Internal Love 2

By HaniAqmarina

552K 50.3K 4.4K

[Medical Content] Bagaimana jika seorang dokter menikah dengan yang seprofesi? Orang-orang menyebutnya keberu... More

PERHATIAN!
TRAILER
BAB 1 (Marriage Life: This is Us)
BAB 2 (Insiden Keselek)
BAB 3 (Viral)
BAB 4 (Sebuah Undangan)
BAB 5 (Masa Lalu VS Masa Depan)
BAB 6 (Surprise)
BAB 7 (Time is Everything)
BAB 8 (Yang Membuat Kami Jatuh Cinta)
Bab 9 (Hadiah Anniversary)
BAB 10 (Sebuah Keputusan)
Bab 12 (Gusar)

BAB 11 (Seperti Pengantin Baru)

14.5K 1.9K 159
By HaniAqmarina


Hari ini, tepat di hari ke-15 mas Adit dirawat di rumah sakit, akhirnya om Nio mengizinkan untuk pulang walaupun harus tetap menerima serangkaian pengobatan yang dimandatkannya padaku untuk mengontrol itu semua selama rawat jalan. Walaupun demikian, mas Adit masih harus menjalani beberapa kali fisioterapi untuk masalah hemiparalysis yang dia alami pasca henti jantung.

Aku membereskan pakaian yang dia bawa ke rumah sakit sementara Alea dan Afina⸺ adik-adik kandung mas Adit membantu memasukkan buku-buku yang dibawa mas Adit kesana ke dalam dua travel bag.

Ya beginilah kalau suamimu adalah kutu buku, sehari nggak baca buku saja seperti setahun nggak makan. Bahkan jumlah buku yang dia bawa lebih banyak dari jumlah pakaian yang dia bawa.

"Le, Fin, udah biar Mbak saja yang bawa tasnya," ujarku tidak tega melihat dua adik mas Adit yang sedang hamil tua itu menenteng travel bag berisi buku-buku tebal milik mas Adit. Kalau buku-buku itu ditumpuk seolah menjadi batu bata, mungkin bisa membangun satu rumah tipe 36 sangking tebalnya

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku hamil-hamil gini masih kuat kok ngangkat galon air," timpal Alea yang kalau tidak salah kehamilannya sudah masuk 33 minggu.

"Hah? Serius kamu?"

Alea mengangguk mantap. "Iya, Mbak. Nggak tahu kenapa ya, sejak hamil aku jadi makin strong. Ini si Dedek calon binaragawan kayaknya, mudah-mudahan mirip Iko Uwais," katanya sambil mengelus-elus perutnya yang sudah sangat besar.

"Dih ngaco! Iko Uwais itu aktor, bukan binaragawan," kali ini Afina ikut menyahut. Uniknya, kehamilan Afina hanya beda dua minggu lebih lambat dari Alea. Bisa saja mereka lahirannya bersamaan.

"Masa sih?"

"Astaga! Hidup di zaman apa sih kamu, Lele Dumbo?" sahut Afina yang memang biasa memanggil kakaknya si Alea dengan panggilan Lele Dumbo kalau sedang kesal.

"Ya udah sih biasa aja, Fintu Sorga," Kini giliran Alea yang memanggil Afina dengan sebutan Fintu Sorga, plesetan dari Pintu Surga.

"Sudah, sudah, nggak usah ribut masalah Iko Uwais. Ributin aja tuh Mas kalian yang banyak orang bilang mirip Nicholas Saputra," kataku sembari nyengir kuda pada mas Adit.

Alea malah mendengus. "Nicholas Saputra darimananya sih? Temen-temenku juga bilang gitu,"

"Iya, aku juga heran, banyak yang bilang gitu. Padahal kalau dilihat dari ujung monas juga tetep nggak mirip," timpal Afina.

"Eh tapi, kayaknya muka kita sekeluarga emang pasaran deh, Fin. Almarhum Bapak dulu dibilang mirip Ari Wibowo, almarhumah Ibu dibilang mirip Maudy Kusnaedi. Mas Adit dibilang mirip Nicholas Saputra, kamu dibilang mirip Pevita Pearce terus aku dibilang mirip Maudy Ayunda," ujar Alea dengan penuh semangat.

Mata Afina langsung membelalak kaget seakan baru menyadari sesuatu. "Wah iya, Mbak! Muka kita sekeluarga mirip artis ya! Ini kita harus bangga nggak sih?"

