Warning: Physical Distancing...

Von Kaggrenn

21.1M 1.9M 102K

[CHAPTER MASIH LENGKAP, EXTRA CHAPTER TERSEDIA DI KARYAKARSA] Sembari menunggu jadwal wisuda, Sabrina memutus... Mehr

p r e f a c e
c a s t
1 | worst video call ever
2 | cursed
3 | why you here
4 | morning, zane!
5 | kecoak nemplok di paha
6 | kaum otak kanan
7 | nyawa akmal terancam
8 | mak lampir selalu menang
9 | kunti nemplok di sofa kantor
10 | gentleman 101
11 | sexy amat, buk!
12 | jangan jauh-jauh dari zane!
13 | gue tebengin!
14 | date!
15 | siapa modusin siapa?
16 | psst, zane punya pacar!
17 | ngeludahin kopi bos
18 | dude and his ex
19 | r. i. p. sabrina
20 | badai pasti berlalu
21 | siap-siap karantina!
22 | berlian ketelen milo
23 | no gentleman needed
24 | she saw the boss stripped
25 | what are you dreamin' about?
26 | nggak ada suaminya
27 | ditolak jadi calon kakak ipar
28 | gara-gara acro yoga
29 | zane pilih kasih
30 | korban modus!
31 | dilempar ke kolam buaya
32 | tersedu-sedu di pelukan zane
33 | physical un-distancing
34 | serigala berbulu sabrina
35 | nggak ada zane, bantal pun jadi
36 | nyawa juned terancam
37 | what's wrong with her?
38 | pilih resign atau dipecat?
39 | dosa nggak, sih?
40 | semoga cuma juned yang tau
41 | udah sakit, disosor bebek!
42 | womanizer kelas kakap
43 | modusin, jangan?
44 | pesona mantan nggak pernah pudar
45 | anti downgrade-downgrade club
46 | maunya dikasih hati
47 | kapal oleng
48 | otw dipecat
49 | prahara kacamata bos
50 | kucing mencampakkan tuannya
51 | worst birthday ever
52 | ternyata eh ternyata
53 | sabrina jatuh miskin
54 | nasihat paduka
55 | partner lembur
56 | jablay, jablay, deh!
57 | uwu
58 | definisi tertangkap basah
59 | paha belang bukan hidung belang
61 | jangan sampe milo sakit mata
62 | udah, putusin aja!
63 | ikut, jangan?
64 | jeff × ibel (?)
intermezzo
65 | no towel needed
66 | mission failed
67 | sepandai-pandai menyimpan kembang, akhirnya akan busuk juga
68 | ginger shots
69 | niatnya belajar jadi istri yang baik
70 | lambaikan tangan, zane!
71 | kejutan tengah malam
72 | pertemanan bangsat
73 | pengeluaran tak terduga
74 | ibel gercep
75 | gold digger
76 | otw sabrina abram?
77 | ke laut aja, sab!
78 | galaunya dipending dulu
79 | climax or anticlimax?
80 | jablay kelas kakap
81 | sab kesayangan zane
82 | tokoh panutan Sabrina
83 | dua anak papi
84 | apa kabar dompet? [END]
extra chapter | Now playing: Shivers - Ed Sheeran
extra chapter | Shaver
extra chapter | daddy is trying ....
urutan baca extra chapter di KaryaKarsa & daftar cerita lainnya

60 | ampun, paduka!

200K 24.1K 2.9K
Von Kaggrenn

Part ini lebih dr 2x lipat lebih panjang dibanding beberapa part terakhir, lebih sweet juga, yuk hamdallah yuk.




60 | ampun, paduka!



BEGITU makanan yang dipesannya datang, Zane nekat masuk saja ke kamar Sabrina tanpa izin.

Kalau perempuan itu memang berniat menghalanginya masuk, sudah pasti pintunya dikunci. Atau minimal ditutup, lah. Bukan dibiarkan terbentang lebar-lebar begini.

Dihampirinya perempuan yang sedang berbaring di kasur itu dengan langkah pelan.

Sabrina tidak berselimut. Jadi meski posisinya membelakanginya, Zane masih bisa melihat ruam-ruam merah di beberapa tempat, yang kontras sekali dengan warna kulit kakinya.

