ALAÏA

By radexn

22.1M 2.2M 4.9M

[available on offline/online bookstores; gramedia, shopee, etc.] ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ ❝ Dia pergi, membawa da... More

Prolog
1. Hey, Nona
2. Kabur
3. Kembali ke Rumah
4. Dekat
5. Lebih Nyaman
6. Laut
7. Hanya Alaia
8. Berdua
9. Mungkin Salah
10. Feels
11. Dua Rasa
12. Dilema
13. Pernah Ada
14. Kamu
15. Gelora Asa
16. Gone
17. Nuansa Bening
18. Lensa
19. Dua Garis
20. Langit
21. Young Married
22. Anger
23. Bittersweet Feeling
24. Lost
25. Badai Rasa
26. Goddess
27. Jalan Kita
28. Hampir
29. The Blue
30. Dark Sky
31. Confused
32. Satu Bintang
33. Siren
34. Mrs. Raja
35. Euphoria
36. Laut dan Alaïa
37. Wheezy
38. Celah Adiwarna
39. Aqua
40. Baby Daddy
42. Insecure
43. One Wish
44. Jika Aku Pergi
46. Langit Ketika Hujan
47. Mermaid
48. Something From The Past
49. Reincarnation
50. Hey, Baby
51. Pudar
52. Cahaya Halilintar
53. Black and Pink
54. Harta, Tahta, Alaia
55. Happy Mamiw
56. Permainan Langit
57. Badai
58. Amatheia Effect
59. Rest in Love
60. Bintang
61. Di Bawah Purnama
62. Death Note
63. Glitch
64. Langit Shaka Raja
65. Bye
66. Sekali Lagi
67. Half-Blood
68. Deep Sea
Vote Cover ALAÏA
69. Terang [END]
PRE-ORDER ALAÏA DIBUKA!
Extra Chapter
ALAÏA 2
SECRET CHAPTER ⚠️🔞
AMBERLEY
ALAÏA 3
ALAÏA UNIVERSE: "SCENIC"

45. Rumit

206K 25.3K 29.1K
By radexn

hai selamat 1 juta pembaca ALAÏA!!!
✨👼🏻🌩🍦🤍

jangan lupa bintang & comment yaa!

tolong nanti baca sampe abis, sampe author note, jangan ada yang di-skip. thank you!

— HAPPY READING, BABYGENG —
👼🏻✨🤍

45. RUMIT

Awalnya gara-gara Ragas, akhirnya aku ketemu kamu.

Kamu datengin aku, nanya sesuatu yang aku ga tau.

Lucunya, karena itu kita jadi sedeket sekarang ya?

Nggak kepikiran juga kamu yang bakal bantu aku wujudin mimpi aku itu, hahaha.

Alaia, omongan kamu selalu aku inget tentang langit dan laut yang keliatannya deket padahal jauh. Dulu aku yakin banget bisa terima perbedaan kita, tapi ternyata rasa takut kehilangannya lebih gede, Aia ... berat banget ya.

Boleh ga, aku minta kamu buat tetep di sini?

Mungkin segelintir kalimat di atas hanya bisa Langit ucapkan dalam hati. Tidak mampu didengar oleh Alaia yang sudah jauh pergi meninggalkan dia sendiri di sini. Membuat Langit harus kembali terbiasa tanpa perempuannya untuk beberapa waktu ke depan.

Lelaki itu menoleh ke kiri, tak menemukan Alaia yang biasanya terlelap di samping dia. Hampa. Hanya guling dingin yang tergeletak di sana.

Embusan napas Langit berat, suhu tubuhnya lebih tinggi dari biasa. Dia berbalik menatap langit-langit kamar dan menerawang jauh tentang kejadian semalam di pantai. Tangis Alaia seakan masih terngiang di telinganya.

Tepat di dekat bantal Langit terdapat jaket yang malam itu dikenakan Alaia. Aroma manisnya masih melekat di sana, meski hanya tercium samar. Baru berpisah beberapa jam tapi Langit sudah mulai merindukan kehadirannya.

"Em," deham Langit bersamaan dirinya beranjak duduk di kasur.

