ini ada interaksi selain pertikaian di antara mereka. Baru kali ini mereka berada dalam jarak dekat, namun tidak saling memandang dengan tatapan tajam, tidak saling mengeluarkan taring. Cowok ini kerasukan apa?

Laki-laki itu mengangkat wajahnya dengan aura otoritas. "Kenapa? Lo mau gue yang gantiin baju lo?"

Vanta refleks membelalak mundur sambil memeluk erat tas kartonnya. "Ng-nggak. Kamar mandi di mana?"

"Di sana." Tunjuk Alvin pada sebuah pintu di dekat lemarinya.

Tanpa berkata apa-apa lagi Vanta berlari kabur ke dalam kamar mandi. Lelaki itu mengikuti kepergiannya dengan sudut mata. Seketika Alvin menyeringai geli.

***

Tepat lima belas menit Vanta keluar dari kamar mandi. Melihat Alvin berdiri di depan pintu kaca yang menuju ke balkon, memandang deras air hujan yang suaranya samar-samar terdengar hingga ke dalam kamar.

Dia lalu melangkah mendekati cowok berkaus terracotta. Ketika sudah berada di sebelah Alvin, ia melihat sebuah bingkai foto di meja kerja yang terletak di sisi kirinya. Foto seorang wanita merangkul anak laki-laki berseragam putih merah yang memegang piala.

"Itu foto lo?" Tanpa sadar Vanta bertanya.

Cowok itu lalu menoleh menghadapnya. "Sekarang ceritanya lo jadi penasaran sama gue?"

Sebal mendengar jawaban lelaki itu, Vanta langsung berdecih. "Kepedean banget sih! Kalo nggak mau jawab ya udah, nggak usah dijawab."

Kesunyian di antara mereka membuatnya bingung harus melakukan apa. Mau ngomong, nanti dikira cari perhatian. Mau ngomel, disangka nyari ribut. Dia mengedarkkan pandangan ke sekeliling. Sekali lagi mengamati kamar bernuansa keabu-abuan itu.

Untuk ukuran kamar cowok tergolong rapi. Ranjangnya terletak di tengah ruangan yang luas, meja kerja dan bangku terlihat cukup nyaman di dekat pintu kaca yang mengarah ke balkon. Satu beanbag empuk di atas karpet menghadap ke pintu kaca. Kalau punya kamar seperti ini, dijamin Vanta bakal betah di kamar. Bisa mengerjakan tugas dengan leluasa juga.

Setelah matanya puas melihat-lihat, akhirnya dia memutuskan untuk mencari ponselnya di tas. Tapi beberapa saat mencari, tidak ditemukannya ponsel itu. Nggak mungkin hilang kan?

"Lo liat HP gue nggak?" tanyanya masih sambil mencari.

"Oh, tadi gue pinjem buat liat nomor temen lo. Nih..." Alvin kemudian mengeluarkan benda tipis itu dari saku celananya.

"Thanks." Sebetulnya dia nggak tahu apakah ucapan terima kasih adalah respon yang tepat. Tapi anggap saja dia sudah berterima kasih karena cowok itu menolongnya.

Dia betul-betul bingung dan merasa canggung. Kemarin-kemarin mereka bermusuhan layaknya kucing dan tikus, sekarang dia bahkan ada di rumah cowok yang dengan tega menggunting rambutnya, di dalam satu kamar yang sama.

Masih berdiri di tempat, Vanta menekan layar sentuh ponselnya. Membuka aplikasi chatting dan mencari satu nama yang sering dihubunginya. Dia mengetik sesuatu di kolom percakapan.

[Thank you Jess bajunya]

Selang sebentar pesan balasan dari sahabatnya muncul. Ia segera membacanya sambil berjalan mondar-mandir.

[Iya. Lo masih di rumah Alvin?

Gila gue kaget banget pas nomor lo nelepon gue tapi suara cowok!

Nathan emang cerita kalo lo pingsan pas depan dia.

Tapi gw nggak nyangka!]

