50 | kucing mencampakkan tuannya
SABRINA menuruni tangga rumah Zane, dan seketika terdengar lagu Shape of You, Ed Sheeran, dari pengeras suara di ruang tamu, dengan volume lumayan kencang.
Sang empunya rumah sedang duduk di salah satu bench di pojok ruangan tempat segala macam peralatan olahraganya berada, sedang melakukan latihan shoulder press, tidak menyadari kedatangan sang tamu tak diundang.
Hanya memakai celana pendek, bersepatu, tanpa kaos.
Karena di hadapannya ada cermin, menempel sepanjang dinding, Sabrina bisa melihat jelas penampakan depan tubuhnya yang tidak tertutup.
That's why, sebenarnya Sabrina tidak terlalu senang berdekatan dengan cowok-cowok sadar penampilan. They know exactly how to make girls melted, hanya dengan mengandalkan visual saja.
Curang, ya nggak, sih?
Dan karena cermin itu pula, Sabrina menghentikan langkahnya hanya beberapa anak tangga dari pangkal, agar Zane tidak bisa melihatnya.
Gawat kalau sampai konsentrasinya terpecah karena kaget.
Sabrina jelas tidak ingin membuat bosnya cidera.
Setelah selesai satu set dan Zane bangkit dari tempat duduknya, barulah Sabrina lanjut berjalan turun.
"Bos!" sapanya, tidak ingin mengendap-endap seperti maling lagi, seperti terakhir kali.
Zane menoleh.
Dan Sabrina kontan menelan ludah.
Asli, otaknya sudah mulai nggak beres, karena tiba-tiba saja Zane jadi terlihat lebih menarik daripada seharusnya.
Seperti seluruh komponen yang ada pada tubuhnya sedang bersinergi untuk membuatnya terlena.
Zane berkacak pinggang, menaikkan alis tinggi-tinggi. "Jadi gini, karyawan kalau dikasih tahu passcode pintu rumah Bosnya? Jadi hobi nyelonong masuk?"
Sabrina mesem, menyadarkan diri sendiri dari lamunannya. "Ya kan dari pada lo capek-capek bukain pintu," dalihnya.
Tapi itu jujur, sih. Dia memang tidak berniat membuat Zane repot.
Sabrina berjalan menghampirinya, memandang sekeliling.
Entah kenapa selalu tidak terasa nyaman setiap kali melihat rumah Zane begitu rapi dan sepi. Seperti ada yang kurang.
Zane melenggang dengan santainya menuju dapur.
Sabrina mengikutinya. "Gue mau teh, ya. Ada lemon, nggak?"
"Lihat aja sendiri."
Zane mengambil gelas, kemudian berdiri di depan dispenser, mengisi gelasnya dengan air dingin.
Sabrina ikut menelan ludah saat memperhatikannya minum, memperhatikan jakunnya naik turun seiring dengan tegukan air minumnya.
Ganteng, seksi, ada di depan mata, tapi nggak bisa disentuh.
Ngenes banget.
Kenapa lo nggak nyatain perasaan aja, sih, Zane? Pasti langsung gue terima!
"Tehnya di sono, tuh!" Zane memberitahunya karena Sabrina hanya berdiri diam.
Sabrina tergeragap dan segera membuka kabinet tempat teh dan kopi di simpan.
Stoknya penuh, seperti baru belanja.
Dia mengambil kotak teh celup dan cangkir, lalu membuka kulkas.
Penuh juga.
"Ini belanja buat apa?" tanyanya, refleks. "Elo kan nggak bisa masak."
"Rachel, lah, yang masak. Ngapain juga gue masak? Di bawah ada banyak resto. Mau delivery juga gampang. Dua puluh empat jam ada."
Zane meletakkan gelasnya, dan segera kembali ke gym, menuntaskan menu latihannya.
Sementara Sabrina langsung menyesal telah bertanya.
Kalau belanjaannya sebanyak ini, sudah jelas bahwa si Rachel Simalakama sering datang!
Dan kalau ternyata Rachel yang super modis itu juga pintar memasak, sudah lah, Sabrina tidak punya hal lain yang bisa dibanggakan. Fix, kalah telak. Skakmat.
Dia mengambil sebutir lemon, lalu memotongnya tipis.
Jadi sensi sendiri.
Dan karena mata serta otaknya keliaran ke mana-mana, jari telunjuk kirinya malah tidak sengaja ikut teriris.
Langsung mengucurkan darah segar dan sensasi perih.
Sabrina kontan mengaduh.
"Aaaww, Bang, tolongin!"
Zane menoleh dengan kesal. "Apaan?" tanyanya.
"Tangan gue kena pisau!"
"Ya udah, dicuci bersih, dikasih plester."
"Tolongin! Gue jijik ngelihat darah!"
Zane mendesah pelan, tapi tetap menghampirinya. Segera ditariknya tangan Sabrina mendekat ke sink dan mengguyurnya sampai bersih.
Setelah bersih, Zane melepaskan tangannya dan mematikan kran.
Sabrina menautkan alis. "Udah gitu doang? Jari gue nggak digigit, kayak di TV-TV?" tanyanya.
