ALAÏA

By radexn

22.1M 2.2M 4.9M

[available on offline/online bookstores; gramedia, shopee, etc.] ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ ❝ Dia pergi, membawa da... More

Prolog
1. Hey, Nona
2. Kabur
3. Kembali ke Rumah
4. Dekat
5. Lebih Nyaman
6. Laut
7. Hanya Alaia
8. Berdua
9. Mungkin Salah
10. Feels
11. Dua Rasa
12. Dilema
13. Pernah Ada
15. Gelora Asa
16. Gone
17. Nuansa Bening
18. Lensa
19. Dua Garis
20. Langit
21. Young Married
22. Anger
23. Bittersweet Feeling
24. Lost
25. Badai Rasa
26. Goddess
27. Jalan Kita
28. Hampir
29. The Blue
30. Dark Sky
31. Confused
32. Satu Bintang
33. Siren
34. Mrs. Raja
35. Euphoria
36. Laut dan Alaïa
37. Wheezy
38. Celah Adiwarna
39. Aqua
40. Baby Daddy
42. Insecure
43. One Wish
44. Jika Aku Pergi
45. Rumit
46. Langit Ketika Hujan
47. Mermaid
48. Something From The Past
49. Reincarnation
50. Hey, Baby
51. Pudar
52. Cahaya Halilintar
53. Black and Pink
54. Harta, Tahta, Alaia
55. Happy Mamiw
56. Permainan Langit
57. Badai
58. Amatheia Effect
59. Rest in Love
60. Bintang
61. Di Bawah Purnama
62. Death Note
63. Glitch
64. Langit Shaka Raja
65. Bye
66. Sekali Lagi
67. Half-Blood
68. Deep Sea
Vote Cover ALAÏA
69. Terang [END]
PRE-ORDER ALAÏA DIBUKA!
Extra Chapter
ALAÏA 2
SECRET CHAPTER ⚠️🔞
AMBERLEY
ALAÏA 3
ALAÏA UNIVERSE: "SCENIC"

14. Kamu

301K 38.6K 60.3K
By radexn

FOLLOW INSTAGRAM AKU: alaiaesthetic & radenchedid (cadangan). Biar engga ketinggalan info tentang ceritaku! 🤍

14. Kamu

Lila kenyang memakan bubur. Apalagi yang menyuapinya Langit, kenyangnya jadi bertambah.

Langit menaruh mangkuk kosong ke tempat semula, di atas nakas dekat brankar. Awalnya Langit pikir Lila tak akan mengajukan banyak permintaan lagi setelah makan. Tapi ternyata perkiraannya salah besar.

"Langit, bantuin gue." Lila mengangkat kedua tangannya ke arah Langit, seakan minta dipeluk.

"Mau ke sofa." Lila berkata manja. "Susah jalan."

Langit bersedia membantu orang lain kapanpun ia bisa. Termasuk membantu Lila pindah ke sofa. Langit meraih tangan Lila dan membawa cewek itu turun dari brankar secara pelan-pelan.

"Ah, sakit. Susah, Langit. Gendong aja ya?" Lila menyeletuk.

"Kaki lo sakit?" tanya Langit, memastikan.

"Banget. Nyeri lagi. Ga bisa jalan kayaknya." Lila berucap sedih.

Ternyata Langit tidak mampu menolong Lila, apalagi memenuhi permintaannya untuk digendong. Tapi Langit memiliki cara agar kehadirannya tak sia-sia di sini.

Langit menjauh dari Lila, ia menghampiri sebuah benda yang bisa bergerak memakai roda. Langit membawa benda itu ke Lila sambil tersenyum miring.

"Ga usah gendong, pake itu aja." Langit menatap Lila, lalu kembali memandang kursi roda. "Yuk, gue bantuin lo duduk di situ."

Lila mencak-mencak dalam hati. Dia maunya digendong, bukan dipindahkan pakai kursi roda! Ah, rasanya kesal sekali dan mau marah saja.

Sesudah Lila duduk, Langit mendorong kursi roda ke sofa yang jaraknya cukup dekat dari mereka. Kemudian Lila pindah ke sofa dengan terhati-hati, tentunya dibantu Langit.

"Sini duduk." Lila menepuk space kosong di sampingnya.

Langit menurut, tak masalah. Ia duduk di sebelah Lila. Lila mengambil kesempatan untuk mempersempit jarak mereka. Cewek itu bergeser, lantas bersandar ke badan Langit.

