57 | uwu
SABRINA akhirnya mengerjabkan mata setelah cukup lama Zane membangunkannya.
Sebenarnya dia tidak tega. Tapi mau bagaimana lagi? Timothy tidak mungkin dibiarkan bekerja sendiri.
Perempuan itu menoleh padanya.
Matanya masih merah. Bibirnya mengerucut karena kesal.
"Kok nggak bangun kesiangan, sih?" gerutunya pelan.
Zane geleng-geleng kepala saking takjub pada isi otaknya.
Ya kali! Dia pikir Zane bisa tidur nyenyak di sofa yang sempit berdua dengannya? Gerah, iya! Belum lagi tangan dan kaki Sabrina ke mana-mana, sebentar-sebentar Zane kena senggol, membuatnya auto melek, dengan darah berdesir. Apalagi lama-lama tubuh Sabrina jadi menimpanya, membuatnya susah bernapas.
"Doa lo jelek, sih." Zane menanggapi singkat.
Sabrina manyun.
"Alarm lo bunyi dari tadi, nggak denger?" Zane bertanya, sementara Sabrina masih melek mrrem mengumpulkan nyawa. "Nyenyak banget, ya, tidur nangkring di atas badan orang!"
Sabrina mendongak. Mesem. "My body know where she belong."
Lalu dia menoleh sekeliling.
"Please deh, ini elo yang jadi makin ke tengah, Bang. Berarti elo yang nggak mau jauh dari gue. Tapi gue mulu yang dijadiin kambing hitam."
Zane mendengus. "Nggak tahu aja, situ kalo tidur suka nendang-nendang!"
Sabrina refleks bergerak mencubit pinggangnya, membuat Zane akhirnya tertawa.
"Seriously, sesusah itu kah ngakuin perasaan? Padahal logikanya, kalo gue tendang, elo kan bisa pindah ke tempat lain! Lagian siapa yang punya ide meluk gue biar cepet tidur?!"
Sabrina mencak-mencak.
Zane cuma mesam-mesem, menyibakkan anak rambut yang menutupi wajah perempuan itu.
Beberapa garis dari lipatan pakaian yang Zane kenakan tercetak di pipinya. Kantong matanya gelap. Rambutnya acak-acakan. Namun Zane justru senang melihatnya. Terlihat manusiawi. She was just naturaly gorgeous.
"Elo jelek kalau baru bangun tidur. Pantesan pas di rumah gue, elo selalu bangun duluan."
Dan Zane pilih menggodanya.
Muka Sabrina lucu kalau sedang kesal.
"Really?" Perempuan itu memutar bola mata. "I know exactly how my face look like in the morning. Jadi kalo lo ini cuma ngegodain gue, please stop. Nggak asyik."
Zane mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan tawa.
Sabrina lalu melipat kedua tangan di dadanya, menopang dagu di sana. Memandangnya lurus-lurus.
"Good morning, Boss," sapanya kemudian, sambil tersenyum manis, seolah me-rewind momen bangun tidur mereka yang tidak ada manis-manisnya. "Daripada saling ngeceng-cengin, gimana kalau kita berdamai aja, dan memulai pagi yang cerah ini dengan morning kiss?"
Zane kontan tertawa.
Please God, kalau memang ada cewek lain yang seabsurd Sabrina di muka bumi, jangan pertemukan Zane dengannya. Satu saja Zane sudah kewalahan.
Sabrina menaikkan sedikit posisi tubuhnya, sehingga wajah mereka jadi makin berdekatan. Zane sampai harus menahan napas.
Rasanya tidak nyaman karena serasa sedang berebut oksigen.
Sabrina menaikkan sebelah alisnya, menatapnya tak gentar. "Ckckck. Jangan salahin gue kalau nanti rezeki lo dipatuk ayam."
Tawa Zane pecah. Kombinasi ekspresi wajah dan kalimat yang Sabrina ucapkan benar-benar diluar batas toleransinya.
Bagaimana mungkin seorang cewek menganalogikan dirinya sebagai rezeki yang bisa dipatuk ayam? Dan ayamnya si Bimo, gitu? Waktu menciptakan Sabrina, mungkin semesta sedang receh sekali selera humornya.
Zane akhirnya menangkup belakang kepala perempuan itu dan membenamkannya di dadanya supaya berhenti memandangnya, dan membuatnya tertawa sampai sakit perut. Apalagi dengan Sabrina berada di atasnya, perutnya susah diajak tertawa. Butuh effort lebih.
