The Same Feelings

By fauky_

183K 9.2K 545

Kisah Alvaro Gavriel dan Revita Pradipta yang baru saja dimulai... --Sekuel The Same Things-- More

The Same Feelings
Prolog - Revita
1. Alvaro - We're Back
2. Revita - Reunion Party
3. Alvaro - Pasar Malam
4. Revita - The Heartstrings and The Heartbreak
5. Alvaro - Jealous
6. Revita - Nightmares Begin
7. Alvaro - The Accident
8. Revita - This Feelings
9. Alvaro - I Think I'm in Love with You
10. Revita - Him
11. Alvaro - Beautiful in White
12. Revita - Shock
13. Alvaro - Afraid
14. Revita - A Day With Him
15. Alvaro - Protect Her
17. Alvaro - Bad Dream
18. Revita - Walk Around In The Dark Night
19. Alvaro - My Princess
20. Revita - Beetwen Alvaro Gavriel and Jovan Ryandi
21. Alvaro - The Psychopath
22. Revita - The Truth
23. Alvaro - Awake
-Sebuah Pesan-
24. Another Point of View
25. Alvaro - Happy Ending?
26. Revita - Epilog
GOOD NEWS!!!
Ready To Come Back

16. Revita - Everything Has Changed

5.2K 286 8
By fauky_

Selamat malam. Selamat membaca. Dan semoga semua suka =))

#PeaceUp

---------

Terdengar jelas suara keributan dari kamarku. Aku yakin suara ribut itu berasal dari pintu masuk rumah ini. Tepat saat aku akan keluar untuk melihat apa yang terjadi di luar sana, tiba-tiba saja Alvaro masuk ke kemarku dengan penampilan yang berantakan. Kemejanya yang tadinya masih licin berubah kusut, di pipinya juga ada bekas kemerahan karena memar, dan terlihat jelas dari wajahnya kalau ia sedang menahan amarah.

Aku yang terkejut, langsung bisa kembali menguasai diriku. Ku dekati Alvaro yang dadanya masih terlihat naik-turun. Sejak pertama kali mengenalnya, aku paling benci saat-saat dimana ia sedang marah dan sangat emosi. Bukannya apa-apa, justru aku tidak ingin melihat Alvaro menyakiti dirinya sendiri. Entah sudah berapa kali aku melihat ia kalap karena emosi dan melampiaskannya pada tubuhnya.

Apa sebegitu marahnya kah ia karena aku tidak menceritakan masalah paket misterius itu? Jujur saja, bukan maksudku untuk menyembunyikan semua itu dari Alvaro. Aku hanya tidak ingin membuatnya khawatir karena masalah sepele seperti ini. Oke, memang tidak bisa dianggap sepele juga, karna pada dasarnya paket itu sangat menakutiku. Tapi—

“Tadi Jovan ke sini.” Eh? Aku langsung menghentikan kegiatanku mencari sapu tangan di lemari. Sebagai gantinya, aku mengalihkan perhatianku pada Alvaro yang sedang duduk di tepi ranjang sembari menatapku lurus-lurus.

“Jangan bilang kalo dia yang bikin pipi kamu memar gitu?” Tebakku langsung. Dan sepertinya tebakkanku tidak meleset sama sekali. Aku langsung meraih sapu tangan dan berlari ke dapur untuk mengambil tiga buah es batu lalu membungkusnya dengan sapu tanganku. Tak lama kemudian aku pun kembali ke kamar.

Alvaro merintih, entah terkejut atau kesakitan, saat aku menempelkan sapu tangan yang sudah terisi es batu ke pipinya yang mulai membengkak itu. Ia mengambil alih bungkusan es batu yang ada di tanganku dan memeganginya sendiri. Aku pun duduk di sebelahnya.

“Ngapain dia ke sini?” Tanyaku akhirnya. Aku ingat sekali, setelah acara di bazar yang berakhir bencana itu, aku tidak pernah ada janji untuk menemui Jovan lagi. Bagiku, semua yang berhubungan dengan Jovan sudah berakhir saat itu. Aku sudah berdamai dengan Jovan. Aku sudah tidak menaruh dendam, sakit hati apalagi harapan lagi padanya. Ketika aku sudah bisa menerima Jovan sebagai temanku, saat itu juga semua kuanggap selesai. Meskipun rasa itu mungkin masih ada sampai detik ini.