Tentu Langit tersentak. Dengan tangannya Langit mendorong kepala Lila agar menjauh. "Sono ah."

"Ih Langit... gue kangen kayak gini sama lo. Kangen banget banget banget," aku Lila.

"Inget ga? Kalo gue lagi sedih, lo pasti peluk gue. Lo hibur gue. Lo bikin gue ketawa, abis itu ajak gue jalan-jalan beli makanan." Lila mengenang masa lalu mereka.

"Gue selalu diperlakuin kayak Princess sama lo. Beruntung banget ya gue?" lanjut Lila, mengukir senyum miris.

Kini Lila meraih lengan Langit untuk dipeluk. "Lo selalu jaga gue, Ngit. Lo ga pernah macem-macem."

"Gue nyesel kenapa dulu harus ketemu Bastian," lirih Lila. "Sumpah, senyesel itu...."

Langit sudah tidak nyaman karena Lila grepe-grepe tangannya terus, sekarang ditambah dengan topik yang Lila bawa. Kenapa harus membicarakan itu, padahal ada banyak bahan untuk dibahas yang jauh lebih penting dari hubungan mereka di masa lalu.

Lila makin mengeratkan pelukan pada lengan Langit. Ia berbisik rendah, "Kalo bisa, gue pengen banget kita kayak dulu lagi."

"Ga bisa." Langit menyahut tanpa basa-basi.

Jantung Lila auto berdentum kencang. Ucapan Langit hanya dua kata, tapi cukup menghunus dada Lila bagai panah.

Sambil menatap wajah Langit dari samping, Lila bertanya, "Kenapa ga bisa?"

"Udah beda," cetus Langit, ucapannya memiliki arti luas.

"Tapi ga ada salahnya kita ulang lagi, kan?" Lila masih berharap.

"Salah." Langit menyahut lagi, dan lagi-lagi bikin Lila hampir jantungan.

"Kenapa sih, Ngit?" Lila kembali sedih, ia ditolak mentah-mentah oleh Langit dan ini rasanya sakit sekali.

"Kenapa apa? Lo udah tau jawabannya, ga usah nanya lagi." Langit membalas terkesan jutek.

Iya, Lila memang tau masalah mereka sejak dulu masih seputar Bastian. Mereka putus karena Lila lebih memilih Bastian saat dirinya dan Langit masih menjalin status pacaran.

Sejak saat itu Langit enggan menghubungi Lila lagi. Langit mengikhlaskan hubungan mereka usai dan membuat kesepakatan untuk saling hapus kontak.

Bukannya Langit bertingkah kekanakan karena menghapus kontak. Tapi itu ia lakukan untuk membantunya merelakan Lila lebih cepat.

Satu lagi, Langit sudah tidak bisa percaya pada Lila. Langit meragukan kesetiaan Lila semenjak cewek itu mengkhianatinya. Bahkan Langit enggan memberi kesempatan kedua.

"Gue salah pernah sia-siain lo. Gue minta maaf," ungkap Lila.

"Iya." Langit berucap.

"Lupain, Ngit...," ujar Lila. "Kita bisa balik lagi kayak dulu sebelom ada Bastian. Kita bisa bahagia bareng lagi. Gue yakin, gue bisa setia sama lo. Gue udah trauma banget gara-gara Bastian. Gue ga bakal berulah lagi."

"Ga bisa. Gue ga mau," sahut Langit.

"Lo mau. Lo cuma ga siap bilangnya, kan?" sambar Lila.

Sekarang Langit menatap Lila walau hanya sekian detik, tatapannya pun sengit. Ia tak habis pikir kenapa Lila bisa berpikir seperti itu. Padahal pemikirannya sama sekali tidak benar.

"Gue ga mau. Kalo gue bilang ga mau, ya ga mau. Lo ga bisa ngelak omongan gue," seloroh Langit, semakin jengkel.

"Tapi masa ga ada kesempatan buat gue, Ngit?" Lila menatap Langit sendu.

"Lo ga mau bantu gue biar ga trauma lagi? Bantu gue biar ga ketakutan lagi? Lo ga mau?" Lila berkaca-kaca lagi.

"Gue ga bisa," ujar Langit. "Gue paham lo lagi gimana sekarang, tapi bukan berarti gue harus turutin semua yang lo mau."

