37 | what's wrong with her?
"SABRINAAA!!"
Timothy berteriak histeris saat bertemu di parkiran depan kantor.
Sabrina pasrah saja dipeluk-peluk.
"Gilak, kangen banget gue," ujar Timothy seraya melepaskan diri, tak lupa merapikan kerah kemeja Sabrina yang jadi berantakan karena ulahnya. "Gue udah khawatir aja, bakal nemu empat bangkai di apartemen Zane."
"Kok empat?"
"Sama Milo. Gila, gemes banget anak lo. Kenapa nggak pernah cerita? Tau gitu gue kenalin ama si Chilli, anak gue."
"Apaan, tuh, Chilli?"
"Meong. Biar kayak Garfield ama Odie." Timothy ngakak.
Sabrina mendesah.
Sungguh kegaringan yang hakiki.
"Mau sarapan kagak lo?" Sabrina mengganti topik, sadar perutnya sudah melilit. "Tadi Ucup bilang udah beliin kita nasi uduk deket rumahnya."
"Mau, lah."
Dan tidak sampai sepuluh menit kemudian, tiga serangkai itu sudah duduk melingkari salah satu meja di rooftop, tempat mereka biasa sarapan.
Karen merebut plastik lauk dari tangan Sabrina dan merobeknya karena tidak sabar. Menunggu ikatannya lepas, keburu dia lupa pada topik yang ingin dia tanyakan.
"Lo dikarantina empat belas hari di kamar, berdua sama Zane, mitos atau fakta?" Karen bertanya lugas, begitu lauk sudah terbagi rata.
Sabrina tersedak kerupuk.
Timothy melongo.
"Surprised kan lo, Tim? Kampret emang ini bocah!" Karen mendengus.
Sabrina menelan ludah. "Juned yang cerita?"
"Siapa lagi? Masa Zane?"
"Kapan?"
"Semalem! Gila lo emang! Panteslah tiap video call di kamar mandi mulu!"
Timothy masih terbengong-bengong. "Gue belum bisa nangkep, nih. Ini maksudnya gimana? Apartemen Zane ternyata apartemen studio? Kan bertiga kalo gitu, ama si Juned, bukan berdua."
Karen menggeleng-geleng, menunggu makanan di mulutnya tertelan. "Bukan. Doi dikurung berdua sama Zane di kamarnya. Kerjaan si Juned."
"Karena?"
Karen mengangkat bahu, Timothy ganti memandang Sabrina.
Sabrina berdecak. "Dia bilang sih karena gue ama Zane abis dari luar, ada potensi kita bawa virus."
"Lo percaya?" Timothy bertanya balik padanya.
"Nggak juga, sih. Paling dia kesel sama gue, sama Zane, dan gue nggak tau kenapanya."
"Dan itu empat belas hari? Buset, ngalah-ngalahin orang honeymoon aja lo!" Timothy ngakak jahat. "Gimana hasilnya, positif nggak?"
"Positif hamil?" Karen ikutan tertawa.
"Taik lo berdua." Sabrina mencomot telur dadar dan mengigitnya, tidak mau ambil pusing.
Karen meneguk teh hangat di gelas. "Nah, tiap video call tuh gue mikir, masa ni anak dikasih makanan basi? Sampe-sampe tiap hari diare? Nggak tahunya ... yang lain mah dikarantina menderita, dia enak!"
Timothy sampai mengeluarkan air mata dan memegangi perut saking hebohnya tertawa. "Gilaaa. Udah ngalahin durasi honeymoon anak sultan aja lo! Parah! Minta disembah ini anak. Diam-diam menghanyutkan."
"Taik!" Sabrina kesal dibully.
"Gimana? Mantep mana ama mantan-mantan lo?"
"Mantep apaan?"
"Mantap-mantap ama Zane enak nggak? Dia ada tampang-tampang fake nerd gitu, sih. Jadi gue yakin banget, sebenernya dia experienced, cuma berlagak alim"
Mata Sabrina membulat sempurna. "Gue masih perawan, kampret!"
"Ya kali lo dianggurin dua minggu?"
"Gue tidur di sofa!"
"Nggak ada yang nanya lo tidur di mana!"
"Yoi. Logika aja, mana ada dua orang, laki ama perempuan, ditaruh di satu kamar dua minggu, kuat iman?"
"Setuju! Ritmenya pasti gini, pertama-tama pada darah tinggi semua, semangat melakukan perlawanan. Karena nggaj membuahkan hasil, lama-lama capek dan berangsur-angsur mulai menerima kenyataan, dan akhirnya pilih cari alternatif kegiatan buat ngisi waktu. Terus mulai rada nyaman, tuh. Abis itu, setelah keadaan berjalan statis selama beberapa hari, mulai bosen, mulai lihat-lihatan. Biasa aja awalnya. Lama-lama jadi menggoda. Tul, nggak?"
"Tul!" Timothy membeo.
Karen melanjutkan, "Coba lupain bentar fakta kalau orang itu Zane. Honestly, dia kan sebenernya oke secara fisik. Lo nggak sekalipun nafsu ngelihatnya gitu, Sab?"
Hidung Sabrina kembang-kempis.
"Nafsu lah! Udak ketebak!" Timothy lagi-lagi yang menjawab. "Lo kayak nggak tahu Sabrina aja, si cewek tukang modus. Sampe-sampe Akmal aja bertekuk lutut gitu. Pertama-tama ngobrol biasa doang, abis itu pura-pura ngantuk, terus nggelendot-nggelendot kayak jablay!"
"Terus tidurnya kayak kebo, lagi! Digrepe-grepe juga mana sadar?!"
