Aku dan Sang Pemusnah Masal

By aileum

109K 20.6K 2.7K

Revel merencanakan kematiannya tiga minggu dari sekarang. Ada lima hal yang ingin dia lakukan sebelum mati. 1... More

Surat Wasiat
Sang Pemusnah Massal
Tupai Boncel
Pulang!
Keinginan
Daftar
Penolakan
Sayang Anak
Nomor Tiga
Cucu Kesayangan Oma
Kopi Darat
Acara UKM
Kelima
Adik Ketemu Gede
Setan Kecil
Horor
Ancaman
Kereta Jogja
Setan Kecil yang Hampir Menangis
Bukan Ini yang Kami Inginkan
Lari
Lebih Mudah
Jatuh
Terperosok
Tidak Sadar (1/2)
Tidak Sadar (2/2)
Tetap Hidup
Terserah
Kita Berdua
Hari Baik (1/2)
Hari Baik (2/2)
Sebelum Kamu Pergi
Setelah Kamu Pergi
Sudah Saatnya

Awal yang Sepele

2.3K 474 55
By aileum

▪️9 Hari Lagi

"Kamu yang bilang akan bayar tiket saya. Jangan pura-pura lupa, ya."

Yeriana mengusap pelipis dengan gusar. Suara Revel di sambungan telepon bak peluru  yang membuatnya semakin kelimpungan menghadapi hari baru.

Beberapa menit lalu, ia baru saja sampai di depan gerbang sekolah. Tahu-tahu ponselnya berdering dan nama Revel muncul di layar. Begitu diangkat, cowok kerempeng itu tiba-tiba menagih tiket pulang. Katanya ia akan check out siang ini dan tidak punya uang untuk menambah hari. Dengan kata lain, kalau tidak pulang hari ini, ia bakalan menggembel di Kota Pelajar.

"Lo datenginlah Dahlia. Minta duit sama dia," jawab Yeriana.

"Jangan paksa saya mengancam, Yeriana." Suara Revel terdengar geram. "Cepat belikan saya tiket pulang!"

"Kalau gue nggak mau?"

"Video waktu itu akan saya sebar ke teman-teman kamu."

Meski mulai gentar, Yeriana masih berusaha menunjukkan keteguhan. "Lakukanlah."

"Oke."

Revel kemudian menyebutkan nama sekolah Yeriana. Seketika sekujur badan gadis itu menggigil. Kenapa Revel tahu sekolahnya? Jangan-jangan dia memang berniat mencoreng namanya. Menurut cerita Wendy, Revel ini sulit diterka. Siapapun tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, apa yang akan ia lakukan. Lelaki itu seperti buku. Tidak bisa dibaca tanpa dibuka.

Ah, sial! Rutuk Yeriana sambil menggerak-gerakkan kaki. Bagaimana kalau dia memang nekat? Dia akan menyebarkan video itu!

Yeriana masih berpikir, berusaha mencari celah. Tetapi naas. Kehadiran salah satu Trio Lampir membuatnya terdistrak. Tiba-tiba saja ia merasa buntu. Ketakutan. Panik. Terdesak.

"Rev ... "

Panggilan berakhir tepat ketika Sania tersenyum ke arahnya. Dada Yeriana berguncang hebat. Bulu romanya berdiri. Ia semakin kelabakan ketika Sania sampai di sampingnya. Tepat pada saat itu Revel memberi screenshot pemesanan ojek daring. Dari motel ke sekolah Yeriana. Oh, sial! Dia serius.

"Pagi, Nyet." Sania langsung merangkul leher Yeriana. Gaetannya yang kasar nyaris membuat Yeriana tersungkur. "Sudah belajar, kan?"

Yeriana diam membisu. Kakinya mengikuti langkah Sania. Perempuan itu disapa beberapa orang. Well, siapa yang tidak kenal Sania. Dia termasuk siswi hits di sekolah. Ayahnya donatur tetap, pacarnya kapten basket, dan ia sering membanggakan sekolah lewat ekskulnya——cheerleader. Belum lagi lidahnya bagus dalam berucap. Di depan semua orang, sikapnya sopan dan tutur katanya manis.

"Kalau gue ngomong itu dijawab, Monyet." Sania memberi kekuatan lebih pada rangkulannya. Yeriana merasa dicapit.

