Villain

By Ziajung

1.8M 203K 6.1K

[Laura adalah tokoh antagonis yang memiliki akhir hidup menyedihkan.] Aku tidak mau menjadi Laura yang seper... More

Prolog
[1] Aku, Laura Jacquelin
[2] New "Friends"
[3] "Makasih...."
[4] Kantin
[5] Gadis yang Selalu Ada Di Sekitarku
[6] Pertemuan Kembali
[7] Hea(r)tstroke
[8] Me & Him
[9] Mulut Manis Dylan
[10] Rembulan
[11] Boom!
[Group Chat 1] "Shit!"
[12] Dua Mata Pisau
[13] Kita
[14] Her (Little) Hand
[16] Sepotong Kue
[17] Kencan
[18] Berawal dari Air Mata
[19] Ice Cream or Boy?
[20] Unfamiliar Heartbeat
[21] Her Existence
[22] Kebetulan
[Grup Chat 2] Langganan Ojol
[23] Dreamless
[24] Jalan yang Terhenti
[25] Di Antara Kebencian
[26] Rainbow Before Storm
[Group Chat 3] Jingan... + Laura's Story
[27] Game Start!
[28] The Unwanted Tears
[29] Hope(less)
[30] Punishment
[31] Ketika Hati Berbicara
[32] Villain
[33] Seharusnya
[34] Aku Akan Melarikan Diri
[35] Butterfly Effect
[36] Aku dan Dia
Epilog
[Special Extra] Dylan dan Kpop
[Special Extra] A Dream?
[Special Extra] Papa
[What If] Alvin x Mou
[Special Extra] A Long Way To Go
[Special Extra] Q Time

[15] I'm A Robot

38.6K 4.4K 185
By Ziajung

Kalau boleh memilih, Dylan ingin tinggal di rumah Radit selamanya. Namun, itu tidak akan pernah terwujud selagi papa masih hidup. Sudah menjadi rahasia besar jika papa membenci keluarga Pakde Mahesa—ayahnya Radit. Mengetahui Dylan belum juga pulang dari rumah Radit sampai jam 7 malam, papa mengirim rentetan pesan mengancam ke ponselnya. Sampai akhirnya Dylan memilih untuk menyerah—lagi.

Memasuki ruang tengah, Dylan disambut oleh Mano yang sedang menonton TV bersama mamanya. Dylan tidak mempedulikan mereka dan langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Namun, niat untuk menghindari mereka harus gagal ketika Mano menyadari kehadirannya.

"Kak!"

Panggilan Mano itu membuat mamanya ikut menoleh. Perempuan 37 tahun itu bangun dari sofa dan tersenyum. Dylan tidak merespons, hanya menatap mereka berdua dengan dingin. Seperti biasa, tidak peduli bagaimana respons atau kata dingin penuh makna sarkastik yang diucapkan Dylan, perempuan itu akan tetap tersenyum.

Meski Dylan tahu, itu bukan senyum karena bahagia.

"Kamu udah makan?" tanya perempuan itu.

"Hm," jawab Dylan singkat. "Papa?"

"Di ruang kerja." Kali ini Mano yang menjawab. "Tadi papa bilang, kakak disuruh ke sana kalau udah pulang."

Tanpa ucapan terima kasih atau sekadar basa-basi, Dylan memutar langkah menuju ruang kerja Papa yang berada di sebelah kamar orang tuanya. Terdengar suara mama Mano memanggil, menyuruhnya untuk berganti pakaian terlebih dulu. Namun, Dylan tidak acuh. Tidak ada waktu untuk itu. Dylan ingin mengakhiri hari ini dengan cepat dan tidur.

Dylan mengetuk pintu ruang kerja papa.

"Masuk."

Begitu Dylan masuk, papa tengah duduk di meja kerjanya. Ruangan ini memiliki penerangan yang cukup dan dilengkapi interior minimalis. Namun, yang bisa Dylan rasakan di setiap sudutnya hanyalah aura dingin dan mengintimidasi. Di luar sana, mungkin Dylan terkenal dengan sifat dingin dan menakutkan, tapi mereka tidak tahu kalau sebenarnya Dylan hanya seorang pengecut. Ya, pengecut yang dikendalikan oleh papa otoriter.

