Long Way Home

Por cloudiens

9.9K 1.1K 377

"I wanna get lose and drive forever with you." *** Erlangga Jevander adalah penghuni yang kehilangan rumahnya... M谩s

Let's meet them
01 - Don't (Love Me)
02 - Feeling Fades
03 - Hate to See Your Heart Break
04 - Stay Close, Don't Go
05 - Naked
06 - Don't Watch Me Cry
07 - Thru These Tears
08 - How Can I Say?
09 - I Like You
10 - I'm Serious
11 - Leave Your Lover
13 - Trying My Best
14 - Eyes Locked, Hands Locked
15 - Fools
16 - Popo
17 - What Am I To You
18 - Clich茅
19 - Heart Out
20 - Love Me Like That (END)
Extra Chapter - Cry Baby

12 - Falling for You

361 48 23
Por cloudiens

Don't you see me I
I think I'm falling, I'm falling for you
And don't you need me I
I think I'm falling, I'm falling for you
On this night, and in this light
I think I'm falling (I think I'm falling), I'm falling for you
And maybe you, change your mind

Falling for You - The 1975

❇❇❇

Elang

Pernah gak, lo semua punya temen kecil yang dulunya deket banget terus sekarang udah gak tau gimana kabarnya? Kayaknya hampir semua orang pernah sih ya, mengingat siklus hidup yang emang selalu begitu-kenal, deket, asing lagi kemudian terlupakan.

Kadang gue suka gak terima sama kenyataan kayak gitu. Kenapa kita harus kenal dan deket sebelumnya, kalau cuma berujung jadi asing lagi dan lupa satu sama lain?

Dulu, tepatnya saat gue kelas tiga SD, gue kenal dengan sosok anak perempuan yang hobinya ngoleksi boneka barbie berbaju ballet. Hampir semua barbie yang dia punya pakai baju ballet. Suatu hari gue iseng bertanya, kenapa dia gak beli baju barbie lain yang lebih trendy dan lagi hits pada zamannya itu. Dan gue masih inget jawaban dia sampai sekarang.

"Aku mau jadi ballerina, tapi gak bisa, makanya barbienya aja yang jadi ballerina."

Ternyata perihal impian.

Umurnya lebih muda dari gue, mungkin bedanya sekitar dua sampai tiga tahun di bawah gue. Tapi cara ngomongnya jauh lebih dewasa dari gue. Pemikirannya juga gak sesederhana anak sepantarannya. Di saat gue sibuk rebutan remot TV sama kakak gue setiap weekend pagi, dia justru sibuk gambar di balkon kamarnya sendirian.

Gambarnya juga selalu berhubungan sama ballerina.

Saat itu, gue lagi main ninetendo di balkon. Rumahnya yang bersebelahan dengan rumah gue persis membuat jarak antara balkon kamar gue dan kamarnya berhadapan.

"Gambar apa?" emang dasarnya anaknya udah sok asik dan kepoan dari lahir, gue dulu sok ngide nanya kayak gitu ke dia yang lagi konsen membuat arsiran pada kertas gambarnya.

"Eh? Gambar Odette."

Dulu gue gak tau Odette siapa. Gue cuma ngangguk-ngangguk aja sambil terus ngeliatin dia yang mulai menyapukan cat air pada kertas gambarnya.

"Ajarin dong."

"Apa?"

"Ajarin punya cita -cita."

Dia kelihatannya kebingungan dengan ucapan gue saat itu karena responnya cuma mengedipkan mata dengan bibirnya yang sedikit terbuka. Namun, saat itu gue serius mengatakan kalau gue mau diajari gimana rasanya punya mimpi. Karena setiap ditanya cita-cita gue mau jadi apa, gue selalu jawab gak tau. Waktu disuruh gambar profesi yang kita mau di masa depan pas gue TK aja, gue malah gambar Son Goku.

"Emang kamu gak tau cita-cita kamu apa?"

Gue menggeleng dengan yakin.

"Kamu sukanya apa?"

"Dragon ball."

Dia tertawa mendengar jawaban gue. Iya, emang gue anaknya udah malu-maluin dari kecil.

"Kamu gak mau suka yang lain? Misalnya, dokter?"

"Gak suka jarum suntik."

"Em... Kalau polisi?"

"Gak mau, kata Teteh polisi nyebelin."

Mendengar ucapan gue, respon dia cuma tertawa sampai matanya menyipit.

"Kamu bisa main itu?" dia menunjuk keyboard milik bokap gue yang setiap pagi emang selalu ditaruh di balkon kamar gue karena dia suka mainin di sini. Pemandangannya bagus katanya, gak kayak kamar dia yang balkonnya menghadap ke pabrik konveksi.

