Waktu istirahat di manfaatkan semua orang yang bekerja untuk makan, minum atau bersantai untuk meregangkan otot mereka tapi tidak dengan Tasya yang marah-marah dan terus mengumpat karena jam istirahatnya kali ini di buat sedikit mistis.
Beberapa menit yang lalu, Tasya membeli kopi dengan mengunakan jasa online dan saat di minum rupanya ada sesuatu yang aneh di dalam gelasnya. Hal itu terlihat jelas pada saat Tasya membuang air kopinya dan hanya menyisahkan esbatu dan benda-benda itu.
Lani yang masih panik sejak tadi terus saja mondar-mandir tidak jelas dengan ponsel di tangannya. Ia bingung harus menghubungi Kesya atau tidak mengenai masalah ini.
Tasya sendiri masih duduk diam di bangkunya dengan mata tertuju pada gelas kopi yang terbuat dari plastik itu.
Tasya menarik nafas membuangnya dengan kasar ketika melihat Lani yang terus bolak-balik tidak jelas di depannya.
"Kamu bisa diam ga? Ga usah kasih tau Mamah saya, nanti dia khawatir."
Lani diam dan mengangguk. Ia duduk di depan Tasya dan ikut menatap gelas itu.
"Kira-kira siapa ya, dok?"
"Saya ga tau. Ini kali ketiga saya nerima semacam ini."
"Tiga?" Lani melongo mendengarnya. Kali ketiga dan Tasya nampak santai? Jika dirinya sudah ketakutan setegah mati.
Bagimana ga takut. Tujuan beli kopi mau menghilangkan haus ini malah dapet hadiah yang bikin tenggorokan terasa kecekik. Ada dua buah silet dan puluhan jarum puntul di dalam gelas kopi Tasya. Sebenarnya yang membuat Lani panik ketika Tasya hampir saja menelan jatum pentul itu dan beruntungnya tidak sampai karena Tasya sudah merasakan.
"Iya. Pertama mobil saya di coret-coret. Kedua beberapa hari yang lalu saya dapet paket yang isinya foto saya dengan darah, tidak, itu seperti darah buatan."
"Sekarang, ini?" Lani melanjut Tasya mengangguk.
"Apa dokter ga mau selidikin? Ini berbahaya lho."
"Saya belum mau bertindak, Lan. Biarin aja pelakunya senang dulu baru nanti saya buat dia nangis." kalimatnya memang terdengar kalem tapi itu cukup membuat Lani merinding.
"Apa-
"Mauren datang! Permisi, ada orang?!"
Baik Tasya maupun Lani menghela malas melihat Mauren yang datang dengan berteriak membuat telinga mereka sakit. Lani yang dari dulu tidak begitu menyukai Mauren memilih pergi meninggalkan ruangan Tasya tentunya setelah izin.
Sekarang gantian Mauren yang duduk di tempat Lani tadi, menatap Tasya dengan senyum namun senyumnya sirna berganti dengan keterkejutan ketika melihat gelas kopi tadi. Matanya melotot kaget, kaget luar biasa.
"Sya, ini lo apa-apaan?" tanya Mauren pada Tasya. Tatapan perempuan itu bergelik ke atas bawah menatap Tasya dan gelas secara bergantian.
"Ada yang iseng sama gue." jawab Tasya singkat.
Mauren mengambil silet di gelas itu secara perlahan, "Ini silet beneran, Sya? Ya ampun bahaya banget. Gila siapa yang iseng sampe segininya."
Tasya mengangkat kedua bahunya, "Gabut kali."
"Lo ga mau nyelidikin, Sya?"
"Males. Nanti juga diem sendiri kalo capek." Tasya memang gila, menganggap hal sebesar ini dengan begitu santai tanpa memikirkan efek dari tindakan orang tersebut.
"Lo ngerasa pernah nyakitin orang ga?"
Tasya diam. Apa ia pernah nyakitin seseorang selama beberapa tahun belakangan? Sepertinya tidak karena Tasya hanya bergaul dengan teman-teman semasa SMAnya saja lalu bagaimana bisa ia menyakiti seseorang?
"Nggak deh kayanya."
"Serius ga pernah? Tapi kok ada ya, sampe yang nekat kaya gini? Gila banget yang ngelakuin." Mauren geleng-geleng kepala.