"Ss... Ss... sudah."

"Good job." Sania mengusap-usap kepala Yeriana. Agak kasar sehingga justru mengacak-acak rambut gadis itu. "Hari ini strategi duduknya tergantung tipe soal Bu Sukma. Lo tinggal menyesuaikan. Ngerti?"

Yeriana memalingkan muka namun lagi-lagi Sania memberinya tekanan. Terpaksa iapun mengangguk.

*
*
*

"Kerjakan dan jangan protes," ujar seorang guru sambil berdiri di depan kelas.

Wanita ini tahu, puluhan muridnya sedang misuh-misuh ketika menerima kertas yang dibagikannya. Mereka kesal lantaran pertemuan pertama langsung diberi ulangan. KM sempat menyampaikan keberatan para murid. Alih-alih memberi kompensasi, guru ini tetap teguh di keputusannya.

"Ibu satu-satunya yang nggak kasih tugas liburan. Tapi bukan berarti kalian nggak pay attention. Lagipula Ibu sudah katakan tentang ulangan ini sebelum libur, kan?"

Hening tidak ada jawaban. Pasal pertama, guru selalu benar. Pasal kedua, cuma ada satu pasal. Jadi kalau sang guru bilang anu maka semua murid harus anu juga.

Termasuk Yeriana. Ia tidak mau menambah masalah dengan Bu Sukma. Hidupnya di sekolah sudah  terlalu memusingkan. Jangan sampai menambah rumit hanya karena masalah ulangan.

Yeriana membaca selembar kertas di hadapannya. Ada tiga soal uraian. Masing-masing beranak tiga. Soal yang ditanyakan tidak jauh berbeda dengan pelajaran terakhir sebelum liburan. Oke, mungkin ini tidak terlalu buruk.

Yeriana menuliskan nama, nomor absen, dan kelas. Tepat pada saat itu Bu Suk mulai berkeliling. Sepatu hak tingginya berderap di seluruh ruangan. Selain goresan tinta, tubuh Bu Suk-lah yang berdinamika di ruangan. Ia sama sekali tidak memberi celah untuk muridnya berbuat curang.

Sepuluh menit berkeliling, Bu Suk akhirnya duduk. Meski demikian, intaiannya tidak lepas. Seperti mercusuar, kepalanya terus menyoroti para siswa.

Sebelum masuk, Bu Suk sudah memberi intruksi tentang ulangan lewat KM. Katanya ada dua tipe soal. Antara satu anak dengan teman sebangkunya tidak akan sama. Sania sudah hapal dengan pola begini. Soal dibuat zigzag. Dengan teman sebangku memang tidak sama, tapi dengan teman di belakang arah lawan, pasti sama. Maka dibuatlah posisi yang mana Yeriana duduk di kiri dan sebelahan dengan Sharon, sementara Sania di belakang Yeriana.

Yeriana merasakan bangkunya ditendang-tendang dari belakang. Ia hapal apa arti sinyal ini. Minta jawaban, apa lagi? Ah, sial! Umpat Yeriana dalam hati. Tidak bisakah kehidupan sekolahnya normal sedikit?

Kekesalan Yeriana terealisasikan oleh jarinya yang mencengkeram pulpen era-erat. Ia memang kesal atas penindasan ini. Tapi ia lebih kesal karena tidak mampu berkutik apalagi melawan.

Lagi, bangkunya ditendang oleh satu dari Trio Lampir. Ia menggeser kertas jawaban. Menabah-nabahkan hati akan rasa muak yang semakin membumbung.

"Geser lebih dekat, Nyet," bisik Sania. Kali ini bukan saja tendangan bangku. Ada juga cubitan yang terasa di pinggang. Sharon pelakunya.

"Yang di sana!" sahutan Bu Suk membuat seluruh mata mengarah pada Yeriana.

Tatapan-tatapan itu ... Tuduhan-tuduhan itu ... Penilaian-penilaian itu ...

Bu Suk berdiri. Matanya memelotot. Darah Yeriana berdesir hebat. Dadanya sesak dipenuhi ketakutan. Kakinya gemetar. Ia mulai kesulitan bersikap, bahkan hanya untuk menelan ludah.

