STORY CALLIN(G) Sudah Tayang...

De Rismami_Sunflorist9

804K 140K 97.4K

SELASA DAN JUMAT #1 - Horor 20 Juli 2020 #1 - Horor 6 November 2020 #1 - Fantasi 24 Desember 2020 Demi menaik... Mai multe

PART 1 : LAWAS
PART 2 : BEKAS
PART 3 : TERAS
PART 4 : TERHEMPAS
PART 5 : MEMBERANTAS
PART 6 : BEBAS
PART 7 : LEKAS
PART 8 : RAMPAS
PART 9 : SEKILAS
PART 10 : MELIBAS
PART 11 : MEMBALAS
PART 12 : IMBAS
PART 13 : LEPAS
PART 14 : MELINTAS
PART 15 : RETAS
PART 16 : JELAS
PART 17 : LEMAS
PART 18 : MEMELAS
PART 19 : KELAS
PART 20 : TERTINDAS
PART 21 : WAS-WAS
PART 22 : MEMANAS
PART 23 : AWAS
PART 24 : NAAS
PART 25 : DIPERJELAS
PART 26 : PIAS
PART 27 : MEMPERJELAS
PART 28 : MENUMPAS
PART 29 : MEMPERTEGAS
PART 30 : MELEPAS?
PART 31 : GANAS
PART 32 : BEBAS LEPAS
PART 33 : KUPAS TUNTAS
PART 34 : NAAS
PART 35 : TERTINDAS
PART 36 : IDENTITAS
PART 37 : PARAS
CALLING FOR ROLEPLAYER STORY CALLING
PART 38 : IKHLAS
PART 39 : TERBATAS
PART 40 : KERAS
PART 41 : TERKURAS
PART 42 : MELEMAS
PART 43 : RUAS
PART 44 : DIPERJELAS
PART 45 : MEMBEKAS
PART 46 : BERSIKERAS
PART 47 : CULAS
PART 48 : SEBERKAS
PART 49 : SELARAS
PART 50 : TERAMPAS
PART 51 : SEBERKAS
PART 52 : TEGAS
PART 53 : PANTAS
PART 54 : SEUTAS
PART 55 : SEBERKAS (2)
PART 56 : TERBEBAS
PART 57 : MEMBALAS
PART 58 : CEMAS
PART 59 : MERAMPAS
61 : MELEPAS
EXTRA PART?
Extra Part
PENGUMUMAN PRE ORDER
PRE ORDER BONUS BEJIBUN DAPET DISKON PULAAAA
TEEEEEEEEEEET WAKTUNYA WAR
ADA APA MISKAH?
EPILOG (OKAN POV)
STORY CALLIN(G) MOVIE
WHAT IF

PART 60 : MENGERAS

8.1K 1.4K 2.1K
De Rismami_Sunflorist9

HAPPY MENSIVE YANG KE 2 GRUP CHAT SUARA REMAJA FM.
ILY 3OOO DOLLARS

Yang belom gabung, cuy tinggal 7 slot lagi nih.

~~~

Bayangan itu lama kelamaan melebur. Hilang di antara rapatnya air hujan. Berganti dengan wujud lelaki nyata, berparas serupa namun memiliki garis wajah yang berbeda.

"Oki nggak ada di sini."

Suara tegas dan kaku itu nyatanya tidak membuat Callin tersadar. Ia tetap meneriakkan nama Oki. Terus memanggil-manggil nama yang sama meski kini muncul sosok lain di depan matanya.

Melihat Okan datang, para pengunjung yang berniat membantu Callin langsung membubarkan diri. Mereka mencari tempat berteduh yang terdekat, namun ternyata harus berlari lebih jauh lagi karena tak ada bangunan apa pun di sekitarnya.

"Tadi gue bener-bener liat Oki!" Callin mengibaskan tangannya, lalu menyingkir dari Okan.

Ia berlari kecil memutari mobil yang nyaris menabraknya demi memastikan jika penglihatannya tidak salah.

"Ki! Oki!" teriaknya lagi. "OKI LO DI MANA? GUE YAKIN TADI ELO YANG NOLONGIN GUE."

Si pengemudi benar-benar bingung. Ia ke luar dari mobil, menunduk berulang kali dan sempat menawarkan tumpangan pada Callin.

