Villain

By Ziajung

1.8M 203K 6.1K

[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seper... More

Prolog
[1] Aku, Laura Jacquelin
[2] New "Friends"
[3] "Makasih...."
[4] Kantin
[5] Gadis yang Selalu Ada Di Sekitarku
[6] Pertemuan Kembali
[7] Hea(r)tstroke
[8] Me & Him
[9] Mulut Manis Dylan
[10] Rembulan
[11] Boom!
[Group Chat 1] "Shit!"
[12] Dua Mata Pisau
[13] Kita
[14] Her (Little) Hand
[15] I'm A Robot
[16] Sepotong Kue
[17] Kencan
[18] Berawal dari Air Mata
[19] Ice Cream or Boy?
[20] Unfamiliar Heartbeat
[21] Her Existence
[22] Kebetulan
[Grup Chat 2] Langganan Ojol
[23] Dreamless
[24] Jalan yang Terhenti
[25] Di Antara Kebencian
[26] Rainbow Before Storm
[Group Chat 3] Jingan... + Laura's Story
[27] Game Start!
[28] The Unwanted Tears
[29] Hope(less)
[30] Punishment
[31] Ketika Hati Berbicara
[32] Villain
[33] Seharusnya
[34] Aku Akan Melarikan Diri
[35] Butterfly Effect
Epilog
[Special Extra] Dylan dan Kpop
[Special Extra] A Dream?
[Special Extra] Papa
[What If] Alvin x Mou
[Special Extra] A Long Way To Go
[Special Extra] Q Time

[36] Aku dan Dia

42.2K 3.1K 240
By Ziajung

Rasanya seperti ada beban berat dan panas yang menimpa dadaku.

Aku terkesiap dan mengambil napas sebanyak yang aku bisa. Ini pertama kalinya aku merasa sesak hebat seperti itu. Setelah tiga puluh detik mengatur napas, akhirnya seluruh tubuhku bisa kembali tenang. Dan pada saat itulah aku menyadari kalau tempat ini bukan ambulans sempit dengan berbagai perlengkapan pertolongan pertama.

Ini adalah perpustakaan, tepatnya ruang belajar perpustakaan pusat di kampusku. Ruangan besar ini terdiri dari puluhan meja bersekat berwarna cokelat yang dilengkapi lampu kecil dan stopkontak di atasnya. Karena sudah mendekati minggu Ujian Tengah Semester, ruang belajar pun dipenuhi mahasiswa. Suasana yang hening dan nyaman, lengkap dengan kursi empuk, AC sejuk, dan sinyal wifi kuat, ruang belajar perpustakaan pusat selalu menjadi pilihan.

Tunggu.

Aku mengerutkan dahi, menyadari keberadaanku di tempat ini. Kenapa aku bisa tahu kalau sekarang sudah memasuki minggu UTS?

Sebuah laptop tergeletak di meja, di depanku. Aku mengenal betul kalau itu adalah laptop pribadiku. Layarnya yang menyala itu menampilkan presentasi Mbak Eva tentang prosa zaman kemerdekaan—salah satu materi yang keluar untuk UTS. Mataku pun beralih pada ponsel yang kugenggam. Tampilan platform novel online yang terpampang di layar itu sangat familier. Tanpa sadar, jariku mulai bergerak, entah mencari apa di sana.

Lalu, semua berputar seperti potongan film di kepalaku.

Rasa frustasi menentukan topik skripsi.

Kata-kata Mbak Eva yang telat masuk kelas pagi ini.

Ajakan Tania untuk makan gado-gado di kantin sebelum datang ke perpustakaan.

Bahkan omelan Bunda minggu lalu karena aku telat menyuntik vaksin Toki—kelinci peliharaanku.

Aku ... kembali?

"Eh? Lo baca novel itu juga?"

Aku menoleh dan mendapati Tania duduk di meja sebelah. Ia melirik penasaran layar ponselku, yang membuatku akhirnya membaca kembali kata-kata yang ada di sana. Ibu jariku tiba-tiba terasa kaku, tidak bisa digerakan. Mataku pun membulat, seiring dengan debaran jantung kuat sampai dada ini terasa sesak.