Zane berdecak lagi. "Mau digigit?"
Perempuan itu pilih menggeleng. "Enggak. Tengkyu."
"Tunggu di sofa, gue ambilin obatnya."
Sabrina mengangguk, segera berjalan ke ruang tamu seperti bocah yang menurut pada guru TK-nya.
Zane kembali dengan kotak P3K dan duduk di sebelahnya.
Sabrina memperhatikan lelaki itu dengan telaten mengoleskan obat merah dan membungkus ujung jarinya dengan plester.
Makin ngenes. Menyumpahi hatinya yang receh abis, yang seenaknya meleleh hanya karena diobati lukanya.
"Lo semalem balik ke tempat gue lagi, Bang?" tanyanya kemudian, agak canggung karena lagu yang diputar Zane tiba-tiba terhenti.
Rupanya tadi playlist-nya sudah mencapai lagu terbawah.
"Kagak." Zane menjawab singkat, dan Sabrina tahu dia mengelak karena masih kesal.
"Terus itu tadi, makanan basi di mobil lo, buat siapa?"
"Kan gue bilang mau ngasih makan kucing."
"Bohong."
Zane selesai mengobatinya, memasukkan kembali obat merah ke kotak dan meremas bungkus bekas plester, lalu bangkit berdiri.
Sabrina cemberut. "Padahal kalau emang buat gue, gue mau minta maaf."
Sabrina mendengar Zane mendengus, memasukkan sampah bekas plesternya ke tong sampah di dapur. Kemudian lelaki itu melanjutkan pekerjaannya membuat lemon tea, dengan air panas dari dispenser.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Zane saat menyerahkan cangkir teh ke Sabrina.
"Gue bawain kacamata lo yang ketinggalan di rumah."
Sabrina mengeluarkan kacamata Zane dari dalam tas, kemudian meletakkannya di atas meja, dan segera beralih mengambil dan meniup-niup tehnya.
"Kenapa nggak besok aja di kantor?" tanya Zane lagi.
Sabrina mendongak, menatap Bosnya yang masih berdiri di seberang meja. Mukanya nggak ada lembut-lembutnya sama sekali. "Gue emang mau belanja di sekitar sini, jadi sekalian."
Zane lalu meninggalkannya, masuk ke kamar.
Sabrina memutar bola mata.
What the heck?
Labil amat si Bos ini!
Sebentar baik, sebentar enggak.
Ini Sabrina yang kepedean berarti?
Bos sama sekali tidak menaruh perasaan padanya?
Sabrina mau menangis kalau tidak ingat sedang berada di rumah orang.
Malu. Kesal.
Padahal tadi dia sudah datang dengan optimis. Yakin akan pulang dengan jawaban yang jelas, dan sesuai dengan harapannya.
Dan sekarang dia tertampar realita.
Zane si kampret emang jago bikin orang baper, lalu menjatuhkannya lagi!
Sabrina segera mengambil ponsel di tas. Mengetik satu pesan pendek.
"Kok masih disini?" tanya Zane saat keluar kamar tidak lama kemudian.
Sudah mandi. Sudah berpakaian lengkap.
"Nunggu jemputan," sahut Sabrina kalem, menjaga wibawanya sendiri.
Pokoknya dia tidak akan keluar dari rumah ini sebagai kucing liar blasteran Persia yang tersakiti dan tercampakkan.
Dan benar saja, bel pintu rumah Zane berbunyi di kejauhan.
Sabrina bergegas ke arah tangga untuk membuka pintu, mengabaikan pergelangan kakinya yang belum sembuh betul.
Dan kemudian dia turun bersama Bimo, yang menenteng paperbag besar.
"Lah ini rumah lo Zane?" Bimo nampak terkejut sekaligus senang. "Gue kira rumah temen Sabrina."
Sabrina cuma mesem, sementara Zane terpaksa mengiyakan.
"Terus lo kok bisa ada di sini?" Kali ini Bimo bertanya ke Sabrina.
"Ngembaliin kacamata Bos yang ketinggalan. Kasihan doi nanti kalau mau baca nggak kelihatan," sahut perempuan itu sok imut, membuat Zane keki berat.
Bimo ngakak. "Sabrina bilang temennya belum makan, terus minta dibeliin sekalian."
"Ya kan gue kasihan sama Bang Zane. Pacar nggak punya, gebetan nggak perhatian. Nggak ada yang peduli dia udah makan apa belum. Ya udah, kita makan bertiga aja di sini."
Zane kicep. Sabrina tersenyum miring. Puas mengerjai orang.
"Emang abis ini pada mau pergi ke mana?" tanya Zane akhirnya, mempersilakan Bimo duduk.
"Sabrina minta ditemenin beli kado buat wisuda Akmal." Bimo yang menjawab karena sang tersangka sudah berlalu ke dapur untuk mengambil piring.
"Manja amat beli kado aja minta ditemenin." Zane mendengus.
Sabrina balas mendengus. "Kenapa emang? Gue sama Bimo kan CS!"
... to be continued