Melihatnya jelas membuat Zane jadi tidak enak hati. Bagaimanapun juga, bekas luka bakar itu tidak estetik sama sekali.

Sabrina sudah pasti sedang kesal padanya setengah mampus.

"Sab," panggilnya pelan, takut mengagetkan. Entah sejak kapan Zane jadi sok lembut begini ke cewek. "Udah tidur?"

Tidak ada sahutan. Perempuan itu merem.

Zane meletakkan nampan yang dibawanya ke nakas, kemudian duduk di sisi Sabrina.

Disentuhnya bahunya pelan.

Dan Zane langsung tahu bahwa Sabrina hanya pura-pura tidur, karena badannya jadi terasa menegang.

"Gue tau lo belum tidur. Makan dulu."

Sabrina bergeming.

Zane menggelitik pinggangnya.

Dan serta merta perempuan itu melek, mengibaskan tangannya dengan kasar.

Mukanya masih sesengak saat berada di kantor tadi.

"Apaan, sih! Rese banget!" sentaknya.

Zane mencoba kalem.

"Makan," sahutnya, tidak tersulut sama sekali, biarpun sebenarnya kesal juga karena kena omel terus.

"Males."

"Nanti maag lo kambuh."

"Gue bisa jaga diri, kali. Nggak perlu diingetin. Malah kalo ada lo, gue jadi sial mulu."

Zane manggut-manggut. "Gitu, ya? Satu sama, dong. Lo kan sering tuh, nyari gara-gara sama gue. Kalo gue bales, udah pasti lo bakal lebih sial dari pada ini."

"Pulang sana, ih. Berisik. Gue nggak mau makan. Ngantuk!"

Zane melenyapkan sisa senyum di wajahnya. Nada suaranya juga jadi tidak bercanda lagi. Sabrina kalau dibercandain terus, lama-lama ngelunjak. "Sayangnya nggak ada pilihan nggak makan. Adanya lo mau makan sendiri apa gue suapin!"

Sabrina jelas nampak tidak senang, namun masih bergeming.

"Jangan kayak anak kecil. Ini juga buat kepentingan lo sendiri!" Zane balas menyentak, memaksa perempuan itu duduk, dan memindahkan nampan dari nakas ke pangkuannya.

"Kenapa jadi gue yang diomelin, sih? Yang bikin gue sakit gini siapa, coba?" Sabrina melotot.

Melihatnya terpaksa meraih sendok, Zane jadi mesem. Dia lucu kalau memelas begitu, sih. "Gue. Tapi nggak bakal kejadian kalo lo nggak peluk-peluk sembarangan di kantor!"

"Terus aja, gue yang dikambing hitamin! Jelas-jelas sama-sama mau!"

"Bukan kambing hitam juga kali, Sab. Mau pakai alasan apapun juga, harusnya lo tahu tempat, lah."

Sabrina mendengus, mulai menyendok nasi dengan wajah kesal, lalu menyuapkan ke mulutnya.

"Oke, nggak usah diperpanjang lagi, ya. Gue yang salah. Sekarang lo makan dulu. Ngomelnya di lanjut nanti."

Zane mengusap sudut bibirnya yang jadi kotor karena suapan pertama yang sengaja dijejalkan melebihi kapasitas itu.

Sabrina makan tanpa berkata-kata.

Zane sabar menanti, memperhatikan ruam-ruam di kulitnya, yang kalau dari dekat ternyata lumayan mengerikan. Bahkan ada bagian yang jadi melepuh di pahanya.

"Itu kena nampan sakit, nggak? Mau diambilin meja lipat?"

"Nggak perlu."

Lalu hening lagi. Hanya ada suara sendok beradu dengan piring.

"Elo nggak makan?" Tiba-tiba Sabrina bertanya.

Zane mengangsurkan gelas air putih padanya. "Udah tadi sore. Masih kenyang."

Sabrina tidak menyahut lagi. Dia makan beberapa sendok lagi, kemudian mengembalikan nampannya ke nakas.

Selesai menghabiskan minumannya, dia turun dari ranjang.

"Mau ke mana?" tanya Zane.

Sabrina menjawab sambil lalu. "Gosok gigi."

