Only Emerald

By queen_chigga

70.9K 2.2K 197

"Dasar Lelaki udik tampan sialan! Dia pikir dia siapa berani mengacuhkan ku seperti itu. Lihat saja nanti. Ak... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29

Part 24

979 48 9
By queen_chigga

"Halo kak.." sapa Emma ketika tiba di hadapan Ferdi dan Daffa. Sapaan itu ditujukan hanya kepada Ferdi, bukan lelaki tampan yang berdiri di sampingnya.

"Halo, Em.. aku tidak tahu kamu bekerja disini." Jawab Ferdi dengan raut penuh tanda tanya.

"Magang. Tepatnya."

Ferdi merespon jawaban Emma dengan anggukan seraya tersenyum. Melirik Daffa disampingnya yang bergeming menatap Emma tak berkedip dan Emma menunduk tidak nyaman membuat situasi ini menjadi sangat canggung.

"Sudah makan?" Tanya Ferdi memecah kebisuan diantara mereka.

"Sudah kak." Jawab Emma cepat. Melirik jam tangannya, Ferdi membalas "too early...?"

"Ma.. maksudku, aku sedang diet sekarang. Menghindari makan malam." Emma terlihat gugup.

"Oh. Oke. Tapi tidak apa untuk sekedar minum kan? Kami berencana cari makan diluar. Mau join? Aku sudah lama tidak bertemu denganmu, dan lagi ingin sekali mendengar kabar Nadia dan Wina." Ajak Ferdi belum menyerah.

"Mereka baik. Dan sibuk magang sepertiku. Wina magang di Akiesera dan Nadia baru mulai diterima magang di Dwijaya. Mungkin lain kali, kak. Aku sudah ada janji dengan tunanganku malam ini. Dan sepertinya dia sudah sampai di depan. Maaf, tapi aku harus pergi. Terima kasih ajakannya." Jawab Emma terburu-buru, setelah anggukan kecil ia berjalan menjauhi Ferdi dan Daffa menuju keluar. Ferdi sempat ingin menyela kembali namun terhenti oleh tangan Daffa yang menahan tubuhnya.

"Sudahlah. Ayo pergi." Ucap Daffa dengan tenang sambil berbalik menuju parkiran yang berada di belakang gedung.

Sepanjang perjalanan menuju restoran, Daffa termenung sendiri. Pikirannya kembali pada pertemuan mereka tadi. Seulas senyum terukir di wajah tampannya setelah sekian lama.
"Cantiknya Emerald-ku. Rasanya mau mati menahan diri untuk tidak menariknya kedalam pelukanku."

Senyumnya perlahan memudar.

"Tapi kenapa dia terlihat muram? Apakah dia tidak bahagia? Apakah pria itu tidak membahagiakannya?"

Kemudian kembali menyunggingkan senyum ke arah kaca jendela mobil di sampingnya. Menatap kosong keluar jendela.

"Haruskah aku merebutnya sekarang? Keuanganku sudah stabil. Aku sudah mampu membahagiakannya. Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku. Aku sudah pantas bersanding dengannya. Apa aku langsung melamarnya saja?"

Lamunan Daffa buyar oleh celetuk temannya.

"Lah dia malah senyam senyum, bung." Ucapnya melirik pada Daffa, membuat Daffa berdeham sambil memperbaiki posisi duduknya.

"Udah lu nyetir yang bener." Jawab Daffa salah tingkah.

"Lu jangan aneh-aneh deh, bro. Udah mau 3 tahun, belom juga move-on. Heran gue."

Celetukan Ferdi membuat Daffa melirik tajam kearahnya. Ferdi mampu merasakan amarah Daffa tanpa perlu menoleh, hingga membuatnya bergidik.

"Gue cuma ngasih saran, bro. Jangan bunuh gue."
Daffa menghembuskan nafas kasar.

"Take it slow, bro. Lu mau gegara lu pepetin dia, dia malah keluar dari perusahaan? Jangan buat dia gak nyaman laah.. Lu ga liat gimana ekspresinya ketemu ama kita tadi?" Jelas Ferdi.

Apa yang dikatakan Ferdi memang benar. Daffa mengakuinya dalam diam. Emerald terlihat tertekan dan gugup di depan mereka tadi. Kalau saja mereka bukan atasan, mungkin Emma sudah menolak ajakan mereka dengan kasar tadi. Tapi Emma bersikap tenang, oleh sebab itu Daffa berfikir untuk bersikap lebih tenang lagi.