“Mau ketemu kamu. Tapi aku larang.” Kata Alvaro yang membuatku melebarkan kedua kelopak mataku. “Maaf.” Cicitnya merasa bersalah. Mungkin ia mengira aku akan marah karena ia sudah seenaknya saja melarang Jovan untuk menemuiku. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Jovan mau menemuiku? Untuk apa?

“Kamu ngapain minta maaf?” Tanyaku tak mengerti.

“Karna aku udah usir Jovan?” Sahut Alvaro dengan tak yakin. Mau tak mau sudut bibirku tertarik ke atas mendengar ucapannya.

“Nggak kok. Yang kamu lakuin udah bener, Va.” Sekarang giliran Alvaro yang membelalakan mata. “Yaaah, aku rasa udah nggak ada alasan lagi buat ketemu Jovan. Terakhir kali aku setuju buat ketemu dia juga karna aku pengen damai dan hidup tenang. Aku nggak mau lagi dihantui masa lalu, apalagi tentang Jovan. Aku coba ikhlas dan mulai dari awal; dengan jadi temannya misalnya.”

“Tapi Ta, kamu pernah bilang kalo kamu masih cinta sama dia?” Tanya Alvaro yang semakin tak mengerti.

“Emang bener, sih..” Ujarku menyetujui. “Tapi, ya udah lah. Masalah hati, dipikir entaran aja.” Tambahku sembari mengendikan bahu.

“Apa kamu nggak pengen balikan sama Jovan?” Ingin sekali aku menjedotkan kepala Alvaro ke tembok kamar ini. Bisa-bisanya ia mempunyai pemikiran seperti itu.

“Kok kamu bisa mikir gitu?” Ku lirik tajam Alvaro yang duduk di sebelahku. “Aku kan udah bilang, ada sesuatu yang berubah. Duh, gimana jelasinnya ya? Jadi, sebenernya tuh...”

Sengaja, aku menggantungkan kalimatku. Sebenarnya, aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Aku bingung. Memang rasanya ada yang aneh. Sejak dulu aku sudah merasa aneh. Dan keanehan itu semakin terasa akhir-akhir ini. Oh, atau lebih tepatnya saat Alvaro menanyakan masalah ‘apakah aku bisa menerima seseorang yang ingin menggantikan posisi Jovan?’.

Kedua bola mataku bergerak liar. Bingung mencari alasan yang tepat. Hingga tiba-tiba aku melihat gitar cokelat milik Alvaro yang kuletakan di sebelah lemari. Semalam aku meminjamnya karena aku sedang bosan dan tidak tahu harus melakukan apa. Dan tiba-tiba saja aku ingin bermain gitar setelah sekian lama tidak memainkannya. Ketika kita tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, mungkin sebuah lagu bisa menjadi alternatif lainnya. Yep! Harus dicoba. Semoga Alvaro bisa sedikit mengerti apa maksudku.

Aku langsung kembali duduk dan memangku gitar cokelat itu, setelah mengambilnya di sebelah lemari. Kemudian, aku mulai memetik senar-senar gitar itu hingga menjadi alunan nada yang enak didengar. Sebuah intro lagu yang kelihatannya sangat familier untuk Alvaro, mengingat bagaimana ekspresi terkejut yang bercampur takjub saat ia mendengarku mulai menyanyikan bait pertamanya.

All I knew this morning when I woke
Is I know something now, know something now I didn't before
And all I've seen since eighteen hours ago
Is green eyes and freckles and your smile
In the back of my mind making me feel like.

I just wanna know you better know you better know you better now
I just wanna know you better know you better know you better now
I just wanna know you better know you better know you better now
I just wanna know you know you know you

'Cause all I know is we said "Hello"
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name
Everything has changed
All I know is you held the door
You'll be mine and I'll be yours
All I know since yesterday is everything has changed

Alvaro menatap lurus tepat di kedua manik mataku. Aku tidak tahu apa maksud dari tatapannya. Tapi yang jelas, tatapan itu membuat perutku melilit. Bukan karena aku memang sakit perut, entah kenapa tiba-tiba rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu sedang berterbangan di dalam perutku. Geli tapi menyenangkan. Bahkan, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Tanpa sadar, aku masih menggerakan jari-jariku di atas senar.

Susah melepaskan kontak mata dengan Alvaro. Sudut bibirnya sudah membentuk sebuah senyuman. Yang bisa ku artikan sebagai senyuman geli melihatku dengan tampang melongo. Tak pernah ku sangka kalau detik berikutnya ia sudah ikut melanjutkan lirik lagunya.

