The Same Feelings

By fauky_

183K 9.2K 545

Kisah Alvaro Gavriel dan Revita Pradipta yang baru saja dimulai... --Sekuel The Same Things-- More

The Same Feelings
Prolog - Revita
1. Alvaro - We're Back
2. Revita - Reunion Party
3. Alvaro - Pasar Malam
5. Alvaro - Jealous
6. Revita - Nightmares Begin
7. Alvaro - The Accident
8. Revita - This Feelings
9. Alvaro - I Think I'm in Love with You
10. Revita - Him
11. Alvaro - Beautiful in White
12. Revita - Shock
13. Alvaro - Afraid
14. Revita - A Day With Him
15. Alvaro - Protect Her
16. Revita - Everything Has Changed
17. Alvaro - Bad Dream
18. Revita - Walk Around In The Dark Night
19. Alvaro - My Princess
20. Revita - Beetwen Alvaro Gavriel and Jovan Ryandi
21. Alvaro - The Psychopath
22. Revita - The Truth
23. Alvaro - Awake
-Sebuah Pesan-
24. Another Point of View
25. Alvaro - Happy Ending?
26. Revita - Epilog
GOOD NEWS!!!
Ready To Come Back

4. Revita - The Heartstrings and The Heartbreak

5.6K 316 5
By fauky_

Hollaaa eperybadeeeh, siap ketemu lagi sama Alvaro-Revita? Hahaha

Sebelumnya maap eak, udah lama ngilang entah kemana. Aku sibuk, bener-bener sibuk. Seudahnya masa sibuk itu lewat, eh inspirasi sama mood buat nulis ilang gitu aja. Makanya, harus semedi dulu ngumpulin inspirasi sama mood lagi. Dan berhubung kuliah lagi libur panjang, jadilah part ini. Hihii..

Maap juga buat yang nunggu kelamaan. Trus maap juga cuma bisa ngasih segini, semoga aja suka dan feelnya dapet:"

Oh ya, aku tau ini telat, tapi...

SELAMAT TAHUN BARU DAN SELAMAT MENEMPUH SEMESTER BARU KAWAN-KAWAN!! =))

Lebih baik telat dari pada nggak sama sekali kan?

Oke, enjoy!;)

#PeaceUp

-----------------------------

When I see your face

There’s not a thing that I would change

Cause your amazing

Just the way you are

And when you smile

The whole world stops and stares for a while

Cause girl you’re amazing

Just the way you are

Kedua kakiku dengan otomatis berhenti tepat di depan kamar Alvaro saat aku mendengar suara merdunya. Aku baru saja dari dapur dan ingin kembali ke kamar, tapi aku tidak sengaja mendengar Alvaro bernyanyi. Entah kenapa, sejak dulu aku selalu suka mendengar suara Alvaro.

Tapi untuk kali ini, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Ada desiran aneh dalam darahku. Sesuatu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku meletakan telapak tanganku tepat di dada kiriku. Dan ternyata memang benar. Aku bisa merasakan detak jantungku yang dua kali lebih cepat dari biasanya. Ada apa ini? Hanya karena mendengar suara Alvaro, detak jantungku menjadi semakin cepat seperti ini.

“Kamu lagi ngapain, Ta?” Aku terkejut saat mendengar suara Alvaro yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapanku. Dan sialnya lagi, detak jantungku semakin menjadi saja. Apalagi saat melihat penampilan rumahan khas Alvaro saat ini.

“Eh... Ah... Habis dari dapur.” Jawabku dengan agak salah tingkah. Alvaro mengerutkan dahi bingung. Detik berikutnya Alvaro semakin mendekatkan wajahnya padaku, yang membuatku menahan napas dengan mendadak. Tanpa sadar, kakiku mendur dengan perlahan. Tapi dengan gesit, Alvaro menahan pundakku dengan kedua tangannya. Kening Alvaro pun beradu dengan keningku. Sesaat kemudian ia menarik tubuhnya kembali. Dan saat itulah, aku bisa menghembuskan napas dengan lega.