Lila tertunduk. Pelukannya pada lengan Langit perlahan mengendur. Tapi ia sama sekali tak mau bergeser menjauh dari Langit, malahan kepalanya makin menempel di bahu itu.

"Please, Ngit... gue mau bahagia juga." Air mata Lila menetes.

"Di sini yang bisa bikin gue bahagia ya lo, bukan Bastian." Lila melanjutkan.

"Gue bisa jadi temen lo. Kalo jadi pacar lagi, gue ga bisa." Langit menegaskan.

"Gue mohon." Lila berkata semakin melas.

"Teu baleg sia mah! Merugul." Langit tiba-tiba ngomel. "Au ah, keuheul aing."

"Makanya bilang iya dulu, biar gue ga merugul lagi." Lila masih terus memaksakan kehendak orang lain.

"Bodo," cetus Langit, cuek.

Lila mengusap air mata di pipinya dan memeluk lengan Langit lagi. Dia terdiam sebentar sambil memikirkan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya kepikiran terus sejak hari-hari lalu.

"Lo nolak gue mulu," kata Lila, "pasti gara-gara cewek yang tadi itu kan?"

"Lo nih udah batu, sotoy lagi. Ngeselin, La." Langit menyeplos.

"Gue kan nanya...." Lila memelas.

"Ga usah bawa-bawa Alaia, dia ga tau apa-apa." Langit berkata serius.

"Lo suka dia, Ngit?" tanya Lila, dan pertanyaannya membuat jantung dia mental-mental di dalam sana.

Langit tak menjawab sampai di detik-detik berikutnya. Dia diam saja, tanpa tau Lila menunggu jawaban dengan perasaan aneh yang menyiksa dada.

"Jawab," gumam Lila.

"Ga setiap tanya harus dijawab." Langit menyahut. "Kepo lu."

"Kenapa sih jutek banget? Biasanya ngomong sama gue lembut banget," ujar Lila, murung.

"Biasanya itu kapan? Jaman kapan?" tanya Langit ketus. Kalau Langit berwujud kartun pasti mata dan kepalanya mengeluarkan api.

"Dulu." Lila memajukan bibir. "Tapi apa salahnya sekarang kayak gitu lagi?"

Semakin lama Langit makin kesal. Ternyata sejak tadi kesabarannya sedang diuji. Tapi sekarang Langit tak bisa menahan lagi. Lila sudah benar-benar bikin keki.

"Ga boleh pergi sebelom masalah kita selesai." Lila berucap cepat sambil menahan Langit karena cowok itu hendak beranjak dari sofa secara dadakan.

"Masalah apa sih?" Langit menatap Lila capek.

"Aku sama kamu," jawab Lila.

"Dih." Langit mengangkat satu alisnya mendengar Lila menyebut 'kamu' dan 'aku'.

Lila bergerak dan posisinya kini menghadap Langit. Setiap melihat Langit, perasaan itu selaksa tumbuh kembali. Lila tak bisa membohongi dirinya bahwa ia masih memiliki rasa pada Langit.

"Gue tau," ucap Lila sambil menyentuh dada Langit. "Di situ masih ada gue."

"Ga ada," tepis Langit. "Ngadi-ngadi aja lu."

"Boong." Lila tak percaya.

"Terserah," sahut Langit tak peduli. Yang penting omongannya tadi benar bahwa di hatinya tidak ada lagi Lila.

Lila termenung. Dia bersandar lagi ke kepala sofa dan menunduk dalam-dalam. Keduanya diam membuat suasana menjadi hening. Tapi keheningan itu seketika pecah saat suara isak tangis Lila muncul.

"Gue ga punya harapan," ucap Lila begitu sedih dan parau.

"Punya." Langit menyahut.

"Ga ada. Lo udah nolak gue. Lo ga mau sama gue lagi," sedu Lila.

"Makanya buka mata, liat masa depan. Jangan liat masa lalu mulu," kata Langit.

"Lo masa depan gue." Lila berucap sangat yakin.

"Gue masa depannya jodoh gue. Jodoh gue bukan lo, La," celetuk Langit yang hanya bikin tangis Lila makin kejer.

"Lo ga bisa nentuin jodoh lo," ujar Lila.

"Iya, tapi gue mau request ke Tuhan biar jodoh gue bukan lo." Langit sepertinya sengaja bikin Lila histeris.