Zane segera membereskan nampan kotor itu ke dapur, langsung mencucinya. Mencuci piring perdana. Hanya karena Sabrina seorang!

Bahkan Milo pun nampak keheranan melihatnya, namun Zane abaikan.

Toh cuma Sabrina dan Milo yang tahu seberapa bucin dirinya.

Asal dunia nggak tahu, nggak pa-pa.

Ketika Sabrina kembali ke kasur, wajahnya sudah bersih dari sisa make up. Terlihat lebih segar meski tanpa warna.

"Itu yakin mau dibiarin aja? Nggak perlu dikasih obat apa, gitu?" tanya Zane sambil berjalan masuk, lalu duduk di sisi ranjang lagi.

Sabrina berdecak. "Nggak usah sok-sok nasehatin, deh. Gue belajar PPGD juga di Pramuka."

Perempuan itu lalu membelakanginya. "Pulang sono. Males gue deket-deket lo!"

Sayangnya Zane belum berniat pulang.

Dia tahu Sabrina. Pasti perempuan itu akan jadi galau dan uring-uringan kalau dia tinggal sendiri. Sedang sehat sentosa saja tidak henti-hentinya cari perhatian, apalagi kalau sedang sakit begini?

"Lo nangis?" tanya Zane kemudian saat dilihatnya bahu Sabrina bergetar.

"Kagak!" Yang ditanyai masih saja sengak. Namun Zane malah jadi tahu kalau dugaannya benar.

Zane tertawa geli. "Nangis kenapa, sih? Kesel sama gue?"

Sabrina menoleh. Marah. "Lo nggak lihat, kaki gue jadi jelek?!"

Zane menggeser duduknya lebih ke tengah, meraih satu tangan Sabrina dan menggenggamnya. Ada sengatan kecil saat perempuan itu balas memandangnya. "Buat gue nggak ada bedanya, kok. Lagian nggak ada yang lihat ini."

"Please, deh, Karen ama Gusti lihat! Elo lihat!"

"Ya elah, kita mah nggak mandang fisik, kali!"

Sabrina makin kesal, mengambil satu bantal dan menutupi mukanya, biar tidak diajak bicara lagi.

Zane mengelus lembut punggung tangan yang ada di genggamannya. "Why so desperate? Luka bakar ringan doang, bentar juga pulih. Kalau ditutupi pakai celana panjang juga nggak kelihatan."

Sabrina berdecak. "Nggak pas mau ke Sydney juga, kali. Itinerary gue sama Karen jadi kacau semua gara-gara lo. Mana outing kantor udah terlanjur dikonsep ke Bali! Kampret banget!"

Zane menahan diri untuk tidak menertawainya. "Emang di sono mau pakek bikini, gitu? Bentar lagi winter, kali. Mending pakek surf suit. Lagian apa faedahnya pakek bikini di tempat umum? Keenakan yang lihat, dong."

Sabrina menyingkirkan bantal dari wajahnya. Manyun. "Double apes gue. Udah sakit, malah kena ceramah."

Zane mencubit hidungnya dengan gemas. "Elo tuh rese. Kesiram kopi aja drama."

"Panas, keleus. Nggak lihat kulit gue jadi burik gini? Dari perut ampe kaki. Nggak tanggung-tanggung lo emang. Satu cangkir lo tumpahin semua!"

"Ya kan nggak sengaja. Gue juga udah minta maaf."

"Muka lo nggak ada menyesal-menyesalnya!"

"Astaga. Emang muka gue kayak gimana?"

"Dari tadi lo ketawa-ketawa mulu!"

"Ya ampun! Sorry, sorry. Bukan ngetawain elo yang lagi ketiban sial, kok. Gue ngetawain diri sendiri. Sumpah! Mana berani gue ngetawain lo? Elo kalo lagi kesel hobi bawa cowok lain ke rumah gue gitu! Takut gue mah!"

Zane mengalihkan pandangan karena rahangnya kram, bawaannya pengen ketawa terus.

"Udah kenyang, sekarang tidur, gih," ujarnya kemudian, setelah meluruskan wajahnya kembali.

Karena tahu Zane sedang mati-matian menahan tawa, Sabrina mencubit pinggangnya keras-keras. Biar kapok.

