34 | serigala berbulu sabrina
SABRINA nyaris menangis saking kesalnya. Zane sampai harus mati-matian menahan tawa.
Nggak sopan tertawa di atas penderitaan orang, kan? Meski Zane tahu Sabrina memang lebay dari sononya.
Sebenarnya kan mau karantina di kamar Zane, atau di apartemen Zane, tidak banyak bedanya. Kamar Zane toh cukup luas. Ada banyak space, kalau Sabrina butuh space. Minusnya hanya ada satu laptop, karena PC Zane ada di perpustakaan. Dan hanya ada dumbble kalau mau olahraga.
Cuci piring bisa pakai wastafel.
Ah, shit. Juned nggak serius mengurung dirinya lama-lama, kan? Di kamarnya jelas nggak ada mesin cuci. Dia mungkin bisa saja menumpuk cucian kotor selama dua minggu. Tapi Sabrina pasti akan melemparkannya keluar lewat balkon.
Sialan si Juned!
Zane berdehem. "Habisin pastanya dulu, Sab. Jangan bikin sampah basah di kamar."
Sabrina menoleh. Mendesah panjang. Sekali lagi nampak ingin menangis. Matanya sudah merah dan berkaca-kaca.
Duh, itu cewek memang paling bisa pasang tampang sok imut!
Zane segera mengalihkan pandangan biar tidak terbawa suasana. Pilih menyalakan TV. Dan dengan berat hati, Sabrina ikut beringsut ke sebelahnya, mulai makan lagi.
"Ck. Nggak enak masakan Juned!"
Zane diam saja mendengar keluhan itu.
Sabrina kalau kurang kerjaan memang suka ngomel dan suka ngeluh. Zane sudah terbiasa.
Hingga sepuluh menit kemudian, keduanya makan dengan tenang. Pasta Zane habis duluan. Lalu dia beranjak ke kulkas untuk mengambil minuman. Puji Tuhan, Juned telah mengisi penuh kulkasnya.
Bahkan kompor listrik dan coffee maker sudah ditata rapi juga. Untungnya Jun tahu dia tidak bisa hidup tanpa minum kopi. Dicari-carinya toples kopi di drawer tempat Jun meletakkan bahan-bahan makanan. Ketemu. Dia lalu menoleh untuk menawari Sabrina, tapi tenyata perempuan itu sudah berdiri di sebelahnya.
"Pinjem HP!" pintanya sambil menodongkan telapak tangan. Nadanya tidak ada sopan-sopannya. Seolah-olah memang sudah menjadi kewajiban bagi Zane untuk meminjamkannya.
"Buat?" tanya Zane sabar.
"Mau gue bikin dia budek."
Zane mesem, menunjuk ponselnya di meja dengan dagu.
"Ada passcodenya." Sabrina cemberut.
Zane memberi tahu kodenya.
"Kontak gue lo kasih nama apa?" tanya perempuan itu lagi, masih tidak tahu diri.
"Nggak gue save, cari aja nama lo di grup."
Ini Zane tidak sedang mencari gara-gara. Sabrina baru mengganti nomor beberapa minggu lalu, dan Zane lupa menyimpannya hingga sekarang.
Sabrina menelepon, sambil berjalan mendekati pintu agar bisa mendengar lebih jelas.
Kebetulan ponselnya memang tidak di silent. Dan kalau tidak salah, tadi ia tinggalkan di dapur.
Biarlah Juned budek mendengarkan lagu Machine Gun Kelly keras-keras.
Dan tak lama kemudian, dari luar sana memang terdengar dering ponselnya.
Tapi Jun mengabaikannya.
Zane yang baru selesai memasukkan biji kopi ke coffee maker, berjalan menghampiri Sabrina yang jadi mondar-mandir di dekat pintu.
"Sini gue teleponin. Lo ganti baju sana. Ntar masuk angin, gue yang repot."
Sabrina mendengus, menyerahkan ponsel Zane ke pemiliknya setelah menimbang-nimbang sesaat, kemudian berjalan malas ke kopernya untuk mencari baju ganti.
Meski hanya beberapa, setidaknya Jun masih cukup waras untuk mengepak pakaian dalamnya.
"Lo nggak punya hair dryer?" tanyanya pada Zane yang sudah kembali duduk di sofa depan TV.
"Enggak. Lo diemin bentar juga kering, kali."
Sabrina mencebikkan bibir seperti anak kecil, meninggalkan koper yang sebagian isinya jadi berantakan di lantai, kemudian masuk ke kamar mandi.
Zane menghela napas.
