DESA SETAN

By EnricoHendayana28

792K 61.5K 3.7K

Desa Pagar Mentimun digemparkan oleh seorang perempuan yang hidup kembali saat hendak dikuburkan. Retno, seor... More

Padang 12
Tempat Tujuan
Santi?
Teror!
Kesepakatan
Sebab
Terjebak!
Mansor
Penghuni Kebun Sawit
Awal Bencana!
Kota Gaib : Padang 12
Gerbang Lainnya
Telaga Larangan
Terlambat!
Persiapan
Firasat
Putra Kelana
Putra Kelana 2
Bertemu Kembali
Bidasan!
Kebangkitan!
Mati Jasad
Orang Limun
Bantuan Tiba
Harapan
Takluk!
SAHABAT
Pulang
Awal yang Baru
Mati Suri Terbit di Epilog
DESA SETAN Sebagai Judul Baru
RENCANA COVER DESA SETAN
BULANNYA DESA SETAN
LIVE IG NGOBROLIN DESA SETAN!
Timeline novel DESA SETAN
OPEN PO DESA SETAN DIMULAI

Nek Sirih

23.5K 1.9K 36
By EnricoHendayana28

Suasana Desa Pagar Mentimun mendadak ramai dengan teriakan histeris, tangis, juga umpatan.

Keluarga mereka, anak, ayah, ibu, dan kakak, maupun adik, tiba-tiba saja tergeletak tak bernyawa di rumah, di warung, dan tepi pantai, sebuah tragedi terjadi melebihi apa yang Retno bayangkan, melebihi apa yang ingin dia dapatkan untuk tulisannya.

"Apa yang terjadi, Ret?" tanya Wawan memecah lamunan Retno.

Mereka kini berada di depan rumah salah satu warga yang keluarganya juga mengalami hal serupa.

Retno teringat kembali dengan apa yang dia alami ketika berada di pondok kecil milik Mansor, di tengah-tengah perkebunan sawit.

"Racun!" Akhirnya Retno bersuara, membuat segala perhatian tertuju padanya.

"Racun?" tanya Pak Sugeng.

"Ya!" seru Retno. "Ketika berada di pondok di tengah-tengah kebun sawitnya, saya dicekoki cairan hitam pekat oleh setan yang merasuki tubuh Mansor, cairan pemutus tali jiwa katanya!"

Wawan menggapai kedua bahu Retno, memutar tubuh sahabatnya itu menghadapnya. "Maksudmu, kau juga meminumnya? Kau juga akan mengalami seperti mereka?"

Retno memejamkan mata. "Sepertinya ... iya," jawabnya getir.

"Sial!" umpat Wawan keras-keras. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Wawan menatap bergantian ke arah Pak Sugeng dan Pak Abduh. Tubuhnya bergetar, ngeri hal itu akan segera menimpa sahabatnya.

"Saya pun tidak tahu, tetapi jika itu benar, semua warga sudah teracuni tanpa mereka sadari. Masalahnya ialah, melalui apa? Jika kita tau sumber penyebabnya, maka kita bisa menghentikan rantai penyebaran racun tersebut." Pak Sugeng angkat bicara.

"Ada sebuah penampungan air di bukit yang berada di tepi pantai!" seru Pak Abduh dengan tangan bergetar menunjuk ke arah pantai.

"Astagfirullah! Saya lupa penampungan air itu milik Mansor!" ucap Pak Sugeng lagi.

"Ada penampungan air?"

Para pria paruh baya itu mengangguk serempak menjawab pertanyaan Retno.

Saat musim kemarau seperti ini, sumur di desa airnya menjadi keruh, tak layak konsumsi, bahkan untuk sekedar mencuci. Satu-satunya air yang digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari penampungan air di atas bukit, di mana Mansor yang membangunnya untuk desa.

"Di mananya letaknya, Pak? Dekat tower? Kebetulan saya pernah naik ke atas hingga mencapai towernya," ucap Retno.

Pak Abduh menggeleng. "Tidak sejauh itu, karena jalanannya terlalu menanjak jika ke tower, posisinya berada di tengah-tengah," jelasnya.