Namun gadis itu masih terisak di tempatnya sembari berlutut dengan wajah frustasi. Membiarkan tubuhnya sendiri bermandikan air hujan.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Mas. Maaf karena tadi saya nyaris menabrak temannya," ujar Si Pengemudi. Tampak salah tingkah ketika mendapati Callin menangis histeris.

Pikir si pengemudi, Callin tidak terluka sedikit pun. Bahkan mobilnya sama sekali tidak menyentuh kulit gadis itu.

Lantas kenapa reaksinya sehisteris itu? Seperti mendapat luka serius saja.

Walau sempat bergidik ngeri ketika teringat dengan kejadian tadi, ia tetap kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan.

"Aneh banget bisa ngerem sendiri," gumamnya di dalam mobil. Ia mulai mengemudi dengan hati-hati, ke luar dari kawasan Pantai Naksan.

Okan menunduk sekali. Ia berjongkok, memapah Callin kemudian menggiring gadis itu ke pinggir trotoar.

"Ayo." Okan menggandeng tangan Callin untuk mengajaknya berteduh. Tapi gadis itu segera mengibaskan tangannya.

"Nggak usah sok baik!" sembur Callin,

Ia benar-benar ingin melampiaskan amarahnya di detik itu juga meski kepalanya mulai pening karena guyuran air hujan.

"Ini semua salah lo! Apa yang terjadi sama gue sekarang, semua ini salah lo! Salah lo!" Callin mengepalkan tangannya. Memukul-mukul dada lelaki itu. "Kalo emang lo nggak suka sama gue, bilang! Jangan mainin perasaan gue kayak gini!"

"Maaf, tadi saya -"

"Gue nggak mau ketemu lo lagi!" Sebelum Okan sempat menjelaskan, Callin sudah berkoar lagi.

Sebenarnya Okan ingin membela diri. Namun ia tidak mau orang-orang menjadikannya tontonan. Kalau ia memberi perlawanan, amarah gadis itu akan semakin meledak-ledak. 

Jadi biarlah untuk sementara orang-orang beranggapan jika dirinya ada di pihak yang bersalah.

Meski kenyatannya, banyak alasan yang seharusnya Callin pertimbangkan sebelum benar-benar melampiaskan amarahnya pada lelaki itu.

"Lo bahkan nggak telepon gue atau ngabarin gue dulu kalo bakal telat. Mungkin gue emang nggak ada artinya di mata lo."

Nada bicara Callin melunak. Bukan ingin mengajak lelaki itu berdamai, namun justru ia telah memutuskan untuk mengakhiri segalanya.

Mulai sekarang, apa pun itu yang berkaitan dengan Okan, ia tidak akan lagi peduli.

Tanpa mengucap kata-kata perpisahan, Callin berderap cepat meninggalkan Okan yang hanya mematung di belakangnya.

Lelaki itu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.

Ia menatap naas layar ponselnya yang retak lalu kembali mengangkat pandangannya untuk melihat punggung Callin.

Semakin jauh.
Tubuh mungil gadis itu menghilang di balik hujan.

Tadi saat ingin menelepon Callin, ponselnya terlempar jauh karena lengannya tersenggol kerumunan pengunjung minimarket yang ketakutan. Ponselnya langsung mati. Entah karena juga kehabisan baterai, atau memang perangkat di dalamnya rusak akibat terlempar dari genggamannya.

Mau pinjam ponsel Hilman juga percuma, ia tidak bisa mengingat nomor telepon gadis itu.

Beberapa meter dari tempatnya berdiri, Callin masih melangkah membelah derasnya hujan. Sampai akhirnya ia melihat sepasang kaki yang terbungkus sneakers, basah karena tertimpa guyuran hujan, sama seperti kakinya.

Lelaki itu menatapnya dengan sorot nanar, seolah turut merasakan kesedihannya.

"Kak Junior?"

Callin berlalu begitu saja, seolah tidak melihat keberadaan lelaki itu. Namun tepat saat Callin melewatinya, Junior tiba-tiba mengangkat tubuhnya lalu mendudukannya di boncengan motor.