And all my walls stood tall painted blue
And I'll take them down, take them down and open up the door for you
And all I feel in my stomach is butterflies
The beautiful kind, making up for lost time,
Taking flight, making me feel like

I just wanna know you better know you better know you better now
I just wanna know you better know you better know you better now
I just wanna know you better know you better know you better now
I just wanna know you know you know you

'Cause all I know is we said "Hello"
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name
Everything has changed
All I know is you held the door
You'll be mine and I'll be yours
All I know since yesterday is everything has changed

Come back and tell me why
I'm feeling like I've missed you all this time, oh, oh, oh
And meet me there tonight
And let me know that it's not all in my mind

I just wanna know you better know you better know you better now
I just wanna know you know you know you

'Cause all I know is we said "Hello"
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name
Everything has changed
All I know is you held the door
You'll be mine and I'll be yours
All I know since yesterday is everything has changed

All I know is we said "Hello"
So dust off your highest hopes
All I know is pouring rain and everything has changed
All I know is the new found grace
All my days I know your face
All I know since yesterday is everything has changed

Cause since yesterday is everything has changed, Alva.” Ujarku lirih mengakhiri permainan gitarku. Aku pun memilih untuk memutuskan kontak mata dengan Alvaro terlebih dahulu. Sembari menghela napas panjang, aku menundukan kepala. Tapi aku masih bisa merasakan tatapan matanya yang rasanya bisa sampai menembus kulitku. Dan itulah tadi duet dadakan antara Revita Praditpa dengan Alvaro Gavriel.

“Beda.” Satu kata dari mulut Alvaro yang membuatku kembali memandangnya dengan banyak kerutan di dahiku. Nggak nyambung banget sama apa yang aku bilang barusan. Sepertinya ia menyadari ketidakpahamanku, buru-buru ia melanjutkan kalimatnya. “Emang dari dulu aku udah yakin banget kalo rasanya beda.”

“Kamu ngomong apa sih? Apanya yang beda?” Tanyaku semakin tidak mengerti. Bukannya langsung menjawab, justru Alvaro terkekeh pelan.

“Dulu waktu prom, aku nggak tau kalau ada acara aku bakalan duet sama sukarelawan cewek. Waktu itu sih, aku pengennya kamu yang ke panggung. Eh, nggak taunya justru Naira. Akhirnya aku nyanyi lagu itu sama Naira.” Jelas Alvaro dengan tatapan menerawang. Sepertinya ia sedang mengenang masa lalu. “Tapi setelah aku nyanyi bareng kamu barusan, rasanya emang beda.” Lanjutnya, kemudian ia menatapku lagi.

Aku tidak ingat kalau Alvaro pernah manyanyikan lagu itu bersama Naira. Aku juga tidak ingat kalau Naira mau naik ke atas panggung untuk menyanyi. Ah, mungkin waktu Alvaro dan Naira berduet, bertepatan saat aku ditarik Jovan untuk keluar. Sayang juga sih, karna harus melewatkan penampilan perdana dari Naira seperti itu. Tapi agak nggak rela juga kalau harus melihat Alvaro di atas panggung nyanyi bareng cewek selain aku, trus saling tatap-tatapan, dan dilihat banyak orang. Membayangkannya saja sudah membuatku muak.

“Tunggu, emang apa bedanya nyanyi sama aku, Naira atau cewek lain?”

Alvaro melemparkan senyum penuh arti. Ia menepuk kepalaku dengan ringan, “Kayak yang kamu bilang tadi, Ta.Cause since yesterday is everything has changed’, Vita.”

Ternyata, Alvaro benar-benar serius dengan ucapannya kemarin. Saat ia mengatakan kalau ia akan memilih untuk menjadi pekerja lepas dan mengerjakan semua pekerjaannya di rumah. Anehnya lagi, dengan adanya Alvaro di rumah, paket misterius itu juga tidak terlihat mampir di depan pintu. Kecurigaanku makin bertambah. Sepertinya seseorang yang mengirim paket itu selama ini sudah memperhatikanku juga keadaan dan kondisi di sekelilingku, sebelum memulai aksinya.

Sekarang ini, aku sendiri bingung harus merasa senang ataukah kesal. Senang, karna akhirnya aku tidak di rumah sendirian karna ada Alvaro dan juga paket itu tidak datang lagi. Atau kesal, aku jadi tidak bisa menyelidiki masalah ini dengan Yuuta dan Lucas yang dari awal sudah tahu perihal paket tidak jelas tersebut karna Alvaro yang memberi ultimatum agar aku tidak keluar rumah kalau tidak bersamanya.

