Aku punya banyak harapan kepadanya. Tapi aku takut, sekalinya dia menolak, aku tidak memiliki alasan lagi untuk berharap pada yang lain.
~~~
ILY 3OOO DOLLAR.
MANA KISS NYA BUAT AKU KARENA UDAH KASIH 3OOO KATA BUAT KALIAN.
***
Junior sedang asyik membaca majalah otomotif di sofa ruang tamu ketika tiba-tiba Juminten muncul dan melayang-layang di depannya.
"Dari semalem lo gangguin gue terus. Mau lo apa, sih?" tanya Junior kesal. "Mau gue panggilan temen Papa yang dukun itu? Biar dia bakar-bakar kembang tujuh rupa di dalam rumah trus lo puyeng, deh."
Mendengar ancaman Junior, arwah itu melayang lebih tinggi. Namun meski keduanya kini berjauhan, Junior masih dapat mendengar suara Juminten.
"Ya terserah merekalah kalo mereka mau ke Pantai Naksan. Itu bukan urusan gue!" sembur Junior. Ia bangkit dari kursi sambil membanting majalahnya. "Berisik lo!"
Saat lelaki itu hendak beringsut ke kamar, sudut matanya menangkap sekelebat kabut putih yang menjelma menjadi sesosok makhluk tak asing.
Sayangnya, makhluk itu berdiri di balik aquarium besar di ruang tamu. Junior jadi tidak dapat melihatnya secara jelas.
Ia melangkah perlahan melewati aquarium melingkar yang berisi ikan-ikan mahal koleksi Papanya.
Wuzzz
Tepat ketika tinggal selangkah lagi Junior dapat bersitatap dengan makhluk itu, kepulan asap melayang-layang di atas kepalanya. Kalau sudah menghilang, wujudnya hampir sama. Junior jadi tidak bisa memastikan makhluk apa yang tadi muncul di belakang aquarium.
Lelaki itu mendongak, mencari-cari Juminten untuk memperjelas keraguannya. Tapi jika sedang dibutuhkan, Juminten selalu menghilang.
Mirip orang yang ngakunya teman, tapi cuma nongol pas dia butuh.
Giliran kitanya yang butuh, dianya ngilang.
Di depan aquarium, Junior membungkukkan badannya. Ia menatap ikan-ikan berwarna cerah yang berenang di dalam sana.
Apa tadi itu dia? Tapi kenapa dia berkeliaran di sini? Apa masih sesuatu yang harus dia selesaikan?
***
"Pelototin terosss, jangan sampe lolos!"
Suasana di ruang kerja para polisi Matraman seketika riuh. Gendhis dan Hilman berebutan menyusul Joko yang kini berdiri di samping meja kerja Okan.
"Tugas saya hari ini sudah selesai. Dan tadi saya juga sudah minta tukar shift jaga pos ke Pak Adrian. Jadi, ya, berarti saya tidak melanggar -"
"Haishh! Siapa juga yang mau nyalahin lo," ceplos Gendhis sebelum Okan membahas soal pekerjaannya lagi. "Kita lagi ngomongin itu, tuh, yang lo awasin sejak dua jam tadi."
Ketiga polisi yang mengelilingi meja Okan kini turut mengamati layar laptop lelaki itu. Tampak rekaman halaman sebuah kos-kosan yang tidak terlihat ramai karena para penghuninya sedang berada di kampus.
"Sampe dibela-belain pasang CCTV di sana." Gendhis berdecak. "Saddil bukan penjahat kriminal kelas kakap, Kan. Lo nggak perlu sampe segininya, lah."
"Ini bukan kos-kosan Saddil, tapi kosnya Callin," jawab Okan jujur.
Ia tak pernah menduga jika jawabannya yang terlampau jujur itu akan membuat teman-temannya syok.
"Woaaah, dia udah menjurus ke bucin, Mbak." Joko mengikut lengan Gendhis. "Tapi bucinnya beda, lebih protektif, nggak alay."
Gendhis mencibir. "Yang bucin alay itu, ya lo, Jok!" sembur wanita itu sembari tersenyum mengejek.
Meski dari segi umur wanita itu lebih tua setahun dibanding teman-temannya, tapi mereka ada di tahun yang sama saat resmi diangkat sebagai aparatur negara.