"Gue cuma lewat, nggak usah bilang makasih," tukasnya dingin. Ia menggenggam erat kemudinya. Geram, marah. Ternyata Okan tidak bisa menjadi pelindung gadis itu.

Sambil menahan isak, Callin merapatkan pegangannya di jaket Junior. Hujan tak lagi serapat tadi. Kini tinggal gerimis kecil yang membuat suasana hati Callin semakin sendu.

"Tadi gue nyaris mati, Kak. Tapi untungnya Oki dateng," ucap gadis itu dengan suara lirih. "Mobil yang hampir nabrak gue tiba-tiba berhenti. Itu pasti karena Oki, gue yakin banget."

"Yang nolongin lo bukan Oki. Itu arwah lain yang sering ngikutin gue," tegas Junior. Ia tidak mau Callin semakin berharap, walau saat mengatakannya pun lelaki itu tampak tidak yakin.

Tangisan Callin semakin kencang. Ia membenamkan kepalanya ke tudung hoodie Junior. Menangis sejadi-jadinya di sana.

Tanpa bersuara, Junior bertanya pada Juminten. Hanya dirinya dan arwah itu yang bisa bertelepati.

"Itu kerjaan lo, kan?" tanya Junior.

Namun ternyata Juminten memberi jawaban yang tak terduga.
Benar, sejak tadi Juminten menemaninya untuk mencari keberadaan Callin. 
Dari rumah sampai ke Pantai Naksan, lalu akhirnya ia berhasil menemukan  gadis itu. Semua berkat petunjuk arah dari Juminten.

Lalu siapa yang nolongin Callin? Apa dia lagi? Kenapa akhir-akhir ini dia sering muncul?

***

"Loh, Kan? Kok balik ke kantor lagi?" tanya Gendhis begitu melihat rekannya itu melangkah memasuki kantor dengan wajah lesu.

Joko melirik jam tangannya. "Tadi katanya ijin karena ada urusan malem ini. Nah, sekarang baru jam 8, lo udah balik kantor."

Hilman yang sudah sampai lebih dulu, tampak tak enak hati. "Pasti gara-gara tadi bantuin gue, acara dia jadi batal."

"Lo, sih, kenapa nggak dihadapin sendiri gitu?" Gendhis mencibir.

"Mbak, perampoknya bawa senjata semua. Ntar gue lagi gelud sama yang satunya, eh, dari arah lain gue di dor. Is dead dong nanti," tanggap Hilman. "Lagian, si Okan itu bela dirinya jago. Kebetulan lokasinya deket sama BetaMart. Yasud, Pak Adrian langsung call dia."

"Yee, kita semua juga dikasih bekal beladiri, kok, pas pelatihan dulu." Joko menyahut.

"Tapi ilmu beladirinya Okan, tuh, udah level dewa, Jok. Mana pas mau dilantik dulu, dia juga sempet latihan tinju, kan. Kata Pak Adrian sih, kurang lebih dua tahun dia gabung di klub tinju," jelas Hilman panjang lebar.

Sementara yang sedang dibicarakan hanya diam, tak berminat bergabung dalam obrolan.

Brak!

Suara gaduh dari teras ditambah gebrakan di pintu masuk, membuat para polisi yang berjaga di dalam seketika waspada.

"Ada apaan, sih?" Joko berjinjit. Ia hendak berlari ke luar sebelum si pembuat onar lebih dulu memasuki kantor.

Seluruh pasang mata seketika terpancang pada lelaki yang membuat kegaduhan itu. Ia melangkah lebar-lebar melewati beberapa kursi, lalu berhenti tepat di meja Okan.

Beberapa polisi sempat ingin menahannya, namun secara ajaib Junior berhasil membuat polisi-polisi itu terlempar. Tenaganya jauh di luar nalar. Seolah mendapat transfer energi dari yang lain, padahal jelas-jelas ia hanya seorang diri.

Tanpa aba-aba, ia menarik kemeja Okan dan membuat lelaki itu berdiri berhadapan dengannya.

Buk!

"Anjir! Woy, apa-apaan, nih?" Joko kaget bukan kepalang.

Ia dan polisi-polisi lainnya spontan bergerak mendekati lelaki itu.

Buk!

Okan hanya diam saja.
Ia berusaha menghindar, tapi tidak melakukan perlawanan.