[... bunyi alat-alat dingin di ruang rawat ini memberi harapan juga rasa takut. Hidup Laura hanya tinggal bergantung padanya ....]

Dengan jari bergetar, aku pun menggulung halaman ke bagian atas, ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

[... Dylan tidak peduli apa yang terjadi pada tubuhnya. Asalkan bisa terus menemani Laura di sini, ia merasa baik-baik saja. Dylan ingin menjadi orang pertama yang Laura lihat ketika membuka mata. Meski atmosfer ruangan ini seakan meremas dadanya, Dylan tidak mau berhenti berharap.

Ia berharap Laura masih memberikan kesempatan untuk menebus kesalahan karena tidak bisa menjaganya.]

"Gue nggak mau baca lagi pokoknya!" ucap Tania. "Padahal udah mau ending, tapi jalan ceritanya malah kayak gitu!"

"Dylan ...."

Sebenarnya aku tidak terlalu memperhatikan ocehan Tania. Mulutku refleks menyebut namanya begitu muncul di layar ponsel. Cowok yang kuat itu ... kenapa terlihat sangat menyedihkan di sini?

"Nah! Kasian banget, 'kan si Dylan." Tania mendesah. "Padahal dia sama Laura uwu banget, aah!"

"K-Kenapa ...." jariku belum berhenti bergerak. Kalimat demi kalimat yang kubaca semakin menyayat hati. "Kenapa peran antagonis selalu berakhir menyedihkan ...?."

"Tapi menurut gue, Bulan cukup beruntung."

Aku pun menoleh, menatap Tania yang sedang memangku wajah."Apaan?"

"Dia nggak terlalu menderita." Tania mengangkat bahunya. "Ya ... walaupun sempat masuk rumah sakit dan keluarganya mis—"

"Yang gue maksud Laura."

Aku semakin tidak mengerti dengan ucapan Tania. Yang sedang kubahas di sini adalah si Laura yang kembali menjadi "bulan-bulanan" penulis. Tidak cukup diberi peran antagonis, Laura pun harus mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Setelah mati pun, ia tidak akan dikenang karena perannya saja sudah buruk. Tidak ada yang ingin menjadi peran antagonis, apalagi semenyedihkan Laura.

"Nah, itu!"

Tania berseru keras, dan langsung disambut desisan dan lirikan tajam dari pengunjung perpustakaan yang lain. Menggigit bibirnya karena malu, Tania membungkukkan badan—menenggelamkan kepalanya di atas meja. Lalu, ia pun menggeser kursinya lebih dekat denganku. Tanpa permisi, ia mengambil ponselku dan menggerakan jarinya dengan lincah di platform novel online itu.

"Itulah kenapa gue kesel!" meski suaranya pelan, aku bisa merasakan amarahnya. "Masa' peran utama hampir mati gara-gara jadi kambing hitam, sih? Nggak lucu banget!"

Dahiku berkerut. "Bukannya Laura itu antagonis?"

"Lo baca novel apa, sih?"

Namun, sebelum aku memberi jawaban, Tania menyodorkan ponsel ke depan wajahku. Layar ponselku masih menampilkan platform yang sama, tapi ada satu titik yang membuat mataku membulat. Dengan cepat, kusambar ponsel itu dan memastikan kalau mataku tidak salah lihat. Benar, nama penulisnya masih sama—BlackFlower00, tapi novelnya yang ditulisnya bukanlah "Rembulan" melainkan ....

Laura.

"Novel ini ... bukannya "Rembulan"?"

Aku masih tidak bisa percaya. Tidak ada karya lain dari penulis itu selain novel "Laura". Novel yang sudah dibaca dua juta kali itu memiliki poster dengan nuansa yang sama dengan novel "Rembulan", hanya saja judulnya berubah. Berkali-kali kucoba untuk mencari novel berjudul "Rembulan" di platform itu, tapi tidak ada. Novel itu menghilang seperti buih di pantai.