Aku tertawa melihat kelakuan mereka. Ada-ada saja.

Mas Adit yang sedari tadi hanya diam memandangi dua adiknya yang sedang ngerumpi, akhirnya ikut buka mulut. "Boleh tanya tidak?"

"Apa?"

"Nicholas Saputra itu yang mana sih?"

Sontak kami saling berpandangan karena takjub dengan kelakuan satu makhluk dari zaman purba ini. Serius mas Adit nggak tahu Nicholas Saputra? Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa beliau.

"Wah ini sih lebih ngaco dari Iko Uwais yang dianggap binaragawan," cetus Afina sambil memijat dahinya sendiri.

"Mas kudetnya jangan mandarah daging gitulah, malu aku tuh!" timpal Alea sambil geleng-geleng kepala lalu menepuk-nepuk bahuku. "Sabar ya, Mbak. Nggak ngebayangin aku ada di posisi Mbak yang nanti tiap hari harus ngadepin Mas Adit. Harus kuat, harus strong!"

Mendengar ocehan adik-adiknya, mas Adit refleks langsung melotot. Aku tertawa melihat tingkah mereka.

By the way, aku memang sudah dipastikan akan tinggal seterusnya di Jakarta. Setelah mas Adit tahu kalau aku memutuskan untuk tinggal bersamanya for real, dia langsung memintaku untuk mengurus kepindahanku secepatnya, termasuk resign dari rumah sakit yang sudah menjadi kantorku sejak enam tahun lamanya. Jadi, aku sempat sekitar lima hari terbang kembali ke Jogja dan meninggalkan mas Adit di rumah sakit bersama Alea dan Afina.

Untungnya urusan resign ini dimudahkan, sepertinya ini memang sudah takdirku karena semesta seakan turut mendukung.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu di tengah percakapan kami. Tidak berapa lama kemudian seseorang masuk sembari menyunggingkan senyumnya. Aku agak terkejut melihat kedatangan sosok berpakaian seragam kru TV itu.

"Eh, Ben. Sini masuk!" kataku ramah membalas senyumnya.

Sejak mas Adit dipindah rawat di bangsal, Ben memang belum sempat menjenguk, jadi memang mas Adit, Alea dan Afina belum pernah bertemu dengan satu sosok yang sudah berperan penting pada keselamatan nyawa mas Adit. Pertama, karena dia yang membantuku membopong mas Adit lalu membawanya ke rumah sakit saat pertama kali ditemukan terbaring bersimbah muntah di unit apartemennya. Kedua, karena Om Nio yang mengoperasi dan merawat mas Adit adalah Ayah kandung Ben.

"Sudah mau pulang ya? Tadi perawat di depan yang memberi tahu,"

"Iya, Ben. Alhamdulillah Om Nio sudah mengizinkan pulang,"

Ben tersenyum lagi. "Syukurlah,". Begitu melihat dua travel bag dan satu koper besar yang diletakkan di depan bed, Ben langsung inisiatif menawarkan diri. "Mau dibawakan koper sama tasnya?"

Dalam hati sebenarnya aku mau langsung mengiyakan, tapi entah kenapa rasanya tidak enak karena Ben baru saja datang untuk menjenguk. Aku otomatis melirik Alea-Afina dan langsung terkejut melihat ekspresi bengong mereka. Ya, definisi muka bengong yang mulutnya membentuk huruf 'O' besar. Ada apa dengan adik-adikku ini?

"Le, Fin? Kok ngelihatinnya gitu?"

Afina yang pertama sadar dari lamunannya. "Ini siapa, Mbak?"

"Oh iya, Mbak belum kenalin ya. Ini Ben, yang nolong mas Adit waktu kesakitan di apartemen," ucapku membantu mengenalkan. Tapi melihat ekspresi Alea dan Afina sepertinya mereka belum puas dengan penjelasanku.

"Kok kayak udah akrab ya?" tanya Alea dengan polosnya.

"I⸺iya, ini anaknya dokter Antonio yang mengoperasi dan merawat mas Adit selama disini. Teman lama Mbak juga,"

Mendengar penjelasanku barusan, akhirnya mereka manggut-manggut lalu bergantian menyalami Ben.

Aku langsung menyadari satu hal, mas Adit pernah bertemu dengan Ben sebelumnya tidak ya? Secara om Nio satu rumah sakit dengan mas Adit. Tapi selama ini mas Adit tidak pernah cerita apa-apa. "Kalian sudah pernah kenalan belum?" tanyaku pada Ben dan mas Adit.

