If You Know When [TELAH DITER...

By ItsmeIndriya_

1M 120K 15.4K

Trilogi IYKW Series Sekian lama menghilang, akhirnya Vanilla kembali dengan harapan baru untuk akhir kisah pe... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
PENGUMUMAN
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
VOTE COVER!!!
Lima Puluh Delapan
Lima Puluh Sembilan
Enam Puluh
Enam Puluh Satu
Enam Puluh Dua
Enam Puluh Tiga
Enam Puluh Empat
Enam Puluh Lima
TERIMA KASIH
PRE-ORDER IYKWHEN
LDR SERIES 1 || OBSESI ELANG
DIARY VANILLA

Tiga Puluh Empat

15.4K 2.1K 276
By ItsmeIndriya_

"I'm home..." ujar Vanilla ketika ia masuk ke dalam apartemennya dan mendapati Dava sedang berkutat dengan laptop di hadapannya.

Dava terlihat sangat serius bahkan sampai tidak mendengar Vanilla yang saat ini berdiri di belakangnya. Ada puluhan email yang Vanilla lihat dan semua email tersebut adalah pekerjaan Dava.

Maklum saja, Dava tiba-tiba membatalkan seluruh perjalanan bisnisnya demi menemani Vanilla. Dava juga tidak memberitahu keberangkatannya kepada sekretarisnya. Pertama karena Dava tidak ingin Soraya mengetahui keberadaannya, kedua Dava tidak ingin di teror oleh Soraya ketika ia sedang bersama Vanilla.

Dava terkejut ketika seseorang mengalungkan tangannya ke leher Dava. "Hey.." sapa Vanilla meletakan dagunya di bahu Dava. Dava menoleh dan melemparkan senyum kepada Vanilla.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dava bangkit dan berjalan menuju kulkas, mengambil sekaleng coke dan meneguknya. Sementara Vanilla menggantikan posisi Dava dan melihat-lihat isi email Dava.

"Dav, handphone Lo kemana?" tanya Vanilla setelah ia melihat email dari Soraya di kotak masuk Dava. Dava hanya mengangkat kedua bahunya seraya asik menikmati coke yang ia minum.

"Dav, gue nanya..." ujar Vanilla agak kesal karena Dava tidak menjawabnya.

Dava meletakkan kaleng minumannya dan berjalan menghampiri Vanilla. "Ada di kamar, kenapa?" Dava balik bertanya.

"Aktif?"

Dava menggelengkan kepalanya.

"Kenapa gak di charger?"

"Baterainya full kok."

"Terus, kenapa gak aktif?"

Dava menarik napas dan menghembuskannya. "Karena gue gak mau ada yang ganggu waktu gue bersama lo. Terutama..." Dava menunjuk nama Soraya di layar laptopnya, "dia."

"Kenapa?" tanya Vanilla lagi.

"Lo gak cemburu kalau dia telponin gue Mulu disaat gue lagi sama Lo?"

Vanilla langsung menggelengkan kepala. "Gimana pun juga, dia itu sekretaris Lo di kantor, Dav. Lagian Lo kan gak setiap saat buka email. Kalau ada kepentingan yang mendesak gimana?"

Dava menutup laptop di hadapan Vanilla dan memajukan wajahnya hingga tersisa beberapa senti. "Gue gak peduli, Vanilla."

Berulang kali Vanilla mengerjapkan mata, seraya mengontrol detak jantungnya yang tidak beraturan. Jika terus seperti ini, Vanilla bisa terkena serangan jantung karena terlalu senang.

Melihat ekspresi Vanilla yang menegang, Dava langsung tertawa seraya mengecup pipi Vanilla, "yaudah gue mau mandi dulu," ujarnya berlalu dari hadapan Vanilla.

Sepeninggalan Dava, Vanilla langsung menghela napas lega. Ia menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangan dan berteriak dalam hati. Tangan kiri memegang dada, berusaha merasakan detak jantungnya yang memang berpacu begitu cepat. Baru beberapa hari bersama Dava sudah membuat jantungnya jadi tidak normal, bagaimana ke depannya nanti?

"Sayang... Ambilkan handuk dong," teriak Dava dari kamar mandi membuat Vanilla langsung menoleh kearah kamarnya.