"Bisa," jawab gue apa adanya.

"Wihh keren! Bisa main alat musik apa lagi?"

"Drum," jujur gue emang lebih dulu bisa main drum ketimbang gitar. Gue baru bisa main gitar pas masuk SMP, sedangkan drum udah dari SD.

"Keren banget! Kenapa gak jadi musisi aja?"

"Musisi tuh apa?"

"Itu loh, orang-orang penyuka musik. Bukan sekedar suka aja, tapi kata Bunda musisi juga bisa nyiptain musik-musik bagus."

"Aku gak bisa bikin musik."

"Nanti 'kan belajar. Aku yakin kamu bisa kok. Kamu bisa main itu aja udah termasuk hebat," dia menunjuk keyboard di belakang gue dengan senyum sumringah.

"Sasa, ayuk makan dulu!"

Suara perempuan dari dalam rumahnya menginterupsi kegiatan menggambarnya yang belum selesai. Dia langsung membereskan alat gambarnya kemudian masuk ke dalam rumah.

Gue masih berdiri di balkon sambil memandangi kertas gambarnya yang sengaja dia tinggalin di teras. Kalimatnya yang bisa dibilang cukup sederhana-mengingat umurnya yang berjarak dua tahun lebih muda dari gue-, lucunya terus berputar di kepala gue.

Sampai akhirnya suatu pagi, gue mengetuk pintu kamar orang tua gue dengan penuh semangat. Gue ingat saat itu bokap dan nyokap gue sampe keluar dengan tergesa-gesa karena gue yang mengetuk pintu kamar mereka terlalu kencang.

"Kenapa, Dek? Adek mimpi buruk lagi?"

Gue menggeleng, "Pi, Mi, Elang gak mau jadi Son Goku."

Mereka sibuk melempar pandangan saat gue mengatakan itu.

"Elang mau jadi musisi. Musisi hebat kayak Papi."

Akhirnya gue sadar kalau di rumah ini ada musisi hebat yang mendedikasikan separuh hidupnya untuk musik. Dulu sebelum gue kenal kata musisi itu, setiap bokap gue sibuk sama alat musiknya gue pikir dia cuma sekedar iseng aja. Gue gak tau kalau dia sedang menciptakan sebuah maha karya yang berhasil menarik hati orang-orang di luar sana.

Dan sekarang gue .... ingin seperti beliau.

Bokap dan nyokap gue saat itu cuma menanggapi ucapan gue dengan senyuman. Gue ikut tersenyum dengan rasa bangga karena akhirnya gue menemukan cita-cita gue.

Gue berniat buat ngasih tau dia soal cita-cita gue ini, tapi sayangnya waktu terlalu jahat sama gue. Waktu gak mengizinkan gue untuk menceritakan soal cita-cita itu ke dia.

Rumahnya kosong. Ada banner besar bertuliskan 'disewakan' yang terpasang di pagar rumahnya. Gue ingat saat itu, gue hanya bisa memandangi pagar putih yang gak terlalu tinggi itu dengan tatapan sendu dan penuh kekecewaan.

Dia pindah. Bahkan tanpa ngucapin kalimat perpisahan apapun.

Dia pindah. Tanpa membiarkan gue memberitahu apa cita-cita gue.

"Ayahnya Sasa kerjanya dipindahin ke luar kota, jadi mereka harus pindah."

Saat itu, gue gak mengidahkan penjelasan kakak gue yang tanpa gue sadari udah berdiri di belakang gue. Gue masih sibuk memandangi pagar putih di hadapan gue dengan mata yang berkaca-kaca.

Jujur waktu kecil gue gak punya temen. Temen main gue ya cuma kakak gue dan sepupu-sepupu gue-itu pun kalau mereka lagi main ke rumah. Makanya pas tau ada anak sepantaran gue tinggal di sebelah rumah gue, gue seneng bukan main.

Sayangnya itu gak berlaku lama.

Elang kecil akhirnya terpaksa meninggalkan rumah itu dengan penuh kekecewaan. Saat itu bahkan gue sampai mogok bicara sama orang-orang rumah.

Sampai akhirnya suatu sore, setelah gue baru selesai mandi, kakak gue tiba-tiba aja udah nangkring di kasur gue sambil senyam-senyum. Gue gak menghiraukannya. Gue melewatinya begitu aja dan duduk di meja belajar buat ngerjain PR.

"Lang, tau gak Teteh nemuin apa?"

