38 | pilih resign atau dipecat?
SELESAI mandi, Sabrina merebahkan diri di kasur. Sekarang baru pukul dua siang lewat.
Karena merasa tidak enak badan, tadi dia memanggil jasa tukang pijat. Biasanya selesai dipijat, badannya langsung terasa segar bugar. Tapi anehnya kali ini tidak.
Dia tetap merasa seperti ada yang salah pada tubuhnya.
Lesu.
Ah, apa jangan-jangan dia anemia?
Sabrina segera melakukan riset singkat di google.
Tapi dia tidak sedang mengonsumsi obat-obatan tertentu, punya riwayat penyakit kronis, apalagi sedan hamil.
Jadi bukan anemia.
Sabrina mendesah, menatap langit-langit kamar yang putih bersih. Kosong. Hampa.
Tiba-tiba hidungnya mencium bau familier.
Tapi tidak mungkin.
Ini rumahnya, jadi mana mungkin wangi khas Zane bisa tercium sampai di sini?
"Gila, sih."
Perempuan itu bangkit berdiri, memakai sandal, kemudian mulai mengendus-endus ke sana-kemari saking penasaran.
"Milo, kayaknya Mommy sakit idung, deh. Lo nyium bau Zane, nggak?" tanyanya ke Milo.
Yang diajak ngobrol malah cuek bebek, asyik ngulet di atas sofa kamar.
"Masa baunya dari baju gue tadi? Gara-gara pas di pantry dia nyamperin gue?"
Perempuan itu berjalan ke ruang laundry, mengambil bajunya dari tumpukan teratas keranjang, mengendusnya.
"Bukan dari sini, tuh. Aneh nggak, sih, Milo? Apa Mommy udah gila?"
Sabrina kembali ke kasur.
Merasa makin tidak tenang.
Sumpah, baunya tercium jelas.
Kalau cuma karena merasa kehilangan, merasa tidak terbiasa, dan pikirannya yang terganggu, Sabrina masih bisa menerimanya dengan lapang dada. Tapi ini hidung yang error, Man. Nggak masuk akal, lah.
Sabrina duduk lagi.
"Ini baunya dari mana, sih? Bantuin dong, Milo!"
Milo akhirnya turun dari sofa dengan malas, menghampirinya.
"Cariin ini wanginya dari mana."
Dan Milo berjalan ke depan nakas, menggonggong di sana.
Sabrina melongo. Pandangannya jatuh ke dispenser pengharum ruangan yang dia letakkan di sana.
"Ah, kampret! Pantesan kayak kenal!"
Sabrina menggerutu dan kembali berbaring ke kasur.
Pengharum ruangan yang dipakainya ternyata sama dengan yang ada di kamar Zane. Kebetulan yang sangat kampet, memang!
Milo ikut naik ke kasur, ke pelukannya.
Sabrina mengelus-elusnya.
"Mommy nggak mungkin merasa kehilangan, kan, Milo? It doesn't make sense, gitu. Zane kan nggak penting. Emang dia siapa?"
Milo cuma balas menjilat-jilat tangannya.
"Tapi kalaupun bener, Mommy nggak mau bertepuk sebelah tangan, dong."
Sabrina memandang langit-langit lagi, mencari ide.
"Haruskah kita buktiin? Tapi pakai modus apa lagi?"
Sabrina mengambil ponsel. Mencari kontak Zane. Berpikir sejenak. Biasanya kalau mau modus, otaknya mengalir lancar. Tapi kali ini tidak demikian.
"Gimana caranya kita tau perasaan Zane?"
Segera diketiknya sebuah pesan pendek.
Lalu dihapus lagi.
Hingga beberapa kali.
"Udah, deh. Bodo amat!"
Dia tekan send pada ide kesekian yang muncul di kepala.
Sabrina Tanjung
Bang.
Sabrina Tanjung
Masih di kantor?
Klo iya, nanti pas pulang
boleh nitip beliin waffle
di tempat Rachel, nggak?
Sabrina Tanjung
Kalo nggak ngerepotin.
Tapi saat sampai setengah jam lebih kemudian tidak ada pesan balasan yang masuk, dia mulai kesal.
"Ck. Bodo amat, lah. Siapa juga yang peduli sama doi. Ya, nggak, Milo?"
Dia lalu mengetik pesan lain. Untuk Akmal, yang jelas langsung mendapat balasan.
"Emang cuma Akmal yang paling mengerti gue."
Sorenya, saat pulang kantor, Akmal mampir ke rumahnya membawa big box pizza, dengan muka masam.
"Tengkyu, Mal. Hiks, gue terharu." Sabrina mempersilakan masuk.
"Lebay lu!"
Akmal masuk, langsung nyelonong ke ruang tengah, menyalakan TV.
"Pusing gue, Sab, kerja ama Karen. Ribet!" curhatnya. "Banyak maunya."
Akmal duduk di karpet, Sabrina duduk di sofa, di belakangnya. Kotak pizza dia letakkan di sebelahnya.
"Uuu, tayaaang. Kasian banget. Sini gue pijitin."