Aku memperhatikan Alvaro yang sedang serius menggambar sketsa desain mobil di meja ruang keluarga. Bagaimana ia bisa larut dalam dunianya sendiri tanpa terganggu suara televisi sedikit pun? Aku jadi teringat mata kuliahku semester kemarin, Perancangan Arsitektur. Dimana saat UAS, aku harus membuat desain sebuah rumah atau gedung dengan luas lahan yang sudah ditetapkan. Juga tidak lupa, harus membuat maketnya juga. Sebuah miniatur contoh bangunan secara nyata dari desain di gambar. Sukses membuatku telat makan dan telat tidur, oh bahkan aku pernah tidak tidur dan tidak makan sama sekali. Aku juga kehilangan mood untuk melakukan hal lain. Maklum saja, yang ada di kepalaku saat itu, yaitu aku harus segera menyelesaikan tugas biadab ini dan mendapatkan waktu santaiku kembali. Dan setelah berjuang sebulan lamanya, selesailah tugas itu. Hasilnya juga tidak mengecewakan. Selain itu, perjuanganku terbayar dengan IPK yang di atas rata-rata.

“Kamu di sini ternyata.” Sebuah suara mengembalikanku ke kenyataan. Tampaklah Yuuta berjalan mendekatiku dengan Lucas di belakangnya.

“Kok kalian bisa masuk?” Tanyaku. Karna seingatku, tadi pintunya sudah di kunci setelah Mama pergi ke restonya.

“Kita berdua udah ketuk pintu sampe teriak-teriak, eh nggak ada respon. Untungnya ada si Bibi yang bukain pintu.” Jawab Yuuta.

“Lho, Var? Lo nggak ke kantor?” Celetuk Lucas yang baru saja menyadari kalau ada Alvaro yang duduk di sampingku. Sepertinya Yuuta juga baru sadar.

“Nggak. Mulai sekarang gue kerja di rumah aja.” Jawab Alvaro dengan acuh tak acuh. Ia pun kembali menekuni kertasnya lagi.

“Kenapa emangnya?” Sekarang giliran Yuuta yang sepertinya penasaran.

“Jagain Vita. Dan gue nggak akan biarin dia keluar rumah tanpa gue, sekalipun keluarnya sama kalian berdua. Gue nggak mau aja kejadian nggak jelas yang bikin Vita dalam bahaya. Apalagi kemaren-kemaren ada orang gila yang ngirimin paket nggak jelas ke Vita.” Alvaro menjelaskan panjang lebar. Yuuta dan Lucas langsung melemparkan pandangan penuh tanya padaku yang hanya bisa ku balas dengan cengiran lebar tanpa dosa.

“Jadi, sekarang lo nggak percaya kita lagi, Var?” Cecar Lucas dengan muka masam.

Alvaro menghela napas panjang, “Bukannya gue nggak percaya kalian lagi. Gue cuman mengantisipasi hal-hal yang nggak kita inginkan. Udah, itu aja.”

“Sou... Sou...—Benar... Benar...” Sahut Yuuta sembari mengangguk-anggukan kepala mengerti.

“Oh ya, apa kalian tau soal paket nggak jelas itu?” Celetuk Alvaro. Baik Yuuta maupun Lucas melirikku. Aku pun membalas dengan tatapan tajam seolah berkata jangan-ngomong-apa-apa-ini-rahasia-kita-bertiga.

“Paket apaan? Gue nggak tau tuh. Lo tau, Luke?” Aku mengembuskan napas lega tanpa kentara. Untunglah Yuuta mengerti apa maksudku.

“Ha? Nggak juga. Emang paket apaan sih?” Lucas menimpali. Bagus! Mereka berdua memang pintar sekali kalau sudah disuruh bohong.  

“Lagian gimana mereka bisa tau, kalo aku aja nggakpernah cerita ke mereka.” Tambahku kemudian. Sepertinya Alvaro percaya saja dengan apa yang aku katakan. Karna setelah itu ia mengendikan bahu dan kembali fokus ke desain gambarnya. Yuuta dan Lucas diam-diam menghela napas lega. Mungkin mereka takut ditanyai macam-macam oleh Alvaro.