"Omo!" Gendhis tiba-tiba memekik kaget sendiri. Mana pakai bahasa Korea, orang-orang di sekelilingnya cuma bisa bengong.
"Jangan-jangan Okan juga pasang CCTV di kamar kosnya Callin...." goda wanita itu sembari merubah suaranya seperti lelaki mesum.
Srek
Okan bangkit dari kursinya dengan cepat dan kasar. Gendhis berserta dua polisi lainnya sampai langsung menjaga jarak. Mengira jika Okan marah mendengar ghibahannya yang dilakukan di depan si subjek perghibahan.
"Dia bukan marah sama kita, tapi liat aja, tu," Hilman mengedikkan dagunya ke layar laptop Okan. Ia menepuk-nepuk pundak lelaki itu. "Yaelah, dah. Callin cuma kesandung, tapi reaksi lo udah kayak liat orang mau melahirkan di jalan tol, Kan."
Diam-diam Okan membatin. Ia sebenarnya bingung dengan sikapnya akhir-akhir ini. Setelah menantang Callin dengan perjanjian itu, ia jadi takut sendiri.
Ya, ia takut Callin bisa melaluinya.
Ia takut jika perjanjian yang ia buat akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
Sampai sekarang, ia bahkan belum yakin jika dirinya benar-benar menyayangi gadis itu, tanpa ada faktor lain yang membuat keduanya terikat.
"Okan!"
Suara panggilan itu terdengar bersamaan dengan kemunculan Pak Adrian bersama ajudannya.
"Siap, Komandan." Okan dan ketiga rekannya menegakkan tubuh dengan sikap siap.
"Kamu jadi tukar shift? Sebenernya saya mau ngajak kamu -"
"Maaf Pak, saya siap menggantikan Okan dan menemani Bapak untuk bertugas," Hilman memotong dengan sopan. "Dia soalnya ada urusan penting, Pak."
Gendhis berdehem sekali. "Saya juga bersedia menggantikan Okan kalau ada tugas mendadak, Pak."
"Saya ju -"
Joko baru saja membuka mulut sebelum Pak Adrian mengangkat sebelah tangannya. Meminta lelaki itu berhenti berbicara.
Pak Adrian mengangguk-angguk maklum. "Yasudah, saya mengerti."
Ketiga polisi yang berjejer di samping Okan sontak melebarkan senyuman. Ketiganya menatap Okan bersamaan dengan sorot yang seolah berkata, 'buruan, tunggu apalagi?' Tapi Okan yang tidak peka itu masih berdiam di tempatnya.
"Ssssttt." Hilman memberi kode lewat kerlingan mata.
"Eh, iya. Kalau gitu saya permisi, Pak." Okan mengemasi barang-barangnya kemudian pamit sebelum melenggang pergi dari kantornya.
Ada yang terasa berbeda ketika ia berderap menuju parkiran dan menumpangi motornya. Lelaki itu terdiam cukup lama. Memikirkan sikap teman-temannya di kantor, dan membandingkannya dengan kehebohan Callin saat bertemu Bagus dan para siswa lainnya di kantor suara remaja.
"Begini rasanya punya teman?" gumamnya sembari menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca spion.
Kaku.
Tak beraura.
Datar.
Bahkan ketika ia memaksakan diri untuk tersenyum, wajahnya terlihat benar-benar aneh.
Okan menghela napas panjang sembari memejam. Lalu perlahan ia membuka mata dan mencoba menarik ujung-ujung bibirnya. Melengkungkan sebuah senyuman yang tak sering diperlihatkan pada orang lain.
Apa harus sering begini biar saya punya banyak teman?
***
Sore itu Pantai Naksan terlihat lebih ramai dibanding hari-hari biasanya. Okan datang dua jam lebih awal dari perjanjiannya dengan Callin. Lelaki itu mengenakan kemeja hitam dan menggulungnya sampai ke siku tangan. Rambutnya juga disisir rapi.
Penampilannya lebih mirip orang yang hendak menghadiri acara sakral ; semacam serah terima jabatan atau rapat koordinasi bersama kantor cabang lain.
Sungguh sangat formal.
