ALAÏA

By radexn

22M 2.2M 4.9M

[available on offline/online bookstores; gramedia, shopee, etc.] ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ ❝ Dia pergi, membawa da... More

Prolog
1. Hey, Nona
2. Kabur
3. Kembali ke Rumah
4. Dekat
5. Lebih Nyaman
6. Laut
7. Hanya Alaia
8. Berdua
9. Mungkin Salah
10. Feels
11. Dua Rasa
12. Dilema
13. Pernah Ada
14. Kamu
15. Gelora Asa
16. Gone
17. Nuansa Bening
18. Lensa
19. Dua Garis
20. Langit
21. Young Married
22. Anger
23. Bittersweet Feeling
24. Lost
25. Badai Rasa
26. Goddess
27. Jalan Kita
28. Hampir
29. The Blue
30. Dark Sky
31. Confused
32. Satu Bintang
33. Siren
34. Mrs. Raja
35. Euphoria
37. Wheezy
38. Celah Adiwarna
39. Aqua
40. Baby Daddy
42. Insecure
43. One Wish
44. Jika Aku Pergi
45. Rumit
46. Langit Ketika Hujan
47. Mermaid
48. Something From The Past
49. Reincarnation
50. Hey, Baby
51. Pudar
52. Cahaya Halilintar
53. Black and Pink
54. Harta, Tahta, Alaia
55. Happy Mamiw
56. Permainan Langit
57. Badai
58. Amatheia Effect
59. Rest in Love
60. Bintang
61. Di Bawah Purnama
62. Death Note
63. Glitch
64. Langit Shaka Raja
65. Bye
66. Sekali Lagi
67. Half-Blood
68. Deep Sea
Vote Cover ALAÏA
69. Terang [END]
PRE-ORDER ALAÏA DIBUKA!
Extra Chapter
ALAÏA 2
SECRET CHAPTER ⚠️🔞
AMBERLEY
ALAÏA 3
ALAÏA UNIVERSE: "SCENIC"

36. Laut dan Alaïa

365K 28.9K 39.3K
By radexn


⚠️ 🔞 ⚠️

36. LAUT DAN ALAÏA

Lirikan Kai cukup tajam menghunus retina Zito. Mereka berada di ruang sepi ini kurang lebih tujuh menit. Masih ada beberapa belas menit lagi sebelum Zito diharuskan meninggalkan tempat.

Hela napas Zito terdengar lebih rileks dibanding Kai yang menahan marah. Padahal kedatangan Zito kemari bukan untuk menciptakan keributan. Kai terlalu overthinking, ditambah ia memendam kesal berada di sini karena ulah Selly yang tak lain adalah anak kandung Zito.

Mata Zito mengamati Kai, melihat tidak ada perubahan drastis dari orang itu. Yang membedakan penampilannya hanya kumis serta jenggot yang tumbuh lebih banyak dari bulan-bulan lalu.

"Alaia udah nikah." Zito berhasil memecah keheningan.

Pupil Kai membesar dalam sedetik, kemudian mengecil lagi. Ia mempertajam tatap dengan mimik yang menunjukkan dirinya tidak percaya ucapan Zito. Ia mendengkus, "Ngaco aja lo."

"Alaia udah nikah," ulang Zito, "sama anak muda, namanya Langit."

Kai masih dengan ekspresi yang sama. Ia belum bisa menerima begitu saja apa yang Zito katakan. Itu terdengar seperti main-main alias tidak serius.

"Gue ga bisa dateng ke acara mereka. Tapi, istri sama anak gue udah di sana. Acaranya di kapal pesiar," tutur Zito lagi. "Malem ini mereka balik, besok dipastiin udah sampe sini."

Rahang Kai mengeras disertai giginya saling beradu. Ia berucap penuh penekanan, "Kenapa gue nggak dikasih tau dari awal?"

Zito tersenyum miring. "Oh, pantesan lo kaget denger kabar tentang Alaia."

"Dia makin kurang ajar sama gue. Ga ada rasa terima kasih," desis Kai.

"Tapi itu gara-gara lo juga, Kai. Seandainya lo baik sama Alaia, dia ga bakal 'lupain' lo gini." Zito berkata.

"Tetep ajalah!" Kai menyentak sampai menggebrak meja di depannya. "Anak kurang ajar. Nyesel gue hidupin dia dari kecil!"

"Hus! Lo ga boleh bilang begitu," tegur Zito yang tak suka mendengar omongan Kai.

"Harusnya dulu gue biarin aja dia terdampar sampe mati kering, atau gue buang ke tengah laut biar dimakan hiu!" Kai kepalang marah hingga bicara seenaknya.

"Kai!" Kali ini Zito tidak bisa terima. "Seharusnya lo bisa jaga mulut! Ga etis banget lo ngomong begitu."

"Biarin aja, gue udah kelewat benci sama itu anak. Anak sial!" geram Kai.

Zito cukup pandai mengatur emosinya hingga tak mudah terpancing marah karena Kai. Ia lalu berujar, "Anak sial? Bukannya dia anak yang bawa hoki buat lo sampe lo bisa punya rumah mewah kayak sekarang? Lo sendiri yang bilang kalo Alaia bukan anak sembarangan!"

