STORY CALLIN(G) Sudah Tayang...

By Rismami_Sunflorist9

804K 140K 97.4K

SELASA DAN JUMAT #1 - Horor 20 Juli 2020 #1 - Horor 6 November 2020 #1 - Fantasi 24 Desember 2020 Demi menaik... More

PART 1 : LAWAS
PART 2 : BEKAS
PART 3 : TERAS
PART 4 : TERHEMPAS
PART 5 : MEMBERANTAS
PART 6 : BEBAS
PART 7 : LEKAS
PART 8 : RAMPAS
PART 9 : SEKILAS
PART 10 : MELIBAS
PART 11 : MEMBALAS
PART 12 : IMBAS
PART 13 : LEPAS
PART 14 : MELINTAS
PART 15 : RETAS
PART 16 : JELAS
PART 17 : LEMAS
PART 18 : MEMELAS
PART 19 : KELAS
PART 20 : TERTINDAS
PART 21 : WAS-WAS
PART 22 : MEMANAS
PART 23 : AWAS
PART 24 : NAAS
PART 25 : DIPERJELAS
PART 26 : PIAS
PART 27 : MEMPERJELAS
PART 28 : MENUMPAS
PART 29 : MEMPERTEGAS
PART 30 : MELEPAS?
PART 31 : GANAS
PART 32 : BEBAS LEPAS
PART 33 : KUPAS TUNTAS
PART 34 : NAAS
PART 35 : TERTINDAS
PART 36 : IDENTITAS
PART 37 : PARAS
CALLING FOR ROLEPLAYER STORY CALLING
PART 38 : IKHLAS
PART 39 : TERBATAS
PART 40 : KERAS
PART 41 : TERKURAS
PART 42 : MELEMAS
PART 43 : RUAS
PART 44 : DIPERJELAS
PART 45 : MEMBEKAS
PART 46 : BERSIKERAS
PART 47 : CULAS
PART 48 : SEBERKAS
PART 49 : SELARAS
PART 50 : TERAMPAS
PART 51 : SEBERKAS
PART 52 : TEGAS
PART 54 : SEUTAS
PART 55 : SEBERKAS (2)
PART 56 : TERBEBAS
PART 57 : MEMBALAS
PART 58 : CEMAS
PART 59 : MERAMPAS
PART 60 : MENGERAS
61 : MELEPAS
EXTRA PART?
Extra Part
PENGUMUMAN PRE ORDER
PRE ORDER BONUS BEJIBUN DAPET DISKON PULAAAA
TEEEEEEEEEEET WAKTUNYA WAR
ADA APA MISKAH?
EPILOG (OKAN POV)
STORY CALLIN(G) MOVIE
WHAT IF

PART 53 : PANTAS

9.1K 1.6K 1.5K
By Rismami_Sunflorist9

Callin sedang memantaskan diri untuk Okan😂 (anjaaay aku kebawa ghibahan di Twitter) =< buat yang paham aja deh😜

Btw gaisss, kalo ini nanti jadi bonus PO, kalian pengen warna apa?

~~~

Awalnya Callin ingin mencari Mbak Gendis untuk berpamitan. Bosan menunggu wanita itu yang sepertinya sedang sibuk bertugas bersama polisi lainnya. Tapi saat ia berdiri di depan pintu, sembari berjinjit mencari keberadaan Mbak Gendis, ada pemandangan yang mengusik perhatiannya.

"BAGAS? BAGUS?" teriak Callin tanpa sadar.

Gadis itu juga melambai-lambai sembari melompat girang. Ia bahkan tak menghiraukan Okan dan polisi-polisi lainnya yang memberinya peringatan melalui tatapan.

"KAK CALLIN TOLONGIN KITA!"
Bukan cuma si kembar kribo yang membalas sapaannya, Supriyadi dan Nando juga berteriak dengan dramatis.

Sontak, Callin menjadi pusat perhatian dari para polisi yang sedang bertugas. Melihat bagaimana cara keempat murid itu menyapa Callin, mereka tampak seperti kerabat dekat.

Callin berlari kecil menghampiri Bagus dan kawan-kawannya. Ia tak peduli meski para polisi terus mengawasinya.