'Lagipula mulai besok, aku bisa melihatnya setiap hari. Untuk apa terburu-buru sekarang."

"Yah, lo bener juga sih." Ucap Daffa menepuk pundak Ferdi dengan seringai di wajahnya.

"Kok perasaan gue malah gak enak ya?"

***

"Hei, ada masalah dikantor?" Dany menarik lengan Emma ketika baru melangkah masuk ke dalam rumah. Emma menatap Danny dengan bingung.

"Dari sejak kita dinner, hingga perjalanan pulang, kamu banyak diam. Saat aku tanyapun, sepertinya fikiranmu sedang menerawang jauh. Apakah tugas di kantormu sangat berat?"

"Tidak. Tidak sama sekali. Hanya saja aku mengantuk." Jawab Emma, menghempaskan dirinya di sisi sofa ruang TV. Danny mengambil tempat di sisi lain sofa, kemudian mengambil kaki Emma dan meletakkannya dipangkuannya lalu memijit telapak kaki Emma dengan lembut. Emma tersenyum sayu.
Merasa beruntung memiliki Danny yang begitu menyayanginya. Danny tidak pernah malu atau sungkan mencurahkan perhatiannya pada Emma. Berbagai gestur manis dilakukan Danny hanya agar Emma tahu bahwa dirinya amat berharga, amat dicintai. Danny selalu menghujani Emma dengan perhatian dan kasih sayang tiada henti.

"You just an intern, sweetheart. Don't forcing yourself, please."

"I know." Emma bergerak dari posisinya mendekati Danny lalu mengecup bibir Danny pelan. Disaat Emma hendak menjauhkan wajahnya, dengan sigap Danny menarik leher Emma mendekat, memutus jarak diantara bibir mereka. Lumatan dan kuluman bergabung menjadi satu menghasilkan panas dikeduanya. Membuat Emma berpindah kepangkuan Danny, mengalungkan kedua lengannya dileher Danny.

Tangan Danny berpindah dari punggung perlahan bergerak turun menuju pinggul Emma lalu meremasnya lembut. Tindakannya itu membuat Emma menggerakkan pinggulnya, yg memberi gesekan antara miliknya dan milik Danny.

Erangan lolos dari mulut Danny disela pagutan mereka.
"Errmmm, too far Emma. Are you sure?"
Kata-kata Danny bagai mantra yang menghentikan gerakan Emma seketika.

"Sorry, Dan." Ucap Emma mendorong Danny menjauh lalu bangkit dari duduknya. Emma sempat melihat raut kecewa dan sedih Danny sebelum berhasil dihilangkannya.

"Gak. Gak apa-apa, Em. Aku ngerti, sayang." Jawab Danny berusaha menenangkan Emma.

Emma menatap Danny dalam-dalam, mencari kebohongan dari matanya. Namun yang ditunjukkan Danny hanyalah ketulusan, dan sedikit kesedihan bila kalian bisa melihatnya.
Karena selama ini, hubungan seksual mereka hanya sebatas itu. Made out. Tidak pernah lebih. Waktu mereka selalu tidak tepat. Itu yang selalu mereka percayai.
Disaat Emma merasa siap, Danny merasa rapuh, takut apabila dia nantinya akan menyakiti Emma. Padahal Emma sudah jujur padanya, kalau dirinya bukan yang pertama bagi Emma. Dan itu bukan lagi jadi permasalahan bagi Danny, setidaknya belakangan ini.
Namun disaat Danny sudah seperti berfikir bahwa 'this is it.', justru Emma yang menghentikan fikiran itu.

Entah apa yang ada dibenak Emma sekarang. Danny kembali bertanya-tanya. Apakah ini masih ada kaitannya dengan masa lalunya dengan Daffa? Atau benar-benar hanya karena Emma belum siap?

Emma kembali duduk disamping Danny, meraih tangan Danny, membawanya kepipinya.

"Maaf." Kata Emma lirih. Danny menjawab dengan senyuman.

"Aku bertemu Daffa hari ini."

Danny tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ditariknya tangannya menjauh dari Emma.

"Please, jangan salah paham. Kami hanya kebetulan berpapasan waktu mau pulang. Hanya itu."

Seolah membaca pikiran Danny,
"Ini gak ada hubungannya sama sekali dengan pertemuanku dengan Daffa. Tolong jangan berfikir terlalu jauh. Kumohon."