"Tadi aja dipeluk-peluk. Sekarang gue dianiaya. Jangan sampe gue bawa cewek lain ke rumah lo!" Zane menggeliat kesakitan.

Sabrina melotot, melepas cubitannya. "Ih, ngancem!"

Zane mengatupkan rahang, menelan kembali tawanya, biar nggak terjadi huru-hara. Dia elus pipi Sabrina yang terasa dingin karena baru saja cuci muka.

Dan perempuan itu langsung kalem.

Sekarang Zane tahu betul bagaimana menghadapinya.

"Jangan suka cari gara-gara lagi. Nggak baik," ujarnya sok bijak.

Tapi memang lebih enak kalau sama-sama kalem gini, kan?

"Abis lo nggak mempan di kode." Sabrina manyun.

"Ya jangan kode-kodean juga! Udah bukan zamannya."

Sabrina mesem. "Mau good night kiss, kalo gitu. Sekarang."

Zane melongo. "Manja!"

"Ya udah, pulang sono! Nggak guna! Gue minta Akmal atau Bimo aja ke sini nemenin gue."

"Dih, apaan, sih!" Zane mencubit hidungnya lagi.

"Sekarang atau tidak sama sekali." Sabrina merem.

Zane menghela napas. Kampret emang ini cewek. Nggak bisa sehari aja membuatnya merasa menjadi cowok normal.

Lalu dengan terpaksa dia bergerak mencium dahinya.

"Harus banget di kening, ya?" Sabrina masih saja protes.

Zane menjauhkan wajahnya, memandang perempuan itu sambil menghela napas lagi.

Merinding, plus kesal.

Momen skinship-nya dengan Sabrina nggak ada yang sesuai ekspektasi. Nggak ada manis-manisnya. Nggak pakai pensuasanaan. Nggak pakai pemanasan. Nggak pakai kata-kata romantis.

"Frontal banget, sih," gerutu Zane akhirnya.

Sabrina tersenyum miring. "Mau pakek sandi morse?"

Zane berdecak. Hopeless. Kalau mau cari yang normal, ya jelas bukan Sabrina orangnya.

"Gue udah pakek lip balm, kok. I'm sure you'll like the taste."

Zane menopang dirinya ke salah satu siku. Memandang Sabrina lekat-lekat.

"Baru kali ini, ada yang nodong minta cium."

"Abis lo nggak ada inisiatifnya."

"Elo nggak sabaran."

"Gue nggak suka digantung."

"Hmm."

Zane segera memagut bibir di hadapannya itu sebelum pemiliknya sempat mengomel-ngomel lagi.

Sabrina nggak bohong, sih. Bibirnya terasa manis kena lip balm. Manis yang sesungguhnya, bukan manis kiasan. Zane tidak yakin rasa apa itu. Yang jelas manis, plus aromanya memanjakan indera penciumannya.

Zane menyesap seluruh rasa manis yang ada.

Bagaimanapun juga, ini ciuman pertama darinya. Biarpun agak tidak afdol karena Sabrina duluan yang meminta, dia tidak akan membuatnya tidak masuk hitungan.

Didekapnya Sabrina erat. Dia sesap kedua bibirnya dengan lembut.

Perempuan itu mengaitkan lengannya ke leher Zane. Balas menciumnya sesekali. Tubuhnya melemas. Matanya terpejam. Bibirnya memberi akses bagi Zane untuk mengeksplor lebih jauh.

Darah Zane berdesir.

Mau seabsurd apapun dialog mereka tadi, ciuman tetaplah ciuman. Zane tetap melambung dibuatnya.

Bahkan, sejenak keraguannya hilang.

Sabrina menginginkannya juga. Lalu apa yang dia khawatirkan?

Tiba-tiba Sabrina melepaskan diri.

Zane langsung panik, segera mengisi paru-parunya dengan oksigen supaya bisa bertanya.

"Kenapa?"

Sabrina juga sibuk mengatur napas.

Lalu nyengir.

"Ruam gue kena senggol. Perih."

Zane tertawa. Lega.

Dan otomatis pandangannya jatuh pada ruam di perut rata yang terbaring di hadapannya itu.

Zane bahkan tidak sadar, sejak kapan kemeja yang dikenakan Sabrina bisa tersingkap sampai setinggi itu, mempertontonkan ruam merah yang menjalar mulai dari bawah pusar dan menghilang dibalik lace panty yang dikenakannya.