Dari balik gorden kelihatan bayang langit yang belum begitu cerah. Langit meninggalkan ranjang dan bergerak ke kamar mandi untuk bersiap pergi ke kampus. Setelahnya ia akan mencoba menjelaskan pada Ragas serta Bunda tentang kepergian Alaia. Ia harus menyusun kata yang paling tepat tanpa membongkar rahasia siapa Alaia sebenarnya.

Sepuluh menit berlalu, Langit mengenakan jaket sambil berpijak menuju dapur. Harum masakan Bunda sudah tercium, mengundang anak-anaknya untuk datang dan sarapan. Tepat saat Langit hampir tiba di dapur, Ragas muncul dengan muka bantalnya.

"Pagi, Bunda yang paling cantik sejagad semesta!" Ragas menyapa ibunya sambil menempatkan posisi di kursi.

Langit duduk berseberangan dengan Ragas dan menunduk untuk menggulung lengan jaketnya. Bunda membalas sapaan Ragas, sekaligus mengamati anak-anaknya yang selalu bikin hati tenang. Namun ada yang kurang di mata Bunda, yaitu keberadaan satu makhluk lagi yang belum nampak.

"Alaia mana?" Bunda bertanya, memandang Langit serta Ragas secara bergantian. "Belum bangun?"

Langit menelan salivanya yang pahit dan menjawab, "Alaia nggak di rumah, Bun."

"Loh? Ke mana?" Kening Bunda mengerut dalam.

"Pergi." Langit menjawab tidak cukup jelas yang bikin ibu serta kakaknya makin penasaran.

"Lo berdua lagi ribut? Marahan apa gimana? Alaia lo usir?!" Ragas memulai pagi ini dengan kehebohannya.

"Nggak, Gas," sahut Langit.

Bunda menaruh sepiring sayuran segar di atas meja sambil berucap lagi ke Langit, "Kenapa, Sayang?"

Langit menyeka wajahnya yang nampak suram dan membuang napas panjang sebelum menjawab kebingungan mereka. Alisnya yang tebal itu nyaris saling bersentuhan ujungnya ketika Langit sedang berpikir. Lalu dia menggaruk tengkuk sembari sedikit menunduk.

"Dia punya urusan di sana. Langit nggak bisa bilang kalo bukan Alaia yang jelasin sendiri," ungkapnya.

Bunda cemas bercampur bingung mendengarnya. "Sekarang Alaia di mana?"

Langit menggeleng samar. "Alaia cuma nitip pesen ke kita buat jangan khawatirin dia. Dia bakal balik ke sini, Bun, tapi nggak bilang kapannya."

"Kok lo nggak temenin dia, Ngit?" Ragas bertanya lagi. "Malah lebih bagus lo cegah Alaia buat pergi. Lagi hamil tuh!"

"Gue nggak bisa ngelarang. Dari awal gue udah tau bakal kayak gini. Jadi ... ya udah," ujar Langit terdengar lelah.

"Bunda kurang ngerti." Bunda menyambar dan tidak paham maksud ucapan anak bungsunya itu.

Langit terkekeh pelan. "Nggak, Bun. Udah, Bunda tenang aja ya ... Alaia pasti baik-baik di sana. Banyak yang lindungin dia."

Ragas memincing mata. "Ngit, aing kayaknya paham."

Kemudian Ragas bicara lagi tanpa suara, hanya bibirnya yang komat-kamit. Sebelum itu dia melirik Bunda dan memastikan beliau tak melihat. Kata Ragas ke adiknya, "Alaia balik ke laut ya?"

"Ngaku! Iya, kan?!" Ragas melotot sambil mengarahkan garpu ke Langit.

Langit tidak menanggapi, malah beralih mengambil piring kosong untuk diisi makanan. Kali ini porsi makan Langit hanya sedikit. Bahkan dia sampai minta maaf ke Bunda karena takut ibunya bersedih melihat sang anak makan tidak sebanyak biasanya.

"Masakan Bunda enak, tapi Angit mau diet sehari." Langit berkata dengan alasan yang asal.

"Gegayaan diet. Bilang aja lagi galau mikirin Alaia!" Ragas mengoceh. "Muka lo tuh kayak tuyul. Pucet."

"Bunda bikinin bekel buat di kampus, ya?" Bunda menawarkan.