"Ada apa di sana?" tanya Bu Suk dengan suara keras.

"Yeriana minta contekan, Bu," kata Sania lantang.

"Betul, Bu."

Yeriana terpaku. Sharon, alias yang duduk di sebelahnya berkata demikian, lalu dikonfirmasi oleh beberapa siswa yang entah dijanjikan apa hingga bersaksi palsu. Bu Suk melangkah ke meja Yeriana. Amarah tampak membiaskan wajahnya yang mengkerut penuh emosi.

Bu Suk menautkan alis. Ia meraih kertas ulangan Yeriana kemudian menggulung dan memasukannya ke saku blazer tanpa konfirmasi. Bu Suk memang tidak meledak-ledak dalam perkataan, tapi sikapnya mampu menyihir suasana. Beberapa mata masih berani merekam kejadian, tapi sebagian tidak sanggup merasakan kemarahan Bu Suk.

Yeriana digelandang keluar kelas oleh Bu Suk. Wanita itu memerintahkan agar murid lain tetap menjalin suasana kondusif sementara dirinya memberi 'sesuatu' pada Yeriana.

Sesampainya di meja guru, Bu Suk langsung memberi ultimatum. "Panggil orantuamu, atau saya pastikan nilai kamu di bawah batas sampai kelas tiga nanti."

Yeriana menunduk. Matanya perih menahan segebung derita. Ingin rasanya ia menangis saat ini juga. Tapi karena ia tahu Bu Suk justru lebih kejam terhadap air mata, maka ditahannya saja kepiluan itu.

"Sekarang sambil menunggu, kamu rangkum bab yang diulangankan. Cari referensi di perpustakaan. Akan saya tanya kamu secara detail untuk memastikan kamu mengerjakan dengan benar."

Bu Suk beringsut lalu menghilangkan batang hidung. Saat itu juga pipi Yeriana dialiri cairan asin. Dalam keadaan menunduk, ia membiarkan lukanya tersalurkan lewat air mata.

Sampai kapan begini terus? Bisiknya sambil terus menunduk dalam.

Yeriana memang tidak tahu kapan semua ini berakhir. Menurut keyakinannya, 'neraka' ini tidak akan pernah berhenti. Baginya, sekolah bukan untuk menambah ilmu. Ini adalah suatu tempat kejam yang akan selalu membuat Yeriana kalah. Tidak dipercaya. Lemah.

*
*
*

Saat itu hari Kamis. Kelas tiga SMP. Di jam kosong pelajaran matematika.

Di paling ujung, hampir semua cowok kelas terbahak-bahak. Suara tawa mereka cukup menganggu. Sebab selain berat khas masa puber lelaki, mereka juga bergerombol. Maka terciptalah sebuah pencemaran suara.

"Yudo, berisik!" tegur salah satu teman Yeriana. Gerombolan itu memang dikepalai Yudo. Si tukang rusuh di kelas.

Bukannya reda, keributan mereka malah semakin menjadi. Kali ini kaum hawa ikut serta. Usut punya usut, yang ditertawakan Yudo CS nyatanya disebar di grup.

Kepo, Yeriana memeriksa isi obrolan kelas itu. Awalnya tidak ada yang spesial. Hanya sebuah foto berisi tulisan-tulisan candaan tentang penghuni kelas.

Kaki terpanjang = Joni

Segala bengkak = Keila

Pinggang terkecil = Lisa

Bibir paling merah = Yuna

Dan seterusnya. Dan sebagainya.
Belum ada yang janggal sampai beberapa menit Yeriana membaca. Namun, begitu namanya juga tercantum, di situlah perasaan tidak nyaman muncul.

Paling bohay = Yeriana

Meski tidak nyaman dengan guyonan ini, Yeriana berusaha berpikir baik. Ini hanya candaan, oke? Yang lain juga sama. Dapat julukan aneh. Ingat, ini guyonan semata. Tidak serius. Cuma untuk seru-seruan.

Hari berganti. Beberapa julukan itu perlahan dilupakan. Namun, tidak sedikit yang terpatok permanen. Dan Yeriana, masuk golongan kedua. Teman-temannya mulai mengganti panggilannya dengan si Bohay. Satu dua kali Yeriana masih biasa saja. Lagi-lagi ia meyakinkan diri kalau ini cuma bercanda.