"Bodo amat. Sekarang dia bikin gue selalu kena sial. Lo liat sendiri, kan? Harta gue ludes. Gue ga punya apa-apa. Ini semua karna Alaia!" Kai melontar.

"Ya Allah, ini kesalahan lo sendiri, Kai!" Zito mulai pusing.

"Gue ga salah!" Kai berkilah.

"Lo rawat Alaia buat dikekang. Itu sama aja lo nyiksa dia! Dia juga bukan keluarga lo, lo ga tau asal-usulnya tapi lo perlakuin dia tanpa rasa hormat!" seru Zito. "Dia bawa kehokian buat lo, tapi lo ga berterima kasih buat semua itu!"

"Dari pertama gue tau lo perlakuin Alaia semena-mena, sebenernya gue nahan buat nggak bocorin ini ke siapapun. Tapi ternyata lo ga ada perubahaan, lo tetep egois. Lo ga pernah peduli sama Alaia— bahkan sampe sekarang." Zito menatap Kai dengan kilau penuh kekecewaan.

"Gue seneng Alaia nikah sama cowok yang tepat. Anaknya baik, sopan banget sama gue dan keluarga. Yang paling utama, sekarang Alaia jauh lebih bahagia ketimbang dia hidup sama lo." Zito menambahkan.

"Kalo seandainya dulu gue yang pertama kali nemuin Alaia, pasti dia gue rawat baik-baik. Kesian banget dia belasan tahun hidup sama manusia brengsek kayak lo," cetus Zito.

Kemudian Zito beranjak, merasa jengkel dan menyesal menjenguk Kai. Lelaki yang memakai kaus khas tahanan itu menatap Zito penuh rasa kesal, dan ia tak henti mengumpat. Selama Zito berjalan menuju pintu keluar, Kai masih terus merepet dengan kata-kata kasar.

Sebelum menggapai pintu, Zito berbalik lagi hanya untuk membalas tatapan tajam Kai. Zito menggeleng samar, ia bertekad ini adalah yang terakhir dirinya datang melihat keadaan Kai.

Masih baik Zito mau menjenguk, hitung-hitung membantu Kai agar kelihatannya memiliki keluarga di mata polisi.

"Gue rasa lo ga bakal kapok kalo cuma ditahan beberapa bulan." Zito bertutur.

"Apa maksud lo?" Kai menyahut.

Zito membalas tegas, "Gue ga bisa simpen rahasia lo lebih lama lagi karena lo sendiri ga mau berubah. Gue mau bawa kasus itu ke hukum dan Alaia bakal gue panggil karna dia korbannya."

"Persetan temen. Gue bukan temen lo lagi, persis yang lo bilang waktu itu," ketus Zito.

Kai terbelalak, seketika mengejar Zito namun telat karena pintu langsung terkunci dan temannya sudah pergi. "ZITO! JANGAN MAIN-MAIN SAMA GUE!"

"TO!!!" Kai memekik disusul meninju pintu besi.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Clarie masuk ke kamar Bastian dan menemukan anaknya sedang rebahan sambil memainkan game online di ponsel. Rasa suntuk membuat Bastian terpaksa mengalihkannya ke game. Saking fokus bermain, ia sampai tidak sadar Clarie duduk di tepi kasur dekat kepalanya.

"Sayang," panggil Clarie.

Bastian tidak menyahut. Ia anteng melakukan perang di dalam permainan tersebut. Jempolnya bergerak menyentuh satu tombol dan menyerang lawan dengan tembakan. Ia juga berseru, "Woohoo!"

Sang ibu berdecak seraya melepas headphone dari kepala Bastian. Anak itu menoleh cepat karena merasa terganggu bercampur kaget. Ketika ia sadari siapa yang ada di sebelahnya, Bastian pun mengurungkan niatnya untuk memaki.

"Ma ... aku lagi serius nih!" Bastian berucap sambil melirik layar handphone.

"Ada yang jauh lebih serius dari game," balas Clarie.

Bastian hendak memasang headphone lagi, tapi benda itu segera dirampas Clarie. Tidak tanggung-tanggung, wanita itu juga mengambil ponsel Bastian. Maka Bastian tak bisa berkutik lagi dan hanya diam menunggu apa yang akan dibicarakan oleh Clarie.

"Barusan Mama terima telepon dari orang tua Syadza," ungkap Clarie.

Dari matanya, Bastian terlihat penasaran. "Ngomongin apa?"

Clarie menyembur napas berat sembari mengusap bahu Bastian. Wajahnya lesu, memberi tanda bahwa isi percakapannya dengan orang tua Syadza bukanlah hal yang menyenangkan. Perasaan Bastian menjadi tidak tenang.

"Kita berdoa aja buat Syadza, ya?" ujar Clarie, "biar tenang di sana."

Bastian mengernyit dalam. "M—maksud? Syadza meninggal?"

Berat sekali bagi Clarie untuk mengatakannya. Meski kelakuan putranya ini tidak bisa dibilang benar karena telah merusak seorang gadis, tapi bagaimanapun juga Bastian memiliki rasa terhadap Syadza. Bahkan Syadza sedang mengandung anaknya.