"Gak tau," jawab gue tanpa menoleh.

"Ih liat dulu!"

"Gak mau."

Terus tiba-tiba aja kursi belajar gue diputar, gue hampir mau nendang kakak gue waktu itu karena saking keselnya, tapi waktu liat apa yang ada di genggaman tangannya, gue mengurungkannya.

Gantungan kunci gambar rumah. Di bawahnya ada ukiran nama kecil yang gue bisa liat jelas apa tulisannya.

Sasa.

"Tadi tukang sapu komplek nemu ini pas nyapu di depan rumah Sasa. Terus sama Mami diambil deh."

"Dihh, kok bengong aja? Nih, ambil!"

Setelah itu, senyum lebar langsung terbit di bibir gue. Gue langsung meluk kakak gue kenceng banget padahal setiap mau dipeluk dia gue gak mau terus.

Kalau dipikir-pikir lucu juga. Cuma karena gantungan kunci miliknya yang gak sengaja ketemu di depan rumahnya, gue kecil bisa langsung sebahagia itu.

Dan lucu ... karena sampai saat ini gue gak pernah tau nama lengkapnya.

Gue hanya memanggilnya dengan sebutan Sasa.

Sasa yang gue gak tau dimana dia sekarang.

❇❇❇

"ELANG BANGUN GAK LO?!!!"

"Demi apapun ya kalau lo gak bangun juga, gue guyur lo sekarang juga!"

Gue gak butuh alarm selama Windy masih bersarang di apartemen gue karena suaranya dia melebih-lebihi alarm pemadam kebakaran. Gue melempar mukanya dengan bantal guling karena demi apapun gue sekesel itu. Gue baru tidur banget, kepala gue masih berat kayak abis ditindihin batu.

"Gue baru tidur!"

"Baru tidur gigi lo! Heh, gue kasih tau nih ya, lo udah tidur selama hampir dua belas jam!"

Ngada-ngada. Mana ada dua belas jam. Paling juga dua jam.

Tapi tunggu... Seharusnya kalau gue tidur cuma dua jam, sekarang masih pagi. Namun, yang gue liat sekarang gak ada satupun cahaya matahari yang masuk lewat ventilasi jendela kamar gue.

"Kalau lo gak mau bangun juga terserah! Mau lo mati kelaperan juga gue gak peduli lah!"

Begitu Windy mau ninggalin kamar gue, gue menghadangnya menggunakan kaki gue. Dia mendengus kemudian menoleh ke arah gue dengan tatapan memincing.

"Sekarang jam berapa?"

Bukannya menjawab, dia malah ngelemparin ponsel gue.

"Tuh liat sendiri!"

Setelah itu dia langsung kabur gitu aja, meninggalkan gue yang sekarang sibuk memandangi layar ponsel gue.

Jam enam sore.

Hah....

JAM ENAM SORE?!!!

"WINDY SIALAN! KENAPA LO GAK BANGUNIN GUE? GUE ADA BIMBINGAN!"

"NGOMONG NIH SAMA PANTAT GUE!"

Sialan.

Sialan, sialan, sialan. Kenapa bisa-bisanya gue tidur kayak orang mati begini?!

Gue langsung lompat dari kasur dan bergegas ke kamar mandi. Namun, sebelum gue mencapai pintu kamar mandi, ponsel yang gue letakkan di atas kasur bergetar. Gue melirik benda itu sekilas, membaca pop up chat yang tertera dengan seksama. Saat melihat nama siapa yang yang terpampang jelas di sana, gue menghela napas lelah.

Aneh, padahal dari tadi gue pengen banget ngehubungin dia, tapi kenapa begitu dia ngehubungin gue duluan rasa antusias itu lenyap entah kemana.

Gladys: Lang....

Gladys: I'm sorry...

Gladys: Maaf buat semuanya.

Kenapa dia terus-terusan minta maaf atas kesalahan yang gak dia perbuat?

Gue membiarkan pesan itu tanpa berniat untuk membalasnya. Gak, gue gak marah sama dia. Kenapa juga gue harus marah padahal dia gak ngelakuin kesalahan apapun sama gue? Gue cuma .... mau nenangin diri gue sendiri dulu. Gue mau yakinin diri gue sendiri dulu kalau perasaan yang gue punya buat dia sekarang pantas disebut apa.

Dan gue mau yakinin diri gue sendiri .... kalau perasaan yang gue punya sekarang bukan sebuah kesalahan.

Karena perasaan gak pernah bisa disalahin 'kan?