Tapi entahlah, lama-lama candaan itu menjadi tidak lucu sama sekali. Malah justru terasa menjijikan. Terlebih ketika beberapa mata mulai memandang tubuhnya dengan pancaran kurang ajar.

"Teman-teman, seperti kita ketahui Pak Kadir nggak mau ngajar gara-gara kejadian minggu lalu." Suatu hari, KM mengumumkan berita ini. Tentang guru bahasa inggris yang marah lantaran setengah murid telat masuk. Alasannya cukup logis. Mapel sebelumnya adalah pelajaran olahraga. Para murid tidak sempat istirahat karena rentetan tes yang lama. Merasa perlu merehatkan diri, mereka memakai lima belas menit pelajaran bahasa Inggris. Alih-alih mengerti, Pak Kadi r justru marah. Tidak mau mengajar.

"Saya sudah coba bujuk, tapi nggak mempan," lelaki itu menambahkan.

"Ah, norak memang si Kadir. Perlu Yeriana terus yang ngerayu," sahut Yudo diikuti tawa gengnya.

"Yer, coba kamu yang datang. Pasti Pak Kadir mau. Kamu kan anak emasnya."

"Iya, Yer. Ayo, dong. Kasih pemandangan ke dia bentar. Demi kebaikan bersama. Bentar lagi kita ujian, loh."

Pemandangan? Sial, apa maksudnya? Yeriana merasa darahnya menggelegak. Dengan marah ia memekik, "Apa, sih? Nggak lucu!"

"Kok, sewot?"

"Yeriana jangan ngambek gitu, dong. Nanti bohaynya hilang."

Teman-temannya tertawa, sementara Yeriana mendidih menahan marah. Tidak tahan lagi, iapun keluar kelas. Mencoba menenangkan diri.

Apa standar candaan mereka tidak terjangkau olehku? Atau aku yang baperan? Apakah memang seharusnya begitu dalam pertemanan? Yeriana bertanya-tanya sambil memandangi langit-langit UKS.

"Mereka memang kelewatan."

Ucapan itu membuat Yeriana mendongak. Buru-buru ia mengganti posisi. Dari rebahan menjadi duduk tegak.

"Sabar, ya."

Yeriana cuma mengangguk. Kemarin-kemarin, Jimmy ikut menjulukinya si Bohay. Ia juga terbahak-bahak tadi. Mungkin sekarang ia sadar candaan tersebut tidak berbobot. Ah, Jimmy memang baik.

"Kamu nggak suka, ya, dipanggil si Bohay?" tanya Jimmy seraya duduk di kursi. Menghadap Yeriana.

"Nggak."

"Bohay, kan, bagus. Memang apa yang salah dari itu?"

Yeriana menyilangkan tangan di dada.
"Menurutmu, candaan begitu lucu?"

"Daripada lucu, lebih ke kagum, sih."

Alis Yeriana terangkat sedikit. Jimmy ini aneh atau kelilipan? Apa yang bagus dengan badan seperti ini? Yeriana mengingat-ingat bentuk tubuhnya sekarang.

Ia menyadari bahwa perubahan tubuhnya mulai terasa. Beberapa bagian nampak membesar, membentuk sedemikian rupa lekukan-lekukan. Bagian dada dan pinggang yang paling mencolok. Tapi apakah itu salah Yeriana? Dia rasa bukan. Sebab bagaimanapun, hal itu biasa bagi remaja. Tapi beda ceritanya kalau orang mulai berkomentar, apalagi menjadikan hal ini sebagai lelucon.

"Mulai sekarang, aku nggak akan ikut-ikutan manggil kamu bohay."

Yeriana diam. Tidak terlalu percaya ucapan Jimmy. Yah, setidaknya pada saat itu. Setelah waktu merangkak, ternyata, cowok yang bergabung dalam ekskul basket itu membuktikan ucapannya. Ia memanggil namanya dengan benar. Tidak ikut tertawa saat lelucon 'bohay' itu dilemparkan. Bahkan, sesekali menegur orang-orang yang masih mencandai Yeriana.

Sekali lagi, Jimmy memang baik. Kekaguman Yeriana terhadapnya semakin naik. Sudah jago olahraga, ganteng, baik pula. Jadi, wajar kan kalau ia tertarik pada Jimmy.

