3.726 [COMPLETE]

By lensalimalima

125K 10.3K 509

Karina Mentari senang banget waktu Arsel mengajaknya mendaki Gunung Rinjani. Bagi Karina, nggak ada perjalana... More

Prolog
BAB 1. Rencana dan Pertemuan
BAB 2. Perjalanan
BAB 3. Asmara Novandra dan Pendakian
BAB 4. Menuju Puncak
BAB 5. Pilu di Hadapan Dewi Anjani
Bab 6. Datang Lagi
Bab 7. Dia....
Bab 8. Annoying
Bab 9. Penguntit
Bab 10. Mistis Puncak Ciremai
Bab 11. Cemburu
Bab 12. Rival
Bab 13. Salah Duga
Bab 14. Ditikung
Bab 15. Si Mesum
Bab 16. Aku Mencintaimu
Bab 17. Aku Baik-baik Saja
Bab 18. Makasih, Sa!
Bab 20. Kepada Merbabu
Bab 21. Epilog

Bab 19. Kawan Lama

2.4K 267 1
By lensalimalima

Hari-hari pun cepat berganti. Sudah tiga bulan berlalu sejak semester baru dimulai. Kini Karina dan seluruh teman satu angkatannya telah menjadi mahasiswa tingkat tiga. Di waktu ini mereka dituntut mengajukan propsal penelitian. Waktu yang terus berputar maju tak sedikit pun membuat Karina gundah gulana dengan ketiadaan sosok Arsel. Bahkan mencari sosok pemuda itu barang sebentar saja pun tidak. Karina benar-benar telah membebaskan hatinya terhadap Arsel. Tak ada lagi beban terpendam. Jauh di dasar hatinya telah mengikhlaskan kepergian Arsel.

Satu bulan yang lalu Andra menemuinya setelah beberapa bulan keduanya tak bertemu karena kesibukan perkuliahan. Andra telah menceritakan bagaimana keputusan Arsel dan perasaan pemuda itu kala hendak meninggalkan Indonesia. Sayangnya, apa yang Andra harapkan dari Karina tidak tampak di wajah Karina. Gadis itu bahkan tak bertanya ataupun sedikit terkejut dengan keputusan Arsel. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Karina. Meski begitu, tanpa Andra ketahui setelah mendengar kabar kepergian Arsel malam-malam Karina menjadi resah. Karina tak tahu apa yang perlu ia lakukan setelah mendengar kepergian Arsel, sedikitpun tak terbesit dalam pikiran dan hatinya untuk mencari sosok pemuda itu. Malamnya yang resah perlahan menjadi sejuk berkat lagu-lagu yang Reksa nyanyikan. Tiap malam, Reksa menyanyikan sebuah lagu dan mengirimkannya pada Karina. Dengan sesederhana itu, Karina telah mampu mengabaikan sosok Arsel.

Kamar yang sunyi kini menjadi ramai. Gesekan kertas dan mesin pencetak yang menuangkan tinta padanya, sayap kipas angin yang memutar terpajang di dinding, sayup-sayup penyiar radio menyampaikan berita, dan embusan napas lembut yang kompak seirama dengan tarikan napas si penyanyi dalam radio. Karina tengah menyelesaikan sebuah proposal penelitian pertama yang akan ia ajukan sebagai dasar skripsinya tahun depan. Dan, menit berikutnya layar ponsel menyala, menampakkan sebuah nama yang tak asing lagi bagi Karina. Ponselnya berdering.

"Udiiiin! Apa kabar?!"

Kamar yang sebelumnya hening bagai makam, seketika berubah ketika Udin menghubungi Karina.

"Kau yang apa kabar? Kau tidak pernah menghubungiku ataupun yang lain. Kupikir kau mati disambar petir."

"Ya Tuhan, ucapanmu buruk sekali. Kamu di mana sekarang?"

"Pertanyaan bagus! Aku sedang di basecamp bersama Lisa, Adul, dan Bang El."

"Aku akan ke sana! Kebetulan hari ini aku masih di Jakarta."

"Kami tunggu."