"Belum, Dit," jawab Ben. "Aku, kan, baru pindah ke Jakarta setahun ini dan jarang sekali ke rumah sakit kecuali Daddy minta dijemput. Sekalinya ke rumah sakit juga cuma nongkrong di kafe. Daddy juga ternyata baru tahu kalau mas Adit itu suami kamu,"

"Oh gitu," ujarku sembari memberikannya senyum sebagai bentuk apresiasi karena selalu memberikan penjelasan panjang lebar dari sebuah pertanyaan singkat. Begitulah Ben sejak dulu, suka menjelaskan sesuatu secara detail sampai kita yang bertanya kebingungan mau menanggapi seperti apa lagi.

"Saya Ben, Mas Adit," Tangan Ben mengulur pada mas Adit. Tak lupa senyum tulusnya ikut tersungging di wajah maskulinnya.

"Aditya," jawab mas Adit sembari meraih uluran tangan itu dengan susah payah karena masih lemah ekstremitas sebelah kanannya. "Terima kasih ya untuk bantuannya. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau malam itu tidak ada kamu yang mengantar Adit,"

"Sama-sama, Mas,"

Aku bisa bernafas lega karena ternyata perkenalan mereka berdua tidak semenyeramkan yang aku bayangkan. Dari sini sudah terlihat jelas kalau Ben tidak menyimpan dendam apapun pada kami dan mas Aditpun sudah menerima masa laluku.

Akhirnya Ben yang membantu membawakan dua travel bag dan satu koper itu sampai ke lobby rumah sakit. Aku yang mendorong kursi roda mas Adit sedangkan Alea dan Afina kebagian membawa perut mereka masing-masing yang sudah pasti sangat berat.

Taksi yang kami pesanpun sampai dan aku pamit pada Ben untuk pulang. "Sekali lagi terima kasih ya, Ben,"

"My pleasure, Dit," jawabnnya sembari tersenyum. Ben pun membantu kami untuk membopong mas Adit masuk ke dalam taksi. "Take care ya kalian. Bawa taksinya jangan ngebut ya, Pak!" pesan Ben pada driver taksi lalu menutup pintunya.

Taksi melaju meninggalkan Ben yang masih berdiri di lobby dan melambaikan tangannya. Aku memperhatikannya selama beberapa detik. Entahlah, lambaian tangan itu seperti tanda perpisahan. Aku kurang suka.

To be honest, aku merasa kemunculan Ben kembali membawa cerita baru. Bukan, ini bukan tentang cinta. Jelas hatiku sepenuhnya untuk mas Adit. Tapi aku seperti ingin mengenal Ben lebih jauh. Ben yang baru, bukan yang dulu.

"Kenapa?"

Pertanyaan mas Adit itu langsung membuyarkan lamunanku. "Kenapa apanya?"

"You must be thinking about him,"

Aku menghela nafas panjang. Seperti biasa, mas Adit selalu tahu apa yang aku pikirkan. "Aku cuma mikir, gimana ya caranya membalas kebaikan Ben dan Om Nio?"

Mas Adit terdiam sejenak. "Mungkin nanti kita bisa undang mereka makan-makan di apartemen kita?"

"Hmm, sounds good,"

***

Malam itu, aku sibuk memasak makanan untuk porsi besar karena Alea dan Afina akan ikut makan disini sebelum besok mereka kembali ke Semarang dan Lampung. Alea dan Afina kuminta untuk duduk saja karena melihat mereka berkeliaran dengan nafas yang sudah terengah-engah membuatku ikut merasakan sesak nafas.

"Mau masak apa, Mbak?"

"Nasi kuning komplit aja sih, Le,"

Nasinya sudah kubuat di magic jar, tempe orek dan telur dadarnya juga sudah siap, tinggal ayamnya saja yang perlu kugoreng ditambah serundeng.