"Ngaco lo!" Tania mengibaskan tangannya di depan wajahku, membuatku kembali tersadar.

"Kalau pun ada novel tentang Bulan, gue nggak mau baca! Mana ada yang mau baca cewek jahat jadi tokoh utamanya."

Kepalaku tiba-tiba sakit mendengar ocehan Tania. Sejak kapan Bulan mendapat peran antagonis? si penulis jelas-jelas memberikan kesempurnaan karakter pada Bulan. Cantik, pintar, baik hati, pekerja keras—bagian mana yang jelek? Peran antagonis harusnya hanya untuk Laura. Apa mungkin Tania salah membaca novel?

"Lo baca di forum pembaca nggak sih? Semua setuju kalau Bulan tuh cuma pura-pura polos, sok baik, deketin Laura cuma ada maunya," lanjut Tania, sambil membawa kursinya ke tempat semula.

"Dia pasti sekongkol sama Ian buat celakain Laura. Sampai sok kecelakaan dan pingsan segala supaya Dylan nyalahin Laura lagi." Tania masih mengoceh dan aku mendengarkannya dengan kepala mengawang. "Si Ian psikopat! Siapa yang bully Bulan, siapa yang dijahatin! Gila! Pasangan itu emang gila!"

Napasku terhenti.

Dadaku diserang rasa sakit hebat.

Tepat setelah Tania mengatakan Bulan-lah yang harus bertanggung jawab atas kematian Laura, aku tidak bisa berpikir jernih. Semua ingatanku akan Laura bercampur aduk. Laura yang selalu berusaha menjalani hidupnya dengan baik. Laura yang berusaha membuat orang di sekitarnya tersenyum. Dan Laura yang tidak ingin berakhir menjadi antagonis menyedihkan lagi.

Namun ... apa ini?

Laura tiba-tiba tidak lagi menjadi antagonis, melainkan protagonis. Perannya berubah, tapi takdirnya tidak. Ia tetap tidak bisa bersama Dylan, dan harus mengorbankan diri untuk saingan cintanya—Bulan.

Ketika menyadari aku kembali ke kehidupan ini dan mengetahui kenyataan yang sesungguhnya, aku jadi bertanya-tanya. Apa takdir sedang menghukum atau memberi sebuah hadiah padaku? Suatu waktu, aku merasa diriku ini adalah seorang tokoh jahat yang diperlakukan tidak adil. Namun kemudian, mereka menganggap hidupku itu begitu menyedihkan sebagai "tokoh utama".

Baik atau buruk.

Aku kembali teringat ucapan cowok itu. Baik dan buruk itu relatif. Kita tidak bisa menilainya dari satu sisi. Ketika aku merasa jahat, justru mereka menganggap aku sangat baik. Begitu sebaliknya. Dia yang terlihat seperti malaikat di mataku, mendapat hujatan di belakang sana.

Kenapa dunia begitu kejam untuk Laura?

"G-Gue balik duluan."

"Eh? Nggak jadi makan es krim?"

Aku tidak menjawab. Aku pun menutup laptop tanpa dimatikan terlebih dulu. Barang-barang lainnya yang berserakan di atas meja kumasukan asal ke dalam tas. Kuabaikan tatapan bingung Tania atas tingkahku yang terburu-buru ini. Aku membutuhkan waktu untuk menyendiri. Aku harus kembali menata hidupku dan melupakan sosok Laura yang terus berputar di kepala ini.

Laura bukan antagonis.

Laura mati karena Bulan.

Dylan menangis karena Laura, untuk pertama kalinya.

"Shil?"

Kudorong kursi ke belakang dan pergi begitu saja, mengabaikan panggilan Tania. Pandanganku mulai mengabur karena air mata. Setiap langkah yang kulalui ini terasa seperti jalan penuh duri. Dadaku semakin lama semakin sakit, semakin sesak. Rasa sakit yang menggerogoti hati ini membuatku tidak bisa berjalan lurus. Sampai akhirnya kurasakan bahuku menabrak seseorang.