"Kalian ngapain pake acara ikut tawuran segala, sih? Dasar bocah!" sembur Calling begitu ia berhadapan dengan keempat murid itu. Tangannya yang mengepal menjitak pelan kepala mereka satu per satu.

Bagus menyahut dengan ekspresi tidak terima. "Kak Callin percaya kalo kita ikut tawuran?"

"Ya, kalo lo, sih, kayaknya kagak. Tapi entah, tuh, kembaran lo. Apalagi Nando sama Supriyadi, emang dari awal udah keliatan bar-bar," jawab Callin ceplas-ceplos yang langsung membuat dua lelaki tertuduh itu manyun.

Nando menarik lengan Bagas lantas menyabotase posisinya yang berada di sebelah Callin. "Kak, kita ini bukan anak tawuran. Kita anak pesantren, hobinya main rebana."

Supriyadi mengangguk-angguk semangat. "Suasana di kota santri, asyik senangkan hati..." Ia malah bersenandung. Lengkap dengan gaya sedang bermain rebana.

Bagus terpaksa membekap mulut kawannya itu. Ia lalu fokus berbicara dengan Callin. "Tadi kita cuman lagi jalan. Eh, nggak taunya kayak keikut arus gitu, loh. Trus apesnya, tiba-tiba polisi dateng pas kita berusaha lari dari sana. Jadi bikin salah paham, deh."

Bagas mengangguk-angguk. Nando memelas. Sementara Supriyadi masih asyik bersiul lagu suasana di kota santri.

Alih-alih gemetaran seperti murid-murid yang dihukum lainnya, Bagus dan kawan-kawannya malah asyik temu kangen dengan Callin. Sampai tiba-tiba terdengar jeritan dari salah satu keempat lelaki itu.

"Han..hantu!" Nando terjingkat. Ia melompat ke balik punggung Bagus.

Tak hanya Nando yang langsung bersembunyi ketakutan, Supriyadi dan Bagas pun berebut memegangi lengan Bagus.

"Apaan, sih?" Bagus mengikuti arah telunjuk Nando.

Meski reaksi lelaki itu tak seheboh kawan-kawannya, tapi ia cukup terkejut dengan kemunculan sosok polisi berpangkat Bripda yang tengah melenggang menuju ke arah mereka.

Saat awal dikumpulkan tadi, Bagus dan kawan-kawannya tidak terlalu fokus memperhatikan para polisi yang berjejer di depan kantor. Baru setelah Okan melangkah mengelilingi satu per satu barisan, wajah lelaki itu terekspos dengan jelas.

"Kamu kenal dia?" tanya Okan to the point begitu ia sampai di antara Callin dan keempat murid lelaki itu. "Dan kamu," ia menunjuk Nando, "saya bukan hantu, saya manusia."

Callin hanya diam, seolah sedang merenung dengan dirinya sendiri. Mendadak ingatannya terlempar saat berdebat dengan Junior di studio suara remaja. Meski berulang kali lelaki itu mengatakan jika Okan bukan manusia, Callin tak pernah mempercayainya.

Dan kini, ketika Okan benar-benar menjelma nyata di depannya sebagai manusia seperti keinginannya, kenapa perasaan gadis itu tidak sebahagia dulu?

"Kak!" Supriyadi menyikut lengan gadis itu. "Bang Okan amnesia?"

Bagas berdecak. "Trus kok bisa hidup lagi? Kayak di drakor-drakor, deh, punya sembilan nyawa."

"Lo kira Bang Okan Gumiho?" sahut Nando yang merupakan penggemar berat drama Korea. "Tapi iya, ya. Kok bisa..."

"Ceritanya panjang," tanggap Callin. Bahunya melemas.

"Eh, tapi. Kok dia nggak inget kita, Kak?" Bagas dan yang lainnya mulai ke luar dari tempat persembunyian. "Beneran amnesia?"

Supriyadi mengusap-usap dagunya. "Setelah tadi mirip drakor, sekarang malah kayak sinetron religi, Kak. Dikit-dikit amnesia."

"Heh, tapi, ya, kok Kak Okan bisa idup lagi?" Bagas memegangi lengannya sendiri, mulai merinding.