Yah, setidaknya sebelum kedok busuknya terbongkar

*
*
*

Seandainya waktu bisa diputar, Yeriana ingin sekali meralat pikirannya. Jimmy memang baik. Tapi dia juga berengsek. Sangat berengsek malah.

Satu bulan setelah perbincangan di UKS itu, Jimmy melancarkan pendekatan luar biasa. Cowok itu menawarkan pulang-pergi bersama, chat setiap malam, selalu nimbrung saat tugas kelompong, bahkan di akhir pekan sering mengajak nonton. Hingga singkat cerita, Yeriana merasa tersanjung ketika Jimmy menyatakan perasaannya, juga memintanya menjadi pacar.

Jimmy benar-benar membuktikan bahwa dirinya boyfriend material. Pacar impian. Kekasih yang diidamkan semua cewek. Selain tidak sungkan mengakui bahwa Yeriana adalah pacarnya, ia pun selalu punya cara agar romansa mereka menarik. Mereka pernah kencan di candi, bersepeda ria mengelilingi kota, dan movie marathon seharian penuh di kamar Jimmy.

Kejanggalan mulai terasa ketika usia hubungan mereka menginjak bulan ketiga. Jimmy sering sekali mencari kesempatan dalam kesempitan untuk 'merekatkan' diri. Awalnya hanya sebatas pegangan tangan, tapi lama-lama mulai lebih. Sentuh paha, peluk pinggang, bahkan minta ciuman.

"Sorry, Jim, nggak bisa." Yeriana menggeleng kuat ketika lelaki itu nyaris menempelkan bibir. Tadinya ia pun nyaris terbuai. Tapi untunglah kesadaran masih menjejak di benak.

"Apanya yang nggak bisa? Kamu nggak sayang lagi sama aku?"

"Nggak ada korelasinya sayang sama ciuman, Jimmy!"

"Teman-temanku semuanya sudah ciuman. Yudo bahkan pernah ML sama mantannya." Jimmy bersungut-sungut. Napasnya terdengar geram. "Kalau kamu nggak kasih, terus apa gunanya kita pacaran?"

Yeriana tidak habis pikir pacarnya bisa berbicara sebusuk itu. Lantas tanpa memikirkan apa-apa lagi, iapun menggugat putus hari itu juga. Saat itu Yeriana tidak menyadari sesuatu yang buruk akan menimpanya. Begitu hari berganti, boom! dari sanalah neraka sekolah melambaikan tangan. Menggusur Yeriana pada hal mengerikan di masa SMP.

Ia tidak mengerti. Sungguh tidak mengerti. Hari itu, hampir semua teman sekelasnya terkikik setelah menatap ponsel. Seperti ada sesuatu yang disebarkan massal. Dan hanya Yeriana yang tidak tahu.

Beberapa pandangan pun semakin terasa janggal. Tidak jarang ia menyadari tengah dikuliti dari ujung ke ujung. Dinilai dengan tatapan mengerikan. Dibicarakan. Dicemooh. Digosipkan.

"Parah banget Jimmy. Parah!"

"Nggak nyangka seberani itu."

"Tapi ada bagusnya juga, sih. Mata kita jadi terbuka."

Entah memang insting, Yeriana merasa sesuatu yang mereka tertawakan mengarah kepadanya. Tatapan-tatapan itu. Senyum mengejek itu. Semuanya membuat dada Yeriana berdebar tidak karuan. Rasanya seperti ada todongan tidak kasat mata yang membuat Yeriana cemas. Atau, lebih jauh lagi, ia seperti pajangan yang terhalang kotak kaca. Yang mana di balik kotak kaca itu, semua mata menelanjanginya.

Ia tidak punya nyali untuk bertanya pada teman sekelasnya. Termasuk orang sebangku. Selain merasa diajuhi, ia pun mulai menerima 'serangan' dari para anonim.

Di meja, di toilet, bahkan di buku catatannya, tertulis kata-kata menjijikan.

Yeriana murahan.

Yeriana tukang umbar sempak.

Yeriana malu-maluin sekolah.

Yeriana penggoda.

Yeriana mahkluk tuhan yang paling geboy.