Langit menyomot selada dan dibawa masuk ke rongga mulut. Seraya mengunyah, Langit mengangguk sebagai respons untuk tawaran Bunda. Maka wanita itu mengambil kotak makan dan mengambil berbagai makanan sehat untuk anaknya.

Ketika Bunda sibuk mengurus bekal Langit, Ragas kembali mengusik ketenangan adiknya dengan mengajukan banyak tanya. Suaranya sangat pelan sampai tidak tertangkap oleh telinga Bunda.

"Alaia kalo pergi gitu tuh dia ngapain, sih?" Ragas begitu penasaran.

"Dia bisa kendaliin laut, kan? Jangan-jangan ada keturunan Nyai Roro Kidul?" tambah Ragas.

"Anaknya Nyai?" Ragas masih terus berusaha sampai Langit menjawab.

"Wah, gue curiga nih ... dia anak dari persilangan Nyai Roro Kidul sama Poseidon ya? Jawab!" Ragas memaksa Langit untuk menanggapinya.

Langit menyentuh kepala dan ia tekan pelan karena pusing mendengar omongan Ragas. "Ish, gelo. Alaia mana kenal Nyai Roro Kidul."

"Gue penasaran, anying! Alaia siapa sih sebenernya? Makhluk apa?" Ragas begitu antusias membahas ini. "Duyung? Ratu ubur-ubur? Jawab dong setan!"

Namun Ragas harus berbesar hati untuk digantung Langit karena tak menjawab. Bunda pun kembali ke meja yang artinya dua cowok itu tak bisa membicarakan Alaia secara terang-terangan. Lagipula ini rahasia dan Langit harus menyimpannya rapat-rapat.

"Makasih, Bunda. Lopyu pul," ujar Langit disusul senyuman.

"Love you juga, Dede." Ragas membalas.

"Nye." Langit mencibir.

"Siap-siap seharian ini lo bakal gue tagih penjelasan tentang Alaia," peringat Ragas kemudian.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Langit cukup lega karena tugas kelompoknya diterima baik oleh dosen. Kini dia berpisah dengan Hujan, Ayu dan Vijay karena tempat tujuan mereka berbeda. Pipi Langit mengembung seraya mengusap tangannya karena cuaca dingin.

Derap kakinya terhenti ketika seseorang muncul dengan membawa bungkusan coklat yang diyakini berisi makanan. Ia menyapa Langit, "Hai."

Langit melanjutkan langkahnya dan tentu Ally ikut. Mereka jalan berdampingan sepanjang lorong tanpa bicara. Suasana hati Langit sudah kelabu sejak semalam, lalu makin mengabu karena ada Ally di sini. Sebenarnya Langit hanya butuh ketenangan tanpa harus ditanya kenapa.

"Mau nanya ... kenapa gue nggak bisa kirim chat ke lo?" aju Ally.

"Lo gue blokir," jawab Langit.

"Ya ampun, diblokir? Gue salah apa?" Ally terperangah.

"Kudu gue kasih tau berapa kali biar lo paham kalo gue udah beristri? Chat lo itu isinya macem-macem terus, gue risih." Langit berkata cepat, nadanya tajam.

Ally kecewa menerima kenyataan. Ia kembali sedih padahal semula mulai senang karena menemukan pengganti suaminya untuk saat ini. Kehadiran Langit membawa kenyamanan bagi Ally, perlahan mengobati rasa sakit dan kesepiannya usai ditinggal sang suami.

"Buka blokirannya ya nanti. Gue nggak macem-macem lagi. Yang kemaren itu nggak serius, gue cuma berangan-angan lo suami gue," pungkas Ally.

Langit terheran. Katanya, "Ly, jangan gitulah. Masa lo jadiin gue suami fantasi lo?"

"Ya maaf ... buat sementara aja. Tujuan gue cari kesenengan karena kalo gue seneng udah pasti bayi gue ikut seneng," ungkapnya.

"Jangan gue. Cari yang lain kek," gerutu Langit.

"Ga mau, cuma lo yang nyaris perfect. Lo terlalu baik walau kadang suka sok jutek ke gue. Tapi gapapa, gue udah hapal tiap lo jutekin gue itu cuma akal-akalan lo biar Alaia nggak marah." Ally tersenyum malu.