"Jasadnya ditemuin di laut. Udah nggak kebentuk, tulang-tulangnya banyak yang terpisah," tutur Clarie.

Bastian bingung. Matanya terbuka lebar-lebar, terpancar amarah dan berkaca-kaca di waktu yang sama. "Itu bukan Syadza kali!"

"Itu Syadza." Clarie menegaskan.

Cowok itu kalut. Ia segera beranjak dan berjalan cepat ke pintu. Clarie mencegah dengan berucap, "Kamu mau ke mana? Ini udah malem!"

"Izinin Bastian keluar, Ma. Sebentar aja!" mohonnya.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Harusnya aktivitas pagi ini ditemani keindahan langit cerah. Sayang, yang ada hanyalah awan gelap beserta gelombang besar. Cuaca sangat buruk sejak dini hari tadi, tepatnya pukul setengah satu.

Ekor biru gelap milik Mavi bergerak lambat kala ia sadari ikan-ikan di sekitarnya berhamburan mencari tempat aman. Ini seperti sinyal bahwa bencana akan datang. Namun, Mavi tak bisa merasakan tanda-tanda buruk itu.

Di tengah luasnya lautan, Mavi menyembulkan kepala untuk melihat keadaan di luar sana. Ini pagi, tapi terlihat seperti menjelang malam. Pancaran mentari sangat minim, bahkan hampir tidak terlihat.

"Kenapa ini?" Mavi bertanya.

Ia berputar, mencari sesuatu yang mungkin menjadi jawaban atas kebingungannya. Tapi yang Mavi lihat hanyalah kabut tebal. Tak ada satupun kapal yang berlayar di sini. Bagaimana mungkin ini terjadi?

Mavi menyelam lagi dan terus berenang ke bawah. Ia pergi ke tempat tinggalnya yang diisi makhluk seperti dia. Biasanya mereka berkeliaran untuk sejenak melihat-lihat keindahan bawah laut. Namun kali ini mereka sama sekali tidak ada. Satupun tak keluar dari tempat persembunyian.

Instingnya mengatakan peristiwa ini terjadi bukan tanpa sebab. Pasti ada maksud; entah teguran untuk seseorang atau apalah. Mavi rasa ini ada sangkut pautnya dengan Dewi Lautan.

"Apa yang La Luna perbuat?" pikir lelaki itu.

⚪️ 🔞 ⚪️

Para penghuni cruise sudah bangun serta melaksanakan sarapan. Beberapa cemas melihat keadaan alam, namun ada juga yang bersikap santai. Dari antara semuanya, hanya Langit dan Alaia yang masih terlelap.

Sekitar sepuluh menit kemudian Langit baru bangun. Ia mengerjap mata demi memfokuskan pandangan, lalu melirik perempuan yang tidur di sampingnya. Tubuh mereka terbalut selimut yang sama sejak keduanya memutuskan tidur tepat di jam dua pagi.

"Aia," panggil Langit dengan suara seraknya.

Ia bergeser untuk menghapus jarak, lalu mengusap rambut Alaia. Belaiannya membuat Alaia terbangun dan langsung disuguhi pemandangan makhluk ganteng di hadapannya. Wajah Langit sangat dekat, membuatnya teringat kejadian semalam.

Langit mengecup bibir Alaia sekali dan tersenyum manis padanya. Tangannya bermain di bawah selimut, tentu menjelajahi tubuh Alaia. Mata Alaia terpejam ketika tangan kokoh itu menyentuh sesuatu yang memberi efek geli bercampur melayang.

Baru bangun langsung diajak main.

Kaki Alaia terbuka seakan membuka akses bagi Langit untuk terus memainkan jarinya di sana. Pagi-pagi seperti ini ada saja kelakuan Langit. Padahal Alaia masih kelelahan habis melewati beberapa ronde.

"Mau cobain lagi ga?" Langit menahan senyum.

Alaia menggeleng, tentu menolak. Sudah cukup ia rasakan ketika mereka di fitting room dan di kamar ini. "Ga enak," kata Alaia.

Perlahan tapi pasti, Langit membuat Alaia menikmati permainannya dan mengeluarkan desah yang sangat lembut. Langit tidak tahan melihat ekspresi itu. Bisa-bisa ia menghajar Alaia lagi seperti beberapa jam lalu.

"Sini, Sayang," ucap Langit seraya menyibak selimut dan meminta Alaia naik ke badannya.

Pelan-pelan Alaia naik dan menahan badan menggunakan kedua lutut. Langit mengarahkan junior-nya ke milik Alaia, lalu meminta Alaia turun dengan gerakan lambat. Cewek itu meringis dan diam sambil merasakan benda besar itu masuk ke sana.

"Mmh," gumaman Alaia membuat Langit tersenyum lebar.

Lalu Langit membuka tangannya untuk menyambut Alaia ke dalam pelukan. Alaia menjatuhkan diri ke dada Langit, langsung direngkuh oleh suaminya. Mereka bergerak bersamaan yang semakin lama makin cepat.

"Kalo udah ga kuat, bilang," bisik Langit.

Alaia mengangguk samar. Ia masih terus pada posisi itu bahkan ringisannya makin lantam karena gerakan Langit tidak kira-kira. Entah cowok itu terlalu semangat atau bagaimana. Energinya seperti tak berkurang dari semalam.