💉
Tasya menatap kagum perusahaan yang di bangun oleh Jupiter dengan kerja kerasnya. Perusahan ini memiliki 15 lantai. Masih terkagum-kagum dengan apa yang ia lihat karena ini kali pertamanya Tasya berkunjung ke kantor Jupiter setelah lama mereka berteman.
Tadi, Jupiter menyuruhnya untuk datang ke kantor pria itu di malam hari tepatnya jam tujuh malam dengan alasan kantor sedikit sepi pada jam segitu. Jupiter bilang pria itu ingin membahas tentang ucapannya tempo lalu yang mana membuat mereka berdua terasa asing.
Sempat ragu untuk datang karena hatinya kembali lagi retak jika mengigat kenyataannya namun mamahnya memaksa karena kata beliau ini adalah jalannya.
Terus menghindar tidak membuatmu tenang.
Tasya membeku melihat Jupiter yang baru saja keluar dari lift. Jas di tangannya serta tatapan mata tertuju pada ponsel membuat air liurnya terasa ingin jatuh.
Sumpah! Damagenya ga ada obat.
Tasya mengalihkan wajahnya ketika sadar jika Jupiter juga sedang menatapnya. Ia berdehem untuk menghilangkan rasa gugupnya.
"Sya."
Tasya menoleh, rupanya Jupiter sudah ada di depannya. Pria itu duduk di kursi tepat di depannya.
"Hai." sapanya kaku. Jupiter tersenyum.
"Maaf udah ganggu waktu istirahat lo."
"Gapapa. Gue juga lagi males di rumah." jawab Tasya berusaha membuat suasana seperti dahulu.
Jupiter tertawa, "Ada Gina?"
"Iya. Males banget gue, tuh bocah ngintilin emaknya mulu pen gue bunuh ga tega..."
Plak!
Jupiter menabok telapak tangan Tasya.
"Mulut." Tasya nyengir tidak jelas.
Suasana hening kembali. Kedua manusia itu saling pandang lama menyalurkan rasa yang sulit di ucapkan bagi mereka.
Rasa yang sungguh membuat keduanya sesak terlebih Jupiter yang kini menjadi peran utama, tidak, peran pengganti karena Gibran lah yang masih menyandang status sebagai peran utama.
"Sya," tangannya menyentuh pungung tangan Tasya. Tasya tidak menolak memilih membiarkan itu terjadi karena firasatnya mengatakan jika genggaman tangan ini adalah genggaman terakhir yang di berikan oleh Jupiter.
Jupiter menelan silivanya susah payah. Kata-kata yang sudah dirinya siapkan hilang ketika melihat Tasya di depannya.
"Sya, gue mau ngomong, boleh?" Tasya mengangguk.
"Sebelumnya maaf karena setelah gue ngucapin kalimat sialan tempo lalu gue menghilang. Bukan maksud gue mau nyakitin lo, tapi gue hancur saat dengan mudahnya lo bilang kita ga bisa bersama dan memilih sebagai teman biasa." Jupiter menjeda.
"Gue ga bisa nerima kalo kita ga akan bersama. Gue sayang sama lo dan itu nyata, Sya. Seandainya pindah agama mudah, gue bakal lakuin itu demi lo, demi bersama lo."
Tasya balik menyentuh punggung tangan Jupiter yang ada di atas pungung tangannya.
"Pit, udah ya, gue sedih kalo ngeliat lo terus-terusan begini. Kita jadiin ini sebagai pelajaran dan mulai saat ini kita bisa dekat dengan perasaan biasa. Ngga ada yang tersakiti kalo kita gunain ini sebagai bentuk silahturahmi untuk menjadikan bentuk persahabatan sampai tua nanti."
"Lo pasti bakalan dapetin yang terbaik dari yang baik." senyum di berikan Tasya sebagai penutup kalimatnya.
"Iya. Gue juga maunya begitu tapi semua itu ga mudah, Sya."
"Gue tau, ga ada yang namanya berjuang itu mudah. Apa lagi berjuang melupakan." Tasya tersenyum manis pada Jupitet.
"Sya, tetep jadi temen gue apapun yang terjadi, ya?" dengan begitu ikhlas Tasya mengangguk membuat wajah Jupiter yang semula masam kini bersinar kembali.
👩⚕👩⚕👩⚕
Up!
Vote komennya dong... Ya ya