My Silly Wife

By frisca_marth

5.4M 409K 41.8K

Perjodohan dengan Mia Sparks membawa William Clifford terjebak dalam pernikahan yang membuatnya kesal hampir... More

KATA PENGANTAR
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
BAB 42
BAB 43
BAB 44
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 48
BAB 50
BAB 51
BAB 52
BAB 53
BAB 54
BAB 55
BAB 56
BAB 57 [ END ]
EXTRA PART

BAB 49

73.5K 6.1K 1.2K
By frisca_marth

"Mia, mengapa pagi tadi Mr. George memanggilmu?" Ellena membuka pembicaraan, ketika ia dan Mia tengah menikmati makan siang di kafetaria.

Sembari mengunyah chicken steak miliknya, Mia menggeleng. "Hanya pembicaraan biasa."

Ellena mengangguk mengerti. Mengenal Mia selama beberapa bulan telah membuatnya memahami dengan baik tabiat wanita itu. Ucapan Mia barusan mengandung dua makna. Pertama, hal yang dibicarakan memang tidak penting. Kedua, topik tersebut bersifat pribadi dan Mia tidak ingin membicarakannya. Maka jika sudah demikian, Ellena memilih tidak bertanya lagi.

"Bagaimana dengan sakit kepalamu? Kau tidak berencana memeriksakannya?" Ellena mengganti topik pembicaraan.

"Hm, aku berencana untuk izin dari kantor dan pergi ke rumah sakit pada hari Senin nanti."

"Apakah rasanya begitu sakit?"

"Saat sedang kambuh, cukup menyakitkan. Terkadang rasa nyerinya menyebar ke bagian mata, bahkan hingga ke leher."

"Hm. Kedua matamu bahkan terlihat sayu," timpal Ellena. "Kalau begitu, segeralah periksa, jangan ditunda lagi."

Mia mengangguk. Tepat saat itu, pandangannya menangkap sosok Vanessa yang bergerak memasuki kafetaria. Perempuan tersebut tampak berjalan di belakang beberapa rekannya dari divisi pemasaran.

"Ms. Higgins terlihat tidak terlalu senang dengan divisi barunya." Ellena berkomentar seraya turut menatap Vanessa. Alih-alih bergabung dengan para rekannya, wanita berambut pirang itu terlihat memilih menikmati makan siang seorang diri.

Mia menghela napas, mencoba mengusir rasa bersalah yang kembali merayapi benak.

"Mia, kau tahu mengapa Ms. Higgins dipindahkan ke bagian pemasaran?" tanya Ellena.

Mia terdiam sebentar, kemudian menggeleng pelan. Vanessa sudah cukup menerima hukuman dalam bentuk penurunan jabatan, Mia tidak mungkin menambah dengan membuka aibnya.

***

Sementara itu, di barisan sebelah kanan, William tengah menikmati makan siang bersama Carlos yang duduk tepat di hadapannya.

"Kemarin dia melabrakku." Carlos membuka pembicaraan sembari menyantap chicken steak dengan lahap.

William mengangkat wajah, menatap Carlos dengan bingung. Seraya mengerutkan dahi ia bertanya, "Siapa?"

"Siapa lagi? Istrimu." Carlos menunjuk Mia yang berada jauh di belakang mereka dengan gerakan kepala. "Dia menuduhku mengadukan perihal Ethan dan Vanessa padamu."

"Benarkah?" William tersenyum kecil. Lantas ia mengangguk-anggukkan kepala seraya berkata, "Dia melakukan hal yang tepat."

Mendengar ucapan William, kedua mata Carlos seketika mendelik. "Tepat katamu?" tanyanya dengan nada tak percaya. Ia meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring, lalu menatap William dengan pandangan tidak terima. "Hei, kenapa kau jadi membelanya? Kau pikir, jika bukan karena aku, bagaimana kau akan tahu soal itu, hah?" protes Carlos. Lelaki itu mendesah dramatis. "Wah, tidak kusangka kau akan berubah menjadi pengkhianat seperti ini."

William hanya diam, tidak menyahuti kata-kata Carlos. Dan itu membuat lelaki di hadapannya menjadi sedikit berang.

"Oh Tuhanku, mengapa aku harus berteman dengan sepasang suami istri menyebalkan seperti mereka?" Carlos merutuk. Ia sengaja menggumamkan kalimat tersebut dengan sedikit keras, agar William dapat mendengarnya dengan jelas.