"Sori."

Hanya satu kata itu yang kuucapkan, bahkan tidak melihat wajah orang itu. Aku pun melanjutkan langkah dengan cepat. Namun, rasa sakit ini semakin tidak terbendung. Ini bahkan belum mencapai anak tangga pertama, tapi kakiku sudah kehilangan tenaganya. Aku pun duduk terjongkok di depan tangga dengan kepala tertunduk. Air mataku tumpah saat itu.

Tidak ada yang bisa lebih memahami isi hati Laura daripada aku. Lebih dari perasaan marah karena selalu menjadi kambing hitam, Laura mungkin sedih karena mimpinya lagi-lagi terhenti. Ia harus pergi demi orang yang membencinya. Tidak peduli perannya berganti, Laura tetap terasingkan. Laura tidak pernah merasakan kebahagiaan.

***

Aku meringis begitu melihat mataku yang membengkak di cermin. Kompres air hangat ternyata tidak begitu ampuh untuk mengurangi bengkaknya. Entah seberapa lama tangisanku siang tadi. Yang pasti, begitu aku sadar, kepalaku sudah terasa sangat berat. Dan karena tidak mau menjadi pusat perhatian dengan wajah kacau itu, aku rela merogoh kocek dalam untuk naik ojek online dari kampus langsung ke rumah.

Kuhela napas sambil mengoleskan skin care ke wajah. Aku hanya bersyukur tidak ada berita aneh di forum kampus tentang diriku yang menangis hebat seperti anak kehilangan ibunya.

Ping!

Ponselku di atas kasur berbunyi. Setelah selesai mengoleskan skin care, aku segera meluncur ke kasur. Sambil telungkup di atas kasur, aku pun membuka pesan di grup angkatan yang menyebut user name-ku. Aku memang sengaja mematikan notifikasi grup chat angkatan karena terlalu banyak info dan obrolan tidak berguna. Namun, melihat namaku disebut, ini adalah hal yang tidak boleh dilewatkan.


Ilmu Budaya 20xx

You, Nadeva, Norman, ......

----------------------------------

@Ashilla Shil, ada yang nemu KTM

(Kartu Tanda Mahasiswa) lo, nih!



Norman meneruskan pesan yang didapatnya entah-dari-mana ke grup angkatan. Pesan itu berisi lokasi penemuan, nama, dan nomor mahasiswa milikku, lengkap dengan foto KTM dan informasi si Penemu. Melihat foto KTM itu, aku pun membulatkan mata. Sambil membawa ponsel, aku segera membongkar isi tas yang kupakai tadi siang—mencari keberadaan KTM-ku. Dan benar saja, KTM-ku tidak ditemukan di mana pun. Baik di dompet, lipatan buku, bahkan setiap di kantung tas.

Merebahkan diri di atas kasur, desahan panjang keluar dari mulutku. Aku tidak menyangka hari-hari seperti ini akan datang padaku. Setiap kali melihat orang-orang kehilangan KTM, aku pasti mencibir—mengumpat kecerobohannya dalam hati. Sekali lagi, kulihat isi pesan Norman itu. Di sana tertulis kalau KTM-nya ditemukan di area ruang belajar lantai 2 perpustakaan pusat ... jadi apa benda itu terjatuh saat aku buru-buru memasukan barang ke tas?

"Ah, taulah!"

Aku tidak mau repot-repot berpikir. Pokoknya sekarang, aku harus mengambil KTM itu. Segera kusimpan kontak orang yang menemukan KTM-ku untuk mempermudah komunikasinya. Namanya Ananda, dari jurusan Psikologi. Tanpa membuang banyak waktu, kucoba mengirimi Ananda chat dari aplikasi Whatsapp.


+62 819 xxx

Last seen 19:16

-----------------------------

Halo. Perkenalkan saya Ashilla, pemilik KTM yang

 kamu temuin di perpustakaan.

Maaf sudah merepotkan dan terima kasih. 

Kira-kira kapan kita bisa ketemu ya?


