63 | ikut, jangan?
BARU juga terlelap, pesawat mereka sudah landing, dan ternyata Sydney sudah pukul sepuluh lewat, dengan sinar matahari tidak terlalu terik.
Cuma beda tiga jam, tapi Sabrina merasa sangat kelelahan dan kurang tidur.
Makanya meski hari ini sebenarnya mereka bebas, karena baru mulai bekerja besok pagi, Sabrina tidak ingin jalan-jalan ke mana-mana. Bersenang-senangnya dipending sampai wedding selesai saja, itu pun kalau suasana hatinya mendukung.
"Lo mewek, Sab?" Karen yang duduk di sebelah Sabrina di dalam taksi tiba-tiba menoleh.
Akmal yang duduk di sebelah supir juga langsung mengalihkan perhatian dari ponsel di tangannya, ganti memandang Sabrina dengan perhatian penuh.
Sabrina mendengus. "Kagak, lah. Meler idung gue. Abis dari JKT panas, di sini adem."
"Ck. Elo sih, Mal, ngeceng-cengin Sab mulu. Nangis beneran kan dia." Karen menyalahkan Akmal, mengabaikan Sabrina yang sudah mengklarifikasi bahwa dirinya tidak menangis. Dan memang dari awal Karen sengaja mengolok-oloknya
Akmal melotot. "Kan elo juga, bukan gue doang."
Sabrina malas menanggapi.
Teman-temannya memang jahanam semua. Mau dia ketiban sial seperti apapun, mereka bakal menertawainya sampai puas dulu, baru kalau kelebihan energi, mengulurkan tangan untuk menolongnya.
"Cup, cup, cup." Akmal jadi sok baik, mengulurkan tangan ke belakang, menepuk pelan bahu Sabrina. "Cewek macem lo gini nggak cocok ngegalau, Sab. Get a life!"
Sabrina melengos. "Lo ngomong gitu kayak gue ini nggak satu spesies sama cewek-cewek lain aja!"
"Emang." Akmal menyahut super pelan, lalu ngakak tanpa suara karena sungkan pada supir taksi di sebelahnya.
Hidung Sabrina kembang kempis menahan kesal, sedangkan Karen cuma mesam-mesem.
"Udah, sih, kalo lo segitu bucinnya ama Zane, sosor aja lagi, kayak biasanya. Berlagak bego. Anggep Rachel nggak ada. Ajakin si Bos check in kamar lain. Puas-puasin dah tuh, ampe doi lemas di pelukan lo, ampe doi ingetnya nama lo doang."
"Emang gue kelihatan sejablay itu apa?" Sabrina jadi merasa jijik sendiri.
Karen manggut-manggut. "Seratus persen. Jablay. Kualitas ori. Bukan KW-KW."
"Yoiii." Akhirnya tawa Akmal pecah juga, membuat supir taksi mereka jadi mesam-mesem sambil geleng-geleng kepala meski tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
"Au ah, kalian emang kampret semua!"
Sambil menyandarkan kepala ke sandaran jok, mengeluarkan ponsel untuk mengirim pesan ke Juned, satu-satunya tempat berlari yang tersisa saat ini.
Sabrina Tanjung
Beb, laper.
Sabrina Tanjung
Booking-in tempat
makan, dong.
Sabrina Tanjung
Gue traktir.
Dan untungnya, di manapun dia berada, Juned tetap fast response.
Junaedi
Yang mahal apa
yang murah?
Sabrina Tanjung
Yang enak.
Junaedi
Berapa orang?
Sabrina Tanjung
Empat.
Junaedi
Bos ama mak lampir
kagak ngikut?
Junaedi
Ok aja deh.
Tak lama kemudian, di grup chat mereka berempat, Junaedi mengirimkan lokasi resto tempat mereka makan siang nanti.
Kontan Karen dan Akmal langsung melotot keheranan membaca pesan masuk itu.
"Lo kesambet, Sab?" tanya Akmal dengan muka cengo.
Karen juga langsung pasang wajah cemas. "Jangan cuma karena di-dzolimi Zane, lo jadi nggak waras, ya. Nraktir orang makan, yang ada lo jadi gembel, ntar."
"Iye, Sab. Jangan frustrasi gitu, dong." Akmal membeo, sok-sokan nggak doyan traktiran, padahal dia dengan kado wisuda mahalnya adalah salah satu penyebab Sabrina jatuh miskin bulan ini.
