DISPARAÎTRE [END]

By this_browneyess

25K 3.1K 116

[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, DAN JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!] NOTE : AWAS TYPO "Gue Renald. Kalo lo mau t... More

1. MORNING PROBLEM
2. MET BY
3. UNKNOW NUMBER & KISSED
4. VERY PUSHY
5. ANNOYED
6. REYSA SICK
7. INVITE TO GO
8. HEARTBEAT
9. PROBLEM COMES
10. FEEL HURT
11. THREAT
12. RUN AWAY
13. HALFWORD
14. TIRED
15. TWO HARD CHOICES
16. CONFUSING CHOICE
17. MOCKING LAUGHTER
18. NEW STUDENT
19. FEEL GUILTY
20. HARD SLAP
21. FAILED
22. THE PAST
23. LOST
24. PANIC & RESTLESSNESS
25. ENGAGEMENT
26. EVIDENCE & ARREST
27. APOLOGIZE
28. ARGUMENT & JEALOUS
29. MISS, HUG, & JEALOUS
30. JEALOUSY & ANNOYANCE
31. TOGETHERNESS & EMOTION
32. COMPETITION & FRUSTRATION
33. WAITING & A DISSAPOINTMENT
34. NERVOUS
35. MISUNDERSTANDING
36. CASTE & TROUBLE
37. HOT HEARTED
38. SURPRISE
39. BAZAAR PREPARATION
40. MUSIC EVENTS & BAZAAR
41. BAD DAY
42. BAD LUCK, REYSA
43. REAL INCIDENT
44. REYSA'S EXPLANATION
45. THE TRUTH
46. REGRET
47. BE CAGRINED
48. REFUSE
49. DARE
50. TOO SUDDEN
52. SAD TEARS
53. REVENGE
54. NIGHTMARE
55. LASTING MEMORIES
56. LINGERING SADNESS

51. HOSPITAL & BAD NEWS

316 50 4
By this_browneyess

"My soul seems to fly with the confusion that keeps looming."

***

Ruangan itu bercat putih. Kosong dan sunyi, hanya ada angin yang tampak menerbangkan helaian rambut yang terurai dengan bebas. Dilihat dari sisi manapun, tempat itu sangat asing. Berkali-kali diamati, tidak juga mengenalinya.

Atapnya tampak buram. Anehnya, di sana seperti ada awan putih yang saling berpencar satu sama lain. Terkadang awan itu mengeluarkan seminau indah yang membuatnya enggan untuk pergi dari tempat ini.

Ia berjalan, melewati kekosongan yang saling mengisi setiap waktunya. Tidak ada pohon ataupun makhluk hidup lainnya, selain seorang gadis dengan gaun putih.

Gadis itu mulai melangkah, menyusuri setiap celah yang bisa dilewati. Mencari beberapa orang yang mungkin bisa ia tanya, di mana ia sekarang. Tempat ini memang sangat nyaman, tapi ia juga merasa bosan karena harus sendiri di sini.

Ia mulai mendengar beberapa suara orang yang tengah panik karena sesuatu. Ada juga bunyi sebuah brankar didorong, dan suara derap langkah kaki yang terdengar begitu terburu-buru.

Gadis itu mulai menajamkan pendengaran, namun ia urungkan ketika melihat sebuah bayangan yang sama persis dengannya melintas tanpa permisi. Tanpa pikir panjang, gadis itu mulai berlari mengejar seseorang itu.

Namun, gadis itu tersandung akar berduri yang menyebabkan kakinya berdarah dan berakhir terduduk di atas rumput yang begitu hijau dan segar.

Gadis itu mengangkat wajahnya, memperhatikan tempat itu menjadi sebuah jalanan sepi yang sedikit gelap. Ia mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang mungkin melewati jalanan sepi ini.

Tetapi tetesan darah dari kepalanya, membuat fokusnya teralih pada diri sendiri. Tangannya yang bersih tanpa noda, sekarang berubah merah. Ia menengadahkan satu tangannya, membiarkan darah dari kepala mengalir ke telapak tangan.

Gadis itu dibuat bingung dengan yang sedang terjadi. Ada banyak bayangan yang entah mengapa tiba-tiba melintas begitu saja di pikiran.  Entah itu tentang orang terdekat, atau orang yang paling dekat.