Sabrina menelan nasi uduknya, sama sekali tidak tersulut emosi. "Silakan berteori sepuasnya, nggak pa-pa. Biar dosa gue berkurang karena jadi korban ghibah."
"Oke, puas-puasin deh, denial sekarang. Abis ini lo bakal masuk fase, hmm, gimana yaa ...."
"Merasa kehilangan, pasti. Terus tiap ngelihat Zane, lo ngerasa nyesek banget. Ada di depan mata, tapi bukan punya lo. Yang biasanya bisa dipegang-pegang, dielus-elus, jadi nggak bisa lagi. Apalagi kalo ngeliat dia jalan ama mak lampir, nyesek bangeeet. Terus lo nyesel, kenapa baru nyadar sekarang?"
Sabrina cuma bisa geleng-geleng. "Klise banget, sih. Itu mah plotnya FTV!"
"Yee, dibilangin orang tua nggak percaya!"
"Udah lah, nikah aja lo berdua!"
"Terus pakek EO kita. HAHAHA!"
~
Karena makin siang moodnya makin jelek, tidak bisa konsentrasi bekerja sama sekali, Sabrina memutuskan turun ke pantry. Dia butuh sesuatu yang manis-manis untuk memaniskan hidupnya.
"Ada snack apa, Cup?" tanyanya ke Ucup yang baru tiba dari swalayan, membawa dua kardus besar. "Sini gue bantu unpacking."
Ucup mesem, dengan senyumannya yang seadem ubin masjid. Rambutnya dicukur cepak, rapi. Mukanya juga makin berseri-seri setelah karantina, karena nggak kena polusi.
"Jangan dong, Mbak. Mbak Sabrina kan dibayar buat ngerjain yang lain."
Sabrina berdecak dan tanpa permisi mengambil tumpukan kardus teratas yang dibawa Ucup.
Kardusnya enteng, mungkin berisi keripik lagi.
Ucup segera mengikutinya ke pantry.
Ada Zane di sana, sedang membuat kopi.
Sabrina menelan ludah.
Sepagian tadi dia memang belum melihatnya sama sekali.
Ucup jadi sungkan. "Saya beresin nanti, deh. Mbak kalau mau ambil duluan, ambil aja yang disuka. Tadi saya beliin sus kering isi cokelat juga."
Ucup meletakkan kardusnya ke salah satu meja.
"Snack curah begini beli di mana, sih, Cup? Gue mau dong, dianterin, kapan-kapan kalau libur."
"Boleh. Apa sih yang enggak buat Mbak Sabrina?"
Sabrina mesem.
Zane menoleh.
Ucup yang tiba-tiba merasa salah ngomong langsung pilih undur diri.
Sabrina berusaha cuek bebek membongkar kardus, membuka perekatnya dengan cutter.
"Mau keripik juga nggak, Bos?" tanyanya, berbaik hati, mengambil stoples kecil dari rak dan menuang sus kering ke dalamnya. Itu untuk dirinya sendiri. Kalau Zane mau, dia akan menuangkan ke stoples lain.
"Enggak." Zane menyahut tanpa membalikkan badan.
Sabrina duduk di salah satu kursi, mencicipi susnya.
"Mau kopi?" tanya Zane balik.
"Huh?" Sabrina mengerutkan alis. Zane nggak pernah menawari kopi sebelumnya. Ya kali, emang Sabrina siapa? Kurang ajar banget karyawan minta dibikinin kopi sama bos!
"Lo kayak ngantuk banget gitu." Zane memperjelas.
Sabrina kontan mengeluarkan ponsel untuk bercermin. Dia nggak sengantuk itu, dan nggak mungkin terlihat sejelas itu, meski benar saat ini dia merasa kurang enak badan.
Tapi ternyata mukanya memang kusut sekali.
"Boleh, deh." Sahutnya akhirnya, merasa ada yang tidak nyaman di dada.
Ah, ini cuma reaksi normal setelah mendengar sugesti sesat dari Karen dan Timothy.
Merasa kehilangan?
Tapi emang masuk akal, sih.
Bahkan kalau nemu baju bagus di mall, yang harganya nggak affordable di tanggal tua, bahkan untuk mengikhlaskan tidak membelinya saja kadang-kadang ada rasa nyesek di dada. Padahal itu barang belum menjadi milik kita. Ya, nggak, sih?
That's completely normal.
Sabrina duduk diam memperhatikan sang bos berdiri di depan coffee maker.
Zane dengan posturnya yang tinggi, berotot, dengan dada bidang.
Zane yang yang sama dengan yang memeluk dan mengurut punggungnya sampai ketiduran saat PMS kemarin.
Zane yang selalu langsung terlihat ngeri tiap kali ditempel-tempel olehnya, tapi tidak menolak.
Zane yang membiarkannya tidur di pangkuannya.
What. The. Hell.
Ini sih udah termasuk pelecehan terhadap bos, Sab!
"Lo sakit?"
Zane meletakkan cangkir kopi Sabrina ke atas meja. Kemudian tangannya bergerak menyentuh dahi Sabrina.
Sabrina bergeming.
Mencoba memahami reaksi pada tubuhnya sendiri.
What's wrong with my brain?
"Zane ...." Sabrina menggumam.
"Hmm?" Zane duduk di hadapannya, mulai nampak khawatir.
"Kayaknya gue sakit, deh. Gue izin pulang, ya."
"Nggak mau ke dokter aja? Kebiasaan sih lo, kalo nggak enak badan suka nyepelein."
Sabrina menggeleng. "Dipake tidur juga enakan."
"Biar dianter Ucup, deh."
"Nggak perlu, gue bisa nyetir sendiri."
"Siapa bilang gue izinin?"
Sabrina mendesah.
Udah deh, yang waras ngalah, Sab.
... to be continued