Sabrina berdecak. "Apaan, sih! Jangan kuatir duit selama di sini," ujarnya sombong. "Kalau perlu, makan kita semua sampe hari terakhir, gue yang tanggung."
"Jangan bilang ...." Karen berusaha menerka-nerka.
"Hmm." Sabrina tidak sabar dan segera mendahului. "Duitnya Bos. Santuy. Dia bilang pakek-pakek aja."
Karen langsung kegirangan. "Seneng deh, punya temen calon Bu Bos gini. Kenapa nggak bilang dari tadi, sih?"
"Kalo gitu sekalian lah, beliin oleh-oleh. Jam tangan gitu, yang murah aja." Akmal nyolot.
"Gue juga. Mau banget dibeliin kacamata." Karen berkedip-kedip genit, membuat Sabrina jadi ingin menelan kembali penawarannya barusan.
~
"Akhirnya ketemu juga!"
Sabrina celingukan di trotoar depan resto tempat mereka makan, tidak jauh dari Abram Hotel Sydney di Hickson Road, kemudian menemukan Zane berada di balik setir sebuah mobil, yang kemudian berhenti tepat di sebelahnya.
Hanya ada beberapa mobil yang lewat di situ, karena memang bukan jalan umum.
Sabrina menghentikan langkah, melipat kedua lengannya di dada.
Sejak di ruang tunggu bandara Soetta semalam, dia dan rombongan memang tidak bertemu Zane lagi, karena Sabrina langsung mengajak kedua temannya kabur. Malas melihat Zane, apalagi Rachel, meski jelas mereka berdua tidak ada hubungan apa-apa, seperti yang Rachel bilang minggu lalu saat memalak uang kopinya.
"Paan?" tanya Sabrina akhirnya, judes.
"Kenapa nggak bisa dihubungin, sih? Gue cariin dari tadi." Zane menjulurkan kepala keluar jendela.
Sabrina mendengus.
Pasti Bosnya itu bisa menemukannya karena mendapat notifikasi pemakaian kartu kredit.
Tapi Sabrina memang tidak berniat kabur sebegitunya. Ketemu mah santai saja. Bukan dia yang bersalah juga.
"Ada apa, Bos? Ini kan day off, staf bebas dong, kalau mau ke mana aja."
Dahi Zane terlihat berkerut sejenak, baru sadar ternyata Sabrina sedang ngambek.
"Pada mau ke mana emang?"
Sabrina sudah bersiap pergi. "Bobo ciang. Jet lag."
"Daripada cuma diem di hotel, ikut gue aja, yuk. Lo bisa tidur dulu di mobil."
"Dih, situ siapa, ngajak-ajak? Temen juga bukan." Sabrina mendengus, membuat Zane jadi ingin tertawa.
Kalau manjanya kumat aja, main peluk-peluk nggak peduli tempat, nggak ingat kalau Zane itu Bosnya. Giliran ngambek, ngungkit-ungkit status.
Zane berusaha tabah.
"Yakin nggak mau ikut? Ya meskipun gue cuma bisa nawarin makan malem sama tempat nginep enak, yang juga bisa lo dapet di sini, sih. Jadi nggak maksa juga. Lagian emang gue lupa bilang ke elo kemarin-kemarin."
Sabrina buang muka.
Tapi Zane tidak juga pergi.
Lalu keluarlah trio Juned-Karen-Akmal dari pintu resto di belakang Sabrina.
Sabrina merutuk dalam hati, yakin bakal dijadikan bulan-bulanan.
"Ada yang butuh belaian tuh, Bos. Dari tadi uring-uringan mulu!" Juned langsung berseru dengan suara riangnya yang ngalah-ngalahin Timothy.
Sabrina memelototinya. "Juned bangsat!
"Nah, kan, malah sekarang gue dibangsatin segala! Sakiiit!"
Juned menoleh ke Karen dan Akmal yang cuma ketawa-ketiwi.
"Gue yang nyomblangin kalian, nggak ada makasih-makasihnya. Beliin HP baru, kek, buat PJ. Nanti gue doain Mila cepet jadi."
Sabrina makin melotot.
Zane ngakak, meski nggak terlalu paham apa maksud omongan si Juned. Dia segera keluar dari mobil, meraih kedua pundak Sabrina dari belakang, kemudian mengarahkannya untuk berjalan masuk ke jok penumpang depan.
"Udah, ikut gue aja, daripada lo makin kesel denger ocehan mereka," bisiknya.
... to be continued