Jauh berbeda dengan Oki yang selalu memakai kaos atau hoodie ke mana pun ia pergi. Entah ke kampus, jalan-jalan, atau di acara formal sekali pun.
Okan turun dari motor sembari menatap situasi di sekelilingnya. Sorot matanya yang tajam membuat gadis-gadis yang kebetulan melintas sampai tertegun melihatnya.
Bahkan ada beberapa gadis yang mengajaknya berkenalan.
Tak tahan dengan salah satu gadis yang bersikeras meminta nomor ponselnya, Okan akhirnya mengeluarkan id cardnya dari dalam saku kemeja. "Tim kepolisian Matraman, saya di sini sedang bertugas," ucapnya tegas, tak mau diganggu.
Gadis itu menyikut lengan kawannnya sembari berbisik, "issh, nggak asik banget, ya. Kaku kayak triplek yang lo pake buat alas ujian."
Kawannya menyahut. "Ngapain gue pake triplek kayak gituan, meja sekolah gue udah mulus kelessss, nggak ada lobang-lobang."
Okan melengos tak peduli. Jawaban dan ekspresinya yang sama-sama kaku membuat para gadis itu langsung ilfeel.
Dreeet..dreeet...
Cepat-cepat Okan mengambil ponselnya karena mengira itu panggilan dari Callin.
Bukan..
Getaran itu ternyata berasal dari notifikasi CCTV yang ia letakkan di rumah Saddil.
Ya, Okan masih memantau pergerakan lelaki itu. Diam-diam ia memasang CCTV di teras rumah Saddil bersama polisi lainnya.
"Saya harap dia benar-benar sadar akan kesalahannya." Okan mendesah pelan. Ia menatap pergerakan Saddil yang terpantau oleh rekaman CCTV di ponselnya.
Usai mengawasi kamera pengintai di rumah Saddil, ia beralih memantau situasi di teras kos Callin. Lelaki itu tidak tahu jika di dalam kamar, Callin sedang kebingungan memilih pakaian.
"Lin, lo itu mau ngedate, bukannya mau ikut kemah sama makrab." Jihan menunjuk hoodie yang dikenakan Callin. "Lepas, buruan."
Callin memonyongkan bibirnya. Bukan cuma Jihan yang menjadi penasehat fashionnya, tapi para senior di kosnya pun kini berkumpul di kamarnya.
Tanpa rasa sungkan sedikit pun, Tiara membuka lemari baju Callin. "Aigoo, kenapa isinya jeans sama Hoodie doang? Lo mau buka distro di dalam kamar?"
"Oh, gue tahu!" Anjeli menjentikkan jarinya di dekat telinga. "Gimana kalo Callin pinjem bajunya Gempita aja? Style dia, kan, girly-girly gitu."
"Sembarangan, lo," sembur Kiki. "Kalo Callin pake bajunya Gempita, bakal kek orang-orangan sawah, dong."
"Heeee.." Anjeli nyengir sembari menggaruk-garuk tengkuknya.
"Bisa nggak, kalo mau bantuin gue, nggak usah pake ngehina juga?" gerutu Callin sembari melirik kesal teman-temannya. "Dasar temen-temen lucknut."
Disaat teman-temannya ribut sendiri, Jihan tampak fokus memilih-milih pakaian milik Callin yang menggantung di lemari.
"Gimana kalo yang ini?" Jihan mengangkat setelan atasan motif floral yang dipadu dengan rok lipit berwarna biru muda. "Cocok, kan?"
Keempat kawannya mengangguk serempak. Sementara Callin hanya bisa pasrah ketika Anjeli memaksanya untuk berganti pakaian.
Seumur-umur, Callin tidak pernah mengenakan setelan yang dipilih Jihan itu. Rok dan kemeja floralnya selalu tersimpan di lemari. Callin membelinya karena tergiur dengan flash sale yang ada di salah marketplace. Tapi begitu barangnya datang, Callin merasa salah pesan. Ia tidak memiliki keberanian untuk memakainya.
Menurutnya, setelan itu mungkin akan lebih cocok dipakai oleh gadis-gadis bertubuh semampai seperti Gempita.
