[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

By tx421cph

3.3M 444K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... More

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
12. Dewi Kemalangan
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
17. Tangisan Para Adam
18. Terikatnya Benang Merah
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
21. Perangkap
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
27. Istana Para Iblis
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
32. Serpihan Setangkai Bakung
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
39. Kubangan Berdarah
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
49. Sebuah Janji
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe
Mother of The Dragon

02. Nyanyian Naga Emas

110K 15.1K 32.4K
By tx421cph

Kau akan mendengarnya setiap malam
Nyanyian Sang Naga Emas yang membawa ketenangan
Yang akan memulangkan jiwamu
Yang akan menyembuhkan hati yang pilu


[jangan lupa putar lagu diatas~]


Selamat membaca


Seon Jae Hyun masih terpaku di tempatnya, menatap intens ke arah gadis muda yang tampak begitu memukau dengan aroma memabukkan, memenuhi kamar hingga membuat kepalanya terasa pening. 

Gadis muda itu nampak takut-takut, terlihat bagai bunga peony yang malu-malu untuk merekah. 

Nyonya Yoon tidak berbohong padanya, dia benar-benar diberikan kecantikan yang membuatnya tak bisa berpikir. Untuk sesaat, Sang cendekiawan kerajaan tercenung.

Sampai suara halus membuat kesadarannya kembali ke kenyataan. 

"Tuanku, maaf jika saya lancang," Je Ha menundukkan kepala, menautkan kedua kepalan tangannya. 

"O-ohh, tentu, masuk saja." Jae Hyun berdeham, menurunkan kakinya. 

Gadis itu mengangguk, masih menatap lantai, lalu dia berbalik dengan tenang - lebih tepatnya dia mencoba untuk tenang - dan menggeser pintu kamar, menutupnya dengan rapat. 

Lalu saat dia membalikkan badannya lagi, Sang cendekiawan mengayunkan tangannya, "sini sini, mendekatlah." 

Son Je Ha berdeham dengan sangat pelan, sempat meneguk ludah sekali, lalu dia mengangguk sopan. Dia dekati Sang pria yang tersenyum penuh ke arahnya, meski dia tidak tahu apa maksud di balik senyum itu. 

Tuan Seon Jae Hyun adalah seorang pria berbudi yang terhormat, orang yang sangat lembut, karena itu Je Ha cukup terkejut ketika menemui pria ini berada di dalam kamar gyobang.

Perempuan itu duduk bersimpuh, menekuk kedua kakinya gestur yang anggun, tepat di hadapan Seon Jae Hyun. Sementara pandangan pria itu tak bisa lepas darinya, Je Ha masih memasang wajah setenang mungkin. 

"Sungguh," seperti yang diduga, Jae Hyun kemudian bersuara, "aku tidak pernah tahu gyobang menyembunyikan kecantikan seperti ini." 

Son Je Ha tersenyum tipis, "suatu kehormatan mendapatkan pujian dari anda, Tuan Seon Jae Hyun." 

Seon Jae Hyun tertawa renyah mendengarnya, "yahh... sebenarnya aku sedang tidak memuji, aku berkata dalam artian yang sebenarnya." 

"Terima kasih, Tuanku," Je Ha pun hanya bisa tersenyum. 

"Kalau begitu, bisa kau membantuku..." 

"Tentu, Tuan. Permisi." 

Sebenarnya Jae Hyun belum menyelesaikan kalimatnya, namun Son Je Ha tak mau terlihat canggung dan kebingungan, jadi dia cepat tanggap. Gadis itu sudah mengangguk lebih dulu, lalu dia mengulurkan sepasang tangannya yang lentik, menyentuh kerah pakaian Jae Hyun. Membantu Sang cendekiawan untuk melepaskan pakaiannya. 

Saat Je Ha mencoba membuka pakaian terluar Jae Hyun yang berwarna biru cerah, pria itu melebarkan matanya. Dia terkejut, menghempaskan tangan Son Je Ha dengan refleks dan memundurkan tubuhnya dengan panik.

"A-apa yang kau lakukan?!!" 

Mendapat pertanyaan seperti itu, Je Ha kebingungan, dia tampak mengerjapkan sepasang kelopak matanya yang mirip serpihan mawar. "Membantu anda untuk melepaskan pakaian, Tuan." 

Wajah Jae Hyun langsung memerah, dia nyaris tersedak ludahnya, "a-apa sih?! K-kau... mesum juga ternyata..."

Masih dengan wajah bingungnya yang seperti orang tersesat, Je Ha kembali menjawab. "Tuan, saya sedang melakukan pekerjaan, bukankah karena itu anda memanggil saya—"


Ttuk!!


Seon Jae Hyun menyentil dahi Sang wanita di depannya, lantas dia menghembuskan napas panjang sembari tertawa kecil. Siapa sangka jawaban gisaeng ini membuatnya cukup geli, dan di luar dugaannya. 