"Muka lo jauh! Ngawur aja kalo ngomong." Langit dibuat tambah kesal oleh Ally.

Ally melontar lagi diselingi tawa, "Jujur aja, Alaia nggak bakal tau, kan lo lagi nggak teleponan sama dia. Hehehe."

"Lo ga malu ngomong begitu? Pede banget, anying," cecar Langit.

"Lucu banget sih, Ngit." Ally malah semakin suka melihat reaksi Langit. Lalu ia menambahkan, "Jangan lupa buka blokirannya. Harus loh."

"Siape lo ngatur gue? Lagian juga nomor lo udah gue apus."

"Astaga, sampe segitunya, Ngit? Nggak boleh gitu, nanti kalo gue overthinking tentang lo, bakal berpengaruh ke janin. Bahaya, tau." Ally memapar.

Untuk yang satu itu, suami Alaia tidak mau berkomentar. Mukanya ditekuk karena memang dirinya sedang tidak secerah hari-hari lalu. Langit dan langit di luar sana sama, sama-sama gelap yang kemungkinan besar akan segera mengeluarkan derai hujan.

"Hey, kok diem? Kenapa sih suntuk banget kayaknya?" Ally bertanya, ia resah karena Langit sangat dingin hari ini.

"Pusing ya mikirin tugas? By the way, udah makan? Gue ada makanan, nih. Lo pucet banget, jangan telat makan dong ...," celetuk Ally.

Cowok itu membalas di luar topik, "Lo pernah belajar tentang bahasa tubuh manusia nggak?"

"Mmh ... gue ngerti sedikit. Kenapa?" Ally menjawab.

Langit menilik Ally dengan tajam dan gestur tubuhnya mengartikan ia tidak nyaman dengan kehadiran Ally di dekatnya. Ditambah lagi ekspresi Langit jauh dari kata ramah. Ibu muda itu menunduk sebentar karena salah tingkah dilihat seperti itu oleh lelaki di sebelahnya.

"Lo lagi bad mood." Ally menyimpulkan.

Lanjutnya, "Oke deh, gue temenin sampe mood-nya balik ya? Mau di kelas lo atau ke kafetaria? Atau di mana?"

"Apa sih?" Langit kembali kesal.

"Lo kode biar gue temenin, kan? Gue paham kok, hehe." Ally terkekeh renyah.

Langit takjub mengetahui betapa yakinnya Ally berkata seperti itu. Lantas dia menyetus, "Gue minta lo pergi, berenti ganggu gue mulu."

"Gue nggak ganggu, Ngit."

"Lo ganggu!"

"Nggak. Gue ngerti banget lo lagi butuh ditemenin. Ga usah kaku sama gue, malah gue seneng banget bisa jadi satu-satunya yang ada pas lo lagi nggak baik-baik aja," papar Ally.

"Ngaco. Gue lagi pengen sendiri!" Intonasi Langit meninggi.

Ally menggeleng. "Kalo lo ada apa-apa, gue siap denger keluh kesah lo, Ngit ... gue bakal tampung semua cerita lo. Gue janji nggak bocor ke siapapun."

Langit yang semakin gondok itu akhirnya melengos cepat tanpa membalas perkataan Ally. Cewek tadi mengejar sambil memegang perutnya yang tiap kali ia berlari pasti terasa nyeri dan sakit. Ally menyerukan nama Langit, namun tak diindahkan oleh sang pemilik nama.

"Langit, tunggu! Perut gue sakit," ringisnya.

Sepersekian detik berselang, terdengar aduhan keras dari arah belakang dan Langit refleks menoleh. Ally merintih karena perutnya terasa amat sangat tidak enak. Ia sampai menyentuh tembok untuk berpegangan dan mencoba berdiri tegap, tapi yang terjadi malah hampir jatuh terduduk di lantai.

Napas Ally tersendat, dada hingga wajahnya panas yang menyebabkan timbul rona merah.

Tatapan tajam Langit sama sekali tak berubah. Ia juga enggan menghampiri Ally dan hanya menyaksikan beberapa orang mendatangi ibu hamil itu untuk menolong. Rahang Langit mengeras, ia memandang Ally bagai monster yang tak memiliki hati.