Sorenya, Alvaro mengajakku pergi ke Pekan Raya Jakarta. Awalnya, kami kira di sana tidak akan begitu ramai, mengingat hari ini bukanlah akhir pekan. Tapi ternyata, di luar dugaan, pengunjung PRJ masih tetap membludak. Banyak sekali orang yang berlalu-lalang. Acara saling berdesakan pun tak terelakan. Apalagi saat ini ada band dan penyanyi terkenal ibu kota yang menghibur para pengunjung. Selain itu juga ada beberapa band indie yang tak mau kalah untuk menunjukan bakatnya. Tadinya Yuuta dan Lucas juga kuajak untuk bergabung. Tapi dengan alasan mereka sudah punya janji sendiri, akhirnya mereka memilih untuk pulang.

Alvaro sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya. Aku mengikutinya dari belakang dengan memandangi tangan kami yang saling bertautan. Entah kenapa aku merasa kalau telapak tangan Alvaro yang lebih besar dariku itu terasa pas dengan milikku. Hanya dengan genggaman tangannya saja, aku merasa terlindungi. Kalau dipikir-pikir lagi, selama ini ia memang sudah menjagaku dengan baik.

Tiba-tiba saja datang segerombolan orang yang semakin membuat sesak sekelilingku. Ditambah lagi sekarang mereka bergoyang ke kanan dan ke kiri, membuatku beberapa merasa terjepit. Sialnya, hal yang paling tidak ku inginkan akhirnya terjadi. Tautan tanganku dan Alvaro terlepas. Sudah tidak sempat lagi mencari keberadaan Alvaro yang berada jauh di depan, aku langsung mencari celah untuk keluar dari kerumunan orang ini.

Kuhembuskan napas lega saat aku berhasil keluar dari kerumunan itu. Sekarang yang jadi masalah, bagaimana caranya aku menemukan Alvaro di tempat seluas ini yang dipenuhi oleh ratusan manusia di dalamnya?

Baru saja aku ingin melangkahkan kaki dan mulai mencari Alvaro, saat mataku tak sengaja menangkap sosok dengan tubuh yang menjulang tinggi tak jauh dari tempatku berdiri. Aku pun langsung mengubah arah dan menghampirinya. Sepertinya ia sedang menunggu pesanan jusnya. Karna kebetulan ia sedang berada di salah satu stan yang menjual aneka macam jus.

“Hoy!” Sapaku sembari menepuk punggungnya dengan sedikit bersemangat karna ternyata dugaanku benar. Ia sempat berjingkat karena terkejut. Aku pun tertawa karenanya. Dalam sekejap aku melupakan rencanaku untuk mencari Alvaro.

“Sebelum lo tanya, gue akan jawab lebih dulu. Nggak, kali ini gue nggak ada niat buat ngikutin lo ke sini. Gue emang ada urusan di sini. Band gue, entar malem mau main soalnya.” Katanya langsung menjelaskan tanpa kuminta. “Lagian, lo nggak liat gimana kagetnya gue barusan?”

“Iya, iya, nggak usah sewot juga bisa kali?” Sungutku karna melihat muka masamnya. Padahal aku belum berkata apa-apa sejak tadi. Ia membelalakan mata ketika mengingat sesuatu. Kedua matanya pun bergerak liar ke kanan dan ke kiri seperti sedang memeriksa sesuatu. Lalu kedua mata itu kembali menatapku. Kali ini dengan marah.

“Lo keluar rumah sendirian lagi?!” Hardiknya setengah membentak.

“Nggak kok. Serius deh. Tadi gue sama Alvaro, tapi kepisah di tengah jalan. Terus gue nggak sengaja liat lo di sini. Jadinya gue nyamperin lo.” Laki-laki di hadapanku ini langsung menghembuskan napas lega.

Naoki sudah siap untuk mengatakan sesuatu, namun niat itu ia urungkan karna penjual jusnya menyodorkan jus alpukat yang baru saja jadi di dalan sebuah gelas plastik. Naoki langsung menerimanya dan tak lupa menyerahka uang sepuluh ribuan. Di acara seperti ini, semuanya memang bisa dihargai lebih tinggi dari pada biasanya.

“Mau?” Tawar Naoki.

“Nggak deh. Makasih.” Tolakku halus.

“Ngomong-ngomong, kok lo bisa kepisah dari Alvaro?” Tanya Naoki sembari meminum jus alpukatnya.

“Bisa lo liat sendiri gimana ramenya tempat ini.” Jawabku dongkol. Kesal sendiri mengingat bagaimana sesaknya sampai pada akhirnya aku terpisah dari Alvaro. “Ki, lo ke sini nggak sama Jenar?”