"A—aduh," ringis Alaia.

Langit memegang pinggul Alaia, menggerakkan badannya sesuai yang ia mau. Langit menyetir Alaia, hingga perasaan itu bertambah gila lebih dari awal-awal. Alaia menjauh dari dada Langit, ia duduk sambil berpegangan pada lengan kekar itu.

Di saat yang seperti ini, Langit cepat-cepat memutar posisi mereka menjadi bertukaran. Alaia di bawah, wajahnya sangat pasrah. Itu terjadi hingga bermenit-menit terlewat.

Saat sudah menuju pelepasan, Langit berhenti dan membiarkan spermanya lepas di dalam Alaia untuk yang ke sekian kali.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Alaia berdiri di pinggir kapal sambil berpegangan pada pagar pelindung. Ia sendirian, Langit entah di mana. Terakhir kali ia lihat lelaki itu sedang ngobrol bersama teman-temannya.

Awan masih kelabu bahkan sampai siang hari seperti sekarang. Meski mendung, tapi hujan tak kunjung turun. Alaia mengerutkan kening sambil menggaruk pipi, ia bingung kenapa cuacanya begini.

Sambil menunduk melihat air yang bergelombang akibat tekanan dari kapal, Alaia memikirkan kejadian yang tiba-tiba menyelinap ke dalam benak. Tentang sesuatu yang membuatnya teringat pada Mavi.

Mavi selalu berkata padanya untuk jangan berhubungan dengan manusia karena konsekuensinya adalah alam akan mengamuk. Apalagi kini Alaia telah dinikahi Langit, bahkan mereka sudah melakukan hal layaknya pasangan suami istri.

Apakah perkataan Mavi terealisasi? Atau ini hanya kebetulan?

Sedetik usai Alaia berpikir demikian, kapal besar ini bergoyang kala diterpa riak ombak yang tinggi. Alaia terkesiap, ia berpegang erat pada pagar untuk berjaga-jaga agar tidak jatuh ke laut. Orang-orang di dalam sana mulai ribut karena air terus menerpa tanpa henti.

Dahanam petir saling sambar. Pemandangan itu terjadi tepat di depan mata Alaia. Bukannya takut ataupun merasa ngeri karena jaraknya sangat dekat, Alaia malah tetap berdiri di sana untuk mengamati.

Alaia bertanya sambil memandang langit, "Quid accidit?" (Apa yang terjadi?)

Sahutan guntur dan deras hujan yang mendadak turun seperti memberi jawaban atas tanya yang Alaia aju. Ini artinya ada sesuatu yang menimbulkan kemarahan alam atau bahkan kecewa. Alaia belum paham. Ia tak mengerti bagaimana cara mengetahui maksud panggilan tersebut.

Alaia tidak tau bahwa Langit mencarinya di dalam kapal. Cowok itu sampai menjelajahi hampir tiap lantai dan bertanya pada siapapun mengenai keberadaan Alaia. Hingga akhirnya ia keluar dan mengitari deck atas sampai berhenti di bagian depan kapal.

"Kamu ngapain?" Langit meraih lengan Alaia, menarik cewek itu untuk menjauh dari sana. Alaia terdiam kaku sambil menunduk dan tatapannya kosong.

"Ujan, Aia! Hayu ah, masuk!" Langit memaksa.

Ketika Langit memutar tubuh Alaia untuk menghadapnya, ia terperajat karena mata Alaia mengeluarkan sinar biru. Tatapannya membuat jantung Langit memompa cepat karena sekaget itu.

"Hey, kenapa?" tanya Langit.

Ia lalu memegang tangan Alaia untuk dilihat tangannya. Jemari Alaia membiru, juga kukunya lebih tajam layaknya kuku para siren. Kalau begini, Langit bingung harus berbuat apa.

Volume hujan bertambah lebat yang membuat para manusia di dalam cruise tak ada satupun yang keluar. Langit dan Alaia masih di sana, tidak bergerak sedikitpun.

Langit menyembunyikan wajah Alaia dengan cara dipeluk dan ia benamkan di dadanya. Tangan Langit menutupi muka Alaia agar matanya itu tidak dilihat orang lain. Tubuh mereka sudah basah diterjang hujan tapi tak menjadi alasan untuk melindungi diri di dalam kapal.

"Kamu mau nyebur?" Langit bertanya.

"Aku mau marah." Alaia menjawab.

Rengkuhan Langit mengerat ketika goyangan di kapal semakin bertambah. Ini mengerikan karena air mulai memasuki kapal dan memberi genangan di dalam sana. Langit cemas memikirkan keluarga dia, tapi ia yakin Alaia mampu meredakan kekalutan ini.

"Lakuin apa yang kamu mau. Silakan," ucap Langit.

Alaia menjauh dari Langit, begitu juga Langit mundur beberapa langkah. Perempuan itu berbalik dan berdiri di pinggiran sambil memejamkan mata. Langit sigap di belakangnya untuk menghalangi figur Alaia dari siapapun.

Kedua tangan Alaia terangkat ke udara, menimbulkan bising dari langit dan laut. Gelombang semakin tinggi, begitu juga angin yang membuat udara menjadi amat sangat dingin. Seram rasanya.