"Sakit banget!" Ally meracau.

Kala Langit baru saja berbalik badan, Ally memanggilnya. "Langit, tolong!"

Seakan tak mendengar, Langit tetap nyelonong menjauh dari tempat itu. Lalu Ally menolak bantuan dari tiga lelaki yang berniat baik padanya. Gerakan dia lambat saat ingin mendatangi Langit, malah tanpa sadar ia mau menangis karena pedih di bagian perutnya.

"Langit, lo tega sama perempuan? Inget, lo punya istri yang lagi hamil! Lo mau istri lo begini juga?" seru Ally.

Tanpa menengok ke belakang, Langit mengimbuh, "Halah, istri gue ga bakal lari-lari ga jelas kayak lo."

"Tapi sebenernya lo mau nolong gue, kan? Lo calon ayah, Ngit ...." Ally pantang menyerah demi mendapat atensi Langit.

Kuping Langit panas menerima omongan Ally. Hih, kesal rasanya. Terkadang Langit berpikir, kapan ia bisa hidup tenang tanpa diintai oleh perempuan-perempuan yang haus akan perhatiannya. Sedangkan sudah sangat jelas bahwa Langit telah memiliki pasangan.

"Au ah, bikin mumet mulu tai!" Langit gemas— gemas ingin menampol siapapun.

Buru-buru Langit kabur dari situ dan Ally tidak sanggup mengejar lagi. Dia meremas perut, terlalu lemah sampai akhirnya pasrah tubuh dia diangkat tiga cowok tadi. Akibat jarang berolahraga selama hamil, badan Ally terkejut ketika ia mendadak lari.

⚪️ ⚪️ ⚪️

"Gue lupa, rumah lo yang mana?" Ragas berucap pada pacarnya melalui voice note.

Selang tiga detik, Lana menelepon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Suara bariton Ragas seketika menyambut Lana yang baru kelar mandi. Ini masih jam setengah sembilan dan Ragas secara dadakan ingin mengapel Lana.

"Lo udah di mana?" Lana bertanya.

"Nggak tau." Ragas kebingungan sendiri sambil menoleh ke kiri dan kanan. "Sepi banget, pasti di sini rawan begal."

"Masih pagi, orang-orang sibuk! Lo di mana? Liat nama jalannya."

"Di jalan Amethyst." Ragas membaca papan jalan di dekat perhentiannya.

"Udah deket. Lo masuk aja, Amethyst itu blok RC." Lana berujar. "Rumah gue blok RC 5 nomor 18."

Motor Ragas bergerak pelan karena dirinya sambil bertelepon dengan Lana. Seraya itu Lana terus mengarahkan Ragas agar tak nyasar. Memang perumahan ini agak ribet mencari bloknya apalagi untuk orang-orang yang baru pertama kali datang. Dulu Ragas pernah ke sini untuk mengantar Lana pulang malam-malam, tapi kemudian dia lupa lagi.

"Di rumah ada vespa putih nangkring deket pager." Lana mengingatkan.

"Oh! Udah keliatan," seru Ragas yang langsung mematikan sambungan tanpa basa-basi.

Tidak lama setelah itu, derum motor Ragas terdengar. Lana keluar, menemukan pacarnya sedang menunggu dibukakan pagar. Ada yang baru dari Ragas, yakni motor yang ia pakai berbeda dari hari-hari lalu. Gerungnya pun lebih besar.

Usai pagar terbuka, Ragas masuk sambil nyengir ke arah Lana. Sayang cengirannya tidak kelihatan karena terhalang helm.

Lana kembali ke dalam rumah dan disusul Ragas yang barusan selesai memarkir motor. Suasana kediaman Lana sangat tenang, Nenek juga tidak kelihatan karena sedang istirahat di kamar. Sembari menunggu Lana balik dari dapur, Ragas duduk di sofa sambil bersiul dengan mata mengamati beberapa pigura yang terpajang di dinding.

Ada foto Lana saat kecil, giginya dua.

"Mau dingin apa nggak, Gas?" Lana bertanya dari arah sana.

"Aduh, jangan ngerepotin," celetuk Ragas.

Lana mengernyit. "Ngomong aja tanda bacanya salah."

