FOLLOW IG AKU: alaiaesthetic & radenchedid (cadangan). Biar engga ketinggalan info tentang ceritaku! 🤍
5. Lebih Nyaman
Abby yakin ia tidak salah dengar. Pria itu menyebut nama Alaia, dan pasien yang bernama Alaia hanyalah satu orang.
Sudah pasti Alaia yang dimaksud pria tadi adalah 'Alaia' yang dirawat oleh Abby.
Seketika pikiran Abby melayang ke hal-hal yang membuatnya cemas. Nalarnya langsung aktif dan berpikir bahwa pria tersebut adalah Paman Kai.
"Aku ga mau sama Paman lagi." Ucapan Alaia beberapa hari lalu terngiang dalam benak Abby.
Alaia begitu takut dan tidak mau bertemu Kai. Selama satu minggu tinggal di rumah sakit, Alaia sudah cukup merasa lebih aman karena dirawat oleh Abby. Lalu sekarang, Kai muncul dan mencoba membawanya lagi.
Kai bertekad akan membawa pulang Alaia hari ini. Ia tidak mau menunggu besok, lusa, apalagi minggu depan. Sudah cukup seminggu dia hidup tanpa Alaia di dekatnya.
Ketika dua pria tadi menghilang dari pandangan Abby karena keduanya telah masuk ke kantin, Abby pun bergerak cepat meninggalkan tempat sambil memikirkan sesuatu.
Abby pikir, ada baiknya Alaia pergi bersama cowok yang disebut Danu tadi. Itu membuat Kai tak akan menemukan Alaia di tempat ini. Tapi... Abby juga tidak tenang karena ia tak tau ke mana Alaia pergi.
Yang Abby harapkan sekarang adalah, Alaia tidak kembali sebelum Kai pergi dari rumah sakit.
Tapi, bagaimana bila Kai tak akan pergi sebelum menemukan Alaia?
⚪️ ⚪️ ⚪️
Bastian kehilangan jejak Lila. Dia menghentikan motor di tepi jalan dan membuka kaca helm. Rasanya kesal sekali harus mencari-cari orang yang sengaja menghindar darinya.
"Kemana sih?!" Bastian berucap marah.
Di sekitarnya hanyalah jalan raya dengan jumlah pengendara yang minim, lalu di jarak beberapa kilometer darinya merupakan kawasan pantai.
Kenapa Bastian dan Lila bisa nyasar ke sini? Begini ceritanya....
"Udah, aku ga bisa ketemu kamu sekarang. Pulang aja sana," ucap Lila, dia terlanjur malas dengan situasi seperti ini.
"Nggak." Bastian menolak.
Karena Bastian memiliki watak yang keras, dia menerobos masuk ke rumah Lila dan membawa cewek itu ikut bersama dia.
Lila tersentak, dia lantas teriak, "Bastian, apa sih?!"
"Ngomong sama kamu harus pake anceman." Bastian menyahut. "Atau mau pake kekerasan?"
Cengkeraman Bastian makin kuat pada lengan Lila. Itu menyakitkan dan rasanya ngilu sekali. Lila tidak suka diperlakukan seperti itu. Bukan hanya Lila, tapi semua orang tak akan suka!
Langkah Bastian menuju kamar Lila. Pikiran setan mulai bergerayang merasuki otak Bastian. Lila ketakutan, tapi tenaganya tak cukup kuat untuk melawan Bastian.
Setibanya di kamar, Bastian menutup pintu tanpa menguncinya. Ia tidak kepikiran untuk mengunci. Yang ada di benak Bastian hanyalah ia ingin memberi Lila pelajaran agar menurut padanya.
"Diem, Lila!" Bastian menggertak.
"Apa-apaan sih, Bas? Lepasin atau aku teriak maling?!" Lila kelabakan.
Secepat itu Bastian mendorong Lila ke ranjang, ia ikut naik dan mendekat ke tubuh Lila. Lila menendang, menampar, bahkan menggunakan kuku panjangnya demi mencoba menyingkirkan Bastian dari atas badannya.
"Aku ga terima kamu main di belakang aku, Lila," ungkap Bastian.
"Pantesan kamu ga mau dengerin aku! Ternyata diem-diem kamu ada apa-apa sama Langit." Bastian melanjutkan.
"Aku ga ada apa-apa sama Langit!" Lila membalas, tentu ia membela kebenaran.