"Detak jantungnya semakin melemah, Dok."

Gadis itu menutup telinganya ketika mendengar suara yang entah dari mana. Suara-suara itu begitu sangat mengganggu pendengarannya. Kepalanya juga semakin terasa pening dan pandangannya memburam.

"Siapkan AED."

Gendang telinganya berdengung. Tubuhnya semakin terasa sakit dan terasa perih. Tangannya tiba-tiba saja menjadi kaku dan kram, serta napasnya yang berubah semakin sesak.

"Dua ratus Joule."

Bayangan semua orang terdekat kembali menjantang, menyelapi akal budi yang semakin meronta menghancurkan kewarasannya. Gadis itu berteriak keras untuk mengurangi sakit yang dideritanya.

"Lo cantik, Rey."

Senyum Renald selalu membuat jantungnya berdebar. Kendati awalnya ia begitu membenci laki-laki itu, tapi sekarang sudah tidak lagi. Dulu, tingkah Renald memang selalu menjengkelkan, selalu bisa membuat emosinya meluap-luap. Seiring berjalannya waktu, laki-laki itu benar-benar mengisi kekosongan pada hatinya yang patah karena sebuah persoalan.

"Itu bibir dimajuin, kode buat gue cium lo, ya?"

Ada saja tingkah Renald yang membuat ia merona. Tak tanggung-tanggung, Renald benar-benar akan melakukan hal itu padanya. Sampai pada saat Renald benar-benar bukan Renald yang selama ini ia kenal. Renald dengan segala penyesalannya, dan Renald yang sulit untuk percaya pada apapun itu.

"Lo bohong, Rey."

Saat itu ia jelas tidak mengerti apa maksud perkataan Renald. Tapi setelah diingat-ingat kembali, ia akhirnya paham. Laki-laki itu benar-benar marah dan tidak bisa mempercayai apapun lagi. Bahwa kepercayaan laki-laki itu padanya, sudah lenyap terbawa oleh bayangan dua orang yang saling menyalurkan kekuatan.

"Lo kok jadi nggak tau malu gini? Kenapa? Kenapa nggak terima lo dibilang jalang sama Fina? Emang lo jalang yang nggak tau diri, kok! Masih mau ngebela diri?"

"Argghh—" gadis itu mengerang kesakitan ketika kepalanya seperti akan pecah. Ia meringkuk di atas aspal hitam yang penuh dengan genangan darah yang menguarkan bau anyir masuk ke indera penciuman.

Rambut yang basah karena darah, diremas kuat untuk menghilangkan sakit yang semakin mendera, seperti tertusuk banyak jarum dengan ujung yang begitu runcing.

"Gue boleh minta sesuatu sama lo?"

Gadis itu meringis kesakitan sembari terus menjambak rambutnya. Darah di bawah tubuh gadis itu semakin menggenang, membuat gaun berwarna putih itu berubah menjadi merah.

"Gue mau lo balik sama gue."

Ingatan-ingatan itu kembali muncul lagi. Tentang Renald yang merasa menyesal karena semua yang terjadi. Tentang dia yang juga masih mencintai laki-laki labil itu.

"Gue nyesel, Rey."

Rintihan kesakitan dari gadis itu semakin meraung-raung. Bahkan ketika seseorang melewati jalan itu, ia dibiarkan begitu saja di atas aspal yang basah karena banyak darah. Mereka seperti tidak melihatnya, dan menganggapnya tidak ada sama sekali.

"Malam ini aja, Rey, lo dengerin ucapan gue."

Saat dimana Renald benar-benar melarangnya dengan nada penuh kesedihan, kala laki-laki itu benar-benar mempunyai firasat yang tidak enak, namun ia tidak memperdulikannya.

"Cuman malem ini, Rey. Lo bisa, kan?"

Nada putus asa milik Renald benar-benar merubah keinginannya. Tetapi ia tidak bisa begitu saja mundur dari tantangan yang sudah ia terima sebelumnya.

"Besok gue nggak akan minta macem-macem dan ngatur lo banyak hal."

Dan saat Renald dan semuanya melarang gadis itu, keinginannya malah semakin bertambah besar. Seakan-akan ia tidak bisa mengiyakan permintaan mereka dengan berbagai alasan apapun.