"Kau polos sekali," tawa kecilnya masih belum mereda, "apa kau pikir aku akan memintamu untuk melakukan itu?" 

"Uh... yahh..." 

"Tidak, hei! Oh astaga," Jae Hyun masih terpingkal, menepuk jidatnya sebanyak dua kali, "apa aku terlihat seperti orang mesum bagimu? Aku kemari karena perintah Raja." 

Son Je Ha sempat terkejut sesaat, "Tuan, anda memanggil seorang gisaeng ke kamar di malam hari, itu sangat ambigu." 

Pengajar kerajaan itu masih tertawa. Suaranya yang halus seperti angin pagi mungkin menyejukkan, tapi bagi Son Je Ha terlihat agak menyebalkan. Pria tampan yang dijunjung tinggi oleh rakyat Goryeo, tak disangka memiliki satu sisi seperti ini. 

"Aku juga tidak tahu apa yang harus ku lakukan," tawa Jae Hyun mulai mereda perlahan, meski senyum lebarnya masih merekah, "kau ada saran?" 

"Em... tidak." 

"Tidak? Tunggu, apa jangan-jangan ini pertama kalinya untukmu? Tingkahmu juga cukup canggung dan kaku sejak pertama kali masuk," pria itu mengernyit. 

Ah, padahal Je Ha sudah berusaha untuk terlihat senatural mungkin seperti gisaeng-gisaeng yang lain, "benar Tuan, maaf jika membuat anda tidak nyaman." 

"Kau baru saja menjadi gisaeng? Serius? J-jadi... malam ini pertama kalinya kau dipanggil oleh yangban?" 

"Iya, Tuanku." Je Ha mengangguk singkat. 

Diam pria itu kemudian. Memandangi Son Je Ha yang duduk dekat dengannya, dengan tatapan lamat. Begitu rinci memerhatikan tiap seluk Sang gadis, dan tiap tatapannya tampak bercerita, betapa tak bisa dilewatkan keindahan di depannya kini. 

"Kalau begitu, ceritakan tentang dirimu," usul Jae Hyun kemudian.

Je Ha tersenyum tipis, terlihat begitu memabukkan seperti purnama yang penuh, "apa yang ingin anda tahu dari kisah seorang gisaeng, Tuanku?" 

Ditanyai seperti itu, Jae Hyun diam. Lebih tepatnya ia tengah menelisik kecantikan surgawi yang terpampang nyata di hadapannya kini. Untuk sesaat, dia nyaris saja tenggelam dalam telaga berlian tersebut. 

Sang pria tertawa kecil, terdengar syahdu, "gisaeng memiliki kisah yang indah, mereka sosok yang luar biasa menurutku." 

Lalu, Son Je Ha dibuat bungkam, seperti tercengang, "ini pertama kalinya aku mendengar ada orang berkata seperti itu tentang gisaeng."

Jae Hyun mendengus geli, menekuk kakinya yang sebelah kanan, lalu menumpu lengannya di atas lutut itu. Dia menyandarkan kepalanya ke dinding, merasakan angin malam yang masuk melalui jendela. 

"Tidak ada yang salah dari gisaeng, dan bukan dosa mereka untuk terlahir menjadi seorang gisaeng. Mereka juga wanita, yang bahkan memiliki perjuangan lebih keras dari seorang ksatria."

Sungguh, sekarang Son Je Ha tidak akan meragukan kenapa pria bernama Seon Jae Hyun ini begitu disanjung di seluruh tanah Goryeo

Cara Sang cendekiawan berbicara, kosakata yang dia gunakan, hingga intonasi yang dia lontarkan, terdengar merdu dan menyejukkan. Mirip lagu pengantar tidur. Anggun dan berwibawa. 

Perempuan itu tersenyum tipis, "sebagian besar gisaeng adalah korban perang, anak-anak gadis yang dijual oleh orang tuanya, hingga perempuan malang telantar yang tidak memiliki tujuan hidup."

"Lalu... bagaimana denganmu?" 

Pertanyaan dari Jae Hyun, membuat Je Ha menggeser netra beningnya. Lalu dia tersenyum dahulu sembari menghembuskan napas samar sebagai jawaban, "saya tidak yakin, saya hanya bayi yang dipungut oleh Nyonya Yoon, hanya itu yang saya dengar." 

"Nyonya Yoon pasti sangat menyayangimu."

Ya, itu benar. Son Je Ha tak bisa mengingat apapun karena Nyonya pengurus rumah gisaeng tersebut hanya mengatakan bahwa dia bayi malang yang dipungut dari keranjang. Masa kecilnya dia habiskan di gyobang, menjadi seorang pembantu, dan hidup dalam kesederhanaan. 

