3 | why you here
SEPERTI hampir semua orang di muka bumi, Sabrina juga langsung menyalakan HP begitu matanya melek di pagi hari. Untuk mengecek apakah ada pesan masuk atau notifikasi penting dari email, i-banking, atau aplikasi lainnya.
Dan dia langsung merasakan nyeri di ulu hati begitu menemukan nama Zane di notifikasi pop up. Lelaki itu mengiriminya beberapa pesan. Setelah semua kekhawatirannya semalam, pesan dari Zane tentu bukan menjadi hal yang diharapkan.
Dengan cemas, Sabrina membuka dan membaca pesan-pesan itu, lalu keningnya mengernyit.
Ah, apa-apaan sih Zane ini? Nggak tahu orang lagi galau, malah menyuruh membangunkannya, sampai mendatangi apartemennya segala kalau dia tidak bangun!
Sakit Sabrina mendadak komplikasi jadi sakit kepala juga.
Lalu segera dihubunginya Karen, satu-satunya makhluk yang masih mungkin diharapkan bantuannya karena Timothy sedang pulang kampung.
"Beb." Sabrina tidak memberi kesempatan Karen untuk mengucapkan salam pembuka begitu sambungannya terhubung. "Gue sakit. Gantiin gue ketemu klien sama Bang Zane, dong."
Karen mendengus di seberang. "Mana ada sakit tapi suaranya nyolot abis kayak Cinderella's step sister gini?"
"Serius, Beb!"
"Ogah, ah. Gue ada kondangan. Lagian kan elo yang dari dulu ngotot pengen lembur terus biar cepet tajir, biar cepet resign, makanya diajak Zane ke mana-mana jarang nolak."
"Iya, tapi ini emergency, Beb. Gara-gara makan ceker pedes yang lo bawa ke kantor kemarin, gue bolak-balik ke WC mulu dari semalem."
"Gue tebak, lo sama Zane abis berantem lagi? Makanya ogah ketemu?" Karen jelas nggak percaya dengan akal bulus Sabrina. Mereka terlalu kenal satu sama lain. Dan Zane memang bukan bos yang asyik. Nggak jarang dirinya, Sabrina, dan Timothy beradu argumen dengannya sampai terbawa perasaan. Dan ujung-ujungnya pada berlagak sakit, lengkap dengan surat sakit dari dokter.
"Enggak, lah. Gue tuh kalau abis berantem nggak pernah masukin hati."
Bohong besar. Sabrina bisa puasa ngomong tiga hari kalau Zane sudah kelewat menyebalkan.
"Ck. Gue bukan Mbak Iis yang bisa lo bodohi. Udah yaa, aing mau luluran dulu. Bye."
Shit.
Sabrina memandang layar ponselnya dengan wajah kecut. Temannya memang kampret semua sih, kecuali Jun.
Ah, kenapa baru kepikiran sekarang?
Segera diketiknya pesan untuk Jun. Seniornya itu hobi bangun pagi dan nggak suka langsung ditelepon, apalagi kalau hari libur, karena mengganggu. Dan pesan jawaban dari Jun langsung masuk tak lama kemudian.
Junaedi
Apa, Beb? Gue mau pergi
kondangan sama Karen.
Doubleshit.
Apa boleh buat? Dia cuma perlu berlagak polos. Toh belum tentu juga prasangka buruknya ke Zane semalam benar-benar terjadi.
~
Sabrina memasukkan passcode pintu apartemen Zane sesuai instruksi yang diberikan lelaki itu semalam lewat pesan WhatsApp, dan tak lama kemudian terdengar bunyi kunci terbuka.
Dia segera berjalan masuk dan menutupnya kembali.
Apartemen Zane luas. Dan bersih. Itu kesan pertama Sabrina begitu berada di dalam.
Sebenarnya tidak luas-luas amat, namun terkesan begitu karena jarak antara lantai dan langit-langit lumayan tinggi, dua kali lipat tingginya rumah normal. Dan apartemen ini memang terdiri dari dua lantai, meski lantai atas nampaknya tidak sampai sepertiga luas apartmen. Lantai permanen, bukan mezzanine yang sengaja ditambah untuk memperbanyak ruang. Selain itu, ruangan di dalam apartemennya juga terkesan kosong dan lapang karena tidak banyak perabot dan dekorasi. Interiornya juga masih bergaya industrial, seperti kantor mereka, dengan dominasi warna abu-abu tua dan hitam.
Begitu masuk, Sabrina lamgsung dihadapkan pada tangga turun di sisi kiri, dan koridor menuju ruang-ruang di lantai atas di sisi kanan. Ruang tamu nampak ada di bawah sana.