Papa melepaskan kacamata dan mengangkat pandangnya. Tanpa sadar, Dylan menelan air liur ketika bertemu tatap dengan papa. Tangannya mulai berkeringat. Padahal papa belum berkata apapun, tapi seluruh tubuh Dylan sudah bergetar ketakutan.

"Gimana sekolah?"

"Baik."

Papa mengangguk-angguk. "Papa dengar kamu ke SMA 26? Untuk apa?"

Dylan tidak langsung menjawab. Bagaimana pun, Dylan tahu kalau papa pasti sudah punya jawabannya. Sejak kakek membahas tentang hak waris generasi ketiga, Dylan tidak bisa lagi hidup sesukanya. Semua dikendalikan papa. Pernah Dylan berontak dan yang terjadi adalah papa malah semakin keras terhadapnya. Dylan pun sudah tidak bisa merasakan bagaimana rasa sakit akibat tendangan atau sabetan gesper di betisnya, saking seringnya papa melakukan itu.

Pada akhirnya, Dylan menjadi seperti ini—menjadi robot yang dikendalikan papa. Ia tidak bisa melakukan apa yang ia inginkan. Tujuannya adalah tujuan papa. Mimpinya adalah mimpi papa. Jalan hidupnya sudah digariskan oleh papa.

"Ketemu Laura."

Satu jawaban pendek itu membuat senyum papa merekah. Ia pun bangkit dari kursi dan menghampiri Dylan. Ditepuknya bahu Dylan, seolah tengah mengungkapkan rasa bangga kepada anak sulungnya ini. Dylan sendiri hanya diam saja. Ia tidak bisa merasakan apapun dari sentuhan papa itu.

"Bagus, bagus," ujar papa. "Memang seharusnya kamu bergerak cepat."

Papa berbalik badan, berjalan kembali ke sofa yang ada di sana. "Dengan begitu, kita bisa kuatin posisi kamu sebagai pewaris Pramulia. Kamu nggak mau, 'kan kalau Radit yang pimpin perusahaan induk?"

Saat ini, papa hanya memegang yayasan sekolah dan sebuah restoran milik kakek. Sedangkan perusahaan induk, yang merupakan perusahaan di bidang perhotelan dan pariwisata, masih dipegang Pakde Mahesa. Papa adalah anak kedua, sedangkan Pakde Mahesa anak pertama. Namun, karena Dylan adalah cucu pertama di garis keturunan kakek, papa tidak ingin mengalah.

Jujur, Dylan tidak tertarik akan hal itu. Ia sendiri tidak tahu apa yang diinginkannya. Ia menjalani hidup begitu saja—dikendalikan papa. Meski papa terus mendorongnya untuk menjadi pewaris utama Pramodjo, tapi Dylan tidak bisa merasakan adrenalinnya terpacu. Justru sebaliknya, ia merasa lelah.

Seperti robot yang sudah diprogram, Dylan hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan retoris itu. Setidaknya dengan begitu, punggung dan betisnya akan aman selama beberapa hari.

"Kamu ganti baju dulu sana!" ucap papa. Lalu, ketika Dylan berbalik, ia kembali berucap. "Jangan terlalu sering main sama Radit. Dia bisa aja lagi ngerencanain sesuatu."

Dylan tidak menjawab dan hanya melangkah menuju pintu. Doktrin itu terus ditanamkan papa sejak Dylan kecil, tapi entah kenapa itu tidak pernah berhasil. Ketika Dylan mencoba untuk menghindari Radit, sepupunya itu tetap datang dengan senyum ramah. Pada saat itulah pertahanan Dylan runtuh. Sampai saat ini, tidak ada yang bisa mengubah sosok Radit di hati Dylan—termasuk papa.

"Dylan."