Je Ha tidak sengsara. Meski dia seorang cheonmin*, dirinya tak pernah merasa begitu miskin atau menderita. Nyonya Yoon tidak memperlakukannya dengan khusus apalagi istimewa, tapi dia bisa merasakan betapa wanita itu menyayanginya dan menjaganya.

*Cheonmin = kelas paling rendah dalam kasta masyarakat, seperti budak

"Kalau begitu... karena aku sudah memanggilmu, tolong buat aku tertidur," Jae Hyun kemudian menghembuskan napas, ia tegakkan punggungnya. "Sepertinya aku akan kesulitan tidur karena minum terlalu banyak arak, jadi... tolong dongengkan satu kisah yang bisa membuatku mengantuk." 

Dengan senyuman paling indah miliknya, Son Je Ha menyanggupi permintaan Sang cendekiawan. Gesturnya yang lembut dan anggun sangat memukau. Perempuan itu mengangguk pelan. 

"Tentu, Tuanku. Kalau begitu... saya akan menceritakan satu kisah, tentang seorang pria yang tersesat, dan berjuang untuk penebusan dosanya."


-----oOo-----


Trang!

Trang!


Suara dua pedang beradu dengan halus. Tiap mata pisaunya yang tajam, bergesekan seirama, mengikuti gerakan tarian yang begitu indah di antara angin sepoi. 

Seharusnya untuk melakukan tarian pedang, mereka menggunakan ornamen. Namun tidak untuk kedua orang ini, keduanya menggunakan pedang sungguhan dari Dinasti Tang yang memiliki rumbai merah dengan kelopak bunga emas, menggantung dengan indah pada pangkal pedang. 

Pria dan wanita, menari bersama di hutan, tepat di tepi danau. 

"Aish, So-ya kau kenapa hari ini?!" Pria berpakaian merah itu menurunkan pedangnya, lalu mendecak kesal. 

Perempuan berwajah kecil dengan sepasang mata bulat bersinar itu menghembuskan napas, lalu dia menurunkan lengannya. "Maaf, Pangeran Han." 

"Yya, Oh Seong So, kau tidak bisa menari seperti ini nanti—"

"Apa?"

Pangeran ke-5 langsung menghentikan kalimatnya, seolah terhenti dengan refleks, begitu pula dengan Si perempuan gisaeng yang mengangkat kedua alisnya. Merespon kalimat tak utuh Wang Han. 

"Yahh, aku mau menemuimu karena ingin memberi tahu," Han mengangkat kedua bahu, "tiga hari lagi akan diadakan pesta penyambutan untuk para Pangeran dari Kekaisaran Song." 

"Sungguh?" 

"Iya, berterimakasihlah padaku karena membocorkannya lebih awal," Han menyimpan pedangnya kembali ke dalam sarung pedang di bawah pohon, lalu melebarkan kipas sutra emas kesayangannya yang berada di ikat pinggangnya sejak tadi. 

Oh Seong So, seorang gisaeng dari gyobang, mendekati Sang Pangeran yang sedang bersandar pada batang pohon, ekspresinya sedikit berubah. "Karena delegasi yang dibawa oleh Tuan Seon Jae Hyun?"

"Eum," Han mengangguk. Sesekali membenarkan aksesori rambutnya yang berasal dari bulu burung merak putih. 

"Lalu apakah Putra Mahkota dan Panglima Hwang sudah kembali?" 

Pertanyaan itu membuat Wang Han mengernyit, lalu dia mengerutkan keningnya sembari mengipasi wajahnya dengan pelan, "uh... setahuku belum, tapi entahlah, seharusnya hari ini mereka sudah tiba di Goryeo." 

"Begitukah." 

Wang Han mengenal Oh Seong So sejak lama. Sebagai seorang gisaeng senior dan terkenal di Goryeo, Seong So adalah sosok perempuan yang cukup tegas. Dia sangat cantik, namun air mukanya tidak lembut dan gesturnya tidak gemulai seperti gisaeng yang lain. Seong So adalah wanita tegas yang mana tidak ada sembarang pria yang bisa menyentuhnya. 

Karena itu Han mengaguminya, dan mereka sudah sangat sering berlatih tarian pedang bersama. Wang Han adalah sosok Pangeran yang lembut dan tidak menyukai kekerasan seperti saudara-saudaranya. Dia pikir hanya Oh Seong So satu-satunya teman untuknya di luar istana. 

"Tapi aku yakin mereka akan tiba hari ini," lanjut Han, "jika kau mendengarkan suara seruling malam nanti, sudah pasti mereka telah kembali." 

Kalimat barusan menarik perhatian Seong So, "apa yang kau maksud adalah Panglima Hwang? Oh astaga, aku sudah sering mendengar suara serulingnya malam-malam di atas atap giwajip*."

*giwajip : atap rumah hanok dari genting yang melengkung di sudutnya.