Semakin tinggi tangan Alaia terangkat, semakin parah juga reaksi alam. Matanya berubah menjadi putih semua dan tentu bersinar. Langit sangat takjub menyaksikan peristiwa langka ini.

"ENOUGH!" Suara Alaia menggelegar bagai auman.

"Hij is mijn echtgenoot. Dit is mijn keuze!" (Dia suamiku. Ini pilihanku!)

Alaia melanjutkan dengan suara lebih lantang, "Stop en verzet je niet!" (Berhenti dan jangan melawan!)

Langit mengerutkan kening, tak mengetahui apa yang Alaia katakan. Ia membatin, "Alaia kalo ngomel begitu, aing mana paham."

Hanya berselang detik, ombak mereda dan derasnya hujan berubah menjadi gerimis. Tidak lupa langit gelap perlahan memudar berganti dengan pancaran surya dari balik awan terang.

Bagi orang yang dengar suara Alaia mungkin akan bertanya-tanya, karena terdengar persis amukan harimau. Garang sekali, tidak sesuai tampangnya yang imut.

Langit tergegau, ia tidak bisa memendam seri mukanya.

"Wow, Aia." Cowok itu bergumam kagum, juga syok.

Alaia masih diam di tempatnya. Ia tunduk diiringi kicau burung di atas sana. Langit masih belum berani mendekat sebelum Alaia memberi isyarat bahwa semuanya sudah membaik.

Tatkala Langit menunggu, tubuh Alaia mendadak terhuyung ke belakang dan dia cukup cekatan menangkap. Langit menopang Alaia agar tidak jatuh karena kakinya begitu lemas bagai jelly. Tentu Langit khawatir melihat Alaia begitu.

"Eh, kenapa nih? Kenapa, Sayang?" Langit gelagapan.

Mata Alaia terbuka setengah, ia menatap Langit sambil meringis kecil. Suaranya hampir tak terdengar saat ia berkata, "Pusing."

Yang terjadi setelah itu, Langit membopong Alaia menuju stateroom alias kamar mereka.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Langit baru selesai mengganti pakaian Alaia dari yang basah menjadi kering. Ia meraba kulit Alaia, menerima aliran hangat dari sana. Lantas Langit mengusap-usap pipi hingga kepala perempuan itu.

"Demam," katanya.

Alaia masih terlelap. Dia tak sadarkan diri sehabis mengeluarkan banyak kekuatan yang ia sendiri belum mengerti bagaimana cara mengontrolnya. Mungkin karena terlalu nafsu melepas seluruh tenaga, alhasil Alaia tumbang.

"Kecapekan nih kayaknya." Langit menebak.

Langsunglah ia mendekap Alaia agar kesayangannya itu merasa lebih hangat. Tak lupa Langit membalut Alaia dengan selimut. Sekarang Alaia terlihat seperti lontong.

"Umm." Itu suara Langit mencium sekaligus menghirup pelipis Alaia.

"My tiny wife is capek." Langit berkata, ia bermonolog sambil terus memeluk Alaia.

"Istrinya Angit ga bangun-bangun," celetuknya lagi. "Kangen nih."

Sampai tiga menit berlalu, mata Alaia masih tertutup rapat. Namun sekarang deru napasnya telah kembali normal, tidak setipis tadi. Langit sudah menghubungi pelayan untuk membawakan minuman hangat buat Alaia.

Langit tidak tega dan merasa bersalah. Ia berpikir, apa salah satu alasan Alaia kelelahan seperti ini karena malam pertama mereka?

"Langit?" Ada yang memanggil Langit dari luar kamar.

Lelaki itu turun dari kasur untuk menemui orang yang menunggunya di balik pintu. Sambil jalan ke sana, Langit merapikan kaus hitamnya dan refleks menyentuh rambut. Ini adalah gerakan spontan tiap kita hendak menemui seseorang.

Setelah pintu terbuka, Langit bertemu orang tadi. Ternyata teman satu fakultasnya yang memang ia undang bersama beberapa teman lainnya. Tapi cewek ini menghampiri Langit sendiri, entah apa tujuan dia.

"Eh, Jan. Kenapa?" Langit menyapa.

Cewek pemilik nama Hujan itu nyengir selebar-lebarnya. Ia menyodorkan ponsel yang layarnya menyala dan mempertontonkan wajah-wajah tak asing bagi Langit. Orang-orang itu berseru ketika tampang Langit nongol.

"ANJAY PENGANTEN BARUUU!"

"PAPA MUDA APA KABAR?"

"Gimana semalem, Ngit? Lancar?!"

Bukan cuma itu, namun banyak sekali seruan dari mereka karena jumlah mereka pun hampir memenuhi layar. Langit mengambil ponsel Hujan dan berbincang seru bersama teman-teman kampusnya. Mereka adalah segelintir orang yang tidak bisa hadir ke pernikahan Langit dan Alaia karena alasan yang jelas. Langit sangat memaklumi.

Langit serta Hujan pindah tempat. Sebelum pergi, Langit memastikan Alaia masih tidur lalu menutup pintu kamar. Mereka mengisi sofa kosong yang letaknya tak jauh dari kabin.