Ragas tertawa. "Maksud aing, jangan, ngerepotin. Nanti gue ambil sendiri."

"Sini lo, ayangnya dateng malah ditinggal sendiri." Cowok itu memanggil, minta Lana kembali ke dekatnya.

Gadis dengan rambut panjang itu kembali sambil menyedot susu kotak. Ia duduk di samping Ragas namun berjarak setengah meter. Melihat adanya jarak, Ragas terkekeh kecil.

"Deketan, dong." Ragas menggoda.

"Nggak," tolak Lana.

"Cie, deg-degannya nyampe ke sini." Ucapan Ragas membuat pipi Lana mulai memerah.

Lana menyembunyikan senyumnya dengan cara meminum susu lagi. Wangi tubuh Ragas seakan menyebar mengisi ruang, bikin Lana makin ketar-ketir tapi menahan diri untuk teriak. Dia diam karena sudah paham Ragas akan kepedean sepanjang hari tiap dipuji.

"Nenek gimana? Sehat?" tanya Ragas.

"Sehat terus. Tadi sebelom lo dateng, Nenek sepedaan." Lana menjawab.

"Asik banget Nenek." Ragas terkagum. "Terus?"

"Terus apa?" Lana bingung.

"Kamu gimana?" Ragas berkedip manis, lagi-lagi sengaja membuat wajah Lana panas hanya karena menyebut pacarnya dengan kata 'kamu'.

Stay cool, Lana menjawab, "Sehat juga ... keliatan kan?"

"Iya, keliatan. Seneng ya diapelin cogan?" Ragas bergeser, hendak menghapus jarak mereka.

"Agas, jangan sok manis gitu mukanya." Lana mendorong Ragas agar tidak mendekat.

"Emang manis." Ragas bersandar ke badan Lana sampai cewek itu terkunci di pojok sofa.

"Ish, lo berat!" Lana mulai pengap.

Bukannya menjauh, Ragas malah makin menekan tubuhnya ke badan kecil itu supaya Lana kesal. Lana meronta, mau beranjak tapi susah. Memang ada-ada saja kelakuan anak sulungnya Bunda.

Meski awalnya marah-marah, ternyata Ragas berhasil mengundang tawa seorang Shaelana Claretta sampai terbahak keras ketika diajak bercanda. Lana merupakan pribadi yang blak-blakan, tapi bila sedang berduaan dengan orang yang disuka, biasanya dia malu-malu kucing dulu. Nampak jelas dari sikap Lana yang menggemaskan di mata Ragas.

Sesudah puas tergelak, Ragas memandang wajah cantik itu dan berujar, "Nanti gue anter ngampus, ya."

"Nggak usah, jangan manjain gue." Lana membalas tegas.

"Sekali aja ih," mohon Ragas.

"Gas, motor lo tuh nggak ada boncengannya. Gue mau duduk di mana?" cetus Lana.

"Pinjem sepedanya Nenek atuh ...," katanya. "Biar so sweet."

"Jauh, gila." Lana mendengkus.

Ragas tiba-tiba merampas susu Lana dan menyedotnya sampai habis. Sang pacar tersentak, menatap nanar susu kotak yang telah kosong dan tergeletak tak berada di atas meja. Tanpa merasa bersalah, Ragas memberi senyum simpul ke Lana.

"Tadi lo bilang mau ngomongin sesuatu." Lana teringat chat Ragas ketika cowok itu izin ingin berkunjung ke rumah ini.

Ragas berganti posisi seperti awal yaitu duduk biasa. Satu tangannya berada di atas sandaran sofa, tepat di belakang Lana. Dia berdeham sebelum mulai bicara lagi.

"Iya, gue mau nanya banyak." Ragas berucap.

"Soal apa?"

"Alaia."

⚪️ ⚪️ ⚪️

Lila tidak tau usahanya untuk melupakan Langit akan berhasil atau tidak. Hatinya belum bisa mengikhlaskan, namun batinnya lelah menunggu hal yang tak pasti. Dilema ini selalu menghantui.

Ia membuka aplikasi Instagram dan anteng melihat-lihat sederet story orang lain. Banyak yang sedang asyik menikmati alam, ada yang lagi makan-makan, ada juga yang galau sambil mendengarkan lagu sedih.