Dylan cukup terkejut ketika Tante Yulia—mamanya Mano—ada di depan pintu ruang kerja Papa. Ia membawa sepiring penuh buah-buahan yang sudah dipotong. Dylan hanya membalas panggilan itu dengan dingin. Ia tidak perlu dikasihani perempuan ini.

"Kamu ... nggak apa-apa?"

"Nggak," jawab Dylan, lalu melanjutkan langkahnya.

"Kamu," panggil Tante Yulia lagi. "K-Kamu nggak mau makan buah?"

"Nggak lapar."

Dylan tidak menoleh lagi setelah itu. Ia langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Begitu banyak yang terjadi hari ini sampai membuatnya lelah.

Diawali dengan perasaan aneh ketika Laura menggenggam tangannya, hari Dylan pun seketika menjadi kacau. Ia bahkan hampir tidak bisa mengendalikan diri ketika Radit memamerkan kedekatannya dengan Laura. Kemudian, pembicaraan dengan papa tadi—semua berhubungan dengan Laura. Dan ditutup dengan percakapan dingin Dylan dengan Tante Yulia—ibu tirinya.

Tante Yulia bukan ibu tiri seperti yang ada di buku dongeng. Ia tidak galak, tidak menyeramkan, dan tidak suka memerintah. Hanya saja, Dylan membenci semua yang ia lakukan. Bahkan tindakan kecil seperti menawari Dylan makan pun dibencinya. Itulah yang membuat Dylan tidak sudi memanggil Tante Yulia dengan sebutan "mama" sampai saat ini. Padahal ini sudah tahun kedelapan pernikahan Papa dengannya.

Bagaimanapun, memang seharusnya Dylan memanggil Tante Yulia dengan "Tante", karena ia adalah adik kandung mama. Mama Dylan meninggal ketika Dylan berusia 8 tahun. Tentu ia merasa sangat kehilangan. Kehadiran Tante Yulia yang mirip dengan mama memang sedikit mengurangi kesepiannya.

Namun, rasa nyaman itu berubah menjadi benci ketika papa tiba-tiba mengatakan akan menikahi Tante Yulia. Padahal, saat itu mama belum lama pergi meninggalkan mereka. Gosip menyebar begitu cepat. Telinga kecil Dylan pun mendengar bahwa sebenarnya Tante Yulia-lah perempuan yang dicintai papa. Papa hanya menikahi mama karena perjodohan dan hubungan dua perusahaan.

Bagi Dylan, sebuah rasa nyaman dari seseorang hanya bersifat sementara. Tidak ada yang tahu kapan itu berubah menjadi sakit hati dan kebencian yang mendalam. Dylan tidak ingin mengulangi kelalaiannya lagi. Hidup seperti robot jauh lebih baik daripada merasakan sakit hati itu lagi.

***

Laura menggigit bibir bawahnya. Ia terus memaksakan langkah kaki yang berat ini. Di belakang, Mou terus mendorong punggungnya dengan pelan, menyuruh Laura untuk tidak berhenti. Hanya tinggal beberapa langkah lagi sampai akhirnya ia bisa mencapai meja kantin tempat Hana, Radit dan Alvin duduk. Jantungnya berdegup sangat cepat. Ini jauh lebih mendebarkan daripada ujian matematika mendadak dari Pak Johar.

Setelah berada di samping meja, Laura meletakkan apel merah yang sedari tadi disembunyikan di belakang punggungnya tanpa mengucapkan apa pun. Tiga orang di sana menoleh, tapi hanya Hana yang menatapnya bingung. Tentu saja, adegan kekanakan ini memang direncanakan oleh Radit, Mou, dan Alvin setelah mengetahui Laura dan Hana belum juga berbaikan sampai tadi pagi.

"Apaan, nih?" tanya Hana, dengan gaya khasnya. Namun, justru itu membuat Laura makin gugup.

"I-Itu ... itu apel."

Laura mendengar suara tawa tertahan dari Radit dan Alvin. Mereka pun kembali memasang wajah serius begitu delikan panas Laura mengarah ke sana.