Dan seterusnya.

Membaca tulisan-tulisan itu membuat Yeriana susah menelan ludah. Keringat mulai menyembul di dahi. Dadanya semakin berdebar. Pelipis pun mulai berdenyut.

Ia sempat mengadukan masalah ini pada wali kelas tapi saat itu jawabannya malah, "Ini pasti cuma bercanda, Yeriana. Lagipula kita nggak punya bukti siapa yang nulis ini."

"Tapi, Bu, saya ngerasa nggak nyaman. Apa saya pantas menerima ini?"

"Kamu jangan terlalu berlebihan." Kata-kata itu menohok jantung Yeriana. "Di sekolah kita bukan cuma kamu yang bernama Yeriana. Sudah-sudah, Ibu masih punya banyak urusan."

Yeriana keluar ruangan wali kelas dengan langkah gontai. Ia memandang lantai dengan hampa. Ia juga mulai mencerna kata-kata sang wali kelas.

Bercandaan.

...

Nama Yeriana bukan cuma dia.

...

Tidak ada bukti.

...

Yeriana merasa kerongkongannya sakit. Ia juga bertanya-tanya apakah memang dirinya yang terlalu berlebihan? Nanti kalau tanya pada guru lainpun pasti jawabannya sama.

Ya Tuhan.

Yeriana menangis sendirian hari itu. Di dalam toilet. Sesenggukan namun berusaha ditutupi oleh bunyi kucuran keran. Dadanya terasa sesak. Seperti ada batu yang menghimpit kuat-kuat.

"Lagian Jimmy kuat juga, ya, bertahan sampai empat bulan. Kalau cowok lain sudah pasti kegoda sejak seminggu."

Saat Yeriana sibuk menangis, obrolan di balik sekat membuatnya membatu. Nama Jimmy disebut-sebut. Perasaannya mencium sesuatu yang tidak enak.

"Eh, tapi, yang dibilang Jimmy itu beneran atau nggak, sih?"

"Menurut gue sih bener. Buktinya, foto-foto yang disebar di grup emang Yeriana. Yang paling bikin jijik sih yang celana dalamnya sampai kelihatan. Hahahaha."

"Jimmy sempat nidurin nggak, ya? Mereka kalau kencan di kamar Jimmy, berduaan doang. Apa masuk akal kalau mereka cuma ngobrol?"

"Dia yang difoto, gue yang malu anjir. Dia dari luar emang kelihatan nakal. Tukang caper. Tiap pelajaran Pak Kadir kelihatan banget, tuh."

"Denger-denger bokapnya tukang kawin. Duh, ketebak banget kan gimana sebenarnya dia."

Yeriana membekap mulut agar tangisnya tidak pecah. Pertama, Jimmy memutarbalikkan cerita. Kedua, ada grup tanpa dirinya. Ketiga, ayahnya dibawa-bawa. Keempat, tidak satupun yang memihak kepadanya.

*
*
*

"Kehadiran kamu yang menggantikan orangtuanya Yeriana bisa saya terima. Tapi untuk surat ini, mohon ditandatangani orangtuanya, ya."

Revel menerima secarik kertas yang diangsurkan Bu Suk.

"Baik, Bu. Akan saya pastikan Mama tahu masalah ini."

"Ya, memang harus dibicarakan. Tapi sebagai Kakak, saudara mungkin bisa melakukan pendekatan terlebih dahulu."

Revel mengangguk takzim.

"Kalau tidak ada lagi yang ingin disampaikan, saya rasa cukup sekian."

Sekali lagi Revel menggerakkan kepala dengan sopan. Ketika wanita berkemeja dinas ini beringsut, Revel ikut bangkit. Ia tidak banyak bicara sampai akhirnya menemui Yeriana yang menunggu di luar.

Yeriana memandang Revel dengan malas, kemudian menjauhi ruang guru. Di belakang, Revel mengikuti.

"Jangan terlalu percaya sama yang si busuk omongin," kata Yeriana setelah menghampiri tempat sepi.

"Tukang nyontek." Revel geleng-geleng kepala. "Parah!"

"Gue dijebak!"

"Iya, percaya."

"Seriusan." Yeriana meninggikan nada suara. Wajahnya cemberut. Kakinya menghentak-hentak.

