If You Know When [TELAH DITER...

ItsmeIndriya_ द्वारा

1M 120K 15.4K

Trilogi IYKW Series Sekian lama menghilang, akhirnya Vanilla kembali dengan harapan baru untuk akhir kisah pe... अधिक

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
PENGUMUMAN
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
VOTE COVER!!!
Lima Puluh Delapan
Lima Puluh Sembilan
Enam Puluh
Enam Puluh Satu
Enam Puluh Dua
Enam Puluh Tiga
Enam Puluh Empat
Enam Puluh Lima
TERIMA KASIH
PRE-ORDER IYKWHEN
LDR SERIES 1 || OBSESI ELANG
DIARY VANILLA

Dua Puluh Satu

17.4K 2.1K 305
ItsmeIndriya_ द्वारा

Tepat pukul empat sore, Antonio menghentikan laju mobilnya di depan kediaman keluarga Bharmantyo. Tak lama kemudian, Vanessa datang menghampiri dengan dress bermotif floral dengan tas berwarna senada pemberian dari Anton tahun lalu. Vanessa tersenyum kearah tunangannya yang menurunkan kaca mobil, segera ia masuk dan duduk persis di samping Antonio.

Hari ini mereka berencana pergi ke butik untuk fitting baju pengantin yang akan mereka kenakan tiga bulan dari sekarang. Padahal hanya fitting, namun jantung Vanessa berdetak begitu kencang. Berbeda dengan Antonio yang terlihat begitu tenang sembari menyetir dan kepalanya mengangguk mengikuti alunan lagu yang di putarnya.

"Aku gak nyangka kamu beneran mau nikah sama aku," ucap Vanessa membuka percakapan di antara mereka.

Antonio langsung menoleh, "kenapa harus ragu?" tanya nya balik.

"Kamu tau kan, gimana masa laluku. Apa kamu gak malu kalau nantinya punya istri mantan narapidana yang hampir membunuh saudara kembarnya sendiri?"

"Kan sudah aku bilang... Mau gimana pun masa lalu kamu, itu udah jadi masa lalu. People change, dan kamu ngelakuin itu juga karena terpaksa."

Vanessa menundukkan kepalanya, memainkan ujung dress-nya seraya menghela napas. "Apa orang-orang bisa maafin aku? Apa kamu yakin, keluarga besarmu bisa menerima aku?"

Pertanyaan itu selalu terlintas di benak Vanessa. Bagaimana tidak, sebentar lagi ia akan menikah dengan salah satu cucu konglomerat di negri ini, Antonio Gustavo. Vanessa tidak yakin keluarga besar Gustavo bisa menerimanya. Vanessa hanya mengenal keluarga Jason, bukan seluruh keluarga besar Gustavo. Memikirkan hal tersebut membuat Vanessa mual. Bagaimana jika nasibnya setelah menikah nanti akan sama seperti sinetron yang sering di tonton para PRT di rumahnya. Apa mungkin Vanessa sanggup jika hal itu benar-benar terjadi?

Tiba-tiba tangan Anton langsung menggenggam tangan Vanessa, membuat Vanessa sontak menoleh dengan tatapannya yang senduh. "Gak usah pikiran yang aneh-aneh. Keluarga besar ku pasti bisa menerima kamu, sama seperti mereka menerima Vanilla." Antonio berusaha meyakinkan calon istri nya itu.

"Dan orang-orang pasti akan memaafkanmu, terutama Vanilla."

Vanessa mendengus, "sampai sekarang aku gak tau dia dimana. Apa dia baik-baik saja, atau sedang sakit..."

"Jason pergi mencari Vanilla sejak beberapa bulan yang lalu." Mendengar kalimat itu, Vanessa kembali melemparkan tatapannya pada Antonio. "Selama ini Vanilla tinggal di Paris, tapi ketika Jason datang, ternyata Vanilla sudah pindah setelah dia lulus dari pendidikannya."

Mata Vanessa langsung berkaca-kaca. Ternyata selama ini Vanilla bersembunyi di sana, negara yang selalu di impikan Vanilla. Sejak kecil Vanilla ingin sekali tinggal di Paris dan melanjutkan pendidikannya di bidang busana. Vanilla ingin menjadi seorang desainer terkenal.