William mendengkus sebal. Lantas, ia menjejalkan sepotong kentang ke dalam mulut Carlos. "Tidak usah banyak bicara. Cepat habiskan makananmu."

***

Usai membersihkan diri di kamar mandi, Mia berjalan menuju meja rias. Sesuai rutinitasnya setiap malam, perempuan itu hendak menggunakan seperangkat produk perawatan wajah demi menjaga keindahan kulitnya. Melalui cermin yang ada di hadapannya, ia melayangkan pandangan pada William. Lelaki itu tampak duduk di atas ranjang dengan posisi tubuh bersandar pada headboard. Kedua matanya tampak fokus memandang ponsel di tangan.

"Kau sedang apa?" Mia bertanya, sembari mulai membersihkan wajah dengan kapas yang sudah dibubuhi toner.

"Mengecek kondisi kantor," sahut William.

Kedua alis Mia bertaut bingung. Alih-alih kembali bertanya, ia memilih menuntaskan kegiatannya terlebih dahulu. Dan begitu rutinitas penggunaan skincare-nya selesai, perempuan itu merapikan letak benda-benda tersebut, lalu berjalan mendekati William. Mengambil posisi duduk di sebelah lelaki itu.

"Mengecek kantor bagaimana?" gumamnya bingung. Ia melongokkan kepala pada ponsel dalam genggaman William, lantas terhenyak kemudian. "Kau bahkan bisa mengecek cctv dalam ponselmu?" Mia bertanya takjub.

William mengangguk. "Belajar dari kejadian Addison, aku meminta IT Staff untuk menyambungkan cctv kantor ke ponselku. Jadi aku bisa tetap memantau seisi Harvest Corps kapan pun dan di mana pun."

"Wah, itu sebabnya kau bisa mengetahui dengan mudah saat aku bertemu dengan Ethan?"

Lagi, William mengangguk. "Ruang kerjamu dan Ethan berseberangan. Ada cctv di lorong tersebut. Jadi aku bisa melihat saat kau memasuki ataupun keluar dari ruangannya."

Mia menggeleng-gelengkan kepala, sungguh tidak menyangka seorang William bisa berpikir sampai sejauh itu. Ah, ya, tidak seharusnya ia merasa heran. Sebab menurut cerita Carlos, sejak masa sekolah, suaminya itu memang memiliki otak yang cemerlang.

"Terima kasih," ucap William tiba-tiba.

"Hm? Untuk apa?"

"Kau mengatakan aku luar biasa."

"Aku? Kapan aku mengatakannya?"

"Baru saja. Aku bisa melihatnya, dari caramu memandangku." William tersenyum bangga.

Mia mendengkus. Selain senang berkata sinis, William memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Dan bagi Mia, itu cukup menyebalkan.

"Hei, apa semasa sekolah dahulu, kau benar-benar seculun itu?" tanya Mia, menyuarakan keheranan dalam kepala. William tidak terlihat memiliki sifat minder, sebagaimana kerap dimiliki orang-orang dengan keluhan kurang mampu bergaul pada umumnya. Sebaliknya, lelaki itu justru terlihat sedikit narsis dan ... otoriter.

Menanggapi ucapan Mia, William tertawa. "Aku senang bergaul dengan orang-orang. Hanya saja, mereka yang tidak terlalu senang berteman denganku. Entahlah, mungkin karena sifatku yang sedikit blak-blakan."

"Tidak sedikit." Mia meralat dengan nada ketus. "Kau bahkan amat sangat blak-blakan."

Lagi, William tergelak. Ia meletakkan ponsel di atas nakas, matanya memandang wajah Mia. "Bagaimana dengan kepalamu? Masih terasa sakit?"

"Sekarang tidak terlalu. Biasanya saat mulai memejamkan mata, nyerinya semakin terasa."

"Kalau begitu, besok kita pergi ke rumah sakit. Kau harus segera memeriksakan diri."

"Besok hari Minggu, kita juga sudah berjanji pada Ibu untuk berkunjung. Aku sudah mengajukan izin pada Ethan untuk tidak masuk ke kantor pada hari Senin nanti."

"Senin?" William terdiam sebentar, lalu menyentuh pelipis. "Oh, astaga, aku memiliki jadwal meeting dengan klien."

"Aku bisa pergi sendiri," ucap Mia. "Kau pikir aku anak kecil yang masih harus ditemani untuk bertemu dengan dokter?"

William menatap Mia tidak yakin. Dalam hati, ia begitu ingin menemani sang istri, tetapi jadwal meeting demi membicarakan perjanjian kerja sama dengan kolega tidak dapat ditunda.