Pesan terkirim. Orang itu tidak langsung menjawab, membuatku jengkel sendiri. Jariku pun iseng menekan detail kontak Ananda. Foto profil yang tidak terpasang mengingatkanku pada seseorang. Namun, segera kutepis pikiran itu. Banyak juga temanku yang tidak memasang foto profil.

Pesanku dibaca. Dan tidak lama kemudian, balasan beruntun datang dari Ananda.


+62 819 xxx

Online

-----------------------------

Halo. Perkenalkan saya Ashilla, pemilik KTM yang 

kamu temuin di perpustakaan.

Maaf sudah merepotkan dan terima kasih. 

Kira-kira kapan kita bisa ketemu ya?

Hai. Ashilla.

Besok gimana?

Kamu kosong jam berapa?


Tanpa sadar, sudut bibirku sedikit terangkat. Tidak banyak yang menggunakan aku-kamu saat berbicara denganku di chat. Ternyata karakter Ananda berbanding terbalik dengan kenyataan "foto profil yang tidak terpasang". Perasaanku seketika membaik. Kucoba mengingat jadwal kuliahku besok.

Besok kuliahku berakhir jam 1 siang. Namun, karena aku harus makan siang dulu, jadi kemungkinan baru benar-benar kosong jam 2. Aku pun menjawab singkat pesan Ananda.


Jam 2-an?

Okeee


Aku terkekeh. Sebelum menutup jendela chat, kusimpan stiker meme yang dikirimkan Ananda itu. Aku jadi menebak-nebak bagaimana sosok Ananda ini. Jika dari kata-katanya yang lembut dan ringan, ia pasti cewek periang yang memiliki wajah imut. Dan jika ditambah fakta ia berkuliah di jurusan Psikologi, mungkin juga ia sangat pintar dan berpenampilan modis.

Apa besok aku juga harus sedikit berdandan?

***


Ananda Psiko

Online

-----------------------------

Kamu di mana?

OTW


Itu pesan terakhir yang kudapatkan pada Ananda. Aku tiba di pintu masuk perpustakaan tepat jam 2 siang, sesuai janji. Banyak orang yang berlalu-lalang di sini, ada juga yang hanya sekadar duduk di sofa sambil menikmati wifi. Karena Ananda tidak memasang foto profil, aku tidak tahu pasti bagaimana wajahnya.

Mungkin kelasnya juga baru selesai. Aku pun tidak keberatan menunggu. Lagi pula fakultas Psikologi tidak berada jauh dari perpustakaan. Setelah mengirimkan balasan dan mengatakan kalau aku menunggu di pintu masuk, aku pun menduduki sofa kosong yang tidak jauh dari sana. Sofa itu letaknya cukup strategis. Dari sini bisa kelihatan jelas kalau Ananda sudah tiba di pintu masuk.

Selagi menunggu, aku membuka aplikasi sosial media—mulai dari Instagram, Twitter, sampai Youtube. Semalam aplikasi novel online itu baru kuhapus. Aku merasa aplikasi itu telah menjadi toxic di kehidupanku akhir-akhir ini. Hanya membaca nama "Laura" saja sudah membuat dadaku sesak. Selain itu, aku juga harus fokus mencari bahan skripsi. Tidak ada lagi main-main di dunia khayal seperti itu.

Baru setengah jalan membaca thread pelakor di Twitter, satu pesan dari Ananda masuk. Ia mengatakan sudah ada di depan pintu masuk. Aku pun berdiri dan melihat ke arah sana. Namun, tidak ada satu pun cewek yang berdiri di sana.

Kamu di mana?

Kukirim pesan itu.

Namun, bukan balasan pesan yang kuterima, tapi sebuah panggilan. Aku sedikit ragu menjawabnya. Jarang sekali aku menelepon orang yang baru kukenal. Akhirnya, setelah memikirkannya kembali, aku menggeser tombol dan menjawab panggilan Ananda.

"Halo?"

"Aku udah di depan, nih. Kamu di mana?"