Ia mencoba bertahan, namun tidak berniat memberi balasan.

"Aduh!" pekik Hilman. Ia yang mencoba menarik tangan Junior, tapi malah dirinya yang terpental sampai menubruk meja.

"Kuat banget, ya." Mbak Gendhis berlari ke ruangan lain, mencari bala bantuan lagi.

"Woy, lepas, woy! Okan udah sampe bonyok kayak gitu." Joko panik sekaligus heran. Ia beralih menatap Okan yang hanya pasrah ditonjok bertubi-tubi. "Kan, bales, dong! Kenapa lo malah diem aja?"

Hilman dan dua polisi lainnya berusaha menyingkirkan tubuh Junior. Namun sekuat apa pun mereka menarik lelaki itu, tak sedikit pun usahanya berhasil. Bahkan seperti tidak berefek apa pun pada Junior.

"Nggak masuk akal. Kekuatannya udah kayak orang yang dikendaliin gitu, loh." Mbak Gendhis berdecak sembari bergeleng-geleng.

Joko melirik teman-temannya. "Kayak orang kerasukan?"

Sontak, para polisi di sana saling melempar tatap. Pegangannya di lengan dan punggung Junior mengendur. Mereka mundur menjaga jarak.

"Heh, kok malah pada kabur, sih?" tanya Hilman, namun ternyata ia juga ikut bergidik.

Dor

Kegaduhan itu seketika terhenti begitu terdengar suara senapan dari ambang pintu.

"Pak Adrian..." Joko menyikut lengan Gendhis.

Junior mengangkat wajahnya. Ia menyingkir dari tubuh Okan lantas berdiri menatap sekelilingnya dengan wajah arogan. Tak satu pun dari polisi di sana yang membuat nyalimya menciut. Sekali pun kini Pak Adrian menggiringnya ke ruangan lain, tak terlihat penyesalan di wajah lelaki itu.

"Nomor keluarga yang bisa dihubungi?" tanya Pak Adrian sembari menyodorkan ponselnya ke Junior.

Untungnya, Irfan pria yang cukup fair. Tipikal orang tua yang tidak langsung menghakimi perbuatan anaknya. Begitu pihak kepolisian menghubunginya, Irfan membatalkan janji-janjinya dengan klien bisnisnya lalu cepat-cepat menemui Junior di kantor polisi.

"Kenapa lagi, Jun?" tanya Irfan sembari mendesah pelan ketika memasuki ruangan itu.

"Loh, Irfan?" Adrian tampak sumringah menyambut kedatangannya. "Hei, apa kabar?"

Irfan mengernyit bingung. Lalu selang beberapa detik, sepasang matanya membulat penuh.

"Adrian, hey! Udah lama kita nggak ketemu!" sapa Irfan tak kalah heboh.

Rupanya, Irfan dan Adrian adalah teman semasa kuliah Magister. Walau sering membolos karena kesibukan pekerjaan masing-masing, tapi akhirnya kedua pria itu dapat lulus di periode yang sama.

"Gimana, nih, bisnisnya?"

Bukannya membahas kesalahan Junior, polisi berpangkat Letnan itu malah bernostalgia. Apalagi Irfan kerap menjadi sponsor utama ketika pihak kepolisian mengadakan acara sosial bersama masyarakat. Meski bukan pejabat atau semacamnya, orang-orang cukup menghormati sosok Irfan Jayanegara.

"Biasalah, anak jaman sekarang." Adrian mengibaskan tangannya, tak ingin memperkeruh keadaan. Ia memanggil Okan ke ruangannya untuk berbaikan dengan Junior.

"Minta maaf," perintah Pak Adrian.

Bukan pada Junior, melainkan ke anak buahnya, yakni Okan. Padahal jelas-jelas di sini Okan yang jadi korban.

Okan mendecih. Ia tidak menunjukkan reaksi yang berbeda. Tetap tenang dan terlihat kaku. Namun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Selalu seperti itu.
Yang berkuasa, yang menang.
Yang berkuasa, yang punya kendali.

"Kan?" tegur Pak Adrian, karena Okan masih tidak bereaksi.

Sejak memutuskan untuk angkat kaki dari kediaman orang tua angkatnya, Okan berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi mandiri.