"Segera kabari aku, begitu kau mendapat hasilnya," kata William kemudian, seraya menatap Mia dalam. Mia mengangguk, mengiyakan.

***

Beberapa hari lalu, Claire Clifford menghubungi William demi mengungkapkan rasa rindunya. Sebelum menutup panggilan, wanita itu berpesan agar William segera berkunjung ke rumah bersama menantu kesayangannya, Mia. Dan di sinilah mereka sekarang, di depan kediaman keluarga Clifford yang bergaya Amerika klasik.

William memencet bel sebanyak dua kali, ketika akhirnya derap langkah tergopoh terdengar dari dalam. Selang beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan memunculkan wajah cantik Claire Clifford. Wanita itu lantas menyambut kedatangan anak dan menantunya dengan binar bahagia.

"Wah, kalian datang. Aku senang sekali," ucap Claire, seraya berhambur memeluk Mia. "Bagaimana kabarmu, Nak? Sehat-sehat saja, bukan?"

Mia membalas pelukan sang ibu mertua dengan tak kalah gembira. "Tentu, Ibu. Kami sehat. Ibu dan ayah bagaimana kabarnya?"

"Kami juga sehat. Ayo, kita masuk." Claire merangkul pundak Mia, menuntun sang menantu memasuki bagian dalam rumah. Mengabaikan William yang hanya bisa berdiri menatapi mereka dengan pandangan tidak habis pikir.

"Bu, anakmu yang sesungguhnya ada di sini, Bu," protes lelaki itu. Namun, sayang, Claire tidak menggubris. Tepatnya, wanita paruh baya itu hanya berpura-pura tidak mendengar, sebab kini ia sudah terlalu sibuk berbincang dengan Mia.

William mendengkus, kemudian turut melangkah masuk. Ia berjalan menuju taman belakang, hendak menemui sang ayah yang biasa bersantai di sana.

"Ibu sedang memasak?" tanya Mia, saat Claire membawanya ke dapur. Manik cokelatnya bergerak menelusuri bahan-bahan makanan di meja, berikut panci di atas kompor yang tengah menyala.

"Iya. Tidak apa, sebentar lagi akan selesai. Kau duduk saja. Ah, kau mau minum apa? Biar Ibu buatkan," kata Claire. Mia memandang ibu mertuanya dengan senyum yang tidak kunjung hilang. Mensyukuri dalam hati, betapa beruntungnya ia memiliki mertua seperti Claire. Wanita cantik itu sungguh baik hati.

"Tidak perlu, Ibu. Terima kasih. Jika haus, aku akan mengambilnya sendiri," sahut Mia. Lantas, ia berjalan mendekat ke arah panci. "Airnya sudah mendidih, Bu. Haruskah aku memasukkan dagingnya sekarang?"

"Miaaa, tidak perlu." Claire mencegah cepat, saat Mia hendak meraih wadah berisi daging di atas meja. "Untuk hari ini, biar Ibu yang menyiapkan semua. Sebaiknya, kau pergilah ke taman belakang, temui Ayah. Sejak tadi, dia sangat sibuk menanyakan kedatangan kalian."

Mia menatap Claire tidak yakin, sebab ia begitu ingin membantu sang ibu mertua. Namun, ia tidak memiliki pilihan selain menuruti perintah Claire, karena perempuan itu sudah mendorong tubuhnya menuju taman belakang.

Saat Mia melempar pandangan pada bangku kayu di taman, matanya menangkap dua orang pria yang tampak asyik berbincang. Jamie dan William.

"Mia, kemarilah." Jamie memanggil begitu matanya menangkap kehadiran Mia. Dengan segera, Mia berjalan mendekati kedua lelaki itu.

"Duduklah," kata Jamie, seraya menunjuk bangku di hadapannya. Mia menuruti perintah sang ayah mertua. "Bagaimana kabarmu, Nak?"

"Baik, Ayah," sahut Mia seraya tersenyum. "Ayah terlihat semakin bugar."

Mendengar ucapan Mia, Jamie tertawa. "Tentu saja. Beberapa minggu belakangan aku sudah bergabung dengan klub tenis meja. Jadinya, aku memiliki jadwal rutin untuk berolah raga. Ditambah lagi, ibumu selalu memaksaku untuk meminum vitamin akhir-akhir ini. Kebugaranku bertambah dua kali lipat," ucap lelaki itu, seraya bergurau dengan menunjukkan otot-ototnya. Membuat William dan Mia tergelak bersamaan. "Bagaimana pekerjaan kalian?"