"Bohong." Bastian makin kesal. "Jangan teriak di depan aku. Aku bisa tampar kamu kalo kamu keras kepala!"
"MAU TAMPAR? SILAKAN!" Amarah Lila meletup-letup.
Merasa ditantang, Bastian kehilangan akal dan tak bisa lagi menahan kemarahannya. Lantas ia mendaratkan satu tamparan di pipi kiri Lila, cukup keras sampai Lila terdiam —sama sekali tak berucap sepatah kata.
Terjadi keheningan beberapa sekon lamanya. Detik terasa seperti jam. Lama sekali. Lila makin tidak nyaman dengan kondisi seperti ini.
Mata Lila berkaca, namun ia menahannya agar air mata tidak turun.
"Gue mau putus!" Lila berseru, suaranya bergetar.
Ia langsung mendorong Bastian sekuat apapun sampai cowok itu menyingkir dari atasnya. Kemudian Lila bergegas cepat-cepat turun dari kasur dan lari keluar kamar.
Handuk di kepalanya lepas, ia tak peduli rambutnya berantakan. Lila tidak sempat memikirkan penampilan karena yang ia mau saat ini adalah menghindar dari Bastian.
Bastian tak akan mau pergi. Jadi, Lila yang akan menjauh dari cowok itu.
"Mau ke mana kamu?!" Bastian mengejar.
Lila mempercepat langkahnya. Kunci motor sudah ada di tangan dan Lila butuh helm untuk segera meninggalkan rumah.
"Aku ga bakal lepasin kamu, La. Sana, pergi aja yang jauh. Bakalan kekejar sama aku!" seru Bastian.
Cowok temperamen itu berdiri di ambang pintu sambil memerhatikan Lila yang pergi dengan membawa motor matic putih. Beberapa saat Bastian diam, hingga akhirnya ia mengejar Lila dengan motor besarnya.
Dan sekarang Bastian marah-marah lagi karena tidak menemukan Lila. Dia kesal karena semua ini terjadi akibat APILL alias Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.
"Lampu merah tai!" Nah, Bastian benar-benar menyalahkan lampu merah.
Kalau saja lampu itu masih hijau, pasti Lila akan kekejar. Karena kejadiannya mepet sekali. Saat lampu masih hijau dan sedetik kemudian menjadi kuning, Lila sudah pergi. Lalu ketika Bastian hampir mendekati garis putih, lampu itu berubah menjadi merah.
Bastian mengambil ponsel dari waist bag. Dia mencoba menelepon Lila dan sama sekali tak diangkat. Rasa kesalnya makin nambah dan sudah mencapai ubun-ubun. Kalau di sini ada samsak, pasti Bastian sudah meninjunya berulang kali.
Angin sepoi-sepoi menerpa muka ganteng Bastian. Ia terdiam sambil memikirkan sesuatu, dan ini masih tentang Lila.
Senyum miring muncul di wajahnya ketika ia mendapatkan sebuah ide. Segera Bastian mengetik sesuatu di ponsel untuk dikirim ke Lila.
Bastian:
Kamu dmn!
Bastian:
Aku tunggu 10 menit. Kalo kamu masih ga ngerespon, aku panggil bocah aku buat pukulin Langit
⚪️ ⚪️ ⚪️
Langit mengajak Alaia ke dermaga. Kebetulan tidak ada orang lain, hanya mereka berdua yang mengisi kekosongongan jembatan kayu ini.
Alaia berdiri di sisi kiri, kedua tangannya berpegangan pada pagar kayu. Langit di belakangnya, hanya berjarak tiga jengkal dari Alaia.
Rambut panjang Alaia berkibaran ketika angin menerpa. Karena muka Langit kena rambut Alaia terus, cowok itu pun pindah ke sampingnya.
"Langitnya gelap banget tuh," kata Langit, memandang ke atas.
"Kamu nyebut nama kamu sendiri?" Alaia tertawa kecil, manis sekali.
Langit menoleh dan terkekeh pelan. "Iya, Langit-nya lagi mendung."
"Kamu?" Alaia bertanya.
Langit tak menjawab, hanya memalingkan wajah ke arah lain. Cowok itu mengedarkan pandangan ke hamparan air di hadapannya. Karena awan mengabu, laut pun jadi terlihat lebih gelap.
Kejadian di tempat makan tadi menjadi alasan mood Langit menurun. Dia paling kesal bila seseorang mengungkit masa lalu yang tidak mengenakkan.