Kemudian potret seseorang muncul dan spontan Lila menahan layar dengan sentuhan jempol cukup lama. Jantungnya berpacu cepat, serentak dengan perutnya yang menggelitik hingga menimbulkan getaran dalam dada.

"Langit," gumamnya.

"Ah ... cakep banget." Lila memandanginya dengan tatapan penuh arti.

Kemudian, Lila me-screenshot foto itu agar bisa ia pandangi lagi di lain waktu. Foto-foto Langit sudah ia bersihkan dari galeri alias dihapus semua, tapi Lila berkeinginan menyimpan satu saja sebagai kenang-kenangan.

"Kalo dipikir-pikir, kamu itu selalu serius sama omongan kamu, ya, Ngit." Lila berujar. "Sekalinya seriusin cewek, ternyata beneran kamu ajak nikah."

Tiap Lila lihat wajah Langit, pasti selalu terbayang masa lalu mereka. Ingin rasanya menangis namun Lila yakin dia bisa menghalaunya. Lantas dia membuka profile Langit, sekadar melihat postingannya dan menemukan banyak post tentang Alaia di situ.

Lila menguatkan hati. Ia meninggalkan Instagram dan mengunci layar ponsel. Ia membuang benda itu ke kasur, kemudian mulai meringkuk di sofa sambil memikirkan Langit.

Ia mencengkram kepala seraya berkata pelan, "Jangan pikirin Langit ... ayo, jangan pikirin Langit!"

Seringkali ketika kita mencoba berhenti memikirkan seseorang, otak ini malah terus berpikir tentangnya.

Saat sedang sibuk bicara sendiri, Lila tersentak karena ponselnya berdering. Dengan langkah malas ia ke kasur untuk mengambilnya dan menerima panggilan tersebut. Dari seseorang yang akhir-akhir ini selalu ada untuk Lila.

"Ya, Ren." Lila menyapa.

"Sore ini sibuk ga?" Daren bertanya, kedengarannya dia lagi di jalanan karena suaranya berisik. Atau mungkin di dekat kipas angin.

"Nggak," jawab Lila.

Daren bertutur lagi, "Nanti gue samper ya, mau ajak lo jalan biar ga bosen di kosan terus."

Lila terdiam sebentar sebelum menerima ajakan itu. Setelah beberapa saat, Daren berseru senang atas jawaban Lila dan percakapan mereka berakhir di situ. Menjadi dekat dengan Daren sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiran Lila.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Sudah lima belas menit hujan turun. Langit menetap di perpustakaan sambil melamun memikirkan Alaia. Di atas meja di hadapannya terdapat cokelat hangat beserta buku yang dianggurkan sejak tadi.

Langit sendirian, ia menjauh dari beberapa mahasiwa yang juga ada di tempat ini. Posisinya di pojok dekat jendela, ia sesekali menikmati pemandangan dari balik kaca yang diterpa tetes hujan. Cuaca yang dingin seperti ini makin mengingatkan Langit pada istrinya.

Ah, biasanya di jam segini Alaia menghubungi Langit hanya untuk bertanya kapan pulang atau lagi apa. Sekarang boro-boro ... malahan Langit harus memupuk rindu tanpa bisa mengungkapkannya.

Pintu perpustakaan terbuka dan muncul tiga orang dari baliknya. Semuanya perempuan. Langit mengenal mereka dan nampak resah melihat Ally di antara Ayu dan Hujan. Lelaki itu mengalihkan pandangan bersamaan Ally yang menemukannya sedang duduk sendirian di situ.

"Ada Langit," ucap Ally setengah berbisik agar tidak menganggu konsentrasi siapapun.

Ayu serta Hujan menyapukan pandangan ke sekitar, lalu sama-sama berhenti di figur Langit. Mereka seketika mencegah Ally yang pengin menghampiri Langit. Ally protes, dia tidak mau dilarang-larang karena tujuannya hanya untuk menemani Langit.

"Jangan! Lo mau dia ngamuk di sini?" Ayu menahan pekiknya.

"Udah tau Langit gondok banget sama lo." Hujan menyetus.