Dari pesannya yang tersusun seperti rentetan kereta api saja Vanta sudah bisa membayangkan raut heboh Jessi saat mengetik pesan itu. Dia jadi mendengkus geli membacanya.

Me:

[Masih.

Lo beneran udah nelepon nyokab gw?]

Jessi:

[Iya, Alvin yg nyuruh gw.

Dia juga yg minta gw kirimin baju ganti.

Tapi pas gw minta alamatnya, dia bilang dia aja yg pesenin kurir.]

Betulan nih masih orang yang sama? Alvin yang kemarin-kemarin mengerjainya bilang begitu ke Jessi? Ini bukan kembarannya? Dia nggak kerasukan atau jelmaan alien yang menyamar jadi Alvin kan?

Jessi:

[Lo aman kan? Sehat?

Tangan kaki lo utuh?

Coba liat badan lo, ada bekas jaitan nggak?

Cek organ lo masih lengkap nggak.]

Lalu Vanta nyaris meyemburkan tawa melihat pesan berikutnya dari Jessi, kalau saja suara Alvin yang kini berdiri tepat di depannya tidak mengejutkannya.

"Ngapain sih lo kayak setrikaan?" Tubuh tegap lelaki itu menjulang di hadapannya.

Ketika ia mendongakkan kepala, sepasang matanya bersibobrok dengan cowok itu. Jarak mereka yang sangat dekat kontan membuatnya menahan napas sambil mengeratkan pegangan pada ponsel dengan kedua tangan.

"Gue bingung mau ngapain. Ya udah gue mondar-mandir aja." Vanta mundur selangkah.

"Istirahatlah, masih belum bener-bener pulih kan? Udah lo minum obatnya?"

Gadis berambut pendek itu menggeleng pelan dengan bibir mengerucut.

"Tuh, di sebelah kasur." Alvin menunjuk nakas di sebelah ranjang yang sudah tergeletak obat dan segelas air di atasnya.

Sembari menghampiri meja nakas, Vanta bertanya, "Itu obat apa?"

"Buat demam, sama vitamin."

"Beneran? Bukan racun?"

"Nggak percayaan amat sih lo? Gue nggak bakal nyelakain orang sakit, nggak ada untungnya," celetuk cowok itu sambil berkacak pinggang.

Mengabaikan rasa curiga, Vanta membuka kemasan obat dan meneguknya dengan air. Mungkin benar, cowok itu hanya berniat menolongnya kali ini. Seperti malam itu.

"Terus gue tidur di mana?"

"Tidur aja di tempat tadi lo tidur."

Setelah meletakkan gelas di meja, ia duduk di tepi ranjang. Perlahan menarik selimut dan menyelipkan kakinya di balik sana. Mencari posisi paling nyaman untuk merebahkan diri. Namun beberapa detik kemudian dia tersadar. Alvin masih berada di sana.

"Tunggu. Lo tidur di mana?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Di sini."

"Di sini tuh di mana?"

"Di kamar gue."

Sumpah, pingin Vanta jitak kepalanya. Jawabannya rancu banget, nggak jelas apa maksudnya. Dia butuh jawaban pasti yang detail, bukan cuma ruangannya aja.

"Ya maksud gue, kalo gue tidur di kasur terus lo di mana?"

"Itu kasur masih lega, kan? Emang badan lo segede apa?"

Saat itu juga Vanta menataphoror kepadanya. "Jangan bilang lo...."


=== BEERSAMBUNG ===

Sesuai janji, aku update part 14. Aku  baik kan? Hoho...


Continue Reading

You'll Also Like

4M 251K 43
Kirana, seorang news anchor muda berbakat, menjalin hubungan dengan Garin, seorang aktor layar lebar. Hubungan Kirana dan Garin yang menginjak usia 6...
87.8K 12.7K 36
Wira pernah mencoba menjadi fakboy, tapi gagal karena dia memang ditakdirkan untuk menjadi softboy. [Special Collaboration] Start : 02 April - 13 Oct...
1.5M 74.5K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
521K 21.2K 37
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...