❇❇❇


Gladys

Di saat orang-orang sibuk membereskan barang-barang karena satu jam lagi kita semua bakal balik ke Jakarta, gue malah sibuk memandangi layar ponsel gue yang sekarang menampilkan room chat gue dengan seseorang. Pesan terakhir yang gue kirimkan bahkan gak dibaca sama sekali. Gue gak tau berhak atau gak untuk kecewa karena hal ini.

Karena kalau bicara kecewa, mungkin dia jauh lebih kecewa dibanding gue.

Seharian ini juga Alden gak ada ngehubungin gue sama sekali. Gue udah mencoba untuk meneleponnya beberapa kali, tapi ponselnya gak aktif. Gue cukup mengerti, mungkin dia emang gak mau diganggu siapapun.

Aneh rasanya gue lebih memikirkan orang lain ketimbang cowok gue sendiri. Dan aneh rasanya gue lebih cemas saat pesan gue gak dibalas sama orang lain itu di saat cowok gue sendiri gak ada kabar.

Dys... apa sebenernya yang lo rasain sekarang?

"Kak, udah selesai packing?"

Lamunan gue buyar saat salah satu adik tingkat gue menepuk bahu gue. Gue menoleh dengan sedikit gelagapan, buru-buru langsung mematikan layar ponsel gue takut dia liat apa yang terpampang di sana.

"Eh, iya belom, ini baru mau. Lo udah packing?"

"Udah. Lo dipanggil Kak Brian tuh, tapi packing aja dulu."

Gue hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Menghela napas panjang, kemudian melangkah menuju ransel gue untuk merapihkan barang bawaan.

Seharian ini fokus gue bener-bener berantakan. Gue bahkan tadi gak sengaja nyampurin limbah organik sama anorganik. Untung baru sedikit dan temen-temen gue yang lain gak marah-marah, walaupun gue tau sih pasti ada beberapa orang yang kesel karena kerja gue gak optimal padahal ini proker gue.

"Dys."

Gue menoleh ketika mendengar seseorang memanggil nama gue. Ternyata Brian.

"Kenapa, Yan?"

Dia menyodorkan sebungkus roti isi dan susu cokelat ke arah gue. Kening gue berkerut karena gak mengerti apa maksudnya.

"Tadi gue liat nasi box lo belom lo makan. Nih, makan buat ganjel perut."

Gue gak tau kalau dia memerhatikan gue sebegitunya. Jujur emang gue skip makan siang tadi karena harus bantuin salah satu warga yang kesusahan bikin pupuk organik. Karena keasikan dan gue yang emang berniat buat mengalihkan pikiran dari hal-hal yang terus menghantui gue saat gue lagi diem, gue sampe lupa buat makan siang.

"Thanks ya. Lo gak perlu repot-repot begini ah, gak enak gue," gue meraih roti dan susu itu sambil melempar senyum.

"Gak ngerepotin sama sekali kok. Makan, Dys, ntar masuk angin."

Gue pikir begitu dia memberi gue makanan ini, dia bakal langsung pergi, tapi ternyata enggak. Dia malah duduk di samping gue dan ikut membereskan barang bawaannya-kebetulan tas gue dan tasnya bersebelahan saat ini.

"Nanti sampe sana lo dijemput siapa?"

"Hm? Gak tau. Kayaknya naik ojol deh."

"Mau bareng?"

"Hah? Gak usahhh. Jauh banget gila Kemayoran ke BSD. Kesian lonya muter-muter."

"Hahaha emang kenapa? Gue lagi free ini."

"Gak ah. Lo pasti capek banget, Yan. Tadi aja kata Danis lo baru makan pas istirahat udah mau abis."

"Lo malah sampe skip makan."

Mampus. Kalah telak gue.

Gue cuma membalas ucapannya dengan kekehan kecil. Setelahnya dia juga ikut tertawa sambil mengacak puncak kepala gue. Gue gak senaif itu sampe gak tau kalau seorang Brian Kalendra nyimpen rasa sama gue. Semuanya keliatan sejelas itu dari perlakuan yang dia kasih ke gue.

Sayangnya, gue bener-bener gak ada perasaan apa-apa sama dia. Brian udah gue anggap kayak abang gue sendiri. Dari awal ospek, dia udah jadi temen yang baik buat gue. Dia selalu bisa ngertiin gue, obrolan kami berdua selalu nyambung karena kami satu frekuensi. Gue gak nyangka dibalik sikapnya itu, dia ternyata punya perasaan lebih dari sekedar temen sama gue.

Dan gue... sangat merasa bersalah akan hal itu.