"Sori ga bisa dateng. Tapi doa kita-kita ga putus buat lo sama istri! Selamat ya, Ngit!" Teman Langit berucap.

Langit mengangguk disertai senyum senang. "Iye, santai ... makasih banyak ya!"

"Gimana istri lo, Ngit? Pink atau coklat?" celetuk salah satu dari mereka.

Seketika itu Langit mengusap tengkuk, terlihat salah tingkah. Ia tak menjawab karena merasa pertanyaan tersebut tidak pantas untuk dijawab. Cukup Langit yang tau betapa indah tubuh Alaia.

"Jangan nanya macem-macem soal istri gue," cetus Langit.

"Oalaaah, galak tenan le!" Mereka tergelak.

"Bagus jawaban lo, Ngit! Ini temen lo emang ga ada akhlak nanya begituan." Cowok berambut hitam dengan pink highlight itu berucap.

"Mau nitip pukulan ga?!"

"ADOH!" Lelaki yang menanyakan 'warna' Alaia tadi mengaduh sakit.

"UDAH GUE PUKUL BUWUNGNYA."

Sekarang gantian Langit yang terkekeh. Hujan yang berada di sampingnya juga ikutan berbincang sampai mereka larut dalam gelak tawa. Mereka tidak sadar suaranya mengundang perhatian beberapa orang yang melintas.

Sementara Langit hanyut dalam keseruan bersama temannya, Alaia yang berada di kamar pun bangun. Cewek itu beranjak duduk sambil menatap sekitarnya yang sepi tanpa kehadiran Langit.

Ia melirik jendela, melihat pesona laut biru yang sangat memukau. Alaia menghela lega karena cuaca buruk tadi sudah benar-benar pulih. Rasanya tenang sekali hati dia.

"Angit?" Alaia memanggil dan tak menerima sahutan.

Makhluk imut itu meninggalkan kasur tanpa peduli pada penampilannya yang agak berantakan dengan rambut acak-acakan karena belum sempat disisir. Ia jalan keluar kamar, menoleh ke kiri dan kanan untuk mencari keberadaan Langit.

Karena tidak melihat Langit, Alaia hendak masuk lagi. Tapi niatnya terhenti sejenak karena seorang pelayan datang membawa segelas minuman hangat. Alaia menerimanya, lalu orang berseragam rapi itu pergi.

"Pasti ini punya Langit," ucapnya.

Merasa itu bukan haknya, Alaia pun menaruh minuman tersebut di atas meja dekat ranjang. Selagi ia meletakkannya di tempat tersebut, Alaia mendengar suara tawa dari arah luar. Kebetulan pintu kamar tidak tertutup rapat maka suara itu mampu tertangkap telinganya.

"Langit." Alaia sangat yakin itu suara Langit.

Cewek itu keluar dan mengikuti sumbernya. Asalnya dari arah kiri, melewati lorong kecil untuk tiba di sana. Tidak begitu jauh dari posisi Alaia tadi. Buktinya sekarang ia melihat Langit di sana sedang bercandaan dengan seorang perempuan.

Mata Alaia tertuju ke Hujan. Jaraknya hampir dempet dengan Langit. Malang sekali Langit, dirinya terhimpit antara pinggiran sofa dan Hujan.

Tatapan Alaia memancarkan kesedihan bercampur sebal. Ia meremas ujung bajunya sambil terus mengamati Langit yang belum sadar akan kehadirannya. Sekali lagi Langit tertawa. Lebih parahnya, Hujan sampai mencubit lengan Langit dan sempat terjadi rebutan ponsel antara mereka.

"Ahahaha— eh." Hujan yang sedang tertawa mendadak terhenti saat ia sadari ada Alaia di jarak beberapa meter darinya.

Langit mengikuti arah pandang Hujan, seketika mematung di tempat. Ia seperti baru saja disihir menjadi batu karena badannya sangat kaku serta matanya membulat sempurna. Ow, betapa kaget Langit dipergoki sang istri sedang berduaan bersama cewek lain.

"Sayang," panggil Langit seraya menghampiri Alaia yang mulai pundung.

Alaia mengerjap mata, lalu pergi menghindari Langit. Ia masuk ke kamar dan segera disusul oleh cowok di belakangnya itu. Langit panik ... takut kalau Alaia ngambek.

Benar saja. Ketakutan Langit secepat itu menjadi nyata. Alaia naik ke kasur dan membungkus diri dengan selimut sampai seluruh badannya benar-benar menghilang dari pandangan Langit.

Langit merangkak di kasur untuk mendekati Alaia. Ia menarik selimut supaya terlepas, tapi Alaia menahannya. Langit tarik lagi, lalu ditahan lagi sama Alaia.

"Alaia ...." Langit meringik. "Sini atuh keluar, jangan ngumpet."

"Mau bobo." Alaia menyahut.

"Kan udah. Masa bobo terus," kata Langit.

"Biarin." Alaia membalas lagi.

Langit menahan senyum kemudian diam sampai sunyi sekali, lalu dia menarik selimut itu secara dadakan. Alaia terkejut karena belum sempat menahan. Lantas mereka bertemu lagi dan saling melempar tatap.