Han langsung tertawa geli, "itu cara terampuhnya untuk mengusir pencuri dan juga bandit. Sudah hampir 2 bulan dia meninggalkan Goryeo, nanti malam waktunya dia bersih-bersih."

Seong So ikut tertawa namun dengan masam, "itu sangat lucu, kalian para Pangeran bahkan tidak berguna."

Oh, sepertinya memang hanya Seong So yang bisa berbicara seperti itu pada seorang Pangeran. Wang Han mendecih pelan. "Seharusnya kau berkata itu pada Jin hyung-nim dan Hun hyung-nim."

"Jangan lupakan adikmu, Hwangja-nim."

"Ah, yahh Wang Jae, aku lupa." 

"Tapi kau juga Pangeran, apa kau bahkan tidak mau melakukan apapun untuk rakyat?"

"Oh tentu saja, kau harus tahu aku selalu rajin mendoakan rakyatku tiap ke kuil." 


Bukk!!


Perempuan itu meninju kecil lengan Wang Han, "kau bercanda." 

"Aku tidak bercanda, hei!" Han melebarkan sepasang matanya yang indah seperti kelopak sakura. "Jangan meremehkan kekuatan doa ya!" 

Seong So hanya merotasikan bola matanya dengan malas, "terserah kau saja, tapi aku serius tentang ini, orang-orang Kerajaan sangat tidak berguna. Bagaimana dengan Tuan Algojo? Guan Yu?" 