"Yan," gue memberanikan diri untuk memanggil namanya. Gue rasa gue perlu membicarakan perihal ini sama dia supaya dia gak berharap terlalu jauh.

"Hm?"

Isi kepala gue sibuk mencari-cari kalimat apa yang sekiranya cocok untuk gue ucapkan. Kalimat yang gak akan melukainya walaupun gue tau ujung-ujungnya dia tetap bakalan terluka karena gue ngomong gini.

"Jangan suka sama gue, Yan."

Dia diam, gue pun sama. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik di depan sana. Posko kebetulan lagi sepi, cuma ada kita berdua di sini. Itulah kenapa gue berani membahas masalah ini sama dia sekarang.

"Karena lo udah punya cowok?"

Seharusnya gue menjawab iya, tapi entah kenapa gue malah merasa jawaban itu kurang tepat. Bener gue punya cowok-masih punya cowok-, tapi gue merasa seolah ada alasan lain yang membuat dia gak seharusnya suka sama gue.

"Gue gak bakal ganggu lo sama cowok lo kok, Dys. Gue gak seberengsek itu buat ngerusak hubungan orang."

Gue tau. Gue tau dia gak mungkin kayak gitu. Itu juga bukan salah satu alasan gue ngomong gini. Gue bukannya takut dia ngerusak hubungan gue sama Alden karena faktanya hubungan itu udah rusak sedari lama. Gue cuma gak mau dia menaruh harapan pada gue terlalu jauh. Harapan yang mungkin cuma akan berujung pada kesia-siaan.

Gue gak mau bikin orang lain kecewa lagi karena berharap lebih sama gue.

Iya, itu alasan sebenarnya kenapa gue ngomongin ini sama dia.

Gue gak mau ada Elang yang lain. Yang terpaksa harus menelan kekecewaan karena perasaan gue yang masih samar ini. Menelan kekecewaan karena gue yang masih ragu buat memantapkan hati gue sendiri.

Bukan soal hubungan gue dengan Alden karena jelas gue memang mau mengakhirinya, melainkan tentang perasaan yang gue punya untuk orang lain.

Gue masih belum yakin dengan perasaan gue untuk orang lain itu. Gue masih belum yakin... bisa membuka hati secepat itu.

"Gue juga maunya gak suka sama lo. Suka sama cewek orang bikin gue keliatan menyedihkan aja. Tapi namanya perasaan mana bisa diatur? Bisa sih dicegah, gue juga udah nyoba waktu pertama tau lo udah punya cowok, tapi ternyata makin gue coba malah perasaan yang gue punya justru makin gede."

Meskipun dia ngucapin itu dengan senyum yang terpatri di bibirnya, gue tau kalau hatinya sangat bertolak belakang dengan ekspresinya saat ini.

Karena gue yang dengernya aja sesakit hati itu.

"Jadi, jangan suruh gue buat ngapus perasaan gue buat lo, Dys, karena gue gak bisa. Gue mau biarin itu terus ada di sana sampe dia nemu penggantinya yang baru, ya walaupun kayaknya bakal lama juga sih hahaha."

Brian Kalendra adalah salah satu sosok yang gue kagumi di dunia ini. Selain sikapnya yang ramah, pembawaannya yang dewasa, dia juga punya hati yang lapang. Gue sempet denger soal dia diselingkuhin ceweknya pas awal masuk kuliah, dan dia sama sekali gak marah soal itu. Mungkin marah, tapi dia gak menunjukkanya di depan orang banyak. Bahkan saat ceweknya nyamperin ke fakultasnya sambil nangis-nangis buat minta maaf, dia tetap bisa tersenyum dan memeluk cewek itu.

He's doesn't deserve these shit.

"Aneh, gue merasa lo ngomong kayak gini bukan karena lo takut hubungan lo dan cowok rusak."

Gue terhenyak. Apa iya sejelas itu?

"Lo gak mau bikin orang lain kecewa 'kan?"

Gue diam, membenarkan kalimatnya dalam hati.

"Karena sebelumnya... lo ngerasa pernah ngecewain orang lain."

"Yan..."

"It's not your fault. Semuanya pasti pernah ragu sama perasaan sendiri, Dys. Dan gak ada orang yang mau ngecewain orang lain."

"Bener mungkin dia kecewa, tapi bukan sama lo. Bisa aja dia kecewa sama diri dia sendiri. Kecewa karena harapan yang dia buat terlalu tinggi, sampe rasanya terlalu mustahil buat terwujud."