Kata-kata yang tidak pernah Vanilla dengar bertahun-tahun lamanya, akhirnya Vanilla bisa mendengar kata itu lagi. Andai tidak ada kejadian buruk di masa lalunya, apa mungkin Vanilla sudah hidup bahagia bersama Dava sekarang? atau malah mengubur dalam-dalam mimpi indah itu.

Tanpa sadar Vanilla tersenyum dan bergegas meletakkan handuk di depan pintu kamar mandi, lalu kembali ke luar dan berakhir dengan rebahan di sofa. Karena urusannya hari ini sudah selesai, Vanilla mulai berpikir untuk mengajak Dava dinner malam ini. Vanilla tidak sabar untuk bernostalgia dengan masa lalunya, meski tidak semua di ingat oleh Vanilla.

*****

Entah untuk ke berapa kalinya Vanilla mendatangi cafe de flore, tempat dimana ia pertama kali bertemu Dava setelah Vanilla bangun dari koma dan mengenal dirinya sebagai Vannelica. Setelah pertemuan tersebut, dunia terasa semakin mengecil. Vanilla kembali bertemu dengan orang-orang dari masa lalu yang tak bisa di ingat oleh Vanilla. Dan kejadian tersebut berlanjut hingga sekarang.

Di hadapannya saat ini, ada Dava yang sedang sibuk membolak-balikan buku menu di hadapannya. Sementara Vanilla hanya bertopang dagu dan menyaksikan kebingungan Dava. Setiap hari Vanilla bertanya-tanya, apa saja hal yang tidak ia ingat. Apa warna kesukaan Dava, film kesukaan Dava, barang-barang kesayangan Dava, dan lain sebagainya.

"Kenapa?" tanya Dava saat pria itu saat Vanilla sedang memperhatikannya secara intens.

Vanilla menggeleng seraya mengembangkan senyum di sudut bibirnya.

Setelah lama berpikir, akhirnya Dava memutuskan untuk memesan makanan yang sama persis dengan makanan yang di pesan Vanilla. Sia-sia ia membolak-balikan menu makanan, namun tidak tahu harus memesan apa.

"Lagi mikirin apa?" tanya Dava lagi, "kok ngeliatnya intens gitu?"

"Cuma mikir, apa dulu gue tahu semua tentang Lo atau malah gue sama sekali gak tahu apa-apa."

"Hm..." Dava terlihat seperti sedang berpikir. "Ada yang Lo tahu tentang gue," ucapnya.

"Apa?"

"Lo tahu kalau perasaan gue gak akan pernah berubah. Hati gue masih milik Lo, meski sudah puluhan kali mengelak, tapi tetap aja, satu-satunya orang yang selalu menghantui hidup gue, cuma lo."

"Lo gak pernah punya niat sedikitpun untuk ngelupain gue?"

"Pernah," jawab Dava, "dan pada akhirnya gue malah nyiksa diri gue sendiri."

Vanilla langsung terdiam. Ia teringat akan kata-kata Vebby tempo lalu yang mengatakan bahwa Dava pernah mengalami kecelakaan cukup parah karena terlalu memaksakan diri untuk bekerja. Vino juga mengatakan Dava memaksa dirinya sendiri agar bisa melupakan Vanilla.

"Kecelakaan itu... secara gak langsung, karena gue kan?"

"Kata siapa?"

"Kata gue barusan."

Dava tertawa, "tahu dari mana kalau gue pernah kecelakaan?"

"Sampai sekarang masih sering check-up?" bukannya menjawab, Vanilla malah melontarkan pertanyaan lain yang membuat Dava langsung menggenggam kedua tangan Vanilla.

"Jangan takut, gue gak kenapa-napa kok," ucap Dava meyakinkan Vanilla karena raut wajah Vanilla yang terlihat khawatir.  "Itu cuma kecelakaan kecil, dan udah beberapa tahun yang lalu."

Bohong. Vanilla tahu bahwa Dava berbohong. Terlihat jelas dari sorot mata Dava yang tidak ingin membuatnya khawatir. Vanilla tahu seberapa parah kecelakaan yang di alami Vanilla, dan Vanilla ingat, anak laki-laki yang Vanilla temui di taman rumah sakit adalah Dava. Anak laki-laki yang mencoba bertahan hidup dengan kelainan jantung yang di deritanya.

"Serius?" tanya Vanilla pura-pura bodoh.

Dava menganggukkan kepala seraya mengusap pipi Vanilla. "Iya, Vanilla.. serius."

"Pilihan Lo untuk tetap sama gue sekarang, juga serius?"