Okan mendengkus kasar. Ia tidak suka keramaian. Ia paling malas berinteraksi dengan orang-orang yang banyak omong. Begitu mendengar suara keempat murid itu yang saling bersahutan, telinganya mulai berdengung. Ia kesal tanpa sebab.

"Kalian ikut saya, sekarang," tukas Okan dengan nada tegas yang tak bisa dibantah.

Bagus refleks memegangi lengan Callin. Begitu melihat bosnya berlindung pada gadis itu, Supriyadi dan kawan-kawannya sontak berebut bersembunyi di lengan Callin yang satunya.

Lucunya, kalau dilihat dari kejauhan, Callin yang bertubuh mungil itu seperti menghilang di antara keempat lelaki jangkung yang mengelilingnya.

"Lo dengerin penjelasan mereka dulu bisa, kan?" tanya Callin. Ia bersikeras melindungi Bagus dan kawan-kawannya. "Lo nggak liat sendiri kalo mereka ikut tawuran, kenapa main hukum aja?"

"Tapi mereka ada di lokasi. Dan rekan polisi lain yang udah menciduk mereka," jelas Okan dengan tegas. "Kamu meragukan kinerja polisi?"

"Mereka bilang cuma lewat, dan nggak sengaja keikut arus. Lo tau, kan, susah banget mau lari kalo udah terlanjur ada di tengah-tengah keramaian?" Callin mendongak, menatap lelaki itu dengan intens.

"Kalo semua maling ngaku, penjara penuh." Tak ada kemarahan dari nada bicara Okan.

Tapi sungguh, kepatuhan lelaki itu pada aturan yang berlaku membuat Callin semakin kesal.

"Lah kak, abis nuduh kita ikut tawuran, sekarang, dia ngatain kita maling?" tanya Supriyadi begitu mendengar ucapan Okan.

"Nggak gitu arahnya, Bambang!" Bagas menonyor dahi kawannya itu.

Okan mengamati satu per satu murid lelaki itu lalu mengedik ke gedung kantornya. "Ayo, ikut saya."

Callin melengos. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus. "Ada yang pernah bilang ke gue..."

Suara nyaring Callin membuat Okan berhenti melangkah.

"Katanya, manusia cenderung percaya sesuatu setelah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri," ucap Calllin, mengulang perkataan Junior tempo hari. "Tapi ternyata itu nggak berlaku buat lo. Bahkan lo nggak ngasih mereka kesempatan buat ngejelasin."

Bahu Okan menegak. Ia tampak sedikit geram, namun tidak menunjukan kemarahannya pada gadis itu. "Di dalem nanti, mereka bakal dikasih kesempatan buat menjelaskan. Jadi nggak usah ragu sama kinerja polisi."

Bagas dan kawan-kawannya hanya bisa merengek saat para polisi mulai menggiring keempat lelaki itu menuju kantor. Hanya Bagus, yang langsung menurut dan tak banyak protes. Namun tatapan tajam lelaki itu pada Okan seolah mempertanyakan banyak hal.

Bang Okan nggak bakal setega ini sama kita. Dia siapa? Kenapa beda banget sama Bang Okan yang dulu?

***

Diskusi alot yang berlangsung satu setengah jam lamanya berakhir dengan kesepakatan 'uang jaminan'. Karena keempat lelaki itu terus memohon pada polisi agar tidak menghubungi orang tuanya, Callin berinisiatif membayar uang jaminan demi membebaskan mereka.

"Kita utang sama Kak Callin," ucap Bagus setelah keempat lelaki itu diperbolehkan pulang. "Catet, ya. Ntar pulang rumah kita ambil duit atau pecahin celengan buat ganti uang jaminan tadi."

Bagas mengangguk-angguk paham. Supriyadi tampak lesu, meresa bersalah pada Callin.

"Oh, iya, Kak. Kenapa Kak Callin nggak telepon Bang Junior aja? Biar dibantuin gitu. Kayaknya dia anak sultan, deh." Nando nyengir.

Keempatnya berbincang dengan Callin di tangga kecil yang menghubungkan halaman kantor kepolisian dengan pintu masuknya.

"Nggaklah, gue, kan cewek mandiri. Lagian gue lagi nggak bawa hp." Callin menghela napas panjang. "Hp gue ilang waktu gue jatuh di gunung," ucap gadis itu dengan tatapan nanar.