"G-Gue mau minta maaf karena masalah kemarin. Gue tahu, nggak seharusnya gue bilang kayak gitu sama lo—sama kalian juga. Gue cuma ...."

"Udahlah, Lau, gue paham," ujar Hana sambil tersenyum. "Gue juga minta maaf, ya karena mojokin lo. Harusnya gue juga lebih peka, mungkin aja itu hal yang sensitif buat lo."

"B-Bukan gitu—"

"Ah, udah sini, sini! Jangan nangis dong!"

Hana berdiri dari kursinya dan langsung memeluk Laura. Awalnya, Laura pikir Hana hanya melebih-lebihkan, tapi kemudian Laura merasakan sesuatu mengalir di pipinya.

"Nggak nyangka Mbak Laura ternyata cengeng juga."

Ucapan Radit itu membuat Laura melepaskan pelukan Hana, lalu melempar tatapan jengkel pada Radit. "Diem lo! Lagi suasana haru nih!" sahut Laura sambil mengusap pipinya yang basah.

"Karena kalian udah baikan, berarti Laura yang traktir!" kata Alvin, sama sekali tidak nyambung dengan konteks yang tengah terjadi di sini.

Laura menunjuk mangkok bakso kosong di depan Alvin. "Lo nggak kenyang?"

"Es cokelat juga boleh." Alvin mengibaskan tangannya sambil tertawa konyol.

"Gue jus jeruk."

"Gue teh tarik aja, Lau."

"Thai Tea."

"T-Tunggu!" Laura semakin bingung ketika sahabatnya yang lain ikut memesan. "Kalian mau ngerampok gue, ya?"

Itu hanya candaan saja, karena bagi Laura, uang bukanlah sebuah masalah. Ia bisa saja membelikan Thai Tea untuk kelasnya sekaligus hanya dengan satu panggilan ke Tante Ghina. Namun, Laura tetap ingin seperti ini. Membuat lelucon dari uang jajan seperti anak sekolah pada umumnya jauh lebih menyenangkan.

Radit, Hana, dan Alvin terkekeh geli, sedangkan Mou hanya mengangkat bahu dengan gaya khasnya. Melihat itu, Laura menghela napas. Ia pun mengeluarkan ponsel dari saku roknya.

"Vin, lo yang beli, deh. Gue transfer uang—"

Jari Laura baru ingin memasukan nominal uang yang akan ditransfernya ke akun dompet digital Alvin ketika ada sebuah notifikasi pesan masuk di Whatsapp. Nomor itu tidak terdaftar di kontaknya, tapi Laura merasa tidak asing. Laura akhirnya hanya membuang notifikasi itu, dan kembali melanjutkan kegiatannya yang tadi terhenti .

"Udah ya, Vin! Gue jus stroberi," kata Laura, sambil menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan bukti transfer itu.

"Siap, Nyonya!" Alvin pun beranjak dari meja itu.

Ponsel Laura kembali bergetar di tangannya. Mengerutkan dahi, Laura melihat siapa yang lagi-lagi mengiriminya pesan. Ternyata masih dari nomor yang sama.


+62 812 xxx xxx

Online

--------------------------------

Hari ini pulang jam berapa?

Gue mau ngomong sesuatu.

Woy!



Ketika melihat detail kontak itu, Laura pun mendesah. Harusnya ia sadar dengan nada dingin dan mengintimidasi pesan itu. Semua dari Dylan.

"Kenapa, Lau?" Hana mengintip isi pesan itu dari bahu Laura. "Siapa, njir? Nggak sopan banget!"

"Iya, 'kan!" sahut Laura penuh semangat. Ia meletakkan ponselnya di meja, mengabaikan pesan itu. "Paling orang salah nomor atau sales yang kurang kerjaan."