Tubuh Naoki membeku seketika. Gerakan tangannya yang tadi sedang memainkan sedotan juga tiba-tiba terhenti. Ia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Tapi aku bisa melihat kekhawatiran, kesedihan, dan kemarahan dari sorot matanya. Memang ekspresinya datar-datar saja, tapi mata tidak bisa menipu bukan?

“Jenar?” Ulangnya yang terdengar seperti meyakinkan dirinya sendiri atas apa yang baru saja didengar oleh telinganya. Aku pun menganggukan kepala. Menunggu jawaban dari Naoki, yang entah kenapa, terlihat enggan membahas tentang kekasihnya itu. “Dia lagi liburan sama keluarganya.”

Alis kananku terangkat saat mendengar jawaban dari mulut Naoki. Bukannya aku tidak percaya. Hanya saja, kalau memang ternyata jawaban tentang keberadaan Jenar sesimpel itu, kenapa juga Naoki harus berpikir keras dan memakan waktu dua sampai tiga menit untuk menjawabnya? Tapi, alih-alih bertanya lagi, aku lebih memilih untuk menganggukan kepala mengerti.

“Ayo, gue temenin cari Alvaro!” Ajak Naoki kemudian. Tapi sebenarnya terlihat seperti sedang mengalihkan topik di mataku. Namun aku berusaha untuk tidak mengambil pusing masalah itu.

“Nggak usah. Kita tunggu aja di sini. Bentar lagi juga dia bakal nemuin gue.” Sahutku cepat ketika melihat Naoki yang sudah siap untuk melangkahkan kakinya.

“Kayak yang lo bilang tadi, tempat ini rame banget. Belum lagi luasnya nggak kira-kira. Gimana bisa lo seyakin itu kalo Alvaro bisa nemuin lo dengan gampang?” Ujar Naoki dengan defensif. Salah satu sudut bibirku tertarik ke atas.

“Mau taruhan?” Tantangku pada Naoki. “Lima sampe sepuluh menit lah paling lama, Alvaro pasti nongol di sini.”

“Kalo ternyata perkiraan lo salah?”

“Kalo gue salah, lo boleh minta apa aja ke gue.”

“Apa aja?”

“Yep. Apa aja.” Sahutku dengan yakin. “Tapi kalo ternyata gue bener, berlaku sebaliknya.”

“Oke, deal!” Seru Naoki langsung menyetujui tanpa berpikir kembali.

Sembari menunggu, aku dan Naoki pun terlibat percakapan ringan seputar bandnya. Padahal aku penasaran dengan Jenar. Tapi sepertinya ia tidak ada niatan untuk bercerita apapun tentang jenar. Sesekali aku melirik jam tangan berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jam tangan yang tidak pernah aku lepaskan sejak pertama kali Naoki memakaikannya.

“Lo nggak pernah ngelepas jam itu, kan?” Pertanyaan dari Naoki yang tak pernah kusangaka. Aku menggeleng sebagai jawaban. “Bagus deh.”

“Akhirnya ketemu.” Ujar sebuah suara yang sudah tidak asing lagi untukku. Baru saja ia muncul di hadapanku dan Naoki.

Di menit ke tujuh, seorang laki-laki dengan tergopoh-gopoh dan napas setengah-setengah, akhirnya menghampiriku. Sepertinya sejak tadi ia berlari. Aku sempat melirik Naoki yang tampak takjub. Bahkan sekarang ia memandangku dengan tak percaya.

See? Lo liat sendiri kan? Dan itu artinya gue menang.” Kataku dengan nada bangga. Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa kata-kataku benar. Tapi satu hal yang aku tahu, apapun yang berhubungan dengan Alvaro aku selalu yakin, bahkan sekalipun itu mustahil. Aku benar-benar menikmati tampang melongo Naoki yang masih tidak percaya itu. Alvaro juga memandangku dengan bingung, lalu beralih pada Naoki.

“Naoki?” Sapanya.

“Hei, bro!” Balas Naoki dengan bersahabat.

“Kok lo ada di sini?” Tanya Alvaro yang sekarang sudah bisa bernapas dengan normal.

“Entar malem bend gue main.” Sekali lagi Naoki mengulang alasannya bisa berada di sini. Alvaro pun hanya ber-oh-ria saja. Setelah itu ia kembali mengalihkan perhatiannya padaku.

“Tadi Daniel telpon. Kita disuruh ngumpul di BitterSweet, katanya ada yang mau dia omongin. Yang lain juga udah pada ngumpul di sana.” Kata Alvaro.

“Mau ngapain?” Aku mengerutkan kening.