Aku membeku. Sebodoh-bodohnya diriku, aku tidak mungkin tidak bisa membedakan suara laki-laki dan perempuan. Sosok Ananda si gadis mungil bersuara lembut yang kubayangkan selama ini runtuh sudah. Ananda yang satu ini memiliki suara berat layaknya teman laki-lakiku lainnya. Mataku tanpa sadar mengedar ke area pintu masuk perpustakaan. Di sana ada seorang cowok tinggi yang tengah menelepon.

Dadaku berdegup kencang.

Kalau mengobrol dengan perempuan yang baru dikenal saja terkadang suka gugup, apalagi dengan laki-laki?!

"Di ... sini ...."

Ingin sekali kupukul mulutku ini. Namun, sebelum aku menjelaskan lebih jauh, cowok di sana berputar badan. Mata kami pun bertemu.

"Ah, ketemu!"

Debaran jantung ini semakin kuat. Kali ini bukan karena ada cowok ganteng yang sedang berjalan ke arahku, tapi karena sosoknya mengingatkanku pada seseorang. Senyum yang tidak pernah ditunjukkannya, kini bertebaran di sepanjang jalan. Tidak ada aura mengintimidasi atau tatapan dingin. Mata di balik kacamata bulat berbingkai hitam itu memancarkan cahaya hangat yang seolah menyelimuti tubuhku. Sosoknya seperti memanggilku untuk mendekat.

"Hai! Ashilla, 'kan?" ia melambaikan ponselnya.

"Dylan?"

"Dylan?" alisnya terangkat.

Namun, sebelum aku meralat ucapanku, ia kembali berkata. "Bukan. Aku Milea."

"Hah?"

"Ah ...." Ia menggaruk leher, sedikit tersipu malu karena ucapannya sendiri. "Bercanda. Aku Anda, tahun ketiga Psikologi."

Anda mengulurkan tangannya, yang kemudian aku sambut dengan pikiran setengah melayang. Aku masih belum puas menatap wajahnya. Bagaimanapun wajah itu sama persis dengan sesosok cowok yang ada di kepalaku. Rambutnya... kacamatanya ... bibirnya ... bahkan tinggi badannya. Bayangan Ananda si cewek mungil benar-benar hancur di kepalaku.

"Gue kira lo cewek."

Segera kukatupkan kembali bibirku. Terkadang memang mulut ini susah dikendalikan.

"Banyak yang nyangka begitu emang. Hahahaha ...."

Reaksi yang diberikan Anda ternyata jauh berbeda dari dugaanku. Ia tertawa renyah, bukan mengejek. Ia pun kembali menggaruk tengkuk, seolah menunjukkan kalau dirinya juga tersipu secara bersamaan. Aku tertegun. Semirip apapun sosok mereka, aku bisa tahu kalau mereka adalah orang yang berbeda. Anda bukanlah dia.

"Ah, iya. Ini punya kamu." Anda mengeluarkan KTM-ku dari saku jaket jeans yang dipakainya.

"Lain kali jangan ceroboh lagi. Cek dulu sebelum pergi. Nanti nggak bisa balikin buku, denda berjuta-juta kayak teman aku."

Kuambil KTM itu sambil tersenyum tipis. "Makasih, ya."

"Sama-sama."

Kecanggungan mengisi detik yang terus berjalan. Baik aku maupun Anda tidak ada yang beranjak dari sana. Aku sendiri tidak mengerti. Urusan kami sudah selesai, jadi lebih baik memang pergi saja dari sini, tapi... kakiku tidak bisa bergerak. Mataku pun hanya menatap KTM yang masih ada di tanganku ini, sambil sesekali melirik sepatu hitam Anda. Aku harap Anda segera mengucapkan sesuatu atau paling tidak pergi dari sana. Semakin lama aku tidak bisa mengendalikan debaran jantung ini.

"Kalau gitu—"

"Kamu nggak mau traktir aku?"