Udara di sana berubah semakin dingin, darah yang tadinya hangat sekarang berubah dingin dan mulai membeku. Napasnya terengah, tubuhnya mulai melemas. Samar-samar ia mendengar bunyi layar monitor yang begitu melengking. Hingga kesadarannya perlahan hilang.

****

Langkah Renald begitu terburu-buru, disusul gerombolan Bara yang tampak sangat gusar. Laki-laki itu berjalan menuju resepsionis dan segera menanyakan sesuatu.

"Sus, korban kecelakaan sekitar tiga puluh menit lalu, sekarang di mana, ya?"

Seorang suster yang tengah berjaga di sana tampak mencari sesuatu di komputernya. "Korban atas nama Reysa Alfaresha sekarang berada di ruang operasi."

Renald sudah kalang kabut, tanpa menunggu waktu lagi, laki-laki itu beranjak dari sana menuju ruang operasi. Renald terus berlari mencari ruangan yang dicari. Mengabaikan semburan kasar dari orang-orang yang tak sengaja ia senggol.

Laki-laki itu memelankan langkah ketika melihat sebuah ruangan yang perlahan terbuka. Menampilkan seorang gadis dengan wajah pucat dan juga banyak alat medis yang terpasang. Dengan langkah ragu, Renald mendekati brankar itu, namun dicegah oleh beberapa perawat dan meminta laki-laki itu untuk menemui gadis itu di ruang ICU.

Renald duduk di kursi, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hatinya merasa tak tenang ketika melihat keadaan parah dari Reysa.

Aldi datang, menepuk bahu laki-laki itu untuk menyalurkan kekuatan. Memberitahu laki-laki itu bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Echa itu cewek kuat. Jadi, lo harus percaya kalo semuanya bakalan baik-baik aja."

Kedua kaki gadis itu tampak terbungkus oleh sebuah gips.  Keadaannya begitu menggenaskan, membuat ia merasa menyesal karena membiarkan Reysa begitu saja. Harusnya ia memaksa gadis itu agar tetap tinggal dan membatalkan balapannya.

"Ini semua salah gue. Harusnya gue tetep maksa dia buat batalin itu."

Semua yang di sana merasa lebih bersalah dari pada Renald. Harusnya mereka tidak mengizinkan gadis itu untuk turun ke jalan. Harusnya mereka memaksa Reysa dengan cara apapun agar gadis itu membatalkannya.

Renald bangkit, meninggalkan mereka untuk segera menuju ruang ICU. Ia meraba pintu serba kaca dan melihat gadis itu terbaring lemah di sebuah brankar. Layar monitor tampak menyala dan berbunyi dengan normal.

Laki-laki itu menitihkan air mata, ketika mengingat kembali senyuman gadis itu. Dokter keluar dari ruangan itu, namun Renald sama sekali tidak peduli. Ia hanya berdiri seraya terus memperhatikan gadis yang tengah terbaring lemah di sana.

Dokter itu menghampiri Frans yang memimpin langkah. Sementara Bara dan Frans berbicara dengan dokter itu, mereka lebih memilih duduk di bangku khas rumah sakit.

"Bagaimana keadaan Echa, dok?" todong Frans yang sudah sangat cemas dengan keadaan gadis itu.

Sang Dokter hanya bisa menghela napas, menatap keduanya dengan wajah sedihnya. "Ada beberapa tulang yang patah dan juga ginjal sebelah kiri rusak parah. Keadaan pasien untuk saat ini sangat kritis, alasannya karena dia terlambat mendapat pertolongan."

"Saya juga sedang menunggu pendonor ginjal untuk pasien. Mudah-mudahan hari ini bisa dapat, dan segera melakukan operasi lagi. Tapi saya tidak tahu, dia bisa bertahan sampai kapan. Keadaannya sekarang tidak memungkinkan, bahkan saat operasi tadi, denyut jantungnya begitu lemah, dan sempat hilang."

Jantung mereka berdebar mendengar hal itu. Mereka berdoa, semoga keadaan gadis itu akan baik-baik saja sampai dia mendapatkan donor ginjal.