Alvaro mengendikan bahunya, “Nggak tau deh, Daniel sama Billy yang ajak.” Ia pun melihat jam tangan yang melingkar di pergelangannya, “Kita ke sana sekarang aja.”

“Yaah, sayang banget ya Ki, gue nggak bisa liat penampilan lo.” Ujarku penuh sesal. Sejak pertama kali mengenalnya aku memang ingin sekali melihat Naoki tampil dengan bandnya. Hanya ingin tahu lebih keren penampilannya Naoki atau Alvaro. Atau mungkin lebih keren penampilanku. Semua kemungkinan itu bisa saja kan?

“Emang kayaknya hari ini lo nggak beruntung, Rev.” Ejek Naoki.

“Ha-ha-ha!” Balasku dengan tertawa yang tak kalah mengejek.

“Kalo gitu kita cabut dulu ya, Ki.” Pamit Alvaro kemudian. Ia tampak terlihat kesal dan... tidak suka?

“Eh, bentar!” Seruku sebelum Alvaro menarik tanganku pergi. Aku pun langsung mendekatkan diri ke Naoki. Lebih tepatnya bibirku yang mendekat ke telinganya. “Karna taruhan tadi gue yang menang, gue cuman minta dua hal ke lo, Ki. Pertama, gue minta lo tepati semua janji lo ke gue. Kedua, gue harap semua kata-kata lo bisa gue percaya.” Bisikku tepat di telinganya. Aku pun menarik diri dan menepuk bahunya pelan sembari tersenyum.

Setelah berkata seperti itu, aku langsung mendekat ke Alvaro dan melingkarkan kedua tanganku ke lengannya. Lagi-lagi Alvaro menampakan muka masamnya, yang sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu apa sebabnya. Baru beberapa langkah aku dan Alvaro mulai menjauhi Naoki, tiba-tiba saja ia menyerukan nama Alvaro. Hingga otomatis langkah kami berdua pun terhenti dan membalikan badan lagi.

“Lo harus jaga Revita baik-baik, Var.” Ujar Naoki.

Alvaro terkekeh pelan. Ia pun melepaskan tanganku yang melingkar di lengannya. Tapi sebagai gantinya, Alvaro merangkul pundakku dengan erat. “Tanpa lo suruh juga gue udah tau apa yang harus gue lakuin.” Balas Alvaro dengan yakin.

Naoki yang menanggapi dengan tersenyum samar. Tapi sekali lagi aku melihat Naoki yang menatapku dan Alvaro dengan nanar. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dan aku tahu itu.

Sesampainya di BitterSweet, ternyata memang semuanya sudah berkumpul. Ada Daniel, Billy, Kevin, Naira, dan Valeria. Hanya tinggal aku dan Alvaro saja, yang pada akhirnya datang terlambat karna sempat terjebak macet. Aku langsung mengambil tempat duduk tepat di sebelah Valeria, diikuti oleh Alvaro yang duduk di sebelahku.

“Kalian dari mana aja sih?” Semprot Billy dengan sewot.

“Sori, macet tadi.” Sahut Alvaro. “Emangnya ada apa sih? Pake ngumpulin kita semua kayak gini?”

“Si Daniel mau bagi-bagi warisan, kayaknya.” Celetuk Kevin bercanda.

Satu jitakan pun mendarat dengan mulus di kepala Kevin, “Sembarangan kalo ngomong!” Sahut Daniel kesal. Diiringi tawa dari yang lain, sementara Kevin mengaduh kesakitan.

“Trus, tujuan lo ngumpulin kita di sini ngapain?” Giliran Naira yang bertanya. “Lo tau? Emang bener kata Kevin, lo ngumpulin kita semua gini kayak orang mau bagi-bagi warisan.”

“Jadi gini nih, temen-temen semua..” Alih-alih Daniel yang menjawab, justru Billy yang akhirnya angkat bicara. “Berhubung kita semua akhirnya liburan, gue sama Daniel punya usul, gimana kalo kita adain acara liburan bareng? Kebetulan keluarga gue punya villa di Puncak. Yaaa, kalo kalian setuju sih. Gimana?” Jelas Billy yang langsung disambut berbagai macam respon dari yang lain.

“Wohoo! Tumben kalian punya ide bagus!” Seru Kevin.

“Kalo gue, iya aja deh.” Tambah Naira.

“Boleh juga, kebetulan gue nggak ada rencana liburan kemana-mana.” Lanjut Valeria.