Bagus, Bagas, dan kedua temannya saling tatap. Mereka mengira jika Callin mendadak muram karena kini tak memiliki ponsel.

Padahal kenyataannya, gadis itu jauh lebih merasa kehilangan kenangan-kenangan yang ada di dalam ponselnya.

Ya, foto-fotonya bersama Oki. Ketika awal pertama lelaki itu berkunjung ke kantor suara remaja dan mengambil foto selfie bersama dirinya. Juga saat Oki menyelinap masuk ke kamar kosnya, namun ternyata tidak terjadi sesuatu seperti yang diharapkan Callin.
Hanya cium kening! Mengingatnya saja membuat pipi Callin memanas.

"Kak!" Bagus menyenggol lengan gadis itu. "Besok kita ganti, ya, uang jaminannya tadi."

Nando menaik-naikkan sebelah alisnya. Ia melirik Supriyadi yang sepertinya dapat membaca rencana kawannya itu. Walau dari penampilan terlihat seperti gembel, tapi Nando dan Supriyadi sebenarnya berasal dari keluarga berada. Cuma karena sedang tidak membawa uang cash lebih saja, mereka terpaksa berhutang dengan Callin.

"Haisssh, udahlah. Nggak usah dipikirin. Kalian ini, kan, kemarin udah nemenin gue terus waktu gue koma. Iya, kan? Jadi sekarang, gantian gue yang bantu kalian." Callin berdecak sembari mengibas-ngibaskan tangannya.

"Kalo kayak gini ceritanya, gue lebih ngeship Kak Callin sama Bang Junior, deh!" celetuk Nando. Bibirnya memberengut.

"Yeee, kapal oleng, Bro?" Bagas menimpali. "Gue juga, deh. Walau Bang Junior itu galak, tapi dia masih punya ati."

Bagus yang biasanya diam, turut berkomentar. "Bang Junior selalu punya cara buat nunjukin sayangnya ke Kak Callin. Dia juga nggak terlalu idealis kayak Bang Okan."

Supriyadi mengangguk-angguk. "Jadi kapal kita semua sekarang sama, ya? Please Wellcome...." Ia merubah suaranya menjadi lebih berat, seperti pemandu acara tinju. "Kak Callin and....BANG JUNIOR!"

Tak hanya menyoraki gadis itu, Bagas dan kawan-kawannya juga meneriakkan yel-yel. Terkecuali Bagus, ia langsung melipir. Malu sampai ubun-ubun melihat tingkah absurd ketiga sahabatnya.

Di dalam Kantor Polres Matraman, Okan memperhatikan interaksi murid-murid SMA itu dengan Callin melalui jendela yang terbuka.

"Junior?" Okan mengerutkan dahinya.

Entah sebab apa, hanya mendengar namanya saja sudah membuat hatinya terusik. Ia memejam sesaat, mencoba mengorek ingatannya.

Sekeras apa pun Okan berusaha mengingatnya, ia tetap tak mendapat jawaban.

"Junior..Junior.." gumamnya berulang kali.

"Apa dia lelaki yang bareng cewek itu waktu kita ketemu di makam Oki?"

***

Setelah menyelesaikan urusan Bagas dan teman-temannya, Callin seharusnya cepat kembali ke kampus.

Junior mungkin sudah kebingungan mencarinya. Tapi Callin ingin bertemu dulu dengan Oki.
Ya, mengunjungi makam malaikat pelindungnya itu.

Meski beberapa kali sempat nyasar karena letak makam Oki yang jauh dari pusat kota, Callin tak menyerah untuk bertanya pada orang-orang di sekitarnya.

Hingga akhirnya setelah memakan waktu kurang lebih setengah jam lamanya berputar-putar di salah perkampungan, Callin sampai di pemakaman Sun Dura Hilss.

"Hai, Ki," sapa Callin sembari mengusap-usap papan kayu bertuliskan Oki Abiyaksa Mahendra.

Tak seperti kebanyakan pelayat yang biasanya berjongkok saat mendoakan kerabatnya, Callin duduk bersila di samping kuburan Oki. Layaknya anak muda yang sedang nongkrong sembari berghibah bersama teman-temannya.