"Langit," panggil Alaia.
Langit menoleh, alisnya terangkat satu. "Apa?"
"Apa aku bisa ketemu Dokter Abby lagi?" tanya Alaia.
"Oh iya." Langit baru teringat tentang itu. "Sumpah, gue lupa anterin lo balik ke rumah sakit."
Langit panik. Ia melihat jam hitam yang melingkar di pergelangan tangannya dan hal itu hanya menambah rasa paniknya. "Udah jam segini," kata Langit.
Alaia tak merespon apapun. Dia diam saja sambil mengamati Langit yang sibuk sendiri. Padahal Alaia hanya bertanya apakah dia bisa bertemu Abby lagi atau tidak.
"Mau pulang sekarang?" tanya Langit.
Alaia menggeleng. "Aku suka di sini."
"Nanti Dokter Abby nyariin ngga?" Langit nanya lagi.
"Ga tau," kata Alaia. "Tapi Alaia mau di sini dulu. Boleh ya?"
"Boleh. Asal sama Langit," sahut Langit, membuat senyum Alaia muncul lagi.
"Sini deh, biasanya ada lumba-lumba main di deket sana." Langit mengajak Alaia ke ujung dermaga.
Mereka jalan bersama ke sana. Karena Alaia jalan di belakang, Langit pun menyodorkan tangan dan Alaia spontan meraih tangan Langit.
"Jangan kebiasaan jalan di belakang. Di samping aja," kata Langit.
Ketika tiba di ujung dermaga, Alaia menunggu lumba-lumba itu datang. Ia penasaran, seperti apa bentuk lumba-lumba.
Langit mengubah posisinya. Dia berjongkok tepat di samping Alaia dan menatap laut. Tiba-tiba....
Muncul beberapa lumba-lumba ke permukaan air. Langit sedikit terkejut karena biasanya yang muncul hanya satu atau dua, kali ini lebih dari itu.
"Hai!!!" Alaia berseru pada mamalia tersebut.
Terdengar suara-suara yang berasal dari lumba-lumba. Mereka lompat terus seakan bahagia sekali akan kedatangan Alaia dan Langit.
Alaia ikut berjongkok seperti Langit. Karena posisi Alaia terlalu ke depan, sampai kakinya benar-benar berada di ujung dermaga, Langit pun memegang tangan Alaia —mencegah cewek itu jatuh ke laut.
"Mundur." Langit meminta, dan Alaia menurut. Dia mundur sedikit.
"Hey!" Alaia menyodorkan tangannya ke lumba-lumba, ingin menyentuh.
Sebagai sambutan untuk Alaia, tiga lumba-lumba menyemburkan air ke Alaia. Ia senang, matanya sampai berbinar saking bahagianya.
Melihat Alaia sebahagia itu, Langit ikut tersenyum seperti merasakannya juga. Kalau dipikir-pikir, Alaia benar-benar dibuat seperti anak kecil yang tak tau apa-apa oleh Kai. Bahkan Alaia baru sekarang tau yang namanya lumba-lumba.
Langit jadi kepikiran untuk tidak mengembalikan Alaia ke rumah sakit, karena tadi Kai berkeliaran di sana. Bagaimana kalau nanti mereka membali, lalu ternyata Kai masih ada di rumah sakit dan menemukan Alaia?
"Langit."
Suara itu membuat kepala Langit tertoleh ke belakang. Ada Lila di sana, entah sejak kapan dia datang. Langit maupun Alaia tak menyadarinya.
"Langit, gue perlu ngomong berdua sama lo." Lila berkata.
"Mbung ah," tolak Langit.
"Sebentar aja deh, ga nyampe lima menit," ujar Lila.
"Boong." Langit masih tidak peduli.
"Ck." Lila berdecak, dia cemberut. "Sebentar ih, Ngit."
"Teu ngarti aing ngomong apa tadi?" Langit menyahut, mulai esmosi. Tatapannya juga menajam dan itu cukup berhasil membuat Lila diam.
Jadi, di dermaga ini ada tiga orang. Dua orang sedang perang batin, satu lagi sibuk bermain dengan lumba-lumba.
"Oke, sori karna tadi gue ungkit masa lalu. Maafin gue. Sekarang gue bener-bener butuh lo buat nolongin gue, Ngit," papar Lila, terselip nada permohonan pada ujarannya.