Di saat-saat seperti ini, ada saja yang bikin Lila ingin terus menangis. Dia kesal tapi tak bisa melakukan banyak hal. Apalagi saat Dara datang yang artinya Lila tidak bisa berduaan lagi bersama Langit.

"Loh, Lila? Kenapa, Sayang?" Dara khawatir, ia mendekati putri tersayangnya.

"Ma...," gumam Lila, memandang Dara penuh harap. "Langit ga mau jujur kalo dia masih ada rasa ke aku. Padahal kalo kita bareng lagi, aku bisa lupain Bastian kan, Ma?"

⚪️ ⚪️ ⚪️

Alaia menjilat es krim sambil mengitari pandangan ke sekitar. Taman rumah sakit sangat asri dengan udara yang sejuk dan bersih. Ada juga berbagai tanaman yang tumbuh sehat.

"Cantik," puji Alaia ketika melihat tumbuhan dengan bunga kuning.

"Itu namanya bunga yellow," celetuk Ragas, asal saja yang penting dia senang.

"Eh bentar." Ragas mendekati bunga tadi. Ia melihatnya dari dekat dan mengamati secara mendetail.

"Ini bunga mawar," kata Ragas. "Mawarnya kena penyakit kuning."

"Cantik banget ya," ucap Alaia sambil terus memandangi keindahan mawar kuning.

"Mau?" Ragas menawarkan, kemudian mencomot satu bunga tanpa tangkai untuk Alaia. "Nah, ambil. Bunganya aja dulu, batangnya nanti. Nyicil."

"Terima kasih, Ragas." Alaia tersenyum senang dan menerima pemberian Ragas.

"Iya, jangan dimakan. Ga boleh." Ragas mengingatkan.

Alaia tergelak lucu. "Aku lebih suka makan es krim daripada makan bunga mawar."

Terkadang ketika berdua dengan Alaia, rasanya seperti sedang mengurus anak kecil. Tapi Ragas tidak pernah keberatan. Alaia itu lucu dan tipe orang yang sangat tulus.

Alaia akan baik-baik saja bila bersama orang yang tepat. Kalau tidak, takutnya Alaia diperlakukan macam-macam karena pengetahuan gadis itu tak banyak.

Sekarang mereka kembali melanjutkan acara jalan-jalan. "Ragas," panggil Alaia.

Ragas nengok. Alaia langsung bertanya dengan sedikit malu, "Langit suka peluk ya?"

"Hah?" Ragas menunjukkan muka penuh kebingungan. "Kenapa emangnya?"

"Tadi Langit peluk Lila. Kemarin peluk aku," kata Alaia.

"Lo dipeluk Langit?!" Ragas bertanya dengan nada terkejut.

Alaia memangguk. "Kamu pernah dipeluk Langit?"

"Bentar, bentar. Lo pernah diapain aja sama Langit? Itu kenapa bisa peluk-peluk?" Ragas kelimpungan.

"Aku banyak lakuin sesuatu sama Langit," jawab Alaia seadanya, tapi itu membuat pipinya bersemu lagi. Telinganya pun ikut memerah.

"Wadidaw! Langit gercep juga ye." Ragas tertawa keras.

"Gue cepuin ke Bunda ah nanti." Lalu Ragas cekikikan.

"Aku lagi mikirin Langit." Alaia menunduk, menatap es krimnya yang sedikit lagi habis.

"Lo bisa mikir?" heran Ragas.

Alaia menengadah untuk menatap cowok tinggi itu. Dia berkedip polos, lalu memikirkan Langit lagi. Alaia bingung, kenapa di kepalanya selalu muncul bayangan Langit. Rasanya tak tenang sekali.

"Kenapa, lo galau gara-gara Langit berduaan sama Lila? Tenang coy! Mereka udah diganggu sama Tante Dara," celetuk Ragas.

"Aku bingung." Alaia berkata, ia kembali tertunduk.

Namun tak lama kemudian Alaia mendongak lagi. "Tapi kamu benar, aku harus tenang."

Alaia menarik napas dan mengulum senyum manis di wajah. Bibirnya mengukir senyuman, tapi matanya mengilatkan kegalauan.

Ragas tertular senyuman Alaia. Dia mengajak cewek itu kembali ke gedung rumah sakit, tapi sebelumnya Ragas akan pamit ke toilet dulu.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Alaia menunggu Ragas sambil jalan-jalan sebentar, tapi ia tidak akan pergi jauh alias ia tetap di sekitar toilet.