"Kembaran lo bener-bener bikin gue makan ati, dah, Ki." Callin mulai berkeluh kesah.

"Dia tuh, idealis banget. Emang sih, lo bener kalo dia nggak galak. Tapi...." Lelah menghadapi segalanya, Callin mendesah pasrah. "Gimana coba cara naklukin orang yang idealis kayak dia?" tanya gadis itu frustasi.

"Dia selalu menomorsatukan pekerjaan dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Padahal gue ini juga bagian dari masyarakat, loh? Kenapa suara gue nggak pernah didengar sama dia?"

Pelayat lain yang kebetulan melintas sempat mencuri-curi pandang ke arah gadis itu. Beberapa dari mereka bergidik, melihat Callin yang tampak seru berbicara sendiri.

"Kalo orang yang keras, galak, jutek, bisalah lama-lama melunak. Yaa, kayak Kak Junior itu. Sekarang dia udah lebih manusiawi, Ki." Callin tersenyum simpul. "Sayangnya, sekarang gantian hati gue yang mengeras. Gue udah nggak bisa sayang sama dia."

Callin memangku wajahnya dengan lututnya. Ia meringkuk sembari menatap gundukan tanah di depannya.

"Gue juga nggak bisa jamin kalo gue bakal berhasil ngejalanin misi yang lo kasih. Masalahnya, Okan sama lo itu beda banget, Ki."

"Ini pertama kalinya gue ketemu orang yang nggak pernah mau dengerin omongan orang lain, selalu menganggap dirinya yang paling benar, dan sangat-sangat idealis. Dia pikir semua bisa diselesaikan dengan hukum. Hah."

Bahu Callin naik-turun. Napasnya terengah-engah setelah bercerita tanpa jeda.

"Dia pikir hukum di Indonesia udah sempurna? Buktinya, banyak, tuh, orang-orang yang nggak mendapat keadilan." Mendadak Callin menjadi politikus. "Kenapa egois banget, sih? Dia pikir kalo gue anak akuntasi, gue nggak paham sama perkara hukum?"

"Apa memang saya seburuk itu?"

Deg!

Suara tegas dari belakang membuat bahu Callin menegak. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik.

"Mau jawaban jujur atau ngawur?" ceplos gadis itu. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengumpati lelaki itu.

"Ha?" Okan kebingungan. Sudut bibirnya tertarik dan membuat kawah kecil di pipinya mencuat.

Berkebalikan dengan Oki yang memang murah senyum, lesung pipi Okan seringnya terlihat ketika lelaki itu sedang memikirkan sesuatu.

"Ah, udalah. Bahkan reaksi lo nggak secepet Oki." Callin berdecak. Ia bangkit sembari mengibaskan tangannya. "Kalian emang beda."

Okan jadi semakin bingung. Bibirnya membentuk pelangi terbalik. Entah hal apa yang kini membuatnya merasa kecewa pada dirinya sendiri.

"Kenapa lo ada sini juga? Jangan-jangan lo ngikutin gue?" tanya Callin sembari mendongak. Lehernya lama-lama pegal menatap Okan yang berdiri terlampau dekat dengannya.

Kalau posisi keduanya agak berjauhan, Callin mungkin tidak perlu mengangkat kepalanya lebih tinggi.

Namun karena kini Okan berada tepat di sampingnya, Callin harus berusah payah mempertahankan posisi kepalanya agar dapat menatap lelaki itu dengan intens.

"Kamu kayaknya kesusahan, ya." Tanpa diminta, Okan tiba-tiba menunduk. Menyejajari posisi kepala Callin. "Sekarang coba bilang apa yang harus saya rubah. Tapi kenapa saya harus berubah demi kamu?" tanyanya, bingung sendiri.

Glek

Callin mendapat serangan tiba-tiba. Awalnya ia mengira Okan akan membalas dengan cara yang sama, yakni mendebatnya. Namun siapa sangka, perlakuan kecil dari lelaki itu berefek besar pada jantungnya yang kini berpacu hebat.

"Apaan, sih, lo! Mundur," tukasnya galak sembari mendorong dada Okan.