Dava langsung kehilangan kata mendengar pertanyaan cukup mengejutkan dari Vanilla. "Kenapa nanya gitu?"

"Gue cuma gak mau Lo bawa gue terbang tinggi dan pada akhirnya Lo jatuhin gue ke jurang terdalam untuk kedua kalinya."

Pertanyaan tersebut meluncur tiba-tiba. Bahkan Vanilla sendiri terkejut dengan kalimat yang di ucapkannya. Seolah-olah mulutnya berbicara sendiri, bukan karena kehendaknya.

"Dava, Lo tahu kondisi gue gimana.. Lo tahu kalau gue ini berbeda dari yang lainnya. Pikirin masa depan? Oke, Lo siap hidup bareng gue yang gak normal ini? Lo yakin bisa terima gue apa adanya?"

"Gue..."

"Yakin, Lo gak akan ninggalin gue di saat gue terpuruk dan butuh Lo di sisi gue?"

"Vanilla..."

"Yakin, lo gak akan pergi dengan alasan melindungi dengan cara saling menyakiti?"

Di pikiran Vanilla terlintas sebuah kenangan. Orang-orang yang membentuk sebuah lingkaran, api unggun, perdebatan, raut wajah terkejut Dava, teriakan Vanilla, dan suara-suara lainnya.

Tiba-tiba Vanilla langsung berdiri dan pergi dari hadapan Dava. Dava hanya memperhatikan punggung Vanilla yang berbelok menuju toilet seraya menghela napas.

Sedangkan Vanilla langsung memegang kedua sisi westafel sesampainya ia di toilet. Napasnya sangat cepat dan tidak beraturan, dadanya terasa sesak. Ia mencoba menarik napas dan menghembuskannya. Vanilla memutar keran air dan membasuh wajahnya. Air dingin selalu bisa membuat Vanilla tenang.

"Calm down, Vanilla... calm down." Vanilla berusaha menenangkan dirinya sendiri. Bagaimana pun Vanilla sudah memiliki tekat untuk melawan penyakit mental apapun yang di deritanya. Pertama-tama, Vanilla harus bisa mengendalikan emosinya.

Sekitar lima menit berada di toilet, akhirnya Vanilla kembali ke hadapan Dava yang hanya memasang senyum tipis di sudut bibirnya.

"Sorry," ucap Vanilla menundukkan kepala dan tak berani memandang Dava.

Dava menaikan dagu Vanilla, menatap dalam mata Vanilla dan berkata, "jangan minta maaf, Lo gak salah apa-apa." Dava mengembangkan senyum tulusnya kearah Vanilla. Tak lama, Vanilla pun ikut tersenyum tipis. Dirinya merasa sedikit tenang, berkat Dava.

Vanilla menarik napas dalam-dalam lalu kembali menghembuskannya. Ia pun tertawa melihat Dava yang begitu serius memandangnya. Hampir saja makan malamnya bersama Dava hancur. Untungnya Vanilla sudah mulai bisa menahan diri, di tambah lagi dengan Dava yang terlihat sangat memahami keadaannya. Bukan hal besar, namun sangat berarti bagi Vanilla. Untuk seseorang yang memiliki penyakit mental seperti dirinya, pengertian dan perhatian dari orang terdekat adalah hal yang sangat ia butuhkan. Dengan begitu, perlahan Vanilla bisa menyembuhkan penyakitnya.

*****

"Lo tahu gak sih, Lo tuh cewek paling tengil yang pernah gue kenal." Dava kembali membuka percakapan setelah ia memberikan segelas kopi kepada Vanilla. "Pertama kali Lo masuk sekolah, Lo tuh keliatan angkuh, terus ngeselin, sok cantik juga."

"Kan gue memang cantik," sela Vanilla.

Dava tersenyum, "iya cantik. Makanya sampai sekarang gue masih kepincut. Iyakan?" ujarnya berjalan mundur di hadapan Vanilla.

"Apaan sih Lo!"

"Terus nih ya, Lo itu ceroboh banget. Masa pot bunga segede gaban gak keliatan di mata Lo. Giliran diobatin, Lo malah marah-marah."

"Serius?"

Dava menganggukkan kepalanya sembari menyesap kopi yang ia pegang, "dan hal memalukan yang pernah gue lakukan seumur hidup gue adalah nembak Lo di tengah lapangan pas jam istirahat. Kalau di ingat, rasanya gue pengen ngubur diri sedalam mungkin. Astaga kenapa dulu gue sealay itu?"