Satu set sofa besar, meja makan, dapur, dan gym menjadi satu tanpa sekat. Kemudian nampak beberapa pintu di beberapa sisi.
Gadis itu menimbang-nimbang akan mencari Zane ke sebelah mana dulu.
Kalau jadi Zane, dia jelas akan menempatkan kamar tidurnya di lantai dasar. Tapi karena takut tebakannya meleset, dia mengeluarkan ponsel dan menelepon nomornya. Karena sayang energinya kalau harus naik turun tangga.
Panggilannya tersambung, dan kemudian terdengar deringnya di kejauhan.
Oke. Kamar Zane tidak mungkin berada di lantai atas. Segera dituruninya tangga di sebelah kirinya, merasa kurang nyaman karena tempat itu tidak familier baginya.
Dia melewati ruang tamu sambil terus mendengarkan kira-kira dari mana asal suara dering ponsel itu.
Ada dua pintu berderet setelah melewati gym. Sabrina langsung membukanya.
Pintu pertama adalah sebuah kamar tidur, tapi kosong. Kemudian dia beranjak ke pintu kedua. Suhu dingin dari dalam kamar langsung menyeruak mengenai kulitnya. Otomatis pandangan Sabrina langsung jatuh ke atas kasur California King yang berada di seberang ruangan.
Brengsek!
Sabrina kontan menutup kembali daun pintu di depannya.
Zane memang brengsek.
Dia menyuruh Sabrina membangunkannya, tapi dia sengaja tidur dengan tidak berpakaian, dan tidak berselimut.
Sabrina hanya sekilas melihatnya tadi, tapi jelas ada banyak sekali kulit yang terekspos.
Kemudian diputuskannya untuk menggedor pintu saja, sambil terus menelepon. Kombinasi dua cara untuk membangunkan, plus berdoa dalam hati supaya Zane bisa bangun tanpa dia harus masuk ke dalam dan menyiramnya dengan air.
Ya kali dia harus masuk?! Meski Zane yang menyuruhnya, tapi dia jelas nggak mungkin ... yaah ... please, deh, masa iya dia harus menerjang masuk dan melihat Zane dalam kondisi tidak senonoh seperti itu? Grrrr, dan kenapa nggak bangun-bangun juga sih, si Bos ini?!
Sabrina akhirnya nekat masuk karena yakin tidak akan membuahkan hasil tanpa menyiram air ke muka bosnya, sementara jam terus bergulir dan mereka harus bertemu klien.
Untungnya, ternyata Zane masih memakai boxer, jadi mata Sabrina masih agak terlindungi dari pemandangan haram.
Oh, no, itu bukan boxer, tapi boxer brief! Sabrina sampai harus menutupi matanya sendiri dengan telapak tangan saat berjalan mendekat karena pemandangan di depannya terlalu mengganggu, kemudian berhenti di pinggir kasur.
Dia memincingkan mata sedikit.
Zane tidur terlentang, dengan satu tangan menutupi matanya. Lengannya berotot. Bisepsnya jelas lebih besar dari milik si Gusti yang katanya rajin weighlifting. Perutnya juga sixpack. Wait, stop! Jangan lihat lebih ke bawah lagi! Sabrina mengingatkan diri sendiri, tidak ingin khilaf.
Dia lalu duduk di pinggir kasur, membelakangi Zane. Tangannya dia ulurkan ke belakang, berusaha menjangkau tubuh Zane untuk membangunkannya.
"Zane, wake up! Sudah jam tujuh lewat."
Damn!
Bisepsnya sekeras baja. Dan sangat dingin karena terpapar penyejuk ruangan.
Sabrina mengguncang-guncangkan lengan kekar itu, menahan bulu kuduknya yang tiba-tiba meremang. Tapi lelaki itu tidak merespon.
Lalu dia menoleh sedikit dan duduk lebih jauh ke tengah kasur supaya bisa menjangkau lebih dekat. Diguncangnya sekali lagi, kali ini dengan kedua tangan, tapi wajahnya masih tetap ia palingkan.
"Zane! Wake up!" panggilnya sekali lagi, dengan volume diperkeras. Dia lalu menoleh sekilas untuk melihat apakah ada respon.
Gila, batinnya. Jiwa jablay gue meronta-ronta, timbang ngelihat biseps sama abs doang!
Setelah diguncang-guncang beberapa kali lagi, sepasang mata di depannya itu mengerjap. Sabrina langsung waspada.
"Sab ...? Ngapain lo di sini?"
... to be continued