"Kenapa lo nggak pd? Tuh, ngaca, deh. Pantes-pantes aja, kok," ucap Jihan sembari menaikk-naikkan sebelah alisnya.
Ia memberi kode pada teman-temannya untuk mendekat. Keempat gadis itu kini saling berangkulan sembari memperhatikan Callin yang sedang bercermin. Rambutnya yang digulung dan dihiasi dengan bandana berwarna senada dengan roknya, membuat gadis itu tampak sangat menggemaskan.
"Mantaps boskuuuh!" ucap keempat teman kosnya secara serempak.
Mereka benar-benar berharap acara ngedate Callin akan berlangsung lancar dan diakhiri dengan adegan pernyataan cinta romantis.
"Kalo gitu gue berangkat dulu, ya. Fighting!" teriak Callin bersemangat lalu teman-temannya merespon dengan kata serupa.
Gaya gadis-gadis itu mirip scene drama Korea ketika para pemainnya sedang memberi support pada pemain lain.
Karena anak-anak satu kos suka drama Korea semua, kadang jadi kebawa di kehidupan sehari-hari mereka.
"Eitssss, lo mau ngapain?" Anjeli menarik kerah belakang kemeja Callin.
"Mau ambil motor..." Callin tampak bingung melihat reaksi teman-temannya.
"Aigooooo..." Keempat gadis itu sontak menepuk dahi masing-masing secara bersamaan.
"Lo udah dandan cantik-cantik gini, trus mau naik motor, nyetir sendiri..." Kiki berdecak sembari bergeleng-geleng.
"Sampe sana dandanan lo bakal acak adul, kayak Wewe Gombel batal kawin, Lin!" sembur Jihan. Ia mendesah panjang kemudian cepat-cepat mengeluarkan ponselnya. "Udah gue pesenin taksi online."
"Aaaa, gumawoo, kamsahamida, Ahjumma," ucap Callin sambil menunduk.
Ia sengaja menggoda Jihan dengan memanggilnya Ahjumma untuk memancing kekesalan seniornya itu. Padahal selisih kedunya hanya satu tahun, atau Jihan setingkat lebih tinggi dibanding Callin.
"Kau harus dengarkan Ahjumma, Nak. Kalo nanti sebelum pulang tiba-tiba dia mendekatkan wajah, lalu memajukan bibirnya...."
"Aaaargh, anak dibawah umur nggak boleh denger!" pekik Anjeli. Cepat-cepat ia menutup telinga Callin lantas membawa gadis itu ke luar kamar.
***
Okan melirik sekilas jam tangannya. Mungkin kurang lebih tiga puluh menit lagi Callin sampai. Itu pun, kalau gadis itu tidak terlambat. Mengingat karakter Callin yang ceroboh dan mageran, bisa saja ia harus menunggunya lebih lama.
Dreet..dreeet..
Notifikasi dari kamera pengintai di halaman kos Callin bergetar.
Melalui layar ponselnya, Okan melihat gadis itu melompat-lompat riang dari teras kos. Callin kemudian masuk ke mobil yang terparkir di pinggir jalan.
Lesung pipinya seketika mencuat. Ia tersenyum tanpa sebab. Seolah turut bahagia melihat Callin yang kegirangan sendiri. Untuk kali pertama, ia memberikan senyumannya pada gadis itu.
Dreet..dreet..
Kening lelaki itu berkerut sesaat ketika layar ponselnya berkedip-kedip.
Panggilan dari kantor.
"Ada perampokan di Minimarket BetaMart. Saya sudah cek monitor, jaraknya dengan lokasi kamu sekarang cuma 2 kilometer."
Tanpa basa-basi, Komandan Jacob memberinya perintah.
"Tapi, Komandan, saya..."
"Di sana sudah ada Hilman. Tapi dia butuh bantuan." Jacob langsung menimpali begitu menyadari anak buahnya hendak protes.
Sebelum memutus sambungan teleponnya, Jacob berpesan lagi.
"Dan semua perampoknya bersenjata. Tolong hati-hati."
Tut..Tut..tut..
Okan meremas ponselnya. Ia panik bukan panik. Tatapannya sontak terlempar ke arah jam tangannya.
"Masih ada waktu setengah jam lagi," gumamnya.