Anton menghentikan mobilnya persis di sebuah butik ternama yang sudah di pilih. Sebelum turun, Anton menatap Vanessa yang mencoba menahan tangisannya.

"Jangan sedih, Vanilla pasti kembali."

Vanessa hanya bisa mengangguk, karena tidak mau menumpahkan air matanya di hadapan Anton.

Anton mendekap wajah Vanessa, "kamu cantik," ucap Anton sukses membuat pipi Vanessa merah merona. Air matanya pun tumpah, namun ia malah tertawa. Melihat Vanessa tertawa, Anton ikutan tersenyum. "Ayo turun. Aku gak sabar liat calon istri ku mengenakan baju pengantin."

Vanessa kembali menganggukan kepala dan mengikuti Antonio yang sudah terlebih dahulu keluar dari dalam mobil. Mereka pun berjalan memasuki gedung tersebut dengan jari yang saling bertautan, seolah enggan melepaskan antara satu sama lain.

Pelanggan butik langsung menyambut kehadiran Anton dan Vanessa. Mereka langsung di ajak menuju lantai dua gedung tersebut, tempat dimana sudah di siapkan beberapa pilihan baju yang akan mereka pakai nanti.

Vanessa pun langsung di ajak untuk mencoba satu persatu dari gaun tersebut, sementara Antonio menunggu sembari mengecek pekerjaannya melalui tablet yang selalu Anton bawa.

"Cantik sekali," puji salah satu pegawai yang membantu memakaikan gaun-gaun pengantin tersebut. Pujian tersebut membuat Vanessa tersipu malu. "Kalian memang pasangan yang serasi."

"Terima kasih."

Dengan di bantu oleh pegawai butik tersebut, Vanessa keluar dari ruang ganti dan berdiri persis di hadapan Antonio yang langsung terpukau ketika melihat calon istrinya itu. Gaun yang di pilih Vanessa adalah gaun yang terlihat paling simpel, namun begitu elegan. Sangat cocok dengan kulit Vanessa yang pucat serta tubuhnya yang ramping.

Belum sempat Antonio berkomentar, sering telpon terlebih dahulu berbunyi. Anton segera mengeceknya dan menangkat telpon tersebut. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan raut wajah yang seolah meminta maaf.

"Aku tau," ucap Vanessa mengerti padahal Antonio belum berkata apa-apa. "Aku bisa minta Bang Zero jemput aku."

Antonio menghela napas, terlebih dahulu ia mengecup kening Vanessa sebelum meninggalkan gadisnya itu. Rasanya Vanessa ingin marah, namun tidak bisa. Ia harus memaklumi Antonio yang memang tidak bisa lepas dari pekerjaannya, meski sedang libur sekalipun.

Vanessa langsung mencari keberadaan ponselnya di dalam tas. Segera ia menelpon Zero dan meminta kakaknya itu untuk menjemputnya. Sekalian, ada tempat yang harus Vanessa kunjungi bersama Zero.

*****

Betapa terkejutnya Vino ketika ia melangkah masuk ke dalam apartemennya dan mendapati tempat tersebut berantakan. Bayangkan saja, ia baru pulang kerja selarut ini, lalu mendapati apartemennya dalam keadaan berantakan, dan terdengar suara ribut dari dalam kamarnya. Ketika ia membuka pintu kamarnya, dan mendapati kamarnya itu sudah tidak lagi berbentuk. Gelap, berantakan, kerlap Kerlip, dan berisik.

Vino langsung menyalakan lampu dan menghentikan aktifitas tiga pria, ralat, empat pria yang terlihat persis seperti orang gila. Bahkan orang terwaras dalam lingkar pertemanan mereka bisa menjadi segila ini.

"Mungkinkah, kita kan terus bersamaa.... Walau terbentang jarak antara kita....." Bukannya merasa bersalah, Elang malah melanjutkan nyanyiannya. Otomatis Vino langsung mematikan speaker dan mencabut kabel mic yang tersambung.

"Ih, bang Nono, apaan sih!" omel Elang dengan napasnya yang bau alkohol.

Vino baru saja menyahut, namun di dahului oleh Dava yang asik melompat-lompat di atas kasur dengan dasi yang di ikatkan di kepala serta tangannya yang seolah sedang memegang senjata.