Danny bangkit dari tempatnya. "Biarkan aku berfikir. Besok aku jemput. Good night." Danny mendaratkan kecupan kilat dikening Emma lalu melengang pergi. Emma tidak menahannya. Emma tidak mengejarnya, karena dia sadar, dia tidak memiliki pembelaan apapun sekarang.
Benar kalau hari ini fikirannya kalut karena bertemu Daffa.
Benar kalau hari ini aktivitas seksualnya terhenti karena Daffa terlintas difikirannya. Sekuat apapun Emma menampik hal itu, kenyataannya memang seperti itu.

Masih ada Daffa di hati Emma. Dan Emma tidak ingin berbohong lagi pada Danny. Kini ia hanya bisa berharap, Danny mampu menerimanya, Danny mau mengatasinya bersama-sama.

***

Emma menerawang keluar jendela. Menatap jalanan dari kursi cafetaria kantornya. Kembali teringat kejadian tadi pagi yang membuat moodnya jadi buruk seharian.

Danny mendiamkannya selama perjalanan ke kantor. Itu wajar, Emma bisa memaklumi. Begitulah Danny. Hal yang bisa membuatnya rapuh adalah Emma, bila bersinggungan dengan Daffa. Danny selalu merasa tidak percaya diri apabila masalah mereka berdua menyangkut Daffa. Dan Emma merasa bersalah karena setelah selama ini, masih saja belum bisa meyakinkan Danny sebagai masa depannya.

'Daffa sialan!' Menghembuskan nafas kesal sambil menatap cangkir plastik digenggamannya, saat seseorang menarik kursi di depannya dan duduk menghadapnya.

"Hi." Suara bariton yang dalam menyapa. Suara yang tidak akan pernah Emma lupakan. Meski ia pikun sekalipun. Karena sampai detik ini, Emma masih merinding mendengar suara itu, sama seperti saat pertama mendengarnya.
Emma menelan ludah, enggan mendongak. Diliriknya kanan-kiri, dimana terlihat orang-orang tengah berbisik kearahnya.

"Ehm.." sang 'suara' kembali terdengar. Emma sudah mengumpulkan segala kekuatan dalam dirinya untuk menghadapi situasi ini suatu hari nanti. Hanya saja dia tidak menyangka, hari itu adalah 'hari ini', dimana fikirannya sedang kacau begitu pula dengan hubungannya bersama Danny.

Emma berdiri dari tempatnya, lalu membungkuk.

"Selamat siang, pak." Jawab Emma senatural mungkin. Masih di posisinya, berdiri di depan Daffa. Terdengar kekehan dari seberang meja yang membuat keningnya berkerut, tapi tetap tidak berani menatapnya langsung.

"Duduklah, Emerald.  Kamu tidak sedang dihukum." Ucapnya terdengar lucu karena berusaha menahan tawa. Emma menurutinya dengan ragu. Kembali duduk di kursinya.

"Maaf mengganggu. Hanya saja aku sedang banyak fikiran jadi ke sini mencari kopi, dan kebetulan melihatmu. Sebagai seniormu dikampus dulu, ga mungkin aku pura-pura ga kenal dan mengacuhkanmu kan?" Ada sindiran dinada nya.

"Maafkan sikap saya kemarin, pak."

Tawa Daffa akhirnya pecah.

"Apa? 'Pak'? Hahahahaha."

'Ughh, iya gue juga tahu itu aneh. Tapi gue mesti manggil apa? Ini kan kantor. Dan lagi lu bos gue, Daffa bego.' Sementara Emma sibuk menggerutu dalam hati, ia tidak sadar bahwa dibalik tawanya, Daffa sedang menatapnya penuh arti.

"Kamu belum berubah." Ekspresi Daffa berubah lembut.

Kata-kata tersebut sontak membuat Emma mendongak melihatnya.

"Akhirnya kamu balas menatapku." Ucapnya mengulas senyuman di wajah tampannya.
Menengok pada jam tangannya,
"Aku harus pergi, 20 menit lagi ada tele-conference dengan klien. Makan dengan benar. Jangan hanya minum kopi." Ujar Daffa sebelum melengang pergi, meninggalkan Emma yang mematung ditempatnya.

Continue Reading

You'll Also Like

484K 37.3K 34
"Tanggung jawab lo cowok miskin !!" - Kalka "B-baik, kamu tenang ya ? Saya bakal tanggung jawab" - Aksa
16.4M 670K 39
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
842K 91.6K 46
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
374K 6.7K 17
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...