"Kan, gue dibikin baper tapi digantungin. Ngeselin banget jadi cowok." Sabrina menggerutu tidak jelas karena mukanya terbenam.
Zane mengacak-acak rambutnya. Gemas.
"Segitu pengennya lo dicium sama gue?"
"Nggak juga sih. Tadi ngetes doang."
"Nah, kan."
Sabrina meloloskan tangan Zane yang menangkup belakang kepalanya, kembali bertopang dagu. Memandang Zane lagi.
Yang dipandang jadi jengah dan memalingkan muka.
"Masa lo diliatin doang udah salting, Bang?" Sabrina mulai lagi.
"Siapa yang salting?" Zane mengelak.
"Hmm, iya deh, terserah Paduka. Hamba mah apa atuh. Cuma bisa berharap Paduka segera diberi hidayah."
Perempuan itu lalu bergerak menaikkan tubuhnya lagi sehingga wajahnya bisa disembunyikan ke leher Zane.
Zane otomatis memgalah dan mendongakkan kepala. Dagunya menempel pada puncak kepala Sabrina.
Perempuan itu memeluknya erat, membuat Zane sekali lagi berusaha menenangkan diri.
Namun dengan tubuh perempuan itu menempel erat, hampir sepenuhnya berada di atas tubuhnya, dalam kondisi sadar, dan tidak tanggung-tanggung menggodanya, pertahanan Zane jelas makin menipis.
Ini cewek kalau sampai jadi miliknya, sepertinya benar-benar harus dikarantina. Masalahnya tingkat kepercayaan diri, tidak tahu malu, serta hobinya nempel-nempel ke orang lain, sudah mencapai tahap menghawatirkan.
Mana mungkin ada yang kuat menahan godaan Sabrina?
Zane jadi makin khawatir pada hubungan perempuan ini dengan kampret-kampret macam Bimo dan Akmal.
Yakin mereka nggak pernah tergoda? Atau jangan-jangan udah?
Zane bergidik. Pikiran selanjutnya yang terlintas di kepalanya terlalu ngeri untuk divisualisasikan.
"Ayo buruan mandi. Keburu yang lain pada dateng," ujarnya kemudian, membuat tubuh Sabrina siaga seketika.
"Kan gue emang pengen kepergok sama yang lain."
"Enggak lucu, Sab."
"Emang nggak lagi ngelucu. Serius. Biar seisi kantor ada bahan ghibah yang seru. Menghibur orang lain itu perlu sekali-kali." Sabrina menjauhkan wajahnya dari leher Zane dan sekali lagi keduanya saling pandang.
Zane mengelus pipinya dengan lembut, mengabaikan bulu kuduknya yang seketika meremang.
Tapi ini kalau diterusin, jelas kerjaan hari ini bisa kacau balau.
Berduaan dengan Sabrina terlalu candu. Sampai kapanpun nggak akan pernah terasa cukup.
"Buruan bangun, deh. Kasian Ucup kalo ngelihat kita berduaan di sini."
"Biarin aja. Ucup juga aslinya nggak sepolos itu. Orang gue tempel-tempel juga mau aja."
Shit, lah.
Masa Ucup juga?
Emang nggak pandang bulu dia nih, nemploknya!
Zane memutar bola mata. "Tolong, deh. Dikurang-kurangin."
"Ih, marah. Bercanda, kali."
Zane memaksa bangkit duduk, membuat Sabrina jadi berada di pangkuannya, dengan kedua lengan masih memeluk lehernya.
Perempuan itu memandangnya sok sendu.
"Karena masih pagi, abis mandi pergi sarapan dulu yuk. Gue butuh donatur, dompet udah nggak sanggup bertahan hidup."
"Hmm." Zane melepaskan tautan lengan Sabrina di lehernya.
"Btw ini lo ngajakin gue mandi bareng? Wow. Gercep amat." Sabrina pasang wajah sok surprised.
Zane sudah tidak sanggup lagi. "Tolong otak lo dibersihin dulu dari segala macem pikiran kotor, ya."
Sabrina ngakak. "Abis ambigu sih. 'Ayo mandi'. Itu kalimat ajakan, tau!"
"You know what I mean."
"Iya, iya."
Sabrina akhirnya melepaskan diri, memungut selimut yang sejak semalam sudah tersingkirkan ke tepi, melipatnya kembali.
"Dan jangan pake sabun gue lagi. Nggak enak sama yang lain." Zane menambahkan sebelum perempuan itu beranjak menuju tangga turun.
"Siap, Bos!"
... to be continued