***

Dylan mengerutkan dahinya karena jengkel. Matanya masih terpaku ke layar ponsel hitam itu, menatap ke satu titik. Aura hitam yang mengelilingi Dylan membuat siapa saja yang ingin mendekat mundur secara perlahan. Rasanya Dylan bisa membunuh siapa saja yang mengganggunya hanya lewat tatapan mata itu.

"Kak Dylan, ini minum—"

Sebelum cewek itu menyelesaikan kalimatnya, Dylan menoleh dengan wajah dingin. Cewek itu membeku di tempat, dengan tangan yang masih mengulurkan sebotol minuman rasa jeruk pada Dylan. Dylan tidak tahu siapa cewek itu. Namun, mendengar ia memanggil Dylan dengan "kakak", mungkin ia adalah salah satu adik kelasnya.

"Apa?"

Cewek itu menggigit bibir bawahnya. "I-Ini ... minum ...."

"Gue nggak haus," jawab Dylan. Ia pun mengarahkan tatapan ke Batara yang sedang berjalan ke arahnya dari tengah lapangan. "Kasih Batara aja!"

Setelah mengucapkan itu, Dylan sengaja menjauh dari cewek itu dan memilih tempat untuk duduk di sisi lapangan lainnya. Ia tidak peduli apa yang terjadi di sana karena pikirannya masih terpaku pada aplikasi Whatsapp. Ia jelas-jelas melihat tulisan "online" tadi. Lalu? Kenapa cewek itu tidak membalas pesannya?!

"Woy!" seseorang tiba-tiba merangkul pundaknya dari samping. "Kenapa dah mukanya galak amat?"

Dylan melepaskan tangan Batara sambil berdecak. "Berisik."

Batara mengintip ponsel Dylan ketika cowok itu mengetikkan pesan lagi. "Siapa? Cewek lo?"

"Bukan."

"Dylan punya cewek?!"

Entah sejak kapan Belva ada di sana juga. Dylan hanya memutar bola mata mendengar celotehan dua temannya itu. Cuaca panas pada jam istirahat ini, menjadi tambah pengap dengan ocehan mereka. Dylan semakin kesal ketika lagi-lagi pesannya diabaikan Laura. Padahal, Dylan masih mengingat jelas kejadian kemarin, ketika Laura memegang tangan Dylan dan menawarkan permen di dalam mobil.

Ini cewek emang sengaja, atau bego beneran, sih?!

"Parah lo!"

Dylan mau tidak mau melirik Belva lagi, yang meneguk minuman jeruk Batara.

"Gue baru putus, tapi lo malah mesra-mesraan di depan gue."

"Putus? Kenapa?" tanya Dylan, menunjukkan sedikit simpatinya karena wajah Belva terlihat sangat memelas.

"Katanya dia udah nggak suka gue. Dia suka sama sahabat gue pas SMP—yang sekarang satu sekolah sama dia." Desahan panjang diembuskan Belva. Ia pun langsung meneguk habis minuman itu untuk meredakan emosi.

"LDR emang nggak ada jaminan, sih," ucap Batara. "Apalagi kalau tikungan tajam menanti di ujung jalan."

"Nih, ya, gue bilangin sama lo pada." Belva menyeruak di antara Dylan dan Batara. "Jangan pernah kenalin sahabat lo sama pacar! Tikungan sahabat lebih nyakitin daripada mulut Bu Lita, Cuy."



-----------------------

Yuk, kenalan lagi!

Mou


Alvin


Hana



Continue Reading

You'll Also Like

963K 93.5K 51
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
2.7M 193K 53
Menjadi seorang pelayam bukanlah cita-cita si manja Derisa. Yah.... Tapi Apa jadinya jika ia mati dan jiwanya menepati tubuh salah satu pelayan di r...
727 82 5
Kehidupan apa yang kamu inginkan? Bahagia? Menyenangkan? Memiliki suami dan anak lalu menghabiskam masa tua bersama orang terkasih? Itulah kehidupan...
22.9K 2.4K 75
NOTE// Cerita ini murni fiksi dan khayalan saya. Tidak bermaksud menyinggung kalangan manapun. Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hi...