“Nggak panas kok.” Ujar Alvaro kemudian.

“Ha?”

“Mukamu tadi merah banget, Vita. Aku pikir kamu sakit. Dan ternyata nggak.” Sial! Apa barusan ia bilang? Mukaku merah? Pake banget? Oke, ini tanda bahaya.

“Aku baik-baik aja kok. Udah ah, aku mau istirahat.” Tanpa mendengar sahutan dari Alvaro, aku langsung masuk ke kamar yang aku tempati selama aku berada di rumah Alvaro. Tepat di samping kamar Alvaro.

Keesokan harinya, aku dan Valeria janjian untuk jalan-jalan bareng. Aku sudah siap dengan penampilan kasual khas Revita Pradipta. Kaos merah, celana jeans biru pudar, dan kemeja kotak-kotak hitam-merah tanpa dikancing. Rencananya aku dan Valeria akan keliling mall untuk berbelanja. Tentu saja aku hanya menemani Valeria saja. Aku bukan tipe perempuan yang doyan belanja.

Katanya Valeria akan menjemputku. Untuk itulah aku duduk manis di sofa ruang keluarga menunggu kedatangan Valeria. Semoga saja ia tidak tersesat saat mencari alamat rumah Alvaro.

Rumah besar ini terasa begitu sepi. Bagaimana tidak? Ayah Alvaro serta Kak Dafa sudah berangkat kerja sejak pagi tadi. Lalu, setengah jam yang lalu Mama Alvaro berpamitan padaku, ia ingin mengecek restauran miliknya. Sementara Alvaro sendiri, laki-laki itu belum keluar dari kamarnya.

“Rapi bener? Mau kemana?” Tanyaku sesaat setelah melihat Alvaro yang baru saja turun. Ia sepertinya terkejut melihatku yang sudah duduk manis di sofa.

“Kamu juga rapi bener? Mau kemana?” Balas Alvaro sembari mengangkat sebelah alisnya.

“Kamu tuh hobi banget sih jawab pertanyaan pake pertanyaan lagi?” Ujarku sebal. Alvaro pun mengambil tempat duduk tepat di sebelahku.

“Aku mau jalan bareng Billy sama Daniel.” Ujar Alvaro pada akhirnya. “Mau ikut?” Tawarnya kemudian.

“Nggak deh. Aku udah ada janji mau jalan bareng Valeria.”

Belum lima menit aku mengatupkan mulutku, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu. Pasti itu Valeria. Aku dan Alvaro saling memandang. Lalu, ku putuskan aku lah yang akan membuka pintu. Tapi ternyata Alvaro mengekoriku.

“Buka pintu aja lama bener, Rev?” Sembur Valeria setelah aku membuka pintu. Aku hanya bisa cengengesan. “Berangkat sekarang aja yuk?”

“Kalo gitu aku berangkat juga deh.” Sahut Alvaro yang membuat kedua mata Valeria melebar seketika.

“Lo ngapain di sini, Var?!” Pekik Valeria kaget.

“Ini rumah bokap gue, jadi wajar aja kalo gue di sini.” Jawab Alvaro dengan tak acuh.

“Rumah lo?!”

“Rumah bokap gue.” Koreksi Alvaro cepat. “Udah ah, ngomong sama lo nggak ada habisnya deh.”

“Eh, rese lo!” Aku tertawa saat Valeria mengerucutkan bibirnya.

“Aku duluan ya, Ta.”

Aku menganggukan kepala, “Iya, hati-hati nyetirnya.” Dan tak lama kemudian, Alvaro menghilang dengan Hummer kesayangannya.