Pukulannya yang terlalu lemah tak berhasil membuat lelaki itu terdorong. Sebaliknya, pijakan Callin goyah dan tubuhnya mulai bergerak-gerak hilang keseimbangan.

"Huaaaa!"

Refleks Okan menangkap pergelangan gadis itu. "Kamu nyaris jatuh," ucapnya. Tak sadar jika cengkramannya terlalu kuat, Callin sampai mengaduh kesakitan.

"Lo pikir lagi nangkep bandar narkoba, apa? Kenceng banget pegangannya," gerutu Callin sembari meniup-niup tangannya yang tampak memerah.

"Maaf, tadi itu gerak refleks. Kebiasaan kalo lagi bertugas harus -"

"STOP!" Callin mengangkat tangannya. "TUGAS LAGI TUGAS LAGI. Lo selalu inget tugas lo sebagai polisi, tapi apa lo pernah inget tugas lo sebagai makhluk hidup adalah bersikap baik dan membantu makhluk hidup lainnya?"

Okan menelengkan kepalanya sesaat. Lalu tak lama, ia mengangguk-angguk meski tak paham dengan maksud ucapan Callin.

"Lo tadi nggak mau bantuin Bagus sama temen-temannya. Padahal jelas-jelas mereka nggak bersalah." Masih merasa kesal dengan keputusan Okan, gadis itu kembali mengungkitnya.

"Gimana kamu bisa yakin kalo mereka nggak salah?"

Callin tampak kehilangan kata-kata.

"Apa karena kamu kenal mereka? Apa karena mereka temanmu, lalu kami harus memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda? Kata kamu, para penegak hukum harus bertindak adil. Nah, kalau tadi saya membebaskan mereka, apa itu adil buat yang lain?"

Ini kali pertama Okan berbicara panjang lebar dengan Callin. Tapi meski lelaki itu memberi penjelasan sampai mulutnya berbusa, Callin hanya melengos tak peduli.

"Yayayaa, lo itu emang tahu segalanya dan gue enggak. Lo adalah contoh polisi teladan." Callin menepuk-nepuk dada lelaki itu.
Lumayan, icip-icip dikit. Ternyata lebih bidang dibanding Kak Junior.

"Lanjutkan, Pak, lanjutkan kerja kerasmu untuk menyejahterakan masyarakat..." ucap gadis itu sembari mengeluarkan kunci motornya dari dalam saku jaket. Ia tak menyadari jika ada sesuatu yang terjatuh dari sana.

Sampai akhirnya Callin melangkah ke parkiran dan naik ke motornya -oh, maksudnya motor Komang, gadis itu masih tak berhenti mengomel. Dari kejauhan gadis ia menatap Okan yang masih mematung di samping kuburan Oki.

Tanpa berlama-lama lagi, Callin segera memacu motornya dengan kecepatan penuh. Meninggalkan Okan yang juga berniat beranjak dari sana sebelum tiba-tiba lelaki itu menemukan sesuatu di dekat kakinya.

"Ini bukannya surat dari Oki?" Okan memungut amplop itu. Ia meniup bulir-bulir tanah yang menempel di sampulnya.

"Kemarin belum sempat kubaca karena amplopnya masih tertutup. Tapi sekarang, apa boleh aku tahu isinya?" tanya Okan sembari melirik papan di atas kuburan Oki, seolah tengah meminta ijin pada kembarannya itu.

Konon katanya, jangan mengemudi sendiri ketika sedang marah, mabuk, atau menangis. Nanti jadi hilang fokus.

Dan kini Callin membuktikan petuah itu benar-benar nyata.

Ia lupa jalan pulang dan malah terjebak di sebuah perkampungan kecil dengan pohon-pohon rindang di kanan kirinya. Kebanyakan rumah itu tampak kosong, mungkin pemiliknya belum pulang dari ladang.

"Kak, tolong, Kak!"

Callin terjingkat saat sepasang tangan menarik-narik ujung jaketnya dari belakang. Saat gadis itu menoleh, tampak sesosok bocah laki-laki yang mungkin umurnya sekitar enam tahunan, sedang terisak dan menatapnya dengan wajah memelas.

"Kamu..." Sepasang mata Callin memicing. "Manusiaaa?"