"Makanya gue gak pernah buat harapan terlalu tinggi karena gue tau cuma bakal bikin sakit hati doang kalau gak terwujud. Sama kayak gue suka sama lo. Gue gak pernah berharap lo bakal suka balik sama gue. Gue cuma... suka aja, tanpa berharap adanya timbal balik. "

"Tapi itu gue, Dys, bukan Elang."

Gue hampir tersedak udara yang gue hirup sendiri saat mendengar nama siapa yang keluar dari mulutnya. Dari mana dia tau? Oke, gue tau mereka emang temenan, tapi masa iya Elang cerita-cerita ke dia soal ini? Keliatannya mereka gak sedeket itu buat ceritain masalah yang cukup pribadi kayak gini.

"Elang mungkin berharap adanya feed back dari lo, makanya dia berujung kecewa karena tau lo masih ragu sama perasaan lo sendiri. Tapi lagi-lagi dia bukan kecewa sama lo. Dia kecewa sama dirinya sendiri."

Membayangkan dia yang mungkin aja lagi nyalahin dirinya sendiri di sana, rasanya gue pengen ngomelin dia sekarang juga.

"Udah, jangan dipikirin banget. Makan dulu sana, nanti kembung perut lo," setelah menepuk bahu gue pelan, dia langsung bangkit dari posisi duduknya dan melangkah keluar posko.

Namun, sebelum dia bener-bener hilang dari pandangan gue, gue menyerukan namanya sekali lagi.

"Brian."

Langkahnya terhenti, dan dia pun sekarang menolehkan kepalanya.

"Kalau nanti hati lo udah nemu pemiliknya yang baru, cerita-cerita ya sama gue."

Karena gue yakin, cepat atau lambat si pemilik baru itu bakalan dateng.

Pemilik yang gue harap jauh lebih baik dari gue.

Karena Brian Kalendra pantes dapetin itu.

"Pasti," jawabnya dengan cengiran lebar yang berhasil membuat kedua ujung bibir gue juga ikut tertarik ke atas.

Setelahnya dia benar-benar pergi. Meninggalkan gue yang sekarang kembali sibuk membereskan barang-barang sambil sesekali melirik layar ponsel gue.

Untuk kesekian kalinya gue harus menghela napas karena gak ada satupun pesan masuk yang tertera di sana.

❇❇❇

Gue dan rombongan yang lain sampai di Jakarta saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Melenceng satu jam dari perkiraan yang sebelumnya jam sembilan karena ternyata jalanan cukup macet malem ini.

"Air masih ada tuh sekardus, bawa aja nanti simpen di sekre," seru gue sambil menenteng tikar lipat sebelum turun dari bus.

"Di mana airnya, Dys?" sahut Ivan-salah satu teman sedivisi gue-, yang kebetulan berdiri di belakang gue.

"Di jok paling belakang, Van. Tolong bawain ya."

"Oke siap!"

Setelah mengucap makasih, gue langsung turun dari bus yang udah terparkir di depan gedung FISIP sambil menyapu pandangan ke seluruh arah buat mencari si pemilik tikar lipat yang sekarang gue pegang. Namun, alih-alih menemukan si pemilik tikar, pandangan gue justru menangkap sesosok cowok yang sekarang tengah berdiri sambil bersandar di cap mobilnya dengan sebatang rokok yang terapit di kedua jarinya.

Dari jarak yang gak begitu jauh ini, gue bisa liat dengan jelas siapa sosok itu.

Sosok yang seharian ini gue tunggu-tunggu kabarnya, tapi terlalu takut untuk menghubunginya duluan setelah pesan yang terakhir gue kirimkan gak kunjung dapat balasan.

"Kak? Sorry, tiker gue..."

"Eh, iya. Nih, makasih ya, Nis," gue menyerahkan tikar lipat yang ada di genggaman gue ke arah salah satu adik tingkat gue yang merupakan drummer bandnya Brian, EnamHari.

"Yoi. Lo balik sama siapa, Kak? Mau bareng gak?"

Gue menggeleng seraya melempar senyum, "Gak usah. Ntar gue jadi nyamuk lagi," jawab gue yang tentunya dengan nada bergurau.

"Hahaha santai aja sih, Kak. Lagian apart lo sama rumah Radin searah ini."

Radin yang dia sebut ini adalah pacarnya. Gue denger jadiannya udah empat tahun. Lama juga ya, kalah gue. Kebetulan ceweknya juga anak Hima, jadi lumayan deket sama gue.

"Gakkk. Udah sana lo, noh cewek lo nungguin," gue menunjuk sesosok cewek berkemeja putih yang berdiri gak jauh dari tempat gue dan Danis berdiri sekarang. Dia melambaikan tangannya sambil melempar senyum simpul. Cantik banget, pantes Danis betah.