Sudah hampir dua jam aku menemani Valeria keliling mall untuk berbelanja. Tadinya,Valeria berniat untuk mencari tas dan sepatu baru. Tapi sayang, hampir semua toko tas dan toko sepatu yang ada di mall ini tidak menarik perhatian Valeria. Akhirnya, di sinilah kami terdampar. Sebuah kafe dengan suasana cozy yang membuat semua rasa lelah dan penatku menguap seketika. Valeria sudah menyerah dengan niat awalnya mengajakku kemari.

Seorang pelayan menghampiri meja kami dengan membawa pesanan. Secangkir espresso milik Valeria dan segelas caramel latte milikku.

“Jadi, hubungan lo sama Alvaro udah sejauh mana?” Tanya Valeria membuka topik percakapan. Aku mengerutkan kening dengan bingung. Aku pikir, ia sudah lupa tentang fakta bahwa aku menginap di rumah Alvaro selama di rumahnya.

“Hubungan gue sama Alvaro? Lo ngomong apa sih,Val?” sahutku pura-pura tidak mengerti. Entah kenapa, setiap menyinggung sesuatu tentang Alvaro, reaksiku menjadi sangat aneh. Selalu saja jantungku berdegup kencang dan tak karuan. Membuatku salah tingkah.

“Lo pura-pura nggak tau atau emang beneran nggak tau?” Goda Valeria sambil melemparkan kerlingan nakal padaku. “Udahlah Rev, ngaku aja. Gue tau banget siapa elo. Kita kenal nggak baru kemarin, Revi.”

“Emangnya lo pengen gue ngaku apaan lagi sih, Val?” Aku menghembuskan napas pasrah.

“Udah jalan berapa lama sama Alvaro?” Tembaknya langsung.

“Gue harus bilang berapa kali, kalo gue sama Alvaro tuh nggak ada hubungan apa-apa? Kita berdua Cuma sahabatan aja, oke?” Aku mengamati Valeria yang sedang menyesap espressonya dengan perlahan. Ia pun menganggukan kepala. Entahlah, aku merasa tidak yakin kalau seorang Valeria bisa langsung percaya begitu saja. Ia kan termasuk salah satu orang paling keras kepala yang pernah aku kenal.

“Ada gitu ya, sahabatan tapi tinggal satu rumah?” Tuh kan?! Apa ku bilang? Tidak mungkin ia langsung percaya begitu saja.

“Iyadeh, terserah apa kata lo aja.” Putusku menyerah. Aku paling capek kalau harus menjelaskan pada orang lain perihal hubunganku dengan Alvaro yang memang hanya sebatas sahabat saja.

Sebenarnya bukan aku saja yang sudah capek, bahkan Alvaro pun merasakan hal yang sama. Karna setiap kali aku dan Alvaro menjelaskan kalau kami hanya sebatas sahabat, mereka pasti tidak percaya dan ngotot bahwa kami memiliki hubungan spesial. Sejak itulah, aku dan Alvaro sepakat, kalau ada yang mengira kami berparan, kami hanya akan tersenyum saja. Tidak mengiyakan dan tidak mengelak.

“Lo tau, kenapa gue nggak langsung percaya kalau lo sama Alvaro Cuma sahabatan?” Aku langsung menggelengkan kepala. “Karna dari sikap lo berdua lebih kelihatan kayak orang pacaran dari pada sepasang sahabat.”

Aku tertegun. Tiba-tiba saja aku mengingat lagi semua kejadian yang sudah aku lalui dengan Alvaro selama ini. Memang, Alvaro sangat perhatian padaku, sangat menjagaku, dan sangat mengerti bagaimana diriku. Tapi mana mungkin hanya karna patokan seperti itu, lantas semua orang menyimpulkan bahwa kami berdua pacaran?

Selama ini, Alvaro memang menganggapku seperti adiknya sendiri. Karna pada dasarnya ia anak terakhir, dan kebetulan aku juga setahun lebih muda darinya. Aku pernah dengar dari Mama Alvaro, kalau sebenarnya dulu ia sangat ingin memiliki seorang adik. Namun sayang, orangtuanya tidak bisa memberikannya. Jadi, aku mengerti bagaimana perasaan Alvaro.