Mendengar itu, Han nyengir masam, "emm... aku tidak yakin tentang dia, kau tidak seharusnya meminta pertolongan pada Guan Yu."


~~~


BUAGKHH!!!


"Silhaengja!! Silhaengja-nim!! Tolong ampuni dia! Ampuni suamiku!!" 

Pria yang berdiri menjulang itu menatap seorang pria paruh baya yang baru saja dia tinju hingga terpental. Sepasang matanya berapi-api, seperti penuh dengan nafsu ingin membunuh. Sementara tak ia hiraukan seorang wanita yang menangis bersujud di depannya, meminta pengampunan untuk Sang suami. 

"Kau bersekongkol dengan bandit-bandit itu, kan?" geram Guan Yu, memandang pria itu dengan rendah, "aku melihat mereka lari dari halaman belakang rumahmu." 

Guan Yu sudah menodongkan pedangnya. Pedang dengan Zamrud hijau yang berlumuran darah pada ujungnya yang tajam. Mengarahkannya tepat pada salah seorang rakyat malang tersebut. 

Darah itu adalah darah milik salah satu bandit yang berhasil melarikan diri darinya tadi. 

"Sungguh tuan! Kami tidak tahu apapun! Kami sama sekali tidak menyembunyikan seorang bandit!!" Pria tua itu mulai menangis dan bersimpuh di hadapan Guan Yu. 

Kebanyakan rakyat yang tengah menyaksikan kejadian itu, bersembunyi, tak berani menampakkan diri secara terang-terangan di depan Sang Algojo. 

"Bagaimana kau bisa membuktikannya?" Dingin Guan Yu, suaranya yang berat begitu mencekam.

"Tuan! Tuan Guan Yu tolong ampuni suamiku!! Tolong lepaskan dia!" Istri pria malang itu terus memohon, meminta agar suaminya tak dihukum. 

"Menyingkir dari kakiku," tajam pria bertubuh bongsor tersebut, seolah tak memiliki hati, dia memandang sepasang suami istri dari kalangan cheonmin tersebut bagai serangga, "jika kau terus merengek di depanku, akan ku bunuh semua keluargamu." 

"T-tuan..." linangan air mata Si pria paruh baya semakin deras, tangannya gemetar hebat. 

Berurusan dengan Algojo kerajaan, Guan Yu, memang bukanlah hal yang tepat. Bagi rakyat, justru itu adalah sebuah kesialan. 

"Pegangi dia," perintah Guan Yu, pada beberapa prajurit kerajaan yang datang bersamanya. 

"Baik, tuan."

Dua orang prajurit berseragam kemudian segera menarik paksa pria paruh baya tersebut, memegangi kedua lengannya dengan erat, menyeretnya ke hadapan Sang eksekutor. 

Guan Yu bahkan sama sekali tak memedulikan tangisan dan permohonan dari istri pria itu, dia mengarahkan pedangnya ke leher Si pria paruh baya. 

"Pengkhianat harus mati," dinginnya, terdengar seperti seorang psikopat, lalu dia angkat pedangnya tinggi-tinggi. 

"Tuan Guan Yu! Tidak!!" 


Trakk!!!


Pria itu sudah pasrah akan hidupnya, dia sudah pasrah kepalanya akan terpenggal ketika Guan Yu mengayunkan pedang zamrud hijau tersebut. 

Namun bukan kepalanya yang terpenggal, tapi—

"Silhaengja-nim, kau tidak boleh menggunakan pedangmu sembarangan seperti ini."

Guan Yu terkejut. Sepasang alisnya yang mirip bukit, mengernyit dengan tajam. Dia menatap lekat ke arah seruling berwarna hitam yang baru saja menangkis pedang legendanya. Seruling jade hitam.

Suasana hati Guan Yu semakin memburuk, apalagi ketika dia menolehkan kepalanya dan menatap seorang pria yang berdiri di sampingnya sembari tersenyum. 

"Diam dan kembali ke istana, Hwang Je No." 

Namun tatapan mematikan serta suara mencekam itu sama sekali tak bisa memengaruhi Sang Panglima Perang. Justru, Hwang Je No tertawa kecil menanggapinya. Pria tampan dengan pakaian serba hitam, masih memegang seruling hitamnya, menatap Guan Yu dengan kepala yang ia miringkan sedikit. 

"Apa kau benar-benar masih suka membantai sembarangan seperti ini?" Katanya, nadanya tenang, namun menusuk.

"Kau mau melindungi pengkhianat?" Geram Guan Yu. 

"Pengkhianat? Kau menyebut rakyat kecil sebagai pengkhianat?" Je No tertawa kecil tidak menyangka. 

"Dia tak bisa membuktikan dirinya jika dia memang tidak menyembunyikan bandit-bandit itu." 

"Dan apa kau bisa membuktikan jika dia memang pengkhianat?" 

Telak. Guan Yu langsung bukam. Dia mulai murka, dan tatapan tenang Sang Panglima Perang yang tersenyum tipis ke arahnya, membuatnya semakin muak. 

"Kau selalu mencampuri urusanku, Hwang Je No," desis Sang Algojo. 

"Bukan urusanmu," Je No menyahutnya dengan cepat, "aku ditugaskan untuk melindungi rakyat Goryeo, bukan membiarkan mereka terbunuh tanpa alasan." 

Kepalan tangan Guan Yu yang memegang pedang, mengerat hingga membuat buku-buku jarinya memutih. Dia sudah ingin memotong leher Je No sekarang, dia ingin membunuh pria ini. 

"Kau..."

"Silhaengja-nim, jika kau tidak mau melepaskannya, maka aku yang akan menggantikannya," sambar Je No.