"Hayo, ga bisa ngumpet lagi." Langit membuntal selimut itu dan ia buang ke pojok kasur.

Alaia masih cemberut. Ia berputar badan menghadap jendela yang artinya Alaia memunggungi Langit. Bahkan ketika dipandang dari belakang pun Alaia nampak cantik di mata Langit.

Langit mendekat. Ia condong ke Alaia dan berbisik, "Lagi ngambek, Dek?"

Bibir Alaia mengerucut tanpa mau bicara. Langit diam-diam mencuri pandang dari samping kiri, seketika Alaia menutup wajah. Langit mengulang lagi dari arah kanan dan Alaia makin menunduk.

Karena terlalu gemas, Langit langsung peluk Alaia dari belakang. Pelukannya erat seakan tak membiarkan Alaia lepas. "Itu temen kampus aku."

Pipi Alaia ditekan Langit sampai bibirnya membulat hingga sulit bicara. "Aku subul!"

"Aku subul?" Langit pura-pura tidak mengerti. "Aku sebel?"

"Atau aku subur?" kekeh Langit.

Kaki Alaia bergerak-gerak menghentak kasur. Ia berontak dari Langit. Setelah lepas, Alaia pindah lagi sampai jaraknya dengan jendela hanya sekitar beberapa jengkal. Dekat sekali. Ia duduk di sana sambil memeluk lutut.

Langit tidak semudah itu menyerah. Ia menghampiri Alaia dan duduk di sebelahnya. Sambil tersenyum Langit menatap Alaia begitu mendalam hingga kepalanya miring. Alaia buang muka, pokoknya dia geram melihat Langit dekat dengan wanita lain.

"Kesel sama Angit?" tanya Langit.

Alaia mengangguk.

"Gara-gara cewek tadi, kan?" Langit berucap lagi.

Alaia mendengkus seraya menunduk sebentar. Ia menoleh ke Langit, tapi hanya sekilas dan kembali memandang lurus ke luar jendela.

"Namanya Hujan. Temen kampus," tutur Langit. "Tadi lagi video call sama temen-temen yang lain. Aku ga mau ngobrolnya di sini biar kamu ga keganggu, makanya aku sama dia di tempat tadi."

Langit tak mendapat respons dari Alaia. Cewek itu diam sambil memainkan sprei kasur dengan telunjuk. Ia tidak tau kenapa sampai sekesal itu, padahal Hujan hanyalah teman Langit. Walau kelihatan biasa, tapi rasanya cukup pengap di dada.

"Mau marahin aku? Hayu, jangan ditahan." Langit berujar. "Keluarin aja unek-uneknya."

Alaia masih tetap mengatup bibir.

"Jangan diem atuh ...," pinta Langit.

Langit tak berhenti sampai Alaia mau menanggapinya. Usaha dia berhasil karena sekarang Alaia mundur, sengaja memberi ruang di hadapannya agar Langit bisa duduk di sana. Langit memberi senyuman manis, menunggu apa yang akan keluar dari mulut Alaia. Entah marah, makian, atau apapun, Langit siap mendengar.

"Nggak marah." Alaia berkata.

Kernyitan muncul di wajah Langit. "Beneran?"

Alaia manggut, mukanya sedih sekali. "Sebel aja. Aku ga suka liat kamu sama perempuan lain, apalagi kayak tadi."

Langit memahami. "Maaf ya?"

Senyum Alaia terukir tipis dan perlahan melebar. Melihat wajah manis itu Langit langsung mengacak rambut Alaia dan mencubit gemas pipinya. Seperti biasa, Langit sangat suka uyel-uyel pipi Alaia.

Tawa Langit sirna ketika ia memegang dahi dan leher Alaia. Suhunya bertambah panas, lebih-lebih dari yang tadi. "Masih pusing?" tanyanya.

"Iya, tapi sedikit." Alaia menjawab.

"Tadi minuman kamu udah dateng belom?" Langit bertanya seraya melirik seisi kamar, siapa tau minum pesanannya sudah diterima.

"Yang tadi itu buat aku? Aku kira punya kamu," tutur Alaia.

"Buat kamu atuh." Langit pun beranjak mengambil segelas minuman tadi untuk dibawa ke Alaia. Segera Alaia meneguknya sampai sisa setengah, lalu ia tawarkan ke Langit.

"Abisin. Ini punya kamu," ujar Langit.

"Tapi aku mau berbagi." Alaia berkata. Tatapan innocent-nya membuat Langit tak mampu menolak.

"Makasih ya." Langit memberi seulas senyum lalu menghabisi minuman tadi.

Usai itu, Alaia merebahkan diri di 🐸kasur sementara Langit mengembalikan gelas tadi ke atas meja. Setelahnya Langit menghampiri Alaia dan duduk sambil bersandar ke kepala kasur. Satu tangan Langit dipeluk Alaia, seperti tidak mengizinkan lelakinya pergi ke mana-mana.

"Kalo kamu masih lemes gini, rencana liburannya ditunda aja ya?" Langit berucap. "Masih ada besok atau lusa."

"Jangan," sahut Alaia yang mendadak suaranya jadi serak.

"Aia sakit. Capek banget kamu." Langit bertutur sambil mengusap kepala Alaia.