Zane menelan ludah, mengalihkan pandangan dari kaki yang sengaja menyilang untuk menutupi pakaian dalamnya itu.

Pakaian dalam sewarna dengan yang dilihatnya lewat video call.

Damn it.

Zane langsung disergap rasa bersalah. Entah Sabrina akan bagaimana jika tahu kejadian itu. Zane belum ingin membayangkannya.

"Lo nggak mau ganti baju yang bener apa?" tanyanya kemudian.

"Why?" tanya Sabrina balik, sambil menurunkan kembali ujung kemejanya ke tempat semula.

Zane menggeleng. "Udah, pakek itu aja. Terserah."

Dia menyelipkan satu lengannya ke belakang pinggang Sabrina dan memagut bibirnya sekali lagi.

Intens dan dalam. Memastikan bukan hanya dirinya yang menikmati cumbuan mereka.

Memastikan bahwa Sabrina juga menghayati semua rasa dan sensasi yang tercipta.

Hingga sekali lagi perempuan itu melepaskan diri lebih dulu, karena kehabisan napas. Memandangnya dengan wajah merah dan terengah-engah.

"Begini jauh lebih enak daripada kucing-kucingan di kantor, kan?" tanya Zane kemudian.

Sabrina mesem.

Zane bisa merasakan jari-jari lentik perempuan itu mengelus lembut kulit punggungnya di balik kemeja.

"Cuma bisa jalan kalau elonya kooperatif." Sabrina berbisik.

Zane tertawa.

Ikhlas disalahkan terus.

Bodo amat.

Yang penting Sabrina nggak ke mana-mana.

"Oke, oke. Gue bakal introspeksi diri." Zane balas berbisik. "I got to go now. Biar lo bisa istirahat. Semalem cuma tidur tiga jam, kan?"

Tapi Sabrina tidak melepaskannya. "Harus banget pulang, ya?"

Zane menghela napas.

"Nggak juga, sih," gumamnya, menatap perempuan itu lurus-lurus.

Yang ditatap cuma mesam-mesem.

"Lo mau gue di sini?" tanya Zane balik.

Sabrina memalingkan wajah.

Ada semburat merah di sana.

Aneh saja, karena Zane hampir tidak pernah melihat Sabrina malu-malu kampret begitu.

"Harus banget nanya, ya?" Sabrina mendengus pelan.

Zane mengecup keningnya. "Udah dua hari gue nggak pulang."

"Ada mesin cuci, ada pengering, ada setrika. Nggak perlu balik cuma gara-gara nggak ada baju ganti."

"Kok lama-lama lo jadi mirip Juned, ya, liciknya."

"Fyi, gue nggak lagi memaksa, apalagi memohon."

"I know."

Zane menyibakkan rambut Sabrina ke belakang telinganya.

"Gue mandi dulu."

Zane bangkit berdiri.

"Kayaknya lo nggak bakal suka tekstur sabun gue deh, Bos. Bikin licin!" seru Sabrina sebelum lelaki itu berlalu.

"Nggak pa-pa. Gue suka baunya. Elo banget."

"Jijik." Sabrina ngakak.

"Ini gue copas kerjaan lo, ya!"

"Hmm, ampun, Paduka!"



... to be continued


Weiterlesen

Das wird dir gefallen

3.3M 105K 18
Karena satu kesalahan, Alaric dan Sandra harus membuat sebuah perjanjian. Mereka akan tinggal bersama sampai bayi yang dikandung Sandra lahir tanpa i...
160K 8.5K 27
COMPLETE🔥 [Bag.1-27] Berawal dari siswi pindahan yang bernama Sandra yang membuat seorang Alvaro, salah satu kakak kelas di sekolahnya itu tertarik...
1M 78K 60
Jeanna yocelyn, sosok gadis manis yang sangat ceria dan tak pernah kenal takut. Saat ini Jeanna tengah menempuh pendidikannya di sekolah menengah ata...
107K 5.1K 27
"Kamu boleh pergi," Satu kalimat yang selalu teringat oleh Mozza. Satu kalimat yang akan selalu dia sesali. Boleh pinjam mesin waktu?