"Apa?" Guan Yu menggeram rendah. 

"Penggal kepalaku, untuk menggantikannya, jika itu membuatmu merasa puas." 

"H-Hwang jang-gun!" Sepasang suami istri yang masih bersimpuh di tanah itu terkejut bukan main.

Guan Yu langsung mendecih, membuang napas tidak menyangka. Lalu dia tatap Hwang Je No dengan nyalang, "kau bahkan mau mengorbankan nyawamu hanya untuk orang rendahan seperti mereka, kau sudah tidak waras." 


Dugkh!!


Sang Algojo seperti tak memiliki pilihan lain selain pergi dari hadapan Sang Panglima Perang. Setelah mendorong dada Je No dengan pedangnya, Guan Yu menyingkir tanpa berkata apapun lagi. Diikuti oleh beberapa prajurit yang menemaninya keluar dari istana.

Tidak, Guan Yu mungkin benar-benar bisa membunuh Je No saat itu juga jika ini menyangkut kepuasan dirinya. Tapi Hwang Je No adalah panglima perang, sekaligus kepercayaan Raja. Akan fatal jika dia membunuh pria itu begitu saja. 

"Panglima Hwang!! Panglima Hwang! Anda benar-benar seorang malaikat!" 

Je No ber-oh kecil ketika dia sedang memandang punggung Guan Yu yang menjauh, dan mendengar suara yang kembali menemukan harapan, menyadarkannya. Pria bersurai legam itu berjongkok, "anda baik-baik saja?" 

"Panglima Hwang..." pria paruh baya itu menangis, dan Jeno hanya tertawa kecil sembari menepuk-nepuk punggung berpakaian lusuh tersebut. 

"Hwang Yong-Geum, terima kasih sudah menyelamatkan suami saya, sungguh," istri dari pria itu pun juga tak berhenti meminta maaf.

"Tidak masalah, yang terpenting apakah kalian terluka? Apakah Tuan Guan Yu melukai kalian?" Tanyanya, khawatir. 

"Tidak, itu karena anda datang sangat tepat waktu, terima kasih..." 

Hwang Je No tersenyum tipis, menghela napas. Lega ketika tahu bahwa sepasang suami istri ini baik-baik saja, lega bahwa Guan Yu masih belum sempat melukai sepasang suami istri ini sedikitpun. 

Lalu, tak berapa lama warga yang lain segera berbondong-bondong keluar dari persembunyiannya. Mereka yang awalnya ketakutan karena kedatangan Guan Yu, kini memasang wajah cerah nan berseri karena melihat seseorang yang sudah mereka tunggu sejak lama. 

"Hwang Yong-Geum!!" 

"Panglima Hwang sudah kembali!!" 

"Hwang jang-gun, terima kasih karena sudah kembali pada kami tanpa terluka!" 

Sorak sorai rakyat Goryeo memenuhi gendang telinga Hwang Je No. Pria itu tertawa kecil, memandang orang-orang di desa yang terlihat sangat bahagia karena kehadirannya. Hatinya pun kemudian menghangat. 

"Kami merindukan nyanyian Naga Emas!" Celetukan salah seorang warga, membuat Jeno mengangkat kedua alisnya.

Lalu tatapan pria itu melembut. 


***


Pria itu baru saja keluar dari changdeokgun, sepanjang perjalanan, semua orang yang berpapasan dengannya memberikan penghormatan tanpa ragu. Pria dengan rambut sepanjang punggung yang diikat separuh itu berjalan melewati paviliun kerajaan yang menjadi tempat tinggal para Pangeran. Hwang Je No sedang mencari seseorang. 

Entah kenapa istana tampak sedikit sepi saat itu. Biasanya di sore hari seperti ini dia akan mendengar pertengkaran antara Pangeran Wang Jin dengan Wang Hun, dan adu mulut antara Wang Jin dengan Wang Han. Je No selalu tertawa tiap menyaksikannya, tanpa berminat melerai, Pangeran Wang Jin selalu suka mencari gara-gara dengan saudara-saudaranya. 

Oh, bahkan sejak tiba di Goryeo, Je No belum melihat Seon Jae Hyun sama sekali. Dia habis menemui Raja, dan Pangeran Mahkota masih berada di changdeokgun, membicarakan beberapa hal penting dengan Sang ayah.  

Nyaris mengitari seluruh bagian istana, Hwang Je No mulai merasa pegal. Dia berakhir di halaman belakang kerajaan yang memiliki pemandangan bagai surga. Danau luas yang tenang, pepohonan rindang yang meliuk perlahan karena angin sepoi, dan berbagai macam bunga yang indah memenuhi taman tersebut. 

Namun hal pertama yang Je No tangkap dalam pandangan matanya adalah seseorang yang terlihat berdiri tak jauh di tepi danau, sedang menyirami bunga aster kecil-kecil berwarna putih dengan tenang. 

Sang Panglima Perang berjalan mendekat, meletakkan kedua tangannya di belakang punggung, berjalan tanpa suara. 

Namun dia bahkan belum berkata apapun, orang yang ia dekati telah menyadari kedatangannya lebih dulu. Entah, mungkin karena insting yang tajam. 

"Oh, kau datang."

"Hwangja-nim," Je No tersenyum, mengepalkan kedua tangannya di depan dada, lalu membungkuk sedikit. 

Wang Jae hanya mengangkat kedua alis sejenak, lalu kembali melanjutkan acara menyiram bunganya. Ngomong-ngomong bunga aster yang bergerombol itu ditanam sendiri olehnya. 