"Jika benar dari sana sumbernya ...." Pak Sugeng menggantung ucapannya.

Tanpa menyelesaikan ucapannya pun mereka mengerti yang ada di pikiran Pak Sugeng, pemikiran bahwa mereka juga sudah meminum racun tersebut tanpa sadar.

"Saya pikir mereka baru-baru ini memasukkannya, buktinya dia mencekoki saya cairan itu! Jika sudah lama, harusnya tak perlu dia lakukan lagi, karena kami sudah meminum air putih di sini saat makan malam di rumah Pak Abduh," ucap Retno menjelaskan perkiraannya.

Wajah mereka yang mendengar kembali semringah, masih ada kemungkinan mereka tak meminumnya, dan tak perlu takut mengalami kejadian di luar nalar itu.

"Kalau begitu kita masih ada waktu!" seru Pak Sugeng. "Biar saya dan Pak Abduh yang mengosongkan air di penampungan itu."

"Lalu apa yang dapat kami lakukan?" tanya Wawan, mewakili pertanyaan yang mengambang di kepala Retno juga.

Menghentikan penyebaran racun penting, tetapi tak cukup itu saja, mereka harus menemukan cara untuk menghentikan setan di dalam tubuh Mansor, juga menemukan cara untuk membuang racun yang telah di minum warga yang masih hidup dan Retno.

"Di ujung desa, jauh dari rumah warga di sini, ada sebuah rumah kecil dari kayu, rumah yang hampir roboh, tetapi ada seorang wanita tua yang masih tinggal di dalamnya, kalian pergilah ke sana, coba minta bantuannya."

Mata Pak Abduh membulat mendengarnya. "Maksud Bapak, Nek Sirih?"

"Nek Sirih?" tanya Retno dengan dahi berkerut.

Pak Sugeng mengangguk. "Itu hanya nama panggilannya, karena dia suka nyirih." Wawan dan Retno mengangguk mendengarnya.

"Siapa dia?" selidik Retno.

"Bisa dibilang dukun kampung, tetapi warga desa mengasingkannya, dan sudah lama tak ada yang meminta bantuannya, bahkan banyak yang percaya si nenek sudah meninggal," jelas Pak Sugeng lagi. "Saya rasa dia bisa membantu kita dalam hal penawar racun."

"Apa Bapak yakin meminta bantuannya? Dan jika benar dia sudah meninggal?" Pak Abduh terlihat gusar dengan usul Pak Sugeng.

"Saya mengerti ketakutan Pak Abduh, tetapi tak ada cara lain, kan?" Pak Sugeng menatap Pak Abduh.

"Kami akan mencobanya, Pak, apa pun resikonya."

Retno tak mengerti ada masalah apa sebelumnya antara warga desa dan nenek Sirih tersebut, tetapi jika nenek Sirih bisa menolong, tak ada salahnya meminta bantuannya.

Setelah menyepakati tugas masing-masing, mereka pun meninggalkan desa yang tengah di landa kekacauan, berpisah arah saat berada di persimpangan jalan. Kelompok tua ke arah kanan, menuju penampungan air di bukit, sementara kelompok muda ke arah kiri, mendatangi rumah Nek Sirih.

"Di sini, Ret?"

Retno melihat ke sekitar di tempat mereka berdiri. Dari deskripsi yang disampaikan Pak Sugeng, hanya rumah ini yang cocok.

"Sepertinya begitu, Wan."

Di hadapan mereka kini terpampang sebuah rumah kayu sederhana, persis dengan apa yang dikatakan oleh Pak Sugeng. Pintu rumahnya tertutup, jendela di samping rumah pun demikian.

"Bagaimana jika ... dia sudah meninggal di dalam rumah?" tanya Wawan yang terlihat enggan untuk menemui si pemilik rumah.

"Saya masih hidup!" seru suara perempuan dari belakang Retno dan Wawan.

Retno dan Wawan terkejut, di belakang mereka sudah berdiri seorang perempuan paruh baya mengenakan pakaian serba putih, begitu juga dengan helaian rambut di kepalanya, dan di mulutnya terkunyah lembaran daun sirih.