"Lo berdua tuh panikan banget. Langit suka-suka aja kok sama gue. Cuma dia emang lagi nggak mood seharian ini." Ally membela diri.

"Heh, ngaca, tolol. Mana ada dia suka sama lo." Hujan mencibir.

"Kalo ternyata dia beneran suka gue, gimana? Lo bakal malu pernah ngomong begitu ke gue," seloroh Ally.

Hujan berdecih sebal. "Lo lagi hamil, bisa ga jangan bikin gue makin berdosa gara-gara maki lo mulu?"

Ally membalas, "Itu urusan lo. Siapa suruh kesel mulu ke gue. Padahal kita temen."

"Bentar lagi gue buang lo dari list temen gue," cetus Hujan.

"Nggak bisa. Lo cocok temenan sama gue. Kalo nanti kita musuhan, pasti bakal baikan lagi. Gue tau sebenernya lo sayang gue, Jan."

"Matamu cok, raimu asu." Hujan mengumpat.

Ayu lalu menarik Ally untuk ikut bersamanya mencari buku yang dibutuhkan. Hujan beralih ke Langit, ia mendatangi cowok itu dan berdiri di samping meja sambil menatap Langit yang belum menoleh ke arahnya. Sepertinya Langit tenggelam dalam dunianya sendiri.

"Ngit." Hujan memanggil.

Langit menengadah, kemudian Hujan duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan temannya itu. Mereka saling bungkam tanpa tau harus memulai obrolan dari mana. Hujan tak berniat menganggu, tapi sejak tadi pagi tingkah Langit membuat dia, Ayu serta Vijay bertanya-tanya.

"Semua orang pasti punya masalah. Tapi kita nggak boleh cepet nyerah," ungkap Hujan.

Langit menyungging senyum tipis. "Iya, Jan."

"Basi kalo gue tanya lo kenapa karena udah keliatan jelas lo lagi kenapa-kenapa." Hujan berujar lagi. "Gue cuma mau bilang ... harus tetep optimis, jangan berenti mikir yang baik-baik."

Kali ini Langit mengangguk.

Sebagai teman, sudah sewajarnya untuk saling menguatkan. Hujan selalu berusaha bersikap baik, menolong dan menenangkan orang-orang di sekitarnya yang kemungkinan sedang terpuruk. Makanya Ayu sangat senang memiliki sahabat seperti Hujan.

Lalu Hujan bangkit dari kursi, niatnya ingin bergabung dengan Ayu dan Ally. Langit menatap Hujan, ia bertanya, "Mau ke mana?"

Hujan menunjuk dua cewek tadi melalui lirikan mata dan Langit ikut menoleh ke sana. "Mau ke mereka," ujar Hujan.

Langit mendesah pelan sembari membuang napas berat. Katanya, "Lo bisa stay bentar ga di sini?"

"Lo mau gue di sini?" tanyanya, memastikan.

Langit bergumam, "Iya."

⚪️⚪️ To Be Continued... ⚪️⚪️


—————————————————
—————————————————

Terima kasih banyak sudah baca Alaia!!! Jangan lupa share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🧜🏻‍♀️💗

kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕 tapi jangan mengandung spoiler ok 😂😭👍🏼

kalian udah follow instagram aku beluuum? @radenchedid biar tau info & updatean terbaru yaaah 🍒🤍🍃🌸

—————————————————
—————————————————

↘️ READERS ALAÏA WAJIB FOLLOW DI IG! ↙️
— @alaiaesthetic
— @langitshaka
— @ragascahaya

👼🏻⛈✨ see you my babygeng! 🧸🌩⭐️

Continue Reading

You'll Also Like

5.2M 65.5K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
2.1M 246K 43
[available on bookstores; gramedia, etc. with title "Oscillate #2 & #3"] "Apa semuanya benar-benar membaik?" RADEN CHEDID 2018
79.7K 3K 27
Kisah seorang gadis bernama Luna yang mengidap Social Anxiety Disorders (SAD) atau Gangguan Kecemasan Sosial dan takut terhadap sentuhan atau Hapheph...
79.5K 14.3K 52
Barangkali dari jauh jalanan panjang itu terlihat mulus. Ketika dilewati ternyata berbeda dari perkiraan. Kamu terpeleset karena licin, lalu berusaha...