Tawa Vanilla langsung pecah, dan ia benar-benar membayangkan bagaimana isi hati Dava saat itu. Meski tidak bisa mengingatnya, Vanilla masih bisa membayangkan dari apa yang di ceritakan Dava.

"Indah ya Dav, masa-masa itu." Ucap Vanilla dengan senyum tipisnya. "Masa-masa yang gak bisa gue ingat sepenuhnya," lanjut Vanilla dalam hati.

Tiba-tiba Dava menggandeng tangan Vanilla, "biarpun Lo gak ingat, kan masih ada gue yang bisa ceritain semuanya meskipun seratus kali gue harus mengulang." Dava seolah bisa menebak isi hati Vanilla.

"Dav, Lo serius sama gue?" entah keberapa kalinya Vanilla menanyakan hal yang sama seperti ini.

Dava hanya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskanya. "Gue gak bisa bilang kalau gue serius sama Lo," jawab Dava.

"Kenapa?"

"Gue cuma gak mau omongan gue jadi boomerang untuk diri gue sendiri dan pada akhirnya Lo harus terluka lagi karena janji dan perkataan gue."

"Tapi lo punya niatan serius sama gue?" tanya Vanilla harap-harap cemas.

"Niatan?" Dava bergumam sebentar, lalu menoleh kearah Vanilla, "ada sih... tapi liat aja nanti gimana hasil dari campur tangan Tuhan. Toh, gue cuma bisa merencanakan doang, terjadi atau gaknya, Tuhan yang menentukan."

Mendengar jawaban dari Dava, Vanilla hanya bisa menghela napas. Jika sudah mengatakan tentang takdir, hal apa lagi yang harus di pertanyakan Vanilla. Itu sudah menjadi jawaban telak yang tidak bisa di bantah lagi.

"Eh, bentar deh..." interupsi Dava menghentikan langkah kakinya membuat Vanilla otomatis berhenti melangkah.

Dava meraba saku celananya, mencari benda pipih yang ia selipkan di dalam sana. Beberapa detik kemudian ia menemukan benda yang ia cari dan mengeluarkannya.

Tanpa berkata apa-apa, Dava menyalakan ponselnya lalu membuka aplikasi kamera dan mengarahkannya ke depan. Satu sentuhan berhasil mengambil foto mereka berdua. Dan ketika Vanilla sadar Dava baru saja mengambil potret mereka, Vanilla langsung memukul Dava karena tidak memberitahunya terlebih dahulu.

"Dav itu jelek!" sungut Vanilla berusaha meraih ponsel Dava.

Dava langsung mengangkat ponselnya tinggi-tinggi agar tidak bisa di jangkau Vanilla, lalu Dava dengan cepat menjadikan foto tersebut sebagai wallpaper ponselnya.

"Gak jelek, bagus kok." ucapnya ketika ia sudah memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana.

Vanilla hanya bisa mendengus pasrah.

"Udah ah jangan ngambek," ujar Dava mencubit pipi Vanilla. "Balik yuk! Gue buatin makanan kesukaan lo."

Alis Vanilla berkerut, "kan kita baru aja makan malam."

"Bisa nolak kalau gue buat pasta?" tanya Dava menaikan sebelah alisnya. Vanilla langsung menggelengkan kepalanya dan tertawa bersama.

Dava langsung mengacak rambut Vanilla dan berkata, "jangan berubah ya. Tetap jadi Vanilla yang gue kenal. Gue tahu memang gak mudah bagi Lo, tapi gue harap Lo bisa melangkah ke masa depan bersama gue."

Vanilla menjawab dengan anggukan pelan, lalu mengeratkan genggaman tangannya pada Dava. Rasanya hangat dan sangat menenangkan. Vanilla harap momen seperti ini bisa Vanilla lewati bersama Dava setiap hari di sepanjang hidupnya.

*****


Terima kasih untuk 500ribu pembaca trilogi IYKW❤️

Jum'at 10 Juli 2020

Continue Reading

You'll Also Like

35.6K 5.4K 62
Aruna yang bodoh, dipertemukan dengan Laksa si pengidap sindrom Alien Hand. Berawal dari sepatu Aruna yang coplok, mereka berdua tiba-tiba menjadi de...
1.1M 83.6K 40
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
1.1M 109K 58
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
431K 15.5K 30
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...