Bocah lelaki itu mengangguk sekali. Sebelum meminta ijin, ia sudah naik ke boncengan Callin.

"Kak, tolong anter aku pulang! Sekarang!" Ia mengguncang-guncang panik bahu Callin. "Ada orang jahat yang ngejar aku!"

"Hah? Orang jahat? Wah, jangan-jangan orang itu mau ngeksploitasi anak, nih."

"Dari pagi aku disuruh ngemis, ngamen, minta-minta dijalanan, Kak. Sekarang tolong anterin aku pulang," tukas bocah lelaki itu.

Tak lama setelah ia merengek ketakutan, muncul dua pria bertubuh tegap yang berlari kencang sembari meneriaki Callin.

"Woy, berhenti! Berhenti kau!"

Bolak-balik Callin melirik spionnya. Ia cukup lega karena dua pria bertubuh kekar itu tak bisa mengimbangi kecepatan motornya.

"Belok kiri, Kak." Bocah lelaki di boncengannya itu memberi petunjuk arah.

Kini tugas Callin hanya membawa bocah lelaki itu pulang ke rumah dengan selamat. Ia berbelok, menyusuri jalan yang dipenuhi pepohonan rimbun di kanan kirinya.

Walau hatinya mulai tak tenang, Callin tetap mengikuti petunjuk dari Zidane, nama bocah lelaki itu. Sebelum akhirnya ia tersadar jika motornya memasuki area yang lebih sepi.

"Di sini, Kak." Zidane turun dari boncengan. Ia juga meminta Callin mengantarnya masuk rumah dengan alasan ingin memperkenalkan gadis itu dengan orang tuanya.

Bangunan kecil yang belum dicat itu tampak tidak terawat. Tak ada rumah lain di sekelilingnya. Bahkan kalau boleh Callin mengatakan yang sejujurnya, bangunan itu lebih cocok disebut gudang.

"Sini, masuk." Zidane mengamit tangan Callin.

Tepat ketika keduanya memasuk bangunan itu, suara derit pintu yang ditutup paksa terdengar dari balik punggung Callin.

"Apa-apaan ini?" tanya Callin panik. Ia berjongkok, menatap Zidane yang hanya menunduk ketakutan.

"Maaf, Kak," tukas bocah lelaki itu sambil terisak.

Callin menatap sekelilingnya dengan waspada. "Jangan-jangan gue mau dibegal? Astaga, hp udah ilang, masa iya motor juga mau diembat? Mana itu bukan motor gue."

"Hahaha. Kerja bagus, Zidane."

Suara berat yang muncul bersamaan dengan dua pria dari salah satu pintu, membuat Callin sontak mundur beberapa langkah.

"Mampus, gue dijebak! Apa yang mau dibegal dari gembel macem gue?"

***

Tebak tanpa mikir lama!
Siapa kira kira yang bakal nolongin Callin?

Okan?

Atau Oki?


Meski Callin udah nggak bisa liat Oki,
apa menurut kalian, Oki udah benar-benar menghilang?

Tabungan kalian udah berapa, nih? Ayo mulai sekarang nabuuuuungggg! Biar bisa ikut
PO Story Calling !

Yang nunggu Gemaya, aku up besok ya.

ILY 3OOO DOLAR
Salam sayang,
Rismami_sunflorist

Continue Reading

You'll Also Like

6.4K 161 8
(FIKSI) setelah kematian suaminya,Cornelia alias Oniel mengalami kejadian "Ketindihan" yg sampai membuatnya bangun dalam keadaan Telanjang.Ada hal yg...
119K 8.6K 54
Salsa Razella Winata atau yang akrab di sapa Salsa, seorang gadis dengan kemampuan yang jarang dimiliki oleh orang lain yaitu dapat melihat sesuatu y...
106K 10K 77
[COMPLETED] Pulang ke kampung halaman setelah selesai kuliah di kota lain adalah harapan terbesar Arumi Salsabila, setelah hampir lima tahun merantau...
86.9K 7.1K 86
[COMPLETED] Kematian seorang Guru di SMP GENTAWIRA membawa Zuna dan Diana kembali ke sekolah lama mereka. Awalnya hanya Zuna yang ditugaskan untuk me...