Ia langsung menaiki motornya lantas melesat ke luar parkiran dengan kecepatan penuh.
Walau rasanya sedikit
berat dan was-was saat meninggalkan Pantai Naksan, tapi Okan tidak bisa melepas tanggung jawabnya pada negara.
Mungkin di sana, ada nyawa seseorang yang berada di ujung tanduk.
Mungkin keberadaannya nanti, dapat menyelamatkan dan melindungi banyak nyawa.
Di dalam hati, lelaki itu berjanji akan kembali secepatnya dan bertemu dengan Callin di tempat yang sudah ia janjikan.
Tepat ketika motor Okan ke luar dari parkiran, taksi yang ditumpangi Callin berhenti di pinggir jalan. Gadis itu menyusuri parkiran motor di sisi kanannya dan meneliti satu per satu motor yang berjejer di sana.
"Yes, gue dateng lebih dulu!" Callin melebarkan senyumnya. "Wah, bakal tercatat dalam sejarah, nih. Gue nggak ngaret dan malah sampe duluan tiga puluh menit dari waktu kesepakatan."
Sembari menunggu kedatangan Okan, gadis itu melangkah mendekati bibir pantai. Ada tembok pendek yang menjadi pembatas agar saat ombak datang, airnya tidak sampai ke daratan.
Callin memejamkan matanya. Menghirup aroma pantai yang membuat hatinya terasa damai.
"Okan bener-bener mirip kayak pantai. Menenangkan. Tapi sekalinya marah, bakal lebih dahsyat daripada ombak," gumamnya sembari mengulas senyum.
Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya sekali. Teringat bagaimana ngerinya Okan saat menghabisi kawanan begal motor yang menyekapnya di gudang.
Tak sabar menanti kedatangan Okan, gadis itu melirik jam tangannya lagi.
Kurang lima belas menit.
Bahkan rasanya lima belas menit seperti seharian jika sedang ada di posisi si penunggu.
Daripada bosan, Callin mengeluarkan headset dari dam tasnya. Ia menekan menu radio dan memilih channel Suara Remaja FM.
"Oh, tugasnya Memey sama Bayu." Callin tersenyum sumringah saat mendengar sapaan suara rekan kerjanya lewat radio.
Moodnya sedang baik. Mungkin efek karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan Okan.
Oh, ralat. Lebih tepatnya, berkencan.
Semburat kemerahan menyembul di pipi gadis itu. Ia senyum-senyum sendiri hingga membuatnya tampak seperti orang gila.
Mulai tak sabar, Callin mencoba menghubungi Okan. Padahal baru lewat lima menit dari jam kesepakatan keduanya.
Lima belas menit berlalu.
Ponsel Okan malah tidak aktif.
Callin menyandarkan bahunya ke kursi sembari terus mencoba menghubungi lelaki itu.
Namun hasilnya tetap sama.
"Apa dia lupa? Atau males ketemu gue? Kalo dia emang berubah pikiran, paling nggak kabarin gue dulu, lah."
Bosan mendengar suara Memey dan Bayu, gadis itu melepas headsetnya dengan kasar lalu melemparnya ke bawah. Tenggelam bersama pasir pantai yang tampak berkilauan tertimpa sinar matahari senja.
"Haissssh! Aku bosaaaaaaaaaaan!"
Tanpa sadar Callin berteriak kencang. Dalam sekejap ia menjadi pusat perhatian dari para pengunjung pantai.
"Berapa lama lagi gue harus nunggu?"
Callin beranjak kasar dari kursinya. Lalu duduk lagi.
Kemudian berdiri lagi.
Ia melakukannya berulang-ulang.
Sampai bosan sendiri.
Sampai kakinya pegal karena mondar-mandir di depan kursi.
Bahu gadis itu melemas saat melihat deretan angka yang membentuk jam di pojok atas ponselnya.
Pukul 17.15
Satu jam lewat lima belas menit dari jam kesepakatannya.
"Dasar nggak punya hati! Dia manusia bukan, sih? Kejem banget nge PHP anak orang!" umpatnya setelah tersadar jika tak ada pertanda Okan akan datang.
Pupus sudah harapan Callin. Ia sudah berandai-andai menghabiskan senjanya bersama Okan lalu melihat kembang api bersama malam nanti.