"Saya akan terus pantau keadaan pasien. Kalau kalian ingin melihat keadaan pasien, diharapkan untuk bergantian. Kalo ada apa-apa, segera beritahu kami. Kami permisi."

Dokter itu beranjak, meninggalkan mereka yang merasa karut akan keadaan Reysa. Frans memilih duduk, memijat pangkal hidungnya yang tiba-tiba saja berdenyut nyeri.

Renald masuk ke ruangan itu, mengenakan pakaian khusus dengan langkah yang begitu berat. Pelan-pelan Renald duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang. Meraih jari jemari Reysa yang masih terasa hangat itu.

Netranya mengagah wajah pucat dan menelisik setiap celahnya. Mengamati ventilator yang terpasang menutupi hidung dan juga mulut. Ia menggenggam erat jemari gadis itu, menyalurkan kehangatan serta kekuatan.

Renald memejamkan matanya erat-erat, sembari menahan tangis yang semakin merajam ulu hatinya. Semuanya terjadi begitu saja, sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa lagi.

Kelopak mata Renald terbuka, ketika merasakan respon dari tangan Reysa yang membalas genggamannya. Ia menatap Reysa yang perlahan-lahan membuka kedua matanya.

"Rey—sa." napas Renald tersengal. Senyuman terbit di bibirnya, mendapati Reysa yang tengah memaksakan senyumnya dan membiarkan rasa sakit itu menyerang begitu saja.

Renald mengusap puncak kepala gadis itu. "Cepet sembuh, Rey. Gue sayang sama, lo."

Sudut mata Reysa berair, mengalirkan air mata karena merasakan tubuhnya yang terasa sangat sakit. "Sa—sakit, Ren."

Itu lebih menyedihkan dari apapun. Selama ini Renald tidak pernah mendengar nada selemah ini dari Reysa. Biasanya gadis itu akan meluap-luap dan tidak mengizinkan siapa saja berbicara.

"Semuanya sa—sakit."

Reysa memejamkan mata, menahan sakitnya luka-luka yang ia dapat dari kecelakaan tadi. Rasa nyeri terasa menyakitkan, ditambah lagi ginjalnya yang rusak, membuatnya seperti mati rasa.

Renald mengecup punggung tangan Reysa, sembari menahan sesak yang dihasilkan dari Reysa sendiri. Air matanya tak dapat dibendung lagi melihat kondisi menyedihkan itu.

"Rey... lo tahan ya. Sebentar lagi lo bisa hidup seperti biasa lagi."

Suara Renald bergetar, mendengarkan rintihan menyakitkan yang keluar dari mulut Reysa.  Laki-laki itu hanya ingin membalas semua perbuatan baik Reysa yang pernah gadis itu lakukan padanya.

"Sakit, Ren." rintih gadis itu untuk kesekian kalinya. Kelopak matanya terbuka, menerawang langit-langit ruang ICU dengan tatapan buramnya. "Rasanya remuk semua."

"Lo kuat, Rey."

"Tapi ini sakit. Gue nggak ku—kuat."

Reysa kembali menitihkan air mata. Menahan semua rasa yang kini merajam seluruh tubuhnya.  Menghantam seluruh hidupnya, dan menusuk lara buah matanya.

Ia sendiri tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Kejadian tadi membuat ia kembali yakin tentang dirinya yang tidak direstui oleh semuanya. Bahkan oleh semesta sendiri.

"Lo harus kuat, Rey. Demi gue, dan semuanya."

"Tapi gue nggak diharapkan dimana-mana."

Renald menggigit bibir bawahnya. Melihat mata Reysa yang berair. Ditambah lagi, tatapan gadis itu begitu sangat kosong.

"Oke, fine. Demi diri lo sendiri, dan demi gue. Lo tau? Gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo. Lo ngerti, kan? Maaf-maaf-maaf, gue pernah bikin lo kecewa, gue pernah bikin lo marah, dan bentak lo seenaknya. But—"

"I'm sorry, I love you. I promise after this, gue nggak akan ganggu lo lagi. Gue nggak akan maksa-maksa lo lagi buat menetap sama gue. Gue nggak akan maksa lo lagi dengan alasan apapun. But, lo harus kuat, ya?"