Kayaknya ini si Juned lagi ngerjain dia, bukan ngerjain Sabrina.
Hidup bersama Sabrina nyatanya sangat jauh dari yang dia bayangkan, meski baru beberapa puluh menit.
Dia letakkan ponselnya di meja, lalu mulai membereskan piring kotor bekas makan, yang sepertinya sengaja Sabrina tinggalkan begitu saja.
Meski tidak pernah bersih-bersih rumah sendiri, setidaknya Zane terbiasa mencuci piring saat kuliah dulu, karena tidak suka bau piring kotor. Jadi minimal dia tidak sepayah Akmal, yang kalau disuruh mencuci lebih banyak yang pecah daripada yang bersih.
Sabrina keluar setelah kopi Zane jadi dan dia kembali duduk di balkon sambil merokok.
Rambut Sabrina sudah setengah kering, tapi tidak disisir.
Kaos oblong dan celana longgar membungkus tubuhnya. Meski tidak sedap dipandang, setidaknya lebih baik dibanding bathrobe yang dikenakannya tadi, yang tidak menutup sempurna bagian atas dan bawah.
"Pinjem laptop!" Perempuan itu masih saja tidak bisa menggunakan bahasa yang baik untuk meminjam. Zane pilih maklum saja daripada ribut.
"Di nakas," sahutnya, kalem.
Sabrina langsung masuk lagi tanpa berterima kasih, kemudian membawa laptopnya ke kamar mandi. Mungkin menurutnya, itulah space paling aman jika tidak ingin Zane mencuri dengar pembicaraannya dengan entah siapa.
Selesai menghabiskan kopinya, Zane pilih tidur siang. Semalam dia memang tidak banyak tidur.
Biasanya dia akan terbangun beberapa jam lagi, setelah kafeinnya bereaksi.
~
Benar saja, beberapa jam kemudian Zane terbangun karena mendengar gedoran di pintu.
Sabrina lagi.
For God's sake! Itu cewek kalau lagi kumat nyebelinnya, cantiknya langsung luntur semua.
"Lo nggak capek, seharian gedor-gedor pintu?" tanyanya dengan nada frustasi, melirik sekilas jam di nakas. Sudah hampir jam empat sore. Tapi karena belum cukup tidurnya, Zane jadi agak merasa pusing. Dan pandangannya juga jadi buram.
"Ck. Ini namanya usaha." Sabrina masih saja cuek bebek dan lanjut teriak-teriak memanggil Juned, sama sekali tidak merasa bersalah karena telah membangunkan orang.
"Itu sih namanya lo lagi bikin Juned kesenengan, karena berhasil bikin lo kesel."
Sabrina lalu balik badan menghadapnya.
Sumpah ini cewek kalau lagi marah-marah jelek banget mukanya. Kayak mak lampir.
Zane menghela napas. "Kalau nggak bisa produktif, mending lo tidur, deh. Gue nggak bawa lo sama Juned ke sini buat main-main."
Zane menguap. Ingin tidur lagi.
Sabrina menyeringai licik.
"Ini kan day off. Hak gue dong, kalau mau nggak produktif!"
Perempuan itu berjalan menghampiri ranjangnya.
Zane siaga.
"Setelah dipikir-pikir, bagus, lah, gue dikunci di sini. Biar Juned bersih-bersih rumah sendiri. Biar Juned yang ngasih makan Milo. Gue kan masih tetep bisa kerja dari sini pakai laptop lo." Sabrina akhirnya berujar santai. Tapi jadi Zane-lah yang tidak bisa santai melihat wajah penuh muslihat itu. Apalagi ketika dilihatnya Sabrina itu mulai memanjat naik ke ranjangnya, beringsut mendekat.
"Ngapain lo ke kasur gue?" tanyanya, berusaha terdengar santai.
"Ngapain ya, enaknya?" Sabrina balik nanya, menarik lepas kaos oblong kebesarannya, menyisakan kaos tanpa lengan.
Tengkuk Zane tiba-tiba meremang.
"Si Juned request ponakan baru, tuh. Kita bikinin nggak, nih?"
Sabrina tersenyum, membuat Zane makin ngeri. Dan sekali lagi, sebelum dia sempat berpikir untuk menghindar, perempuan itu sudah memeluknya duluan.
Dan kali ini bahkan bukan hanya memeluk, Sabrina juga melingkarkan kakinya ke pinggang Zane erat-erat. Total nightmare!
... to be continued
Setelah chapter ini, ada sedikit tambahan [additional chapter] di Karyakarsa. Gratis. Linknya ada di sebelah: ➡️