“Gue tergantung keputusan Alvaro.” Ujarku. Tiba-tiba semua mata memandangku. Valeria, Naira dan Kevin tersenyum penuh arti. Lalu Daniel dan Billy tak mau kalah, mereka memamerkan cengiran tak jelas milik mereka. “Apa? Ada yang salah dari omongan gue?” Dengan kompak tanpa aba-aba sebelumnya, mereka menggelengkan kepala cepat. Aku bisa mendengar tawa tertahan dari sebelahku. Siapa lagi kalau bukan Alvaro.

“Jadi gimana, Var?” Tanya Daniel.

Alvaro mencoba untuk menyamarkan tawanya dengan terbatuk-batuk. Sebelum akhirnya berkata, “Oke, gue setuju.”

“Nah, sekarang kapan kita berangkatnya?” Celetuk Naira.

“Eh tunggu, kalo gue ajak dua orang lagi, boleh nggak?” Lagi-lagi mereka semua memandangku, bahkan Alvaro juga. Tatapan mereka penuh tanya, kecuali Alvaro yang menatapku dengan penuh selidik.

“Emangnya lo mau ajak siapa lagi?” Tanya Billy kemudian.

“Kalo boleh sih, gue pengen ajak sepupu sama sohib gue, Yuuta sama Lucas.” Jawabku pelan. Dan ternyata reaksi mereka bermacam-macam. Valeria dan Naira menghela napas panjang. Kevin menganggukan kepala. Billy dan Daniel masih memandangku dengan penuh tanya. Sementara Alvaro menghembuskan napas lega. Mereka semua kenapa sih?

“Gue kira lo mau ajak Jovan sama Farah.” Ujar Kevin yang sepertinya mewakili pemikiran yang lainnya.

“Ha? Yakali gue mau?!” Sahutku dengan sedikit sewot. Alvaro langsung menghadiahiku tepukan ringan di kepala. Ia juga tersenyum puas mendengar jawabanku.

“Boleh deh lo ajak mereka, makin banyak orang yang ikutan makin seru.” Kata Daniel menyetujui.

“Oke, kira-kira kapan enaknya kita berangkat?” Valeria mengalihkan topik pembicaraan.

“Gimana kalo hari Kamis pagi?” Usul Daniel.

“Gue nggak bisa. Masih ada urusan di kampus.” Sahut Kevin. “Sore aja?”

Tidak ada bantahan dan semua pun menganggukan kepala tanda setuju. Sepertinya liburan kali ini akan menjadi liburan yang mengasyikan.

“Trus kita baliknya hari Minggunya ya?” Kata Billy yang langsung diikuti seruan ‘oke’, ‘sip’, dan ‘beres’ dari yang lainnya.

Selanjutnya kami bertujuh larut dalam canda dan tawa. Saling melemparkan ejekan satu sama lain. Berbagi kisah seru dari pengalaman masing-masing. Semua tertawa seolah-olah mereka tidak memiliki beban hidup sama sekali. Bahkan aku juga melupakan semua masalah teror yang sempat membuatku ketakutan setengah mati. Serta masalah Jovan yang terkadang sukses membuat kepalaku sakit.

Aku sedang tertawa bersama semua teman-temanku, hingga mendadak tawaku langsung lenyap seketika. Tiba-tiba saja aku merasa ada seseorang menatapku dengan tatapan dingin serta menusuk hingga tulang. Entah kenapa kali ini rasanya seseorang itu berada sangat dekat sekali denganku. Tanpa sadar aku sudah memperhatikan semua temanku satu-persatu dengan penuh selidik. Tapi mereka semua masih bertahan dalam derai tawanya. Akhirnya, aku pun memperhatikan sekelilingku. Pengunjung lain tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dan tidak ada orang yang terlihat mencurigakan sama sekali. Ataukah yang tadi itu hanya perasaanku saja?

“Lo kenapa, Rev?” Tanya Valeria dengan nada cemas. “Muka lo mendadak pucet, lo sakit?” Tanyanya lagi.

“Ah, nggak. Gue nggak kenapa-kenapa kok, Val. Santai aja.” Kataku menyakinkan. Awalnya Valeria sepertinya masih tidak percaya, tapi kemudian ia pun menyerah dan mencoba untuk percaya. Aku sendiri saja masih berusaha untuk meyakinkan diriku untuk tidak panik hanya karena perasaan yang tidak jelas seperti itu. Yah, semoga saja yang tadi memang hanya halusinasiku.

Continue Reading

You'll Also Like

9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
2.5M 126K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
4M 312K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
1.3M 94.3K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...