Ia tidak mau lagi diinjak-injak atau direndahkan. Itu sebabnya, Okan selalu berdedikasi pada pekerjaannya. Ketika punya jabatan, ia mampu mengendalikan segalanya.

"Saya..."

"Lo nggak ada salah sama gue." Junior memotong ucapan Okan sebelum lelaki itu selesai berbicara. "Gue pikir lo tau dengan siapa seharusnya lo minta maaf."

Junior beranjak dari kursinya lalu mengedik ke Papanya. "Ayo, Pa."

Irfan dan Adrian masih asyik berbincang. Ia bahkan tidak menyadari jika Junior sudah melenggang sampai ambang pintu lalu berhenti sejenak ketika bersitatap dengan Okan.

"Gue udah ngasih lo kesempatan, tapi lo sia-siain. Jadi jangan nyesel kalo kesempatan itu gue ambil lagi," tukas Junior. Terdengar ambigu, namun Okan tahu betul apa yang sedang dibahas lelaki itu.

Irfan menoleh ke belakang lalu cepat-cepat menyusul putranya. Ia melambai pada Adrian sebelum akhirnya berderap ke luar dari kantor. Banyak pertanyaan yang menyumpal di kepalanya. Saat kali pertama melihat Okan tadi, Irfan terlihat benar-benar syok.

"Kok kamu bisa kenal sama anaknya Irfan? Wah, pantes aja nama belakangnya Jayanegara, sama kayak Bapaknya." Adrian berdecak sekali.

"Orang berpengaruh tuh, Kan." Ia menepuk-nepuk lengan Okan, seolah ingin memperingati sesuatu.

Sepeninggal Adrian yang mengantar Irfan sampai ke halaman depan kantor, Okan mematung sendiri di ruangan itu.

Ruangan yang mendadak sunyi.
Hanya terdengar deru napasnya yang memburu setelah menahan kekesalan di dadanya.

"Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti saya." Ia termenung sendiri, menatap layar ponselnya yang retak dan tak bisa menyala.

Baru beberapa menit yang lalu, Pak Adrian memujinya setelah ia berhasil melumpuhkan kawanan perampok di BetaMart.

Tapi apa yang terjadi setelah ia mendapat masalah dengan anak kerabat atasannya itu?

Sikap Pak Adrian berubah total.

"Tidak ada yang mau mendengar saya. Mungkin selamanya, saya memang ditakdirkan untuk sendiri."

***

Usai mengantar Callin pulang ke kosan, Junior langsung memacu kendaraannya ke kantor polisi Matraman.

Bahkan meski Callin belum masuk kos, lelaki itu sudah pergi meninggalkannya. Sampai hampir setengah jam berlalu, Callin masih duduk di teras kosnya. Merenung sendiri seperti gadis yang sedang patah hati dan meratapi nasib.

"Eh, anjrit!"

Bukan cuma Memey yang memekik kaget, anak-anak kos yang berkumpul di depan televisi langsung bubar. Terkejut melihat penampakan Callin yang basah kuyup dengan bekas eyeliner meluber ke mana-mana.

"Gue kira gembel darimana ini, ternyata temen kos kita, Gaizz." Jihan mendecak. Meneliti pelampilan Callin dari ujung rambut sampai kaki.

"Ah, gue tahu, nih!" Memey memekik penuh semangat. "Jangan-jangan mereka boncengan di bawah gerimis biar romantis gitu. Ceilah, ala-ala Drakor, cuuy."

"Huaaaa...Gue tadi ujan-ujanan sendiri, nggak ada yang nemenin." Callin merengek sembari mengusap-usap matanya.

"Trus kenapa lo udah balik? Ini masih jam 8, loh. Kembang apinya mulai dinyalain jam 10, kan?" tanya Jihan.

Ia menyambar handuk entah milik siapa yang tersampir di kursi meja makan lalu menyelimutkannya ke tubuh Callin.

"Gue masuk kamar dulu, ya. Badan sama hati, dua-duanya lagi remuk," ucap Callin lemas. Bahunya merosot saat melangkah memasuki kamar.

"Mandi dulu, Lin, biar nggak masuk angin!"