Pertanyaan Anda membuatku mengangkat kepala. Dan detik itu juga rasanya aku ingin mengeluarkan banyak kalimat umpatan. Harus kuakui, Anda memang ganteng. Dan ekspresinya yang seperti anak anjing itu membuatku ingin berkata kasar.

Udah ganteng, imut lagi, sebuah dosa yang nggak bisa dimaafkan!

"A-Apa?"

Anda kembali menggaruk tengkuk. Bola matanya tidak mau menatap ke arahku. Ah, sial! Kalau ada teman sekelasku yang seperti Anda, sudah pasti kujawil pipinya setiap hari. Mana mungkin seorang cowok bisa berekspresi imut begitu?!

"Itu ... aku udah nemuin KTM kamu, 'kan. Jadi ...." Anda akhirnya mau melirikku, tapi kemudian ia tiba-tiba tertawa—tawa yang penuh kecanggungan. "Hahaha, maaf. Aku lancang banget, ya?"

Sekali lagi, kutatap KTM ini. Kehilangan benda ini memang karena kecerobohanku, dan aku pun harus berterima kasih pada Anda. Namun di satu sisi, aku selalu sungkan jika mengajak orang yang baru kukenal. Anda memang terlihat seperti cowok baik-baik, tapi... apakah boleh? Sebersit ketakutan itu masih tersisa di hatiku .

Apakah dia bakal menghilang kayak Dylan?

"Es krim aja gimana?" ucapku, sebelum hatiku ini selesai memutuskan.

Aku pun berdecak. Terkadang kepala memang jauh lebih cepat daripada kata hati.

"Nggak apa-apa," jawab Anda sambil tersenyum lebar.

Setelah itu aku pun mengajaknya ke kedai es krim yang ada di luar gedung. Mungkin satu cone es krim tidak masalah. Setelah ini pun aku tidak mungkin berhubungan dengan Anda. Aku pun yakin, Anda pasti tidak akan menghubungiku lagi setelah ini. Ia hanya meminta bayaran karena sudah menolongku, bukan untuk berbasa-basi agar bisa berkenalan denganku.

Aku menghela napas, menganggap ini sebagai pengganti karena rencana makan es krim bersama Tania kemarin harus dibatalkan. Tidak peduli dengan siapa, yang penting aku bisa merasakan Black Charcoal Ice Cream yang viral di forum kampus akhir-akhir ini. Katanya karena harga yang murah, tapi rasanya tidak murahan.

"Ng ...."

Gumaman Anda, yang berjalan di samping, menarik perhatianku. Aku menoleh, dan melihat Anda juga sedang menatapku. Sambil terus berjalan pelan, aku menunggu Anda melanjutkan ucapannya.

"Kalau ada yang kamu mau makan nanti—maksudku besok, atau ... kapan-kapan mungkin—chat aku, aja."

Alisku terangkat. Apa Anda terlalu kere untuk makan?

"Nanti aku yang traktir."

Ucapan Anda selanjutnya membuatku terdiam, bahkan langkahku pun ikut terhenti.

"Boleh, 'kan, Shilla?"




------------------------------------

Butuh epilog gak nih? Hehehe

Kalau rame, aku bakal post epilognya. Kalau engga .... kalian bisa tebak-tebak sendiri deh ya

Continue Reading

You'll Also Like

467K 53.3K 44
10 tahun yang lalu Hanna merupakan murid nakal yang suka mengganggu anak lain. Ia tidak memiliki banyak teman. Karena Hanna merupakan seorang bully d...
2M 130K 78
[Belum Revisi] Ana ternyata benar-benar masuk ke dalam dunia novel yang ia pernah baca. Novel romantis yang menceritakan tentang perjalanan sang pem...
712K 65.6K 53
Cup Dari sanalah awal semua kehidupan gadis itu berubah... Dimana Sesha berciuman dengan mumi FIRAUN.
°~AFTER~° By By-X

Teen Fiction

8.3K 954 14
Vier yang selama ini tak pernah diatur, hidup semaunya tiba-tiba jiwanya masuk ke tubuh anak kecil bernama Lio, adik dari rival abadinya, dan semuany...