"Vino!" teriakan itu berasal dari Jason yang duduk di sudut kamar sembari berpelukan dengan Reza. "Di cari nyokap lo, disuruh pulang beli keong!"

"Hah?"

Tiba-tiba Reza yang memeluk Jason langsung menangis kencang, "aaahhhhh gue jomblo," teriaknya di balas oleh Jason yang ikutan menangis dan mempererat pelukannya.

Elang meloncat dari atas kasur dan berdiri di depan Vino yang otomatis memundurkan langkahnya, "kita.... Gila, hahahaha."

"Lo semua yang gila, gue gak!" Jawab Vino menyentil kening Elang.

"Duar!" teriak Dava dari atas kasur dan tiba-tiba menunduk menutupi tubuhnya dengan selimut.

Jujur, Vino tidak tau harus bereaksi seperti apa. Antara kaget, kesal, marah, dan kasihan, itulah yang Vino rasakan sekarang.

"Bang Nono....." Elang menangis sembari merentangkan tangannya dan berlari kecil kearah Vino. "Abang jangan nikah," rengeknya. "Kalau Abang nikah, gak ada lagi yang gantung celana dalam Elang di depan pintu kelas, huaaaaaa.."

Bulu kuduk Vino langsung meremang. Sebelum dirinya ikut menjadi gila, lebih baik ia pergi dan mengunci teman-temannya itu di dalam kamar. Untuk pertama kalinya dalam hidup Vino, ia melihat teman-temannya berkelakuan aneh seperti tadi. Di tambah lagi dengan kehadiran Jason yang bisa di bilang sikapnya sebelas dua belas dengan Dava, bedanya Jason bermulut sedikit lebih ceplas ceplos seperti dirinya. Perpaduan antara sikap Dava dan Vino.

Dengan teramat sangat terpaksa, Vino harus tidur di sofa malam ini. Lebih baik tubuhnya pegal karena tidur di sofa dari pada ikut menggila dengan para pria mengenaskan di dalam sana.

Pukul setengah dua belas malam, setelah selesai membersihkan diri, Vino memutuskan untuk menelpon tunangannya yang sedang bekerja di Milan.

Sudah tiga kali Vino menelpon, namun Sandra tak kunjung mengangkat telponnya. Vino kembali menghubungi Sandra dan pada panggilan kelima barulah Sandra mengangkat telpon tersebut.

"Hi, sorry aku baru selesai mandi dan hp ku mode silent." Terlihat Sandra masih mengenakan bathrobe dan handuk yang melingkar di atas kepalanya. "Kenapa? Tumben nelpon?"

Vino menghela napas, "orang-orang disini udah gila semua," jawab Vino membuat Sandra harus berpikir keras agar bisa mengerti apa yang di maksud Vino.

"Kapan kontrak kerjamu di sana selesai?"

"Tiga bulan lagi."

Untuk kedua kalinya Vino menghela napas. Ia masih belum memikirkan tentang pernikahannya dengan Sandra. Padahal mereka sudah bertunangan lebih dari delapan bulan. Untungnya Sandra tidak mempermasalahkan hal tersebut karena Sandra sendiri masih sibuk mengurusi pekerjaannya sembari mempersiapkan diri jika mereka benar melangsungkan pernikahan suatu saat nanti.

"Sendirian? Temen kamu kemana?" tanya Vino yang tak melihat adanya orang lain selain Sandra.

"Di kamar, tidur mungkin," jawab Sandra. "Berisik banget disitu, lagi ngadain party?"

"Kan udah dibilangin, orang-orang disini udah pada gila. Bahkan orang yang paling waras sekalipun, bisa ikutan gila."

Mendengar nada bicara Vino yang kesal membuat Sandra tertawa. Akhirnya Sandra mengerti maksud Vino. Pertemanan mereka memang sedikit aneh, dan sedikit lucu.

Vino hampir saja menjatuhkan tabnya ketika mendengar suara barang yang terjatuh dan pecah. Bukan dari apartemennya, tapi dari panggilan Sandra. Otomatis Sandra langsung menoleh kebelakang dan tak lama ia mendengar suara teriakan yang cukup nyaring.

"Ada apaan?" tanya Vino dari sambungan telpon.