"Gak apa-apa lo gue tinggal?"

"Gak apa-apa elah, selaaaaw!" gue mendorong pelan bahunya sambil tertawa kecil. Dia mengangguk mengerti kemudian melangkah pergi setelah menepuk bahu gue.

Sekarang fokus gue kembali tertuju pada sosok yang ternyata juga tengah menatap gue di depan sana. Rokoknya udah dia buang, sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana jeansnya. Gak ada senyum sama sekali yang terukir di bibirnya. Ekspresinya masih dingin seperti terakhir kali kita ketemu.

Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya gue melangkah menghampirinya.

"Lang...," cuma itu kata yang bisa keluar dari mulut gue saat kami berdua udah berdiri berhadapan saat ini.

Dia gak mengatakan apa-apa. Tangannya terululur untuk meraih ransel yang hanya gue sampirkan pada sebelah pundak gue. Masih tanpa mengucapkan apa-apa, dia menyampirkan ransel itu pada pundaknya kemudian masuk ke dalam mobilnya.

Gue gak tau dia dapet kabar dari mana kalau gue sampe jam segini, tapi yang jelas gue seneng ngeliat dia ada di sini.

Sambil menahan senyum, gue mengikutinya untuk masuk ke dalam mobil. Ransel gue udah dipindahkan ke jok belakang, yang tersisa di jok kosong sebelahnya cuma hoodie abu-abu yang hendak gue singkirkan. Tapi belum sempat gue pindahin benda itu ke belakang, suaranya menginterupsi pergerakkan gue.

"Pake. Dingin."

Gue diam untuk beberapa saat. Mengamati ekspresinya yang masih sedatar papan tripleks saat mengatakan itu. Menghela napas pelan, gue akhirnya melapisi kaus hitam tipis gue dengan hoodienya yang tentunya kebesaran di badan gue.

Mobilnya bergerak menelusuri jalanan Depok yang masih ramai di jam segini. Hanya ada suara dari radio mobilnya yang mengisi keheningan di dalam mobil. Jujur, banyak yang ingin gue tanyakan. Banyak hal yang juga mau gue ceritain sama dia. Namun, dia keliatan sama sekali gak tertarik untuk menjawab pertanyaan gue atau sekedar mendengarkan cerita gue.

"Lang," gue memberanikan diri untuk memanggil namanya. Meskipun sejujurnya gue cukup deg-degkan ngelakuin ini.

"Gue minta-"

"Mau makan apa?"

"Hm?" gue terhenyak saat dia memotong kalimat gue. Gue sampai sedikit gelagapan waktu dia menolehkan kepalanya ke arah gue.

"Lo mau makan apa? McD? Atau apa?"

Gue mau minta maaf. Cuma itu.

"Apa aja."

"Oke."

Dia menaikkan kecepatan mobilnya. Melihat responnya terakhir kali, gue jadi sungkan untuk lanjut mengajukan permintaan maaf gue. Dia keliatannya udah enggan membahas masalah ini, dan gue memakluminya.

Mobilnya berhenti di salah satu restoran fast food yang biasa kita kunjungi. Gue pikir dia bakalan pilih makan di dalam, tapi ternyata dia milih pakai drive thru kali ini.

Untuk pertama kalinya gue makan di dalam mobil kayak gini sama cowok selain Raiden dan Sion.

Bahkan sama Alden pun, gue belum pernah melakukannya.

"Tadi gimana? Seru?" dengan masih mengunyah burgernya, dia melontarkan pertanyaan yang berhasil membuat gue terkejut.

"Hmm, seru. Seru banget."

"Hmm, bagus deh."

Lagi-lagi gue merasa sedikit kecewa karena dia yang memutuskan untuk mengakhiri topik pembicaraan. Padahal gue udah seneng dia mau bahas kegiatan gue hari ini.

"Lo hari ini ngapain aja?"

Sampe gak sempet bales chat gue...

"Tidur."

"Seharian?"

"Hmm, capek banget gue."

"Ohh... gitu. Harusnya lo gak usah repot-repot jemput gue. Lo 'kan capek," gue jadi merasa gak enak karena sempat berburuk sangka sama dia cuma gara-gara gak bales chat.

"Lo emang selalu gitu ya?"

"Apa?"

"Lo. Selalu gitu. Selalu ngerasa bersalah atas kesalahan yang bahkan gak lo perbuat."

Gue diam. Mencoba untuk mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya dengan seksama.

"Gue pernah baca di suatu buku, maaf itu mahal harganya."