"Nek ... Sirih?" tebak Retno yang sudah mampu menguasai dirinya lagi, sementara Wawan tak mampu berkata, jantungnya terasa ingin lepas seketika karena sapaan yang begitu tiba-tiba, dari orang yang dia kira sudah meninggal.

"Ya, aku orangnya!"

Mereka akhirnya masuk ke dalam rumah mengikuti ajakan Nek Sirih. Bagian dalam rumah sama sederhananya dengan luar rumah, tak ada meja atau kursi, pencahayaan dengan lampu yang temaram karena jendela tak dibuka, lemari kayu sederhana dengan tutup kaca yang tak terdapat banyak barang, hanya ada sebuah bingkai foto yang terdapat potret seorang perempuan muda dan cantik di dalamnya.

"Jadi, apa tujuan kalian ke sini?"

Retno menceritakan panjang lebar alasan mereka mendatanginya, tentang tragedi yang tengah terjadi, tentang gentingnya situasi di desa Pagar Mentimun saat ini.

Nek Sirih tersenyum. "Akhirnya warga desa membutuhkan bantuanku lagi?"

"Saya tidak tau bagaimana hubungan, Nenek, dengan warga desa, tetapi saat ini mereka sangat membutuhkan bantuan, dan Pak Sugeng meminta kami ke sini," jelas Retno.

Nek Sirih mengunyah cepat sirihnya. "Sugeng? Dia masih hidup?"

"Eh, masih, tentu masih," timpal Retno.

Nek Sirih megambil bakul kecil di dekatnya, lantas melepeh daun sirih ke dalamnya. "Aku tak bisa membantu masalah kalian kali ini," ucapnya.

Raut kecewa kini muncul di wajah Retno dan Wawan, mereka tak tahu lagi harus ke mana untuk meminta bantuan. Retno tahu Tuhan tempat meminta dan memohon, tetapi dia yakin pertolongan Tuhan pun memerlukan perantara, tidak dapat muncul begitu saja seperti di zaman para nabi, zaman manusia-manusia terpilih-Nya.

"Hanya saja aku punya kenalan yang dapat membantu, tetapi ...," ucap Nek Sirih menggantung.

"Tapi apa, Nek?" tanya Wawan tak sabar.

Dia tersenyum, menampakkan deretan giginya yang kuning karena sirih. "Tidak semua orang bisa memasuki tempat di mana dia tinggal!"

Retno dan Wawan saling tatap, lantas memandang heran ke arah Nek Sirih.

"Memangnya dia tinggal di mana, Nek?" tanya Retno.

"Padang 12!" seru Nek Sirih enteng, seakan menyebut nama desa tetangga, yang siapa saja, kapan saja, bisa mengunjunginya dengan mudah.

Wawan tertawa mendengarnya, lalu terbatuk saat menyadari Retno menatapnya tajam, lantas menghela napas panjang, kemudian terdiam kembali.

"M-m-maaf," ucap Wawan sebelum Retno menyuruhnya.

"Maksud, Nenek, orang yang dapat membantu kami ...?"

"Orang Limun!" seru Nek Sirih menjawab pertanyaan Retno, membuat Wawan yang sudah diam semakin terdiam.

Bersambung.

Hai, hadir lagi ....

Di part ini tak terlalu menampilkan hal yang bikin bulu kuduk merinding, ini part penyambung plot cerita. Next part hal-hal ganjil tentunnya akan terjadi kembali.

Semoga cerita ini menemani malam Jum'at kalian!

Sampai jumpa lagi! ;)

#BangEn

Continue Reading

You'll Also Like

38.9K 3.1K 49
Kumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebel...
30.6K 1.8K 20
Setelah kepergian orang tuanya (Amelia) memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah kurang lebih 6 tahun berada di luar kota. Amel bernia...
27.7K 3.4K 8
Tentang Renjun dan secret admirer nya .. short story.. 190924 πŸƒ
47.8K 3.5K 164
[ BL TERJEMAHAN ] RAW TRANSLATE!! NO EDIT!! di terjemahkan dengan Google Translate Judul Asli : 钨水倧佬穿成θ±ͺι–€ε‡ε°‘ηˆΊεΎŒ Penulis: 飲爾 Status: Complete (155 + 5 ex...