Brak

Callin terlanjur menutup pintu kamarnya. Teman-temannya yang berkumpul di depan tv mendadak sunyi. Tak ada suara tawa, obrolan atau umpatan yang biasanya terdengar ketika mereka menonton sinetron 'suara hati seorang uwuphobia' .

"Oh, iya, Lin. Tadi ada yang nyariin lo!" teriak Memey dari ruang televisi.

Callin mengerjap-ngerjap. Tangisannya mereda sesaat. Ia kembali berharap. "Siapa?"

"Komang, katanya. Dia minta no hp lo yang baru buat ngabarin soal kerjaan," jawab Memey dengan suara lebih rendah. Karena kamar Callin bersebelahan dengan ruang TV, jadi ia tak perlu berteriak keras agar gadis itu mendengarnya.

Oh, Komang.

Suara Callin tak lagi terdengar setelah mengetahui kenyataan jika lelaki yang datang mencarinya itu bukan Okan, melainkan Komang. Ia membenamkan wajahnya di balik bantal, menangis sejadi-jadinya.

Setelah puas melampiaskan kekecewaannya dengan tangisan, Callin menyingkirkan bantalnya dari wajah. Hidungnya mampet. Ia jadi kesulitan bernapas.

"Kenapa kembaran lo jahat banget sih, Ki?" gumamnya sembari mengangkat bandul dream catcher milik Oki.

Ia beringsut dari ranjang, melangkah ke jendela lalu menggantung bandul itu seperti biasa.

"Kapan dia bisa kayak lo? Yang perhatian, peka, sering bikin gue ketawa, lesung pipinya keliatan mlulu, lah kalo Okan?"

Callin tak berhenti menggerutu. Ia kembali berbaring ke ranjangnya, menatap bandul dream catchernya dari kejauhan.

Dreeet...dreeet...

Cepat-cepat Callin menyambar ponselnya. Berharap jika pesan itu berasal dari Okan. Entah berupa ucapan maaf, penyesalan atau semacamnya lah. Yang penting mengajak gadis itu berbaikan.

From : 081-555-Xxx-xx

Lin, besok subuh lo ada program baru bareng gue.
Coffe break.

Save no gue, ya.
Komang.

"Aaaaaargh, subuh-subuh suruh ngantor? Capek hati, capek badan, dah!" Callin menggoyang-goyangkan kakinya di atas ranjang. Ia benar-benar lelah.

Saat ia mulai memejam dan perlahan terlelap, bandul dream catchernya yang menggantung di jendela tiba-tiba terlepas. Jatuh di lantai kamarnya.

Pertanda buruk?
Iya,
Karena Callin tidak menyadari jika bukan Komang yang mengirimnya pesan itu.

***

JENG JENG!
JENG JENG!

SIAPKAN HATI DI NEXT PART YA GESSSS!

Btw, aku mau tanya dong. Kalian enjoy nggak, sih, baca Story Calling?

Aku kadang kepikiran karena genrenya aku mix. Kayak Happy Birth-die yang nggak pure horor.

Karena sebenernya tujuan aku nulis cerita genre kayak gini, tuh, biar kalian yang parnoan sama hantu jadi lebih berani. Mulai tertarik baca horor.

Terimakasih untuk dukungannya selama ini.
ILY 3OOO DOLLAR

Salam sayang,
Rismami_sunflorist

Continuă lectura

O să-ți placă și

489K 28.4K 60
(tahap revisi) Terlibat dalam sebuah pernikahan dengan Daffin William, dokter dingin yang memiliki hawa mencekam sekaligus membuat Ella merasa aman...
373K 3.3K 18
18++ Bukan konsumsi anak2 Sekian lama menjanda, kau mendapatkan kabar jika ibumu akan menikah. Mungkin bagi sebagian anak. Ia akan bahagia. Namun tid...
1M 73.8K 31
Setelah tujuh hari kematian ibu, suasana rumah berubah mencekam. Suara rintihan kerap kali terdengar dari kamarnya. Aku pun melihat, ibu sedang membe...
55.1K 6.5K 176
"Lin Shi adalah pendosa seluruh industri film!" "Lin Shi, aku ingin meminta maaf kepada seluruh penonton jaringan!" "Lin adalah pencuri tua, aku ti...