Sandra tidak menjawab karena matanya terus menatap pintu kamar dan ia mencoba untuk mempertajam pendengarannya. Pintu kamar tersebut terbuka dan memperlihatkan seorang gadis dengan rambut kusut dan berantakan berjalan keluar kamar dengan begitu pelan.

"Are you oke?" tanya Sandra pada orang itu dan mengabaikan panggilan bersama Vino yang masih berlangsung.

Vino mencoba untuk melihat jelas wajah teman sekamar Sandra, namun tidak bisa karena wajahnya tertutupi oleh rambut. Betapa terkejutnya Vino ketika orang itu tiba-tiba langsung berlari kearah Sandra, merampas laptop milik Sandra hingga kameranya tidak stabil. Terdengar Sandra mencoba untuk merebut laptopnya dan berbicara menggunakan bahasa asing yang Vino tidak mengerti.

Beberapa detik kemudian, Sandra berteriak memanggil nama seseorang sebelum akhirnya sambungan video call itu terputus.

Vino panik dan ia langsung mencoba menelpon nomer telpon Sandra, namun Sandra tidak menjawab. Jantungnya berdetak kencang karena khawatir dan juga penasaran, karena nama yang terdengar di telinga Vino tadi adalah Vanilla.

*****

Mata Vanilla yang awalnya tertutup rapat tiba-tiba terbuka lebar ketika sesuatu melintas di pikirannya. Keringat dingin membasahi wajahnya, bahkan bibirnya pun begitu pucat. Kini banyak suara yang memenuhi pikirannya, mulai dari teriakan, tangisan, tawa, semuanya bercampur aduk menjadi satu. Vanilla tidak tahan dengan suara-suara tersebut, tangannya mengambil lampu di atas meja dan melemparkannya kearah cermin hingga cermin tersebut pecah.

"Diam!" teriaknya menutup kedua kupingnya dan memejamkan mata sekuat mungkin.

Dadanya masih bergemuruh, namun suara suara di pikirannya perlahan mulai menghilang. Vanilla kembali membuka matanya dan menatap tajam keseluruh sudut kamar. Matanya memerah dan berkaca-kaca, ia ketakutan, cemas dan panik. Segera Vanilla berdiri dan membuka pintu kamarnya, mencari sosok orang yang selama ini menemaninya.

Ketika Vanilla membuka pintu, ia melihat Sandra yang juga sedang menatapnya. Mata Vanilla beralih kearah laptop di hadapan Sandra yang menampilkan sosok pria dari balik layar video call. Langkah yang awalnya pelan langsung berubah menjadi setengah berlari.

"Are you oke?" tanya Sandra yang tidak di gubris oleh Vanilla.

Vanilla meraih laptop Sandra, sontak membuat Sandra berdiri dan hendak merampasnya. Karena Vanilla lebih tinggi dari Sandra, otomatis Sandra sedikit kesulitan. Sandra sempat berteriak pada Vanilla, meminta agar Vanilla mengembalikan laptopnya, namun Vanilla tetap tidak menggubris dan berusaha mematikan sambungan video call tersebut.

"Vanilla!" bentak Sandra murka ketika Vanilla berhasil mematikan video call tersebut.

Sandra langsung merampas laptopnya dari tangan Vanilla yang sedang memandangnya datar. "Apa-apaan sih Lo!" ketusnya setengah takut. Kadang kala Sandra seperti tidak mengenal temannya itu.

Vanilla masih tidak merespon apa-apa, dan Sandra berlalu begitu saja menuju kamar. Ketika masuk, Sandra kaget melihat kaca meja rias di kamar tersebut pecah dan berserakan di lantai, begitu juga dengan lampu yang sudah tidak berbentuk lagi. Tak hanya itu, ada bercak darah yang membentuk jejak kaki mengarah ke pintu.

Sandra mendengus. Ia menaruh terlebih dahulu laptopnya di atas meja, mengambil kotak p3k di dalam laci, dan kembali menghampiri Vanilla yang masih tetap pada posisinya seperti semula.

"Duduk!" perintahnya mendorong bahu Vanilla hingga terduduk di atas sofa.

Sandra mengangkat kedua kaki Vanilla yang berdarah. Terlebih dahulu Sandra memeriksa tidak ada pecahan kaca yang menancap di telapak kaki Vanilla, lalu ia pergi mengambil air dan mulai membersihkan sisa darahnya menggunakan kasa. Selama Sandra mengobatinya, Vanilla tidak meringis kesakitan, ia hanya diam seperti patung dengan matanya yang berkaca-kaca.