"Hmm... kayaknya enak. Beruntung Mas Adit yang susah makan itu dapet istri kayak Mbak yang masakannya top markotop. Lah kalau jodohnya nggak doyan masak, ya udah wassalam,"

"Iya juga ya. Aku dulu sempat mikir kalau jodoh itu harusnya mirip sama kita. Kan katanya jodoh itu cerminan diri,"

Sembari meniriskan ayam dari minyak di wajan, aku menyahut, "Maksudnya jodoh cerminan diri itu bukan sifatnya yang sama. Tapi maksudnya perempuan yang baik itu untuk laki-laki yang baik, sebaliknya perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk juga. Justru, yang namanya jodoh itu pasti banyak sifatnya yang saling bertentangan, kan, harus saling melengkapi. Ya... seperti kutub magnet, kalau kutubnya sama pasti saling tolak menolak, kalau beda justru saling tarik-menarik,"

"Bener juga sih, Mbak. Tapi kadang ada loh yang dianya orang baik tapi jodohnya orang jahat,"

"Mbak pernah baca dimana... gitu, katanya kalau seperti itu artinya Allah mau kasih ujian untuk si baik. Tentunya kalau dia bisa melewati ujian itu dengan sabar, pasti hadiah dari Allah besar sekali,"

"Setuju! Waktu dulu ibu meninggal, aku sempat merasa Allah nggak sayang sama aku. Tapi ternyata aku salah, justru Allah baik banget. Mungkin kalau ibu masih hidup sampai sekarang dengan kanker dalam tubuhnya, ibu pasti menderita sekali,"

"Ya selalu ada hikmah di setiap cobaan,"

Seperti kejadian kemarin, kalau saja tidak ada cobaan mas Adit yang sakit, mungkin aku masih akan keras kepala untuk tinggal di Jogja.

"Eh, ADUH!"

Pandanganku langsung teralih pada Alea yang merintih kesakitan sembari mengelus-elus perutnya. "Kenapa, Le? Kontraksi?"

Alea berusaha mengatur deru nafasnya beberapa kali. "Si dedek lagi joget nih di dalem, Mbak. Nendangnya kenceng banget bikin aku kaget,"

Aku langsung bernafas lega, untung bukan kontraksi asli. "Duduknya nyender aja, Le,"

"Nih, Mbak, mau ngerasain nggak tendangannya?" tawar Alea sembari meletakkan tanganku diatas perutnya.

Awalnya aku tidak merasakan apa-apa, tapi beberapa detik kemudia tiba-tiba terasa ada yang menonjol menyentuh telapak tanganku. "Eh!" Aku terkejut. "Itu ya tendangannya, Le?"

Alea mengangguk. "Lucu ya, Mbak?"

Tanpa sadar aku tersenyum lebar, bahagia campur haru yang tidak bisa dideskripsikan. Aku yakin Alea dan Afina pasti merasakan hal yang sama, bahkan mungkin lebih dari yang aku rasakan.

"Semoga sebentar lagi rezekinya Mbak dan Mas Adit ya," ucap Alea dengan tulus.

***

Jam di dinding menunjukkan pukul 22.30, aku dan mas Adit yang memang pengidap insomnia merasa jam segini masih terlalu 'pagi' untuk tidur. Khusus untuk mas Adit, dia ini orangnya agak spesial. Kalau malam insomnia, tapi kalau pagi sampai sore 'kebo' sekali bahkan mirip pengidap narkolepsi.

Akhirnya kami putuskan untuk menonton drama korea dulu sampai mengantuk. Mas Adit memilihkan drama Descendants of the Sun untuk kami tonton malam ini. Katanya drama itu bagus menceritakan tentang seorang dokter bedah wanita dan tentara korea selatan yang saling jatuh cinta. Sembari menonton, aku sudah menyiapkan keripik singkong khas Lampung yang dibawa Afina sebagai cemilan.

Baru seperempat episode awal, mas Adit sudah menjatuhkan kepalanya di pahaku. "Capek," katanya.

"Kalau ngantuk tidur aja, Mas,"

"Belum mengantuk," jawabnya sambil tetap menonton drama itu dengan mimik muka serius, seperti sedang ujian.

Entah sejak kapan mas Adit ketagihan drama korea, tapi menurutku itu bagus supaya dia bisa belajar menjadi sosok suami yang romantis dari drama-drama yang dia tonton. Sudah beberapa kali dia mencoba untuk meniru adegan romantis dalam drama korea, ya walaupun seringnya gagal sih. Tapi setidaknya, kekakuannya dalam berlaku romantis agak berkurang.

"Mas,"

"Ya?"

Tiba-tiba saja aku kepikiran dengan pembicaraanku bersama Alea dan Afina tadi. "Kita, kan, sudah empat tahun menikah tapi belum punya anak. Ini kita bisa dibilang infertil nggak sih?"