"Kata maaf biasanya diucapin sama orang yang baru ngelakuin kesalahan. Diucapin dengan rasa penyesalan dan janji gak akan ngelakuin kesalahan yang sama lagi."

"Makanya... ada beberapa orang yang susah buat ngucapin kata maaf. Karena kalau mereka gak bener-bener menyesal, ya mereka bakal ngelakuin kesalahan itu lagi di masa depan."

"Tapi lo... lo justru ngucapin kata maaf itu terus-terusan. Padahal lo gak ngelakuin kesalahan apapun."

"Dan maaf itu... jadi keliatan gak semahal sebelumnya di mata gue."

"Lang, maksud gue gak gitu...."

"Lo gak perlu minta maaf, Dys. Bukan salah lo. Lo gak ngelakuin kesalahan apapun. Jadi tolong... jangan ngucapin itu lagi. Karena setiap kali lo minta maaf, justru gue yang merasa nyesel ngebiarin perasaan ini tumbuh gitu aja."

Seolah kehabisan kata-kata, gue hanya bisa menutup mulut gue rapat-rapat. Bola mata besarnya menatap gue dengan tatapan yang masih sama seperti sebelumnya, sendu.

"Soal perasaan gue, lo gak perlu merasa bersalah. Gue yang ngebiarin itu tumbuh sendiri, bukan lo."

Setelahnya, dia kembali melahap makanannya. Gue yang udah kehilangan minat buat ngunyah makanan gue yang masih sisa banyak, memutuskan untuk kembali mamasukannya ke dalam box. Gue meneguk minuman gue sampai isinya tinggal setengah, tenggorokkan gue tiba-tiba aja terasa kering setelah mendengarkan penjelasan panjangnya.

Setelah menempuh waktu satu jam perjalanan, mobilnya berhasil terparkir di basement apartemen gue. Gue meraih ransel gue yang ada di jok belakang kemudian memakainya.

"Makasih ya. Hoodienya besok gue balikin," ucap gue sambil memaksakan senyum.

"Hm, sama-sama."

Aneh rasanya gue malah berharap ada kata lain yang keluar dari mulutnya.

Gue mengangguk kecil kemudian meraih handle pintu. Tapi ada sebuah dorongan dari dalam hati kecil gue untuk mengatakan sesuatu sebelum bener-bener turun.

"Elang."

Dia menoleh, tapi gak menyahuti.

"Kalau gue minta lo buat nunggu sebentar lagi, lo keberatan gak?"

Dia diam. Gue mencoba untuk meneliti ekspresinya dengan degup jantung yang udah gak karuan.

"Kalau lo keberatan, gue gak akan maksa lo kok. Gue tau rasanya nunggu gak enak, apalagi bates waktunya gak jelas. Lo bisa pergi kapanpun-"

"Iya."

"Hah?"

"Iya. Gue mau."

Seketika gue lupa caranya berkedip.

"Sana masuk. Mandi terus istirahat."

Gue bahkan sampe harus menahan napas saat tangan besarnya mengusak puncak kepala gue.

Sama. Rasanya masih sama seperti pertama kali.

Setelahnya, gue hanya bisa melemparkan senyum kikuk sebelum akhirnya turun dari mobil. Gue melangkah menuju lift dengan perasaan aneh yang meletup-letup di dada gue. Perasaan aneh yang berhasil membuat senyum gue gak berhenti mengembang.

Bahkan saat gue udah tiba di lantai dimana unit gue berada, gue masih senyum-senyum, persis kayak anak ABG baru puber.

Namun, senyum itu langsung lenyap begitu pandangan gue menangkap sosok cowok yang sekarang tengah berdiri di depan unit gue dengan sebelah tangan yang menggenggam ponsel. Bertepatan dengan itu, ponsel di saku celana gue berdering, dan berhasil menarik perhatiannya karena jarak kami yang gak begitu jauh.

Alden. Dia ada di sana. Di depan pintu unit gue.

❇❇❇

Hello... Long time no see guys... Hehehe...

July, 12th 2020

- Dee













Seguir leyendo

Tambi茅n te gustar谩n

1.1K 413 20
Perpisahan yang paling menyakitkan harus dialami Sheina dan Agam saat pernikahan mereka telah di depan mata. Sheina terpaksa melanjutkan pernikahan d...
447K 38.3K 59
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
363K 4.3K 5
Panggilan sang Ayah membuatnya merinding. Hidup Hayley berubah ketika ia sampai di Kindness World, dunia Ayahnya berasal. Dunia Sihir tersebut dalam...
897K 25.3K 65
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...