Callin mendengkus kasar.
Benar, adegan semacam itu hanya ada di drama Korea.
"Cih, mana ada cowok yang bener-bener sweet, luar biasa peka kayak di drakor-drakor gitu?"
Sudah habis kesabarannya.
Callin melangkah meninggalkan keramaian pantai sembari tak berhenti mengomel.
"Kenapa dia jahat banget, sih? Gue udah bela-belain dandan, berangkat lebih awal, naik taksi online," gumam gadis itu sambil menahan isak. "Ya, walau taksinya tadi dibayarin, sih. Tapi tetep aja..." Callin menarik napas dalam-dalam untuk menguatkan hatinya. "Rasanya nyesek..."
Gadis itu terduduk di pinggir trotoar. Badannya lemas. Bukan karena fisiknya terlalu lemah, tapi ia sudah tidak punya tenaga untuk marah.
Backsound suara deru mesin kendaraan yang lewat menemani kepiluan gadis itu. Pandangannya mulai mengabur karena terhalangi air mata. Ia tak bisa melihat jelas situasi di sekelilingnya.
Dengan sisa-sisa harapannya, Callin mencoba menghubungi Okan sekali lagi.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area. Silahkan mencoba menghubungi beberapa saat lagi...
"Ogah! Gue nggak bakal nelpon dia lagi!" sembur Callin, melampiaskan amarahnya pada operator itu.
Tanpa mengecek arus lalu lintas lebih dulu, ia beranjak kasar dari duduknya lantas berlari kecil menyeberangi jalan.
Ciiiiittttttt....
"Aaaaaaa...!"
Suara derit ban yang memekakkan telinga, sontak membuat seluruh mata terpusat ke tengah jalan.
"Kecelakaan! Ada kecelakaan!"
Tubuh Callin gemetar hebat. Ia mematung dengan posisi meringkuk sembari melindungi kepalanya dengan tangan.
Si pengemudi yang nyaris menabrak Callin, juga terlihat syok. Tatapannya jatuh ke sepasang kakinya yang tak sempat menginjak rem. Tangannya juga masih menggenggam kemudi.
"Kenapa mobilku bisa berhenti sendiri?"
Gemuruh tiba-tiba menggelegar di senja yang cerah itu. Gumpalan awan bergerak menyelimuti langit yang mendadak diselimuti mendung.
Langit turut menangis. Bulir-bulir air yang tidak terlalu rapat mulai jatuh membasahi bumi.
Callin menyipitkan matanya. Silau. Sorot lampu mobil yang mengarah tepat ke wajahnya membuat gadis itu kesulitan membuka mata.
Callin memegangi lututnya. Perlahan ia bangkit dengan dibantu beberapa orang yang sempat mengiranya menjadi korban tabrak lari.
Syukurlah, gadis itu baik-baik saja.
Beberapa meter dari tempatnya berdiri, muncul sesosok bayangan putih yang tak terekam jelas oleh indra penglihatannya.
Callin mengangkat tangan kanannya untuk melindungi matanya dari terangnya lampu mobil. Ia menatap punggung tangannya yang kini terbuka lebar. Melalui sela-sela jarinya itu, ia menajamkan tatapannya. Mencoba menembus rapatnya bulir-bulir air hujan.
"Oki? Apa itu bener-bener Oki? Lo dateng ke sini buat nolongin gue, kan?"
Gue yakin,
gue yakin banget kalo itu Oki.
Gue nggak lagi berhalusinasi.
Dia nyata.
Dia bener-bener ada di depan mata gue.
Playlist song
🎵 OH MY ANGEL
It’s alright
It’s alright
modeun geol ilheobeorindaedo
It’s alright
It’s alright
nugunga nae yeope isseuni
naega ulgo isseul ttaedo
hollo oeroul ttaedo
naui gyeote isseojun geudae
You are my angel
Oh you are my angel
Always you’re here
Oh you are my angel
You are by my side
Always always stay here forever
~~~
EAAAAAAAAAAAAAAA
EAAAAAAAAAAAAAAA
Kalo ini end nya di wattpad, apa reaksi kamu?
Kasih emot di sini
Salam sayang,
Rismami_sunflorist