Es krim sudah habis, yang ada di tangannya hanya bunga mawar pemberian Ragas hasil nyolong. Dikasih bunga satu biji tanpa tangkai pun Alaia sangat senang. Apalagi kalau diberikan bunga satu bucket besar.

Seperti ini misalnya;

Alaia menoleh ke belakang, memastikan Ragas sudah keluar atau belum. Ternyata belum. Sepertinya Ragas mendapat panggilan alam.

Kaki Alaia yang terbalut sandal dengan aksesoris rajut itu berhenti bergerak. Ia tidak berminat pergi ke mana-mana lagi. Dia akan menunggu Ragas saja.

Sayang, ada sesuatu yang mengharuskan Alaia minggat dari tempat saat ia lihat sosok pria berpakaian serba hitam ada di tempat yang sama dengannya.

"Paman," gumam Alaia, jantungnya berdetak cepat.

Lututnya lemas, namun Alaia bergerak cepat untuk segera pergi. Kai berjalan ke arah toilet, entah ingin mampir atau beliau hanya akan melewati toilet. Yang pasti Alaia harus menjauh dari sini.

Alaia sangat takut Kai akan menjumpainya dan membawa dia pulang. Alaia tidak mau dikurung lagi.

Kecemasan Alaia membuat ia sulit berpikir jernih. Air mulai menggenang di pelupuk mata, tapi Alaia tak mau menangis. Dia hanya mau berlindung dari Kai.

"Langit...," gumam Alaia, selalu spontan menyebut nama Langit ketika dia merasa terancam.

Dia mau ke kamar Lila tapi tidak mengerti cara menggunakan lift. Namun Alaia nekat, dia asal memencet tombol hingga pintu terbuka dan ia langsung masuk.

Alaia menggigit bibir bawah dan menatap pintu yang kini bergerak menutup. Di dalam lift hanya ada dirinya. Tapi Alaia tak sendirian lagi kala pintu terbuka dan masuklah seorang cowok sambil menjinjing kantong plastik putih.

"Hey, Cute." Cowok itu menyapa Alaia, matanya bergerak mengamati dari atas sampai bawah seperti sedang scanning tubuh Alaia.

"Kenalan dong. Gue Bastian, lo siapa?"

"Aku Alaia," jawabnya.

"Namanya cantik, secantik orangnya. Namanya ngegambarin lo banget ya? Indah dan terlalu sempurna." Bastian memuji, walau sebenarnya itu hanyalah kata-kata gombal yang sangat cringe ala Bastian.

"Punya pacar atau masih single?" Bastian bertanya tidak sopan.

"Ragas bilang aku punya pacar." Alaia menjawab.

"Ragas?" Bastian sedikit bingung.

Dia yakin nama Ragas tidak pasaran, lalu apakah Ragas yang Alaia maksud adalah Ragas yang tiba-tiba muncul di benak Bastian? Ragas kakaknya Langit?

"Ragas siapa?" Bastian penasaran.

"Ragas anaknya Bunda." Alaia berucap seadanya tanpa dibuat-buat.

"Bunda siapa?" Bastian nanya lagi.

"Bunda aku." Jawaban Alaia membuat Bastian nambah bingung tapi pada akhirnya ia lega.

"Oh... Ragas sodara lo gitu? Paham, paham." Bastian tertawa sambil manggut-manggit. Ia pikir Ragas saudara kandung Langit. Setau Bastian Ragas hanya memiliki adik lelaki.

"Bagi whatsapp-nya dong." Bastian meminta sambil berkedip genit.

"Aku ga tau." Alaia asli tidak tau apa itu whatsapp.

"Pelit," cibir Bastian. "Gue cuma mau temenan, ga bakal aneh-aneh. Santuy aja men!"

"Aku ga ngerti kamu ngomong apa." Alaia berkata.

Sekarang Bastian kunci mulut. Dia menatap Alaia dengan tatapan tak biasa, kemudian tiba-tiba ia menyimpulkan sesuatu tentang Alaia.

Katanya, "Lo amnesia ya? Yakin nih gue. Pantesan lo keluyuran sendiri, bawa-bawa bunga kecil, celingukan kayak anak ilang."

"Oh kasian. Mau dianter ke kamar?" Bastian menawarkan.

"Ga mau." Alaia menolak.