Mendapat kabar ataupun menerima kabar dari teman lama yang masih mengingat keberadaan diri kita adalah suatu hal yang mengagumkan. Seperti Karina yang telah lama tak bergumul dengan teman mendakinya, kini ia bersua kembali dengan keempat teman mendakinya kala menaklukan Rinjani dan Ciremai. Perasaan antusias pun menguap dalam dadanya. Karina bergegas, berganti pakaian dan sedikit merapikan rambutnya. Karina menggamit ponselnya yang tergeletak di meja. Diabaikannya sejumlah kertas yang telah bertinta di sela mesin pencetak.

"Sa, di mana? Bisa ikut aku?"

"Di rumah abang. Mau ke mana?"

"Jemput aku, nanti kuberi tahu tujuan kita."

Lima belas menit kemudian Reksa telah tiba di kediaman Karina. Tanpa basa-basi dan menjelaskan panjang lebar, Karina segera mengarahkan Reksa untuk menuju ke alamat yang ia berikan melalui pesan singkat sebelumnya.

"Kita ngapain ke sana?" tanya Reksa yang masih bertanya-tanya tentang alasan Karina meminta dirinya mengantarkan ke alamat tersebut.

"Nanti kamu akan tahu," jawab si gadis.

***

"Reksa, kenalkan mereka adalah teman mendakiku saat menanjak Rinjani dan Ciremai," ucap Karina.

Reksa mengulurkan tangannya pada kelima pendaki di hadapannya yang tidak lain adalah orang-orang yang dimaksud Karina tadi. Ada rasa berbeda yang Karina rasakan, ia yang awalnya mengenal mereka karena Arsel, kini dirinya yang memperkenalkan Reksa kepada lima teman mendakinya. Seolah bumi lebih cepat berputar dari putaran sebelumnya.

Suasana hari itu cukup ramai karena para pendaki yang tengah berkumpul menyusun rencana pendakian sebelumnya. Karina sendiri belum mengetahui tujuan Udin menghubungi dan mengajak dirinya untuk datang ke sana. Tidak seperti biasanya, kali ini Udin-lah yang menghubunginya. Di mana El? Karina sudah menemukan jawabannya. Pemuda itu tengah duduk bersanding dengan seorang gadis yang sangat cantik. Kulitnya putih bersih, bulu matanya lentik, senyumnya manis, dan kaki jenjangnya menyelaraskan tinggi tubuh El. Karina langsung dapat menebak bahwa gadis itu adalah kekasih El yang pernah membuat pemuda itu gamang kala mendaki Rinjani.

"Akhirnya mereka balikan," ujar Adul yang tiba-tiba seraya duduk di sisi Karina.

"Kamu tahu arah pandangku, ya. Kapan mereka balikan? Memangnya sempat bubaran?"

"Saat turun dari Rinjani mereka putus, lalu mereka balikan setelah kita turun dari Ciremai. Sebenarnya Pramoda gak punya alasan kuat saat mutusin hubungannya dengan Bang El, dia cuma mau pemudanya itu berhenti mendaki demi keselamatannya," jelas Adul, "namanya pecinta alam, mau dilarang kayak apa tetap aja balik lagi. Sekarang malah si Pramoda jadi bagian dari anggota kita juga," tambanya.

Beberapa bulan telah berlalu rupanya membuat Karina cukup banyak ketinggalan informasi. Selama turun dari Ciremai dan memiliki hubungan yang tidak baik dengan Arsel membuat dirinya lupa dengan keempat teman mendakinya.

Selanjutnya Adul menceritakan bagaimana pendakian mereka setelah turun dari Ciremai. Hingga akhirnya Udin pun berhasil menemukan pujaan hatinya kala mendaki Puncak Slamet. Selain itu, turunnya berat badan Adul juga menjadi bagian dari perbincangan dua insan itu; Karina dan Adul. Di hadapan keduanya, ada Reksa yang tengah asyik berbincang dengan Lisa. Semuanya tampak akrab dan hangat.

"Jadi ada alasan apa kenapa kalian ngundang aku ke sini? Ada pendakian? Ke mana kita?"