"Semuanya baik-baik saja, Ayah." William menyahut.

Jamie mengangguk-angguk. Lantas, ia menepuk pundak William. "Tentu, Ayah percaya jika kau yang mengatakannya. Sejak dahulu bahkan hingga sekarang, Ayah tahu kau selalu bisa diandalkan."

"Terima kasih, Ayah."

"Ayah, mau aku buatkan teh?" tanya Mia kemudian. Jamie segera menatapnya dengan senang.

"Boleh, jika kau tidak keberatan."

"Sama sekali tidak keberatan. Kalau begitu, aku ke dapur sebentar. Ayah berbincanglah dengan William," pamit Mia. Jamie dan William mengangguk, sembari memandangi punggung Mia yang berjalan menjauh.

"Mia baik-baik saja, bukan?" Jamie terdengar bertanya tiba-tiba, membuat William segera menatap padanya. "Dia terlihat lebih kurus dibanding terakhir kali kalian berkunjung ke sini. Wajahnya juga tampak pucat."

William terdiam, matanya mengikuti tubuh mungil Mia yang kemudian menghilang dibalik pintu. Sesungguhnya, ia juga memikirkan hal yang sama. Akhir-akhir ini, Mia terlihat kurang baik. Selain sering mengeluh sakit kepala, wajah perempuan itu pucat, matanya bahkan terlihat sayu. William sudah berulang kali bertanya, tetapi Mia selalu mengatakan tidak apa-apa, dan berkilah sakit di kepalanya hanya nyeri biasa. Syukurlah, pada akhirnya perempuan itu bersedia memeriksakan diri ke dokter. William menjadi sedikit lega, meski tetap merasa was-was karena belum mengetahui hasil pemeriksaannya.

"Akhir-akhir ini, dia memiliki keluhan nyeri di bagian kepala, Ayah. Namun, dia sudah berjanji untuk segera memeriksakan diri besok. Semoga saja, tidak terjadi sesuatu yang berbahaya padanya," ucap William. Dalam hati, sungguh ia berharap demikian.

Jamie mengangguk-angguk. "Aku juga berharap begitu. Dia menantu yang baik. Jadi kau harus menjaga dan merawatnya dengan baik juga."

"Tentu, Ayah. Tanpa Ayah minta, sudah pasti aku akan melakukannya." William menjawab mantap.

***

Usai makan siang, William memutuskan untuk melihat-lihat kamarnya semasa dahulu. Sudah cukup lama ia tidak mengunjungi kamar yang menjadi saksi perjuangannya. Tempat ia menghabiskan masa kecil hingga remaja. Ruang ternyaman untuk tidur, belajar, maupun menghabiskan waktu dengan membaca.

William menelusur seisi kamar, barang-barang miliknya dahulu masih tertata rapi di sana. Tempat tidur, meja belajar, lemari pakaian, rak buku, bahkan beberapa pigura semasa kecil yang pernah diabadikan oleh orang tuanya, semua masih terlihat lengkap.

William nyaris meraih sebuah pigura kenangan masa kecil, ketika sebuah ketukan tiba-tiba terdengar. Saat ia menoleh, Mia terlihat menyembulkan kepala dari balik pintu, lalu berjalan masuk.

"Kau sedang apa?" tanya Mia. "Mengenang nostalgia masa kecil?"

"Hanya melihat-lihat," sahut William. Ia mengedarkan pandangan ke seisi ruangan tersebut seraya berkata, "Kamar ini yang menjadi saksi bagaimana kerasnya perjuanganku dahulu. Setiap pulang sekolah, biasanya aku bermain sebentar, kemudian menghabiskan waktu dengan belajar, atau membaca bermacam-macam buku di sini."

Mia mengangguk-angguk mengerti, turut menelusur seisi kamar William dengan pandangan mata. "Hm. Aku jadi turut teringat masa-masa kecil kita dahulu," katanya. Mia berjalan mendekati meja belajar William. Kedua matanya membesar saat menangkap sebuah pigura yang berdiri tegak di sana. "Ini ...."

"Gadis yang pernah kusukai semasa kecil." William menjawab cepat, membuat Mia seketika menoleh padanya. William meraih pigura tersebut, lalu mengangsurkannya pada Mia.