Sang Pangeran ke-7 menyiduk air dari danau, menyiram tanaman-tanamannya dengan pelan. Sang Panglima Perang memerhatikannya dalam damai. 

"Kau datang terlambat," ucap Wang Jae tiba-tiba. 

"Maaf, ada sedikit insiden."

"Lalu Pangeran Mahkota?" Wang Jae sama sekali tak mengalihkan pandangan, fokus pada bunga asternya.

"Yeol Wangseja baik-baik saja, dia tidak terluka, sekarang beliau sedang berbicara dengan Yang Mulia."

"Bagaimana denganmu?" 

Je No terdiam sejenak ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Wang Jae. Lalu dia tersenyum tipis, "saya baik-baik saja, tidak ada hal buruk apapun yang terjadi." 

"Begitu." 

Wang Jae tak menunjukkan ekspresi apapun lagi selain balasan pendek tersebut. Hwang Je No masih memerhatikannya, dari samping, meski raut Wang Jae cukup datar, tapi Je No bisa melihat pria itu mengulas senyum sedikit. Benar-benar sangat tipis. Wang Jae terlihat sangat damai saat beradu dengan alam. 

"Bunga yang cantik," kata Sang Panglima.

"Ya, ini baru saja tumbuh, kau melewatkannya." 

"Hwangja-nim."

"Apa?" 

"Kita punya janji berburu bersama," ujar Je No, kalimatnya barusan menghentikan gerakan Wang Jae. Namun beberapa saat kemudian Sang Pangeran mengabaikannya.

"Kau ditugaskan ke medan perang oleh Raja," jawab Wang Jae. 

"Kalau begitu bagaimana jika besok? Raja memberikan saya waktu untuk beristirahat selama satu minggu." 

Wang Jae meletakkan wadah kecil yang dia gunakan untuk menyiram di atas tanah, lalu memutar tubuhnya sedikit, menghadap Hwang Je No. Air mukanya tampak berbeda, lebih lembut. "Boleh, aku ingin mencari kelinci liar." 

"Untuk apa?" 

"Entahlah, tiba-tiba aku kepikiran untuk memelihara kelinci, bukankah mereka lucu?" Wang Jae tertawa kecil. 

Je No tersenyum hingga menampakkan deretan giginya, "tentu, saya akan menemani anda mencari kelinci." 

"Oh, aku berencana mengajak Guan Yu," Sang Pangeran tersadar. 

"Huh?" Hwang Je No langsung memasang wajah masam. 

"Ada apa?" 

"Saya tidak yakin," Je No keki, membuang pandangan ke danau. 

"Kenapa begitu?" 

"Bukannya membantu untuk menangkap kelinci, dia akan membunuh kelinci-kelinci itu." 

Wang Jae langsung mendengus geli saat mendengarnya, dia menepuk pundak Je No kemudian, "aku tahu kalian tidak akur, tapi Guan Yu tidak akan membunuh jika tidak ku perintahkan."

Oh, seandainya saja Wang Jae tahu apa yang terjadi beberapa jam lalu. 

"Hwangja-nim, saya tidak mau berburu dengannya."

Sang Pangeran ke-7 hanya tertawa kecil mendengarnya, apalagi ketika melihat ekspresi kesal Je No yang tampak serius namun lucu baginya. "Iya iya baiklah, kita berangkat berburu lusa, ya?"

Wajah Hwang Je No menjadi cerah, "baik, Hwangja-nim."

"Aigoo-ya Hwangja-nim anda ternyata di sini!"

Kedua pria itu menoleh. Seorang pria tampan lainnya terlihat menyapa dari kejauhan, lantas berlari kecil menghampiri Sang Pangeran bersama Panglimanya. 

Je No ber-oh ketika melihat sosok Seon Jae Hyun datang mendekat. 

"Oh, Hwang Yong-Geum kita sudah sampai," Jae Hyun tersadar dengan kehadiran Je No, lantas ia membungkuk sopan. Je No tertawa menanggapinya. 

"Lama tak jumpa, Tuan Seon Jae Hyun." 

Begitulah. Seorang pria tampan yang berdiri bersama pria tampan, di samping pria tampan lainnya. 

Namun pandangan Wang Jae pada Jae Hyun kemudian berubah, tak sehangat saat mengobrol dengan Hwang Je No. Pangeran ke-7 meletakkan sepasang tangannya di belakang, "ada apa, Tuan Seon?" Tanyanya, dengan ritme yang datar dan rendah. 

"Raja memanggil anda, para Pangeran telah berkumpul di changdeokgun saat ini."

Je No yang menyahut, "sungguh? Ada apa?" 

Jae Hyun menggeser netranya ke arah Sang Panglima, "ini mengenai kedatangan para Pangeran Kekaisaran Song ke Goryeo beberapa hari lagi." 

Wang Jae diam sesaat, sampai akhirnya dia pun hanya beringsut dari sana tanpa mengatakan apapun lagi pada kedua pria di hadapannya. Langkahnya agak cepat, Jae Hyun baru saja ingin memanggilnya lagi sampai suaranya pun tertahan di ujung bibir. 

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Tanya Jae Hyun, masih memandang punggung Sang Pangeran yang berjalan menjauh. 

"Tidak ada, aku pun baru sampai di sini." Je No mengangkat bahu, memutar seruling hitam yang dia ambil dari ikat pinggangnya. 

"Oh ya? Lalu apa yang dilakukan Wang Jae menyendiri disini?" 

"Dia sedang menyiram bunga."

"Huh?" Jawabannya barusan membuat Sang cendekiawan cukup terkejut.

Je No langsung menarik napas, "ku dengar kau baru saja menginap di gyobang, Tuan Seon," dia tersenyum lebar, bermaksud menggoda. 

"O-oh... iya." 