Cewek itu menggeleng dan pelan-pelan beringsut bangun. Ia naik ke pangkuan Langit, langsung memeluknya dan menaruh kepala di lekukan leher Langit, mengembus napas panas di sana. Kelihatannya ia sangat damai berada di posisi itu.

Alaia lagi manja, dia bertingkah so clingy.

Langit melingkarkan kedua tangan di badan Alaia, juga mengusap punggungnya. Tubuh Langit ikutan menghangat karena kehadiran Alaia yang menempel di situ. Alaia menutup mata sambil merasakan sentuhan Langit pada bagian punggung.

"Istirahat aja ya, jangan pergi dulu." Langit berkata begitu lembut.

Tangan Langit memegang kepala Alaia untuk memijatnya dengan hati-hati. Itu membuat Alaia makin mengantuk dan melenguh tanda nyaman. Ia juga mengeratkan pelukannya, lalu meringik halus seperti ingin menangis tapi tidak.

"Nanti aku mintain obat ke Bunda," bisik Langit disusul menghirup rambut Alaia.

Langit seperti sedang ngemong anak kecil. Betapa mungil Alaia bila dibanding badan Langit yang tinggi. Pun Langit meraup rambut panjang Alaia dan ia ikat dengan tangannya karena leher Alaia mulai berkeringat akibat suhu tubuh.

Diusapnya keringat itu oleh Langit, lalu ia kipas-kipas Alaia agar tak semakin gerah. Padahal kabin ini cukup dingin, bahkan Langit sesekali menggigil. Tapi hawa dingin itu tidak mempan untuk Alaia.

"Kamu perlu berenang?" tanya Langit yang tak dijawab Alaia.

Sepertinya tidak aman bila Alaia tiba-tiba terjun ke laut dan berubah menjadi duyung. Langit tak yakin ia bisa mengizinkan hal itu terjadi, mengingat ada banyak orang yang asyik menikmati indahnya laut dari atas deck.

"Mau berendem di bathtub ga? Kalo mau, aku temenin." Langit menawarkan. "Atau di jacuzzi?"

⚪️ ⚪️ ⚪️

Pintu sudah terkunci. Di sini hanya ada Langit bersama Alaia. Harusnya Langit senang, tapi melihat wajah pucat Alaia ia jadi tidak begitu tenang.

Alaia melepas busana, hanya menyisakan underwear. Langit mengulurkan tangan untuk membenahi baju dan celana Alaia. "Sini, aku taro."

"Terima kasih." Alaia tersenyum malu.

Dua insan itu sama-sama berpijak dari tempat. Langit menaruh pakaian Alaia di rak penyimpanan, dan Alaia masuk ke bathtub dengan berhati-hati. Percikan air terdengar yang membuat Langit menoleh ke sana.

Alaia duduk di dalam air yang hanya sebatas dada. Kakinya selonjoran, menikmati hangatnya air yang memberi relaksasi pada otot. Langit mendekat, ia duduk di pinggir bathtub.

Sambil menatap kaki Alaia, Langit bertanya, "Kok ga berubah?"

"Airnya terlalu sedikit," jawab Alaia.

"Oh, harusnya di kolam gede ya? Mau ke sana?" Langit panik sendiri.

Alaia menggeleng singkat. "Gapapa di sini aja."

Pantas saja ekor Alaia tidak muncul tiap ia mandi atau kehujanan. Ternyata memerlukan banyak air sampai menutupi keseluruhan tubuh Alaia agar wujudnya berubah menjadi mermaid. Kolam renang merupakan alternatif paling sederhana.

Tangan basah Alaia menyentuh pergelangan Langit. "Kamu ga mau ikut berendam?"

"Nggak ah, di sini aja nontonin kamu." Wajah Langit memerah.

"Tapi aku mau kamu ikut." Alaia meminta seraya mengeratkan genggamnya, membuat darah Langit berdesir.

⚪️⚪️ To Be Continued.... ⚪️⚪️

—————————————————
—————————————————

haiii, terima kasih banyak masih baca Alaia!!! share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🤍

kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕

social media raden:
• wattpad — @radexn
• twitter — @radenchedid
• instagram — @radenchedid

—————————————————

➡️ READERS ALAÏA WAJIB FOLLOW DI IG! ⬅️
— @alaiaesthetic
— @langitshaka
— @ragascahaya

see you my babygeng! 😼👍🏼

Continue Reading

You'll Also Like

464 125 34
Zega dan timnya diperintahkan untuk menyelidiki sebuah kasus penting yang melibatkan seorang anggota gangster. Tidak hanya Zega, Febrian dan timnya j...
4.1M 481K 43
[available on bookstores; gramedia, etc.] Ketika kamu baru saja bahagia lagi, sesuatu mengharuskanmu berpaling dan merelakan segalanya. O S C I L L...
1.2K 51 6
Ada yang bilang masa lalu adalah kenangan Tapi bagaimana jika kenangan itu menyulitkan langkah mu menuju ke masa depan. Terjebak? Yaa terjebak masa l...
516K 48.2K 24
Bertemu Dru merupakan takdir yang tidak pernah disangka-sangka oleh Rafa. Bermula dari hukuman Papa yang mengusir Rafa dari rumah, menjadi jalan awal...