Satu hal yang disukai Reksa dari diri Karina adalah, gadis itu tidak sekalipun larut dalam kesedihan ataupun luka yang menyerang hatinya. Dalam hitungan bulan, Karina tengah kembali menjadi pribadi yang ceria dan bergairah seperti saat pertama dirinya bertemu dengan gadis manis itu.

Topi kesukaannya telah Reksa kembalikan saat hendak mengunjungi basecamp, tentu saja Karina jauh lebih semangat dan antusias karena penampilannya telah kembali dilengkapi oleh topi kesukaannya. Sepanjang pertemuan saat itu pembahasan mereka tidak lain adalah tentang pendakian, dan seorang Reksa yang sebelumnya tidak banyak bicara kini menunjukkan jati diri yang sebenarnya; jahil dan mudah berbaur.

"Bagaimana?" tanya El di ujung penjelasannya.

Adul dan Udin tetap seperti mereka adanya, selalu kompak dan setia kawan. Keduanya serempak menganggukkan kepala dan setuju dengan ide yang El paparkan sebelumnya. Mereka berencana mendaki Merbabu dan kali ini menggunakan perjalanan pribadi seperti mendaki Ciremai sebelumnya. Tidak menggunakan jasa travel. Lisa pun setuju dengan alasan, hal itu dapat menghemat biaya pengeluaran selama melakukan perjalanan.

"Deal! Sementara ini jadwal kuliahku aman, hanya mempersiapkan proposal penelitian. Ya, meski begitu kurasa bisa ditangani," ucap Karina pada keempat teman mendakinya.

Seperti rahasia umum, berita kepergian Arsel tidak satupun dari keempat teman Karina menanyakannya. Seolah mereka pun telah mengetahui hubungan Karina dan Arsel yang tidak baik-baik saja. Sejak awal Karina tiba, tidak satupun dari mereka menyinggung sebuah perbincangan tentang Arsel. Jujur saja, hal itu membuat Karina tidak nyaman. Bukan ia tak menyadari, hanya saja Karina sungguh ingin salah satu dari mereka ada yang menyebut nama Arsel semata-mata karena mereka benar-benar mengingat Arsel dan tak mengabaikannya karena keberadaan Reksa. Namun, Karina membiarkannya. Mungkin begini lebih baik, gumam Karina dalam hati.

"Jadi kapan kita berangkat?" tanya Reksa antusias.

***

Seoul, 2017

Dari balik jendela, bunga sakura telah gugur dari dahan dan ranting. Di Korea, saat ini seluruh penduduknya kerap menggunakan mantel atau jaket yang lebih tebal bahkan pakaian berlapis. Isi kepala Arsel berputar, meramalkan cuaca di Indonesia saat ini yang mungkin harum hujan telah tercium ke mana pun kaki melangkah. November. Sejak beberapa bulan yang lalu Arsel telah mendaratkan dirinya di Negeri Ginseng—Korea. Melanjutkan pendidikan seperti yang ia inginkan.

Sinar matahari menyinari kamar berluas 3 x 2 meter. Cahanya menembus jendela dan menyinari sebuah bingkai berukuran 4R di meja. Bingkai yang berisikan sebuah foto lampau. Foto seorang pemuda dan gadis yang saling merangkul dan tertawa bebas. Seragam putih abu melekat di tubuh keduanya. Si gadis melekatkan topi di kepalanya dengan terbalik, sementara si pemuda menjulurkan lidahnya dengan seragam putih yang tak lagi bersih. Ramainya warna telah melekat di sana. Sebuah foto saat baru saja dinyatakan lulus dari SMA. Foto antara dirinya dan si gadis; Karina. Seberapa jauh kaki melangkah, Arsel tetaplah Arsel yang tak bisa melupakan Karina.

"Hyung, dowajullae?" [Kak, bisa bantu saya?]

Pemuda tiga puluhan yang disapa hyung tadi menoleh. Ia meninggalkan koran pagi yang tengah dibacanya dan meletakkan begitu saja di meja. "Museun il-ieyo?" tanyanya. [Apa yang terjadi?]

Arsel menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sejak tiga puluh menit yang lalu Arsel telah berusaha membenarkan kerusakan pada motornya, tetapi belum juga berhasil