"Wanita seperti apa yang kau tiduri?" Sang Panglima tergelak, mendorong pinggang Jae Hyun dengan ujung seruling jade di tangannya. 

"Kau gila, aku tidak meniduri gisaeng itu," Jae Hyun mendecih, "kami mengobrol banyak hal, dan dia mendongengiku sampai jatuh tertidur." 

"Wow, sepertinya dia seorang pembicara yang baik," Hwang Je No mengedikkan sepasang alisnya. 

"Dia hanya pandai bermain kata," kekeh Jae Hyun, "tapi kau tahu, Hwang jang-gun, dia seorang perempuan yang sangat cantik," nadanya mulai terdengar antusias, seiring mereka yang mulai berjalan meninggalkan danau. 

Hwang Je No manggut-manggut, "kau menyebut semua perempuan cantik."

"Eiy!" Jae Hyun langsung menepuk punggung Je No, lumayan keras, "gisaeng ini terlalu cantik untuk dikatakan sekadar cantik. Dia— wah! Gila!" 

Sang Panglima Perang mengernyit, "dia gila?" 

Jae Hyun langsung mendecak keras-keras, "aku yang gila!" 

"Huh?" 

"Hwang jang-gun, dia terlalu cantik, kecantikannya benar-benar membuatku tidak bisa berpikir. Aku serius, ini dalam artian yang sesungguhnya."

Entah mengapa, tapi Seon Jae Hyun sepertinya serius. Dia mungkin memang seorang cendekiawan yang suka menggunakan majas berlebihan, tapi... kali ini Hwang Je No melihat keantusiasan yang tak seperti biasanya di wajah Jae Hyun yang berseri-seri. 

"Kau harus datang ke gyobang dan melihatnya, kau pasti akan jatuh cinta!" 

Sebagai respon, pria berpakaian hitam itu hanya tertawa kecil, lantas menggeleng-gelengkan kepala, melanjutkan perjalanan. Yah, dia sudah sering menjumpai wanita cantik, jadi Je No tidak yakin dengan gagasan terakhir Tuan cendekiawan. 

"Kau tahu aku tidak percaya dengan percintaan, Tuan Seon." 


***


Malam sudah sangat larut. Perempuan itu menengadahkan kepala, menatap rembulan yang tampak bersinar dengan begitu penuh. Oh, purnama. Dia tersenyum tipis, dengan setetes peluh mengalir dari pelipis. 

Keranjang cuciannya lebih banyak hari ini, itulah kenapa Son Je Ha baru saja selesai mencuci baju di sungai hingga selarut ini. Beberapa warga dan budak yang biasanya mencuci baju bersamanya pun sudah kembali sebelum petang. 

Seharusnya tidak aman untuk seorang wanita berada di luar rumah di larut malam seperti ini, namun salah satu gisaeng senior di gyobang, Oh Seong So, berkata padanya bahwa sejak hari ini, Goryeo akan sangat aman. 

Itu karena Panglima Perang sudah kembali. Entahlah, Je Ha tidak tahu benar atau tidak, tapi katanya iya. Dia bahkan ragu apakah Goryeo akan benar-benar terjamin aman, meski sudah banyak sekali orang yang bersaksi bahwa itu benar adanya. 

Seong So juga mengatakan, di malam hari dia harus mendengarkan suara seruling jika ingin mengetahui apa penyebab yang membuat para bandit dan pencuri lari tunggang langgang. 

Suara—

Langkah Son Je Ha langsung terhenti. Dia diam. Mematung di tempat. Ketika memasuki gerbang desa, dia mendengar sebuah suara yang baru saja dia pikirkan. 

Suara seruling. 

Saking merdunya suara itu, Je Ha langsung terpukau. Isi pikirannya seolah dibawa pergi, dan kesadarannya berangsur-angsur terbuai. Bahkan angin malam yang menghembus tubuh dan pakaian lembabnya, tak ia hiraukan. Udara semakin dingin. Keranjang cucian yang sejak tadi terasa berat, seolah menjadi ringan.

Perempuan itu mendongakkan kepala, ke arah sumber suara. 

Lalu dia bisa melihat, seseorang berdiri di atas giwajip, tinggi di atas sana. Sebuah siluet hitam, membelakangi cahaya purnama. Seseorang yang meniup seruling, dengan pakaiannya yang berkibar karena angin. 

Untuk sesaat, Son Je Ha terus menatap sosok itu, mendengar nyanyian serulingnya yang menenangkan seperti lagu pengantar tidur. 

Jadi, itukah... Hwang Yong-Geum?




To be continued...


.

.

.


Terima kasih sudah membaca~

Semoga hari kalian menyenangkan, dan sehatlah selalu ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

37.6K 4.1K 48
(NOVEL TERJEMAHAN!!! Cerita Bukan Milik Saya ) Penulis:_(tidak tahu karena waktu terjmhin gak ada nama penulis aslinya) (SLOW UPDATE 🗣️⏲️) Deskr...
1.6K 322 19
Harvey yakin, Yovela youtuber pemula itu melakukan plagiarisme padanya dan Yovela yang selalu membantah. purpelink ©2022, 14 May.
28.3K 2.2K 30
[ COMPLETED ] 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒂𝒑𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏 𝒎𝒖𝒔𝒕𝒂𝒉𝒊𝒍 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒅𝒊𝒘𝒖𝒋𝒖𝒅𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒘𝒖𝒋𝒖�...
335K 29.8K 30
Kehidupan Evelyn yang sempurna berubah setelah kematian kedua orang tuanya. Ia harus menjual harta dan kediamannya untuk membayar hutang keluarga. Se...