"Mau kamu dijebak atau apapun, urusan kita selesai di sini." Revel memberikan surat peringatan dari Bu Suk tadi. "Sekarang berikan saya tiket pulang."

"Nggak ada harga diri banget sih minta tiket sama gue?"

"Saya nggak peduli." Revel menadahkan tangan. "Cepat pesankan saya tiket."

Yeriana kembali bersungut-sungut. Dengan malas ia mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi tiket daring. Malas berurusan, ia pun mengangsurkan ponsel agar Revel mengisi sendiri pesanannya.

"Di sini ada kantin, nggak?" tanya Revel sambil mengetikkan stasiun tujuan.

"Mau minta makan juga? Emang nggak tahu diri lo, ya."

"Orang yang paling bertanggungjawab selama saya di sini adalah kamu, Yeriana."

"Minta sama Emak lo."

Revel pura-pura tuli. Ia sedang sibuk mengisi data pesanan. "Ayo, bawa saya  ke tempat makan."

Yeriana ingat dirinya pun belum sarapan. Jam segini, kantin pasti sepi. Tidak ada pandangan mengerikan. Tidak ada Trio Lampir. Guru-guru pun jarang ada yang patroli di kantin. Atas pemikiran itu, Yeriana akhirnya mengajak Revel ke kantin. Dengan mengendap-endap sambil memastikan tidak ada yang melihatnya ——terutama guru—— ia memilih spot paling ujung.

"Heh," kata Yeriana setelah ia memesan dua ketoprak dan dua teh manis. "Kuliah itu bahagia nggak, sih?"

Revel tidak menjawa. Ia sedang menyamakan nomor KTP dengan ketikannya beberapa menit lalu. Merasa tidak dianggap, Yeriana lantas mencubitnya sampai ia mengaduh.

"Apa?" tanya Revel sambil mengusap-usap lengannya yang memerah. Setelah Yeriana mengulangi pertanyaan, iapun membalas, "Kuliah itu ibarat naik sepeda. Tapi sepedanya terbuat dari api. Lintasannya dari api. Tanjakan, turunan, pokoknya semua dari api. Karena sejatinya kamu sedang berada dalam neraka. Bercanda haha."

Yeriana mendelik. Wendy pernah bilang kalau Revel punya selera humor yang jelek. Well, terkonfirmasi.

"Isi pembayarannya, nih." Revel memberikan ponsel Yeriana pada si empunya. "Kenapa tanya soal kuliah? Sudah pengin kuliah?"

Sambil melangsungkan pembayaran lewat aplikasi, Yeriana menjawab, "Nggak tahu. Nggak ada bayangan ke depannya."

Setelah pembayaran sukses, Yeriana menunjukkannya ke hadapan Revel. Cowok itu mengambil kembali ponsel Yeriana. Ia tidak ingin kecolongan sama sekali. Selama kode tiketnya belum diterima, ia tidak akan mengembalikan ponsel Yeriana.

"Mampus. Mampus. Mampus."

Tiba-tiba Yeriana berbisik demikian. Ia juga sembunyi di bawah meja. Revel mengikuti arah pandang gadis itu. Wah, rupanya ada guru yang sedang berpatroli di sekitar kantin.

"Ap ... "

Ucapan Revel terpotong. Yeriana sudah keburu ngacir.

-bersambung

29 April 2020

Continue Reading

You'll Also Like

9K 873 12
Gulf seorang mahasiswa introvert semester akhir yang hidupnya bergantung pada kakaknya, sedangkan Mew seorang dosen yang di anggap killer oleh para m...
11.6K 1.8K 46
⭐ Follow sebelum membaca ⭐ Reswara Hita, si bocah jail yang punya seribu cara menarik perhatian, selalu mengisi tempat spesial di hati abangnya, Dewa...
1.2K 274 26
Naskah Terbaik 🥇 Genre Romance Event 'Tantangan Menulis Rasi Batch 2' bersama @semestarasi *** Berawal dari ketidaksengajaan Alaric Damian meminum...
221K 42.9K 24
TELAH HILANG SATU UNIT KAMERA DSLR Berawal dari hilangnya spaghetti bolognese dikulkas hingga kamera DSLR di sebuah rumah kontrakkan, seluruh penghun...