Langit mendengar, tapi tak memberi reaksi apapun. Dia anteng mengamati laut dengan wajah datar. Kalau Lila masih ada di sini dan terus mengajaknya bicara, Langit akan tetap murung seperti itu.
"Gue diancem Bastian. Gue takut, Langit." Lila berucap.
Alaia yang sejak tadi heboh sendiri dengan mamalia pintar itu, kini ia memberi perhatian pada Lila. Alaia menatap Lila, lalu beralih ke Langit.
"Langit, dia lagi ngomong sama kamu, kenapa kamu diem aja?" Alaia bertanya.
Langit menoleh ke Alaia. Matanya melirik Lila sekilas dan membalas ucapan Lila tanpa menatapnya. "Jangan bawa-bawa gue ke hubungan lo sama Bastian."
"Gue cuma minta tolong," kata Lila. "Kalo bukan lo, siapa lagi? Gue nggak tau harus bilang ke siapa lagi, Ngit."
"Ngemeng lu. Gue tau kenalan lu banyak ga cuma gue," sahut Langit.
"Ngit—"
"Kelarin urusan lo berdua, ga usah seret gue." Langit kali ini berucap tegas.
"Kok lo labil sih? Malem itu lo nolongin gue dari Bastian, terus sekarang lo ngomong kayak gini ke gue?" Lila mulai panas.
Terdengar Langit membuang napas berat. Sepertinya ia kesal. Langit beranjak, ia berdiri berhadapan dengan Lila. Alaia pun ikut berdiri dan mundur ke sisi kanan dermaga. Ia membiarkan Langit dan Lila bicara berdua.
"Waktu itu gue nolongin lo karna lo sama Bastian ribut di motor! Mikir ga kalo itu bahaya?" Langit berkata.
"Ga mungkin cuma karna itu kan?" Lila tersenyum sinis. "Lo nolongin gue karna lo masih peduli lebih dari itu sama gue. Lo pikir gue lupa sama apa yang Ragas bilang pas dia mabok?"
"Mantan tersayang Langit Shaka Raja." Ucap Ragas kala itu.
Langit terbahak. "Pede banget lu."
"Gue tau kok, Ngit. Lo masih ada rasa kan ke gue?" Lila masih terus nyerocos.
"Terus sekarang lo marah sama gue karna gue ngebahas masa lalu kita. Lo marah karna lo masih ga terima waktu itu gue lebih pilih Bastian. Kalo lo udah ga ada perasaan apapun ke gue, lo ga bakal marah, Ngit. Lo bakal biasa aja!" seru Lila.
"Terserah," sahut Langit, cuek.
Langit melirik Alaia dan mendekat ke cewek itu. Lila hendak mencegah Langit untuk menghampiri Alaia dengan cara menggapai tangan Langit, tapi Langit menepis tangan Lila.
"Lo ga berubah, ya? Udah punya cowok tetep menel ke cowok lain," ceplos Langit.
Lila tersentak akan ucapan Langit. Dirinya disebut menel alias centil oleh Langit. Itu cukup membuat perasaannya sakit.
Langit mengajak Alaia, ia bukan lagi menggandeng gadis itu, melainkan merangkul seakan melindungi Alaia dari apapun.
"Langit!" Lila hampir menangis, entah kenapa dia mau nangis.
Langit berbalik badan karena Lila menariknya. Langit lihat kedua mata Lila. Berkaca-kaca dan sepertinya sedikit lagi buliran air akan jatuh ke pipinya.
"Apaan?" Langit bertanya dengan jutek.
"Lo mau ninggalin gue di sini?" Lila menahan tangis. Dia semakin ketakutan bila ditinggal, karena ia akan stress dikejar-kejar oleh Bastian.
"Iya. Gue mau berduaan sama Alaia. Ga butuh orang ketiga," cetus Langit, kemudian pergi menjauh dari Lila.
Hati Lila sakit. Bahkan dia lebih memilih menangisi Langit daripada Bastian.
⚪️⚪️ To Be Continued....⚪️⚪️
kemarin udah vote bentuk. sekarang bantu aku pilih WARNA ekor yang cocok untuk Alaia yaaa! 🙏🏿🧜🏻♀️
1
2
3
⬆️⬆️⬆️
jangan lupa share cerita ALAÏA yaa!
kalo kamu mau post di instastory, tag aku (@radenchedid) biar aku repost ok ;)
Thank you🧜🏻♀️💗