Tak lama air matanya mulai menetes. Ia ingat sesuatu yang sangat mengerikan, ketika ia hampir saja mati kehabisan darah di dalam kamar mandi rumahnya. Vanilla juga ingat pernah mengunci diri di dalam kamar mandi sekolah karena kerap mendapat teror dari seseorang.

"Sandra..." panggil Vanilla sangat pelan, membuat Sandra merinding. "Gue hampir ingat semuanya," ucapnya tanpa berkedip sekalipun.

Sandra tidak menyahut dan memilih untuk fokus membungkus luka di telapak kaki Vanilla. Ingatan Vanilla sering kembali sendiri, namun selalu saja kenangan buruk yang Vanilla ingat.

Amarah yang awalnya menumpuk di benak Sandra sebelumnya langsung hilang ketika melihat Vanilla yang menangis tanpa bersuara. Rambutnya acak-acakan, wajahnya pucat, dan matanya merah. Sandra ingin mengasihan Vanilla, tapi Sandra tau, temannya itu tidak butuh rasa kasihan, hanya butuh dukungan dari seorang teman.

Sandra langsung memeluk Vanilla erat dan berbisik, "apapun yang lo ingat, itu semua bagian dari masa lalu Lo. Lo gak bisa lari atau bahkan sembunyi, karena semua hal yang pernah Lo lakukan, akan terus ada di dalam memori Lo."

"Gue takut," vanilla mengigit bibir bawahnya, "dia mencelakai Lo."

"Siapa yang berani celakai gue?"

"Dia..." Vanilla menggantungkan kalimatnya, "Revan," bisik Vanilla lalu tertawa.

Otomatis Sandra langsung melepaskan pelukannya dan menatap Vanilla. Vanilla diam, tidak berekspresi apa-apa dan tidak tertawa. Namun tadi ia merasa aneh dengan nada bicara Vanilla.

"Revan siapa?"

Vanilla, mendongak menatap Sandra dan mengejapkan matanya, "siapa?" ujarnya bingung.

"Lo tadi bilang kalau Lo takut gue celaka karena Revan."

"Gue gak kenal siapa Revan, mantan Lo?"

Sandra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jelas-jelas tadi Vanilla menyebut nama Revan, tapi sekarang Vanilla mengatakan bahwa ia tidak mengenal Revan. Apa mungkin Sandra salah dengar atau berhalusinasi karena kelelahan?

Vanilla berdiri, "gue lapar nih, mau makan bareng?" tawarnya pada Sandra.

"Terserah Lo deh."

Vanilla mengembangkan senyumnya dan pergi dari hadapan Sandra menuju dapur.

Sandra masih terus menggaruk kepalanya sembari memandangi Vanilla, "gue yakin kok, gak salah dengar," gumamnya. "Apa gue ikutan gila kayak temen-temannya Vino?" Sandra menggelengkan kepalanya dan memutuskan untuk menyimpan kembali kotak p3k ke kamar sebelum ia pergi menuju dapur dan membantu Vanilla menyiapkan makan malam.

******

I just wanna say, stay safe guys.
Kalau bisa kurangi aktifitas di luar rumah dan jaga kebersihan. Jangan lupa cuci tangan serta hindari keramaian.
Aku harap kalian semua baik-baik saja dan tidak ada yang sakit.

Minggu, 22 Maret 2020

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

12.3K 1.3K 28
15+ Aku sering kali menatapnya dikala senggang dari kaca jendela kamarku. Dia adalah seorang gadis dengan senyum manis yang tinggal tepat di sebelah...
383 148 5
kamu amerta dalam aksara ku. start : des 27, 2023
15.3K 1.9K 113
Fantasi tinggi, dibumbui aksi dan misteri. Alister Franklin, penyihir hitam yang terkenal si pemilik wajah badut. Auranya suram, misterius dan susah...
Forbidden Forest Butterfly द्वारा

किशोर उपन्यास

280 65 5
Altheo Matthew, lelaki berparas tampan yang dipaksa untuk mengikuti semua ucapan dari sang ayah, untuk sempurna menjadi seorang penerusnya. Tak ada c...