Aku menggelengakan kepalaku. Mengenyahkan segala pemikiran aneh hasil suntikan dari Valeria barusan. Aku yakin Alvaro hanya menganggapku adik. Tapi kenapa hatiku seakan menyangkal? Untuk menghilangkan perasaan aneh itu, aku pun meminum caramel latte milikku.

“Dan dari penglihatan gue, sebenernya lo udah jatun cinta sama Alvaro tanpa lo sadari.” Kalimat Valeria yang sukses membuatku tersedak. Valeria yang terkejut langsung membantuku untuk meredakan batuk yang dengan tiba-tiba menyerang.

“Ngaco! Nggak usah sotoy deh, Val. Yang punya hati gue, jadi ya Cuma gue yang bisa ngerasain apa yang ada di hati gue.” Sergahku cepat. Valeria pun mengendikan bahunya.

“Ya terserah sih. Asal jangan nyesel aja kalo lo sadar belakangan, trus taunya Alvaro udah sama cewek lain.” Dan aku hanya bisa mengerucutkan bibir saja.

Lupakan masalah hati dan perasaan yang menyangkut Alvaro ini. Aku pun mengalihkan topik permbicaraan. Aku bertanya perihal Valeria sendiri dan kampusnya. Ternyata ia dan Naira satu kampus dan satu jurusan. Hanya saja mereka beda kelas.

Naira. Aku jadi teringat saat pertama kali kami bertemu kembali setelah sekian lama tidak bertemu. Pada malam reuni akbar beberapa hari yang lalu. Aku ingat betul bagaimana ekspresi Naira saat melihat Alvaro yang selalu berada di sampingku. Dari sorot matanya aku bisa melihat kekecewaan di sana. Dan penyesalan.

Apa mungkin Naira menyesal karena sudah melukai hati Alvaro? Apa mungkin sebenarnya Naira merasakan seperti yang Alvaro rasakan? Apa mungkin Naira sakit hati melihat kedekatanku dengan Alvaro? Memikirkannya, membuatku merasa seperti menjadi orang terjahat di dunia. Melukai hati sahabatku sendiri adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan.

Terdengar dering ponsel yang langsung membuyarkan lamunanku. Sesaat kemudian Valeria terlihat berbicara dengan orang di seberang sana. Aku bisa melihat ekspresinya yang seperti baru mengingat sesuatu. Bahkan ia sampai menepuk dahinya sendiri.

“Iya, lima belas menit lagi aku sampe sana.” Ujarnya kemudian menutup sambungan telepon. Aku mengerutkan dahi heran melihat Valeria yang dengan tergopoh-gopoh mengemasi barang-barangnya.

“Lo kenapa, Val?” Tanyaku pada akhirnya.

“Duh Rev, sori banget nih ya, gue lupa kalo ada janji sama nyokap gue. Nggak papa kan kalo gue balik duluan?” Ujarnya.

“Oh, kenapa nggak bilang dari tadi? Yaudah deh sana. Gue bisa balik sendiri.”

“Sori banget ya Rev, nggak bisa nganterin lo balik. Gue aja lupa kalo ada janji.” Sahut Valeria dengan penuh penyesalan

“Iya, it’s ok.” Aku menepuk bahunya pelan. “Salam buat nyokap lo ya?” tambahku.

Valeria menganggukan kepalanya. Setelah berpamitan, ia pun lekas pergi dari hadapanku. Aku tahu, ia pasti takut dimarahi mamanya. Setahuku, kalau mamanya Valeria sudah marah besar, pasti juteknya nggak hilang-hilang.

Aku merogoh smartphone yang berada di sakuku. Saat aku menginjakan kaki di lobi utama, tiba-tiba saja benda itu berdering. Padahal aku mau mencari taksi untuk pulang. Aku mengerutkan kening saat tahu siapa yang menelepon.