Infertil atau mandul memang bisa menjadi nightmare untuk pasangan suami istri. "Harusnya tidak. Definsi infertil, kan, kalau sudah menikah lebih dari satu tahun, rutin berhubungan intim terutama di masa subur wanita, tapi belum diberi rezeki momongan. Sedangkan kita selama ini LDR, setiap kali aku pulang juga seringnya pas kamu lagi halangan,"

"Iya sih. Tapi apa nggak sebaiknya kita program hamil saja dengan dokter obgyn?"

"Menurutku, kita coba saja program sendiri. Anggap saja masih pengantin baru. Kalau sudah setahun mencoba tidak berhasil juga, baru kita program hamil dengan dokter obgyn,"

Aku mendengus. "Kelamaan nggak sih, Mas, kalau nunggu setahun? Nyatanya kita sudah menikah empat tahun loh. Umurku juga sebentar lagi mau kepala tiga, kualitas sel telurku juga pasti berkurang,"

"Memang rencanamu bagaimana?"

"Rencanaku sih kalau bulan ini belum berhasil, kita langsung periksa ke obgyn yuk, Mas, sekalian program hamil. Gimana?"

"Ya terserah kamu lah," ujarnya sembari mengelus-elus punggung tanganku dengan mata tetap fokus pada layar TV.

Sayangnya setelah pembicaraan itu, aku mulai tidak fokus menonton. Pikiranku melayang entah kemana sampai tiba-tiba terlintas di pikiranku sesuatu yang penting. Sontak tanganku meraih handphone dan membuka bagian kalendernya. "TUH, KAN, BENER!" pekikku girang membuat mas Adit terbangun dari posisi rebahannya.

"Benar apanya?"

"Hari ini, Mas! Hari ini!"

"Hari ini kenapa?"

"Masa suburku!"

Kening mas Adit mengernyit. "Lalu?"

"Ih, nggak peka banget sih! Ya sekarang, Mas, waktunya!"

"Waktu apa?"

Aku menepuk dahi. Kenapa lidahku susah sekali untuk bicara frontal dan otak mas Adit juga susah mencerna kode-kode dariku. "Tadi kita ngomongin program hamil, kan, Mas? Nah sekarang ini masa suburku, jadi⸺," Aku sengaja menggantung kalimatku.

"Jadi?" Mas Adit malah memajukan wajahnya dan menunjukkan ekspresi penasaran.

"Menurut, Mas, harusnya kita ngapain?" Aku terus memancing supaya kalimat frontal itu dia yang mengucapkan.

"Harus⸺," Mas Adit menautkan kedua alisnya. "Melanjutkan nonton drama?"

AAARRRGGHHH!!! Rasanya aku ingin mencakar wajah tampannya yang sedang pura-pura bego saat ini. Entahlah, aku jadi emosi sekali. "Tau ah!" kataku yang kemudian langsung merebahkan badan di kasur dan menarik selimut setinggi kepala.

Baru beberapa detik kesal, tiba-tiba terdengar suara tawa mas Adit. Sontak aku membuka selimut dan melihat wajahnya yang sedang tertawa terpingkal-pingkal. "Maaf, mukamu lucu," cetusnya menyebalkan.

"Apa sih pakai ketawa-ketawa? Aku lagi kesel nih!"

"Hahaha," Dia lantas menyubit kedua pipiku gemas. " Aku tahu kok yang harus kita lakukan,"

Aku menatap wajahnya sambil manyun. "Apa?"

"Cucucuan,"

"Hah?"

Jemari di kedua tangannya saling menyatu membentuk isyarat ciuman. "Cu-cu-cu-an," ulangnya dengan mimik muka sok dibayi-bayiin.

Aku jadi tertawa melihat tingkahnya. Apa pula cucucuan? Ini bahasa baru dari mas Adit untuk mengistilahkan kegiatan.... ya you know lah.

Dan setelahnya, tanpa kuberitahupun, kalian pasti tahu apa yang terjadi.

Doakan semoga kami sukses berkembang biak ya!

***

Keterangan

Hemyparalysis: Kelumpuhan pada ekstremitas sebelah sisi

Narkolepsi: Gangguan pada sistem saraf yang mempengaruhi kendali pada aktivitas tidur. Penderita akan mengalami rasa kantuk pada siang hari dan bisa-bisa tertidur tanpa mengenal waktu dan tempat

Continue Reading

You'll Also Like

414K 2.5K 18
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
2.5M 20.3K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
559K 53.8K 30
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
404K 16.3K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...