Hanya ini yang bisa ia lakukan. Ia hanya berdoa, semoga ginjalnya cocok dengan ginjal milik Reysa. Kali ini ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk menebus semuanya pada Reysa.

Dari awal ia sudah banyak membuat gadis itu sakit karena masalah-masalah yang timbul dengan tiba-tiba. Dengan berita pertunangannya dengan Zeva, kesalah pahaman, dan berkata kasar pada gadis itu.

Reysa menjerit dalam hati. Rasanya ia butuh pelukan hangat dari Renald. Pelukan yang selama ini begitu menguatkannya dalam segala hal. Membayangkan usapan kelembutan serta kehangatan yang disalurkan.

"Honestly, I still l-love you." lirih Reysa. Gadis itu memaksakan senyumnya, sembari menahan pegal yang teramat, seperti tertusuk oleh ribuan belati tajam yang saling merajam.

Renald mengangkat wajahnya, membiarkan air matanya kembali menetes membasahi punggung tangan milik Reysa.

"Gue masih sayang sama lo, Reeeen. Lo harus tau itu."

Hebatnya, ia masih bisa menahan sakit ini hanya untuk Renald. Mengapa getaran yang diberikan Renald mampu membuat ia selalu kuat dalam situasi apapun. Seolah-olah, ia memang hanya untuk Renald. Seakan-akan Renald memang salah satu kekuatan untuknya.

Tubuhnya semakin terasa mati rasa. Tapi masih ada sesuatu yang perlu ia katakan pada Renald. Namun, lara pada seluruh tubuhnya kembali mendera, membuat seluruh hidupnya seperti terserap habis menciptakan sesaknya napas serta hilangnya kewarasan.

"Gue tau, gue juga sayang sama lo."

Napas Reysa tersengal, membuat jantung Renald berdebar kencang. "Rey, lo tahan bentar lagi, ya?"

"Can you hear me, dear?"

Gendang telinga Reysa berdengung, dunianya seperti berputar menyebabkan kepalanya berubah pusing. Pandangannya tidak lagi jelas seperti saat tadi ia mendengar Renald meminta maaf padanya. Ketika ia mendengar Renald mencoba menguatkannya.

Hanya suara ramai penuh kepanikan yang ia dengar. Samar-samar ia mendengar suara seseorang yang mirip dengan Renald memanggil seorang dokter. Tidak lama setelah itu, ia mendengar mereka mulai sibuk menyiapkan AED (Automated External Defibrillator).

"LEPASIN GUE! GUE MAU MASUK!"

"REYSA BUTUH GUE! GUE HARUS MASUK KE SANA!"

Sudut mata gadis itu kembali mengeluarkan air mata. Mendengar teriakan menyakitkan entah dari mana itu, yang jelas ia begitu mengenalnya. Hingga suara EKG yang menampilkan aktivitas jantung berbunyi nyaring serta garis lurus di layar monitor. Saat itu juga, semuanya benar-benar sudah tidak terasa apa-apa lagi.

Semua sakit yang tadi gadis itu rasakan, sekarang lenyap begitu saja. Berganti dengan tubuh yang berubah kaku dan dingin, serta bibir yang pucat menghiasi wajah.

Dokter yang menangani gadis itu keluar dari sana, memandang wajah was-was mereka yang tengah melihat semua alat yang terpasang di tubuh Reysa mulai dilepas satu persatu.

Arloji yang melingkar di pergelangan tangan dilirik pelan, lalu mengangkat wajahnya kembali untuk menatap mereka.

"Kematian, pukul 00.00, Kamis, 9 Juli 2020..."

****

TBC.

Continue Reading

You'll Also Like

415K 32.1K 42
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

4.2M 248K 54
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1M 64.6K 73
[PART LENGKAP] #1 IN KISAH REMAJA [22/02/2022] Galang Pramudya, ketua The Lion di SMA Elang, yang terkenal ganas dalam menghabisi musuhnya. Tapi beru...
RAYNA [END] By .

Teen Fiction

239K 19.9K 43
SPIN OFF RALAN. [FOLLOW SEBELUM BACA YA] [OPEN PRE-ORDER 12 APRIL-28 APRIL 2022] Indah Reliana, gadis yang baru saja lulus dari masa putih birunya. T...