Sabrina berlagak memijit, yang jelas nggak terasa enak, membuat Akmal melotot.
"Karen kan Juned versi cewek. Emang rada ribet kerja sama dia, rada otoriter, tapi aslinya dia baik. Dan loyal banget ama temen." Sabrina ngakak, sebelum akhirnya ikut beringsut ke karpet. "Ayok main monopoli aja, biar lo terhibur."
"Ogah. Lo kalo kalah suka ngambek."
Sabrina manyun.
~
Sudah jam sepuluh lewat ketika Akmal mendengar pintu rumah Sabrina diketuk. Mereka masih asyik main monopoli. Dan sejauh ini, Sabrina yang menang. Kalau Sabrina yang kalah, jelas sudah sejak tadi mereka berhenti main.
"Gue aja yang bukain." Akmal bangkit berdiri, segera berlalu ke ruang tamu.
Sabrina yang lagi asyik menonton Ryan Reynolds di layar TV cuma manggut-manggut tanpa menoleh.
Tak lama kemudian Akmal kembali. "Sab, Bang Zane, noh!"
Tawa lepas Sabrina akibat melihat guyonan receh Jimmy Fallon kontan tertelan kembali ke kerongkongan.
"Sumpah?!" Mukanya pucat pasi.
"Hmm." Akmal menjawab enteng, kembali duduk.
Sabrina mengambil ponsel yang sedari sore dia abaikan di sofa, mengecek notifikasi.
Sial! Ada balasan dari Zane.
Dia segera keluar, bingung harus ngomong apa. Otaknya buntu.
Zane duduk di atas motor. Wajahnya tidak ramah.
Sabrina langsung merasa lemas. Anemianya muncul lagi.
Fix, kali ini anemia betulan!
"Katanya sakit, lemes, tapi bisa ketawa kenceng-kenceng gitu?" tanya Zane, ketus.
Sabrina menelan ludah.
Kenapa bisa pas banget Zane datang di saat Jimmy lagi receh-recehnya ngelawak?
Pandangan lelaki itu jatuh ke mobil Akmal yang terparkir di halaman, membuat Sabrina makin lemas, nyaris jauh terduduk di halaman.
"Terus ngapain juga jam segini si Akmal masih ada di sini?"
"Dia beliin makan." Sabrina menjawab jujur karena tidak terpikirkan jawaban lain.
Zane mendengus.
Sabrina mengutuk diri sendiri dalam hati, kenapa tadi pesan yang dia kirim pada Zane tidak segera dia hapus begitu Akmal tiba? Gobloknya nggak tanggung-tanggung!
"Oh, jadi tadi itu pesan broadcast?" Kedua alis Zane terangkat tinggi-tinggi.
Sabrina speechless.
"Nih!" Zane mengulurkan paperbag padanya. "Terserah jadi dimakan apa enggak."
Kemudian dia kembali menaiki jok motornya.
Sabrina berusaha mencegahnya pergi. "Bang ...."
"Apa?"
"Maaf."
Sabrina menyentuh lengannya. Zane acuh. Sudah terlanjur kesal.
"Ck. Lain kali jangan nitip-nitip beliin gue lagi."
Sabrina mengikhlaskannya pergi. Pengen nangis, tapi air matanya menolak keluar.
Pasti wajah penyesalannya tadi nggak meyakinkan sama sekali, makanya Zane bisa pergi begitu saja tanpa sedikitpun berprihatin.
Tapi meski sekarang dia lebih ingin menangis karena malu, bukan karena ingin berpurapura sedang sakit parah, air matanya pun tetap tidak kooperatif. Dan tangisan yang gagal keluar malah membuat dadanya makin sesak.
"Kenape lu?" tanya Akmal saat perempuan itu kembali ke ruang tengah.
Sabrina mulai mewek, makin lama makin kencang, meski tanpa air mata.
"Gue mau resign aja, gue nggak punya muka."
"Paan, sih? Kok jadi ikut-ikutan gue, mau resign segala?" Akmal merangkul dan menepuk-nepuk bahunya. "Bang Zane kenapa ke sini?"
Sabrina tidak sanggup menjawab.
"Ya udah, nggak usah dijawab."
Sabrina mengangkat wajah. "Kayaknya Bang Zane suka sama gue, deh."
Akmal kontan ngakak. "Itu pedenya bisa dikurangin dikit, nggak?"
"Gue serius, Mal!"
~
Zane merebahkan diri ke swing bed di balkon, memandang hujan yang tidak berhenti turun sejak sejam lalu.
Memang saat ini baru pukul setengah dua belas malam, dan sangat jarang sekali dia bisa tidur jam segini karena sibuk lembur.
Tapi sialnya, di saat malam ini dia punya waktu dan sangat ingin tidur cepat, kepalanya malah pening akibat kehujanan tadi. Padahal cuma sebentar. Dan lagi, tadi hujannya belum sederas sekarang.
"Ck! Gara-gara Sabrina sialan!"
Ditariknya selimut sampai menutupi bahunya.
"Awas aja kalo gue sakit beneran, gue pecat lo sama Akmal!"
... to be continued
Mulmednya bisa diputer sambil baca gasi?