Mia memandang dengan saksama gadis kecil di dalam foto. Tentu, ia sangat mengenal sosok mungil itu, karena ia juga memiliki gambar-gambar dengan wajah serupa di rumah orangtuanya. Gadis kecil bertubuh kurus dengan kulit seputih susu, dengan rambut kuncir dua yang menjadi ciri khas dirinya.

"Dahulu, dia anak perempuan pertama yang berhasil dekat denganku." William kembali bersuara. "Namanya ... Mia Sparks."

Segera saja, kedua mata Mia mengarah pada William. "Kau pernah ... menyukaiku?" tanyanya tidak percaya.

"Yah, sekadar rasa suka tidak jelas yang dimiliki seorang bocah kecil." William menyahut enteng. "Mungkin karena saat itu kita terlalu sering bermain bersama."

"Hm ...." Mia mengangguk-angguk mengerti. Ia meletakkan pigura tersebut kembali pada tempatnya. Sembari tertawa kecil ia mengatakan, "Jika boleh jujur, saat itu ... sepertinya aku juga menyukaimu."

"Benarkah?" William bertanya takjub. Bibirnya tersenyum miring. "Yah, tidak heran. Aku memang sudah tampan sejak kecil."

Senyum di wajah Mia seketika menghilang. Ia merasa menyesal telah mengucapkan hal semacam itu. William benar-benar pantang dipuji, Mia merutuk dalam hati.

"Sungguh suatu kebetulan yang luar biasa," ucap William kemudian. "Kita pernah saling menyukai semasa kecil, dan pada akhirnya menikah ketika kita dewasa."

Mia lantas tersenyum. "Aku juga tidak menyangka. Hidup ini benar-benar penuh dengan kejutan."

William berjalan semakin mendekat. Seraya menatap dalam pada kedua mata Mia, ia berkata, "Terima kasih, Mia."

Mia mengerutkan dahi. "Untuk apa?"

"Untuk menjadi yang pertama ... dan terakhir."

Sebelum Mia sempat menyuarakan kebingungan, William sudah memutar tubuh perempuan itu menghadap padanya. Ia mengecup bibir Mia dengan gerakan lembut, membuat pupil Mia membesar begitu saja.

Mia memperkuat pegangan pada meja belajar di belakangnya, demi menopang tubuh yang nyaris limbung. Sentuhan bibir William benar-benar mengejutkan. Oh, juga memabukkan.

***

Hari Senin yang dinanti telah tiba. Sesuai rencana awal, Mia akan memeriksakan diri ke rumah sakit. Ia sudah mengajukan izin pada Ethan, juga William. Dan di sinilah Mia sekarang, di depan sebuah rumah sakit terbesar di pusat kota, baru saja turun dari taksi yang ditumpanginya.

Saat Mia mulai berjalan memasuki pelataran gedung bercat putih tersebut, ponsel dalam tasnya berdering. Dengan segera, ia meraih benda itu dan menatap nama pemanggil di layar.

"Kau sudah sampai?" Suara di seberang terdengar bertanya, begitu Mia menekan tombol answer. Tentu saja, William.

"Hm, baru saja."

"Segera kabari aku begitu kau memperoleh hasilnya," pesan William.

"Ya, ya, aku tahu. Kau sudah mengucapkan itu belasan kali sejak semalam." Mia menyahut kesal.

"Jika meeting-nya lekas selesai, aku akan menyusulmu. Sekalian, kita makan siang di luar."

"Hm, baiklah. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa, Mia."

William menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku jas. Ia mengembuskan napas dengan gelisah. Sesungguhnya, sejak malam tadi, pikirannya sudah dipenuhi oleh Mia. Meski tidak mengucapkannya secara terang-terangan, William sangat takut terjadi sesuatu yang berbahaya pada sang istri.

"Bisa kita mulai sekarang, Sir?"

Sosok pria di hadapan William terdengar bertanya, membuat lelaki itu tersadar dan seketika menganggukkan kepala.

"Tentu."

Meski masih menyimpan resah, dalam hati, William berdoa agar Mia sungguh baik-baik saja.

Continue Reading

You'll Also Like

2.6K 346 49
mencintailah dengan cara sederhana, maka akan ku beritahukan satu hal. Bahwa pembunuh memiliki cara terbaik untuk menyingkirkan lawan nya. Mari berma...
175K 16.1K 13
Semua pict dari pinterest. Arshel Elean Adiputra adalah sosok antagonis dalam novel yang pernah di baca Jovian, Vian tahu Arshel tidak bersalah, Ars...
2.2M 242K 44
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.5M 70K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