“Halo?” Sapaku setelah menggeser tombol hijau di layar.

Ta, kamu dimana?” Tanya Alvaro di seberang sana.

“Lagi di PIM. Ini mau balik.”

Oh yaudah, tunggu aku. Biar aku jemput. Aku juga udah mau balik kok.”

“Aku tunggu di lobi utama ya?”

Sip. See you there.”

“See ya!”

Dan sambungan pun terputus. Oke, jadi sekarang aku harus menunggu Alvaro. Apa yang sebaiknya aku lakukan sekarang?

“Revi?” Tubuhku refleks menegang seketika. Suara itu. Kenapa aku bisa bertemu dengannya di sini? Dengan kaku, aku membalikan tubuhku untuk menghadapnya. Dan benar saja, dia ada di sana. Dengan senyuman di wajahnya.

“Hai, Jovan?” Balasku kikuk. Aku pun menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. Aku masih belum siap kalau bertemu dengan Jovan sendirian seperti ini.

“Aku pikir tadi salah orang, ternyata nggak.” Ujarnya. “Kamu sendirian?”

Aku menggelengkan kepalaku cepat, “Nggak, tadi sama Valeria. Cuma dia ada janji sama Mamanya, jadinya balik duluan.”

Jovan menganggukan kepalanya tanda mengerti. Setelah itu hening melanda. Kalau sudah begini, rasanya sangat canggung sekali. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana di hadapannya. Setiap kali melihat Jovan, aku selalu teringat kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang sebenarnya ingin kukubur dalam-dalam.

“Kamu ngapain di sini?” Akhirnya pertanyaan itulah yang keluar dari mulutku.

“Habis cari majalah otomotif yang biasanya. Tapi taunya, edisi terbarunya belum keluar. Jadi yaa, gitu.” Jawabnya dengan santai. Tanpa sadar, bibirku mengukir sebuah senyuman. Ternyata ia masih tetap sama seperti dulu. Masih suka dengan dunia otomotif.

Dan lagi-lagi heninglah yang mendominasi. Sebenarnya tidak hening-hening sama sekali, karna ada banyak orang yang berlalu-lalang di sekitar kami. Tapi tetap saja, bagiku kecanggungan ini membuatku merasakan keheningan yang tidak mengenakan.

“Tumben nggak sama Alvaro?” pertanyaan yang hanya bisa kujawab dengan cengengesan saja. Aku bingung harus menjawab bagaimana.

“Kamu sendiri, nggak sama Farah?” Tanyaku balik yang membuatnya langsung menatapku. Sepertinya ia terkejut. Mungkin ia tidak menyangka aku akan menanyakan soal Farah.

Ia tersenyum, “Dia lagi di Bandung. Ada acara keluarga.” Tuturnya.

Aku hanya bisa ber-oh-ria saja. Bingung mau menanggapi seperti apa lagi. Dan lagi, senyuman itu. Aku sudah lama tidak melihat Jovan tersenyum seperti itu. Jujur saja, aku sangat merindukan Jovan. Tapi aku sadar, kalau sebenarnya perasaan seperti itu tidak seharusnya aku rasakan.

Aku jadi teringat kalimat Valeria tadi. Ia mengatakan kalau sebenarnya, tanpa ku sadari aku sudah jatuh cinta pada Alvaro. Tapi dengan ketidaksengajaan bertemu Jovan di sini membuatku berpikir. Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada Alvaro padahal kenyataannya aku masih sering memikirkan Jovan? Bahkan terkadang, aku masih berharap Jovan kembali padaku.

“Aku seneng liat kamu akhirnya bahagia, Re.” Aku langsung mengalihkan perhatianku ke Jovan setelah mendengar kalimatnya barusan. Entah ini perasaanku saja atau bagaimana, ada nada getir saat ia menyampaikan kalimat itu. Membuatku mau tak mau merasakan rasa sakit itu lagi. rasa sakit yang sama seperti saat Jovan meninggalkanku dulu. Aku langsung menundukan kepala, setelah menyadari kalau kedua mataku mulai berkaca-kaca.