Beruntungnya pintu lift terbuka, Alaia segera keluar. Bastian kebetulan keluar juga karena ini lantai tiga. Meski berada di lantai yang sama, tapi mereka harus berpisah karena Alaia lebih tau di mana kamar Lila. Sedangkan Bastian harus cek nomor kamar satu per satu sampai menemukan kamar sang pacar.

Belum sampai di depan pintu, pintu kamar Lila terbuka dan Langit muncul dari sana.

"Angit!" Alaia berlarian kecil.

Satu tangan Alaia terulur, ingin meraih Langit. Langit juga refleks menggerakkan tangannya untuk menyambut Alaia.

Langit menoleh dan membuang napas lega saat tau Alaia ada dengan kondisi baik. Tapi ternyata perkiraan Langit tidak benar alias ia keliru. Kala Alaia tiba di dekatnya, barulah Langit bisa melihat bahwa anak itu sedang tak baik-baik saja.

Wajah Alaia penuh kecemasan, bahkan terlihat pucat pasi seperti dikejar-kejar hantu.

"Aku liat Paman. Aku takut," ucap Alaia.

"Di mana?" tanya Langit.

"Di deket toilet lantai bawah. Aku lari ke sini, aku takut Paman liat aku." Alaia berucap sampai gemetaran.

"Jangan main jauh-jauh," ujar Langit.

"Tapi tadi aku pergi ke taman sama Ragas. Aku dikasih bunga mawar." Alaia memamerkan mawar kuning tadi. "Ragas ajak aku pergi sekalian aku nunggu kamu."

"Nunggu kenapa?" Langit bertanya.

Alaia menggeleng pelan. "Aku ga tenang."

"Sekarang udah tenang?" tanya Langit lagi.

Alaia mengerjap mata, ia menatap Langit dengan mata teduh. Langit juga membalas tatapannya. Degup disertai perut yang menggelitik itu muncul lagi. Akhir-akhir ini Alaia merasakannya saat bersama Langit.

Tidak tahan ditatap Langit terus, Alaia langsung menunduk. Mukanya seperti terbakar, tapi ini tidak sakit melainkan membuat hati berbunga-bunga.

Langit sadar betul adanya perubahan warna di pipi Alaia, tapi ia belagak tidak tau. Dengan sengaja Langit memanggil agar Alaia menengadah lagi. Sekarang ia bisa lihat dengan jelas pipi merah itu. Astaga, gemasnya.

"Gue ga ada apa-apa sama Lila. Tadi nemenin dia aja, dia butuh dukungan." Langit memberi tau, seakan paham apa yang Alaia rasa dan ingin membuat gadis itu kembali tenang tanpa harus memikirkan kejadian di kamar inap tadi.

Alaia mengangguk tanda mengerti.

"Langit, Ragas bilang kamu pacarku." Alaia berkata tiba-tiba.

"Ragas bilang gitu?"

"Iya." Alaia mengangguk, lalu mengelus perutnya yang sedikit mulas karena es krim. "Aku minta dinikahin."

"HAH." Kini Langit mangap lebar, menatap Alaia tak percaya. Matanya tertuju ke perut Alaia dan pikiran macam-macam seketika hadir di benaknya. "Serius?"

Dengan lugunya Alaia mengangguk, tapi itu membuat Langit panik setengah mati.

⚪️⚪️ To Be Continued.... ⚪️⚪️

⬆️ suka style rambut kiri atau kanan? ⬆️

KIRI

KANAN

——————————————

Terima kasih banyak sudah baca Alaia!!! Jangan lupa share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🧜🏻‍♀️💗

Continue Reading

You'll Also Like

21.5M 159K 5
Bagaimana jadinya jika seorang gadis yang periang, ceria, cerewet, ceroboh dan gak bisa diam, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sangat pendiam, mu...
4.1M 161K 9
[FANTASI] Diaz Elano Xeimoraga, bukan sembarang cowok. Ia dikarunia kelebihan bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa. Membac...
65.6K 6.4K 17
❗ THRILLER, FANTASI AND A LITTLE ROMANCE IN THIS STORY❗ Yang suka teori! Sini ngumpul! Mengungkap sebuah rahasia dari sekolah dan real estate elite...
5.4M 510K 24
Ryu Keira adalah orang yang sudah menata semua masa depannya dengan baik. Dia punya daftar hal-hal apa saja yang akan dia lakukan bahkan sampai ia tu...