Tak tahukah dia, kalau sebenarnya aku masih memikirkannya? Tak tahukah dia, kalau selama ini aku masih sering menangis kalau teringat tentangnya? Bagaimana mungkin ia bisa mengambil kesimpulan kalau aku telah berbahagia? Oke, mungkin memang aku bahagia. Tapi itu hanya di luarnya saja dan saat aku sedang bersama Alvaro. Tapi ketika aku sendirian, mana ada orang yang tahu kalau sebenarnya aku luka di hatiku masih belum kering?

“Meskipun yang bahagiain kamu bukan aku.” Bisik Jovan lirih yang sebenarnya untuk dirinya sendiri. Namun aku bisa mendengarnya. Ada nada pahit di sana. Tiba-tiba saja setetes air mataku jatuh. Dengan cepat aku langsung menghapusnya.

Berdamai dengan masa lalu? Sepertinya aku masih belum bisa. Seandainya saja aku bisa mengemalikan waktu, aku ingin masa lalu itu terulang kembali dan merubah cerita di dalamnya. Tapi aku tahu, itu semua hanya angan-angan semata. Tidak mungkin aku bisa memutar waktu dan mengubah alur cerita hidupku.

“Maafin aku, Re. Aku nyesel.” Ujar Jovan yang membuatku semakin ingin menangis. Aku pun memberanikan diri untuk menatap Jovan yang ternyata juga sedang menatapku. Aku bisa melihat tatapan memohon dari sorot matanya. Sepertinya ia juga merasa tersakiti, sama sepertiku. Tapi kenapa ia merasa tersakiti?

“Jo, aku..”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba saja sebuah Hummer berhenti tepat di depanku. Tak lama kemudian si pengemudi Hummer tersebut keluar dari mobilnya dan menghampiriku.

“Ta, maaf ya lama, tadi di jalan macet banget.” Aku tersenyum ketika melihat Alvaro dengan tampang bersalahnya. Aku langsung menggelengkan kepala.

“Nggak lama kok, santai aja.” Sahutku kemudian yang dihadiahi Alvaro dengan mengacak rambutku dengan gemas. Ia pun langsung mengalihkan pandangannya. Alvaro terkejut saat melihat kalau ternyata ada Jovan di dekatku. Namun ekspresi terkejut itu langsung diganti dengan wajah datar dengan cepat.

“Eh, ada lo, Van?” Kata Alvaro. Ia pun melingkarkan tangannya di pundakku. “Lo juga ikutan acaranya Vita sama Valeria?”

“Oh nggak, gue Cuma kebetulan ketemu Revi di sini.” Jawab Jovan sekenanya. Alvaro hanya menanggapi dengan anggukan kepala. Ia pun mengalihkan perhatiannya padaku lagi.

“Kalo gitu, kita balik sekarang? Atau masih ada yang mau kamu cari lagi di dalem?” Tanya Alvaro.

“Nggak ada, kita balik aja.” Jawabku langsung.

“Oke deh.” Sahut Alvaro mengiyakan. “Bro, sori ya, kita duluan. Thanks udah nemenin Vita tadi.” Pamit Alvaro pada Jovan.

“Bukan masalah, Var.” Ujar Jovan.

“Duluan ya, Jo.” Kataku lirih dan disambut dengan senyuman Jovan.

Setelah itu Alvaro menuntunku untuk masuk ke mobilnya dan duduk di jok sebelah kemudi. Tak lama kemudian, Alvaro pun melajukan Hummer kesayangannya. Dari balik kaca, aku melihat Jovan yang masih berdiri di tempatnya. Aku bisa melihat tatapan nanar dari Jovan yang mengiringi kepergianku dan Alvaro.

Continue Reading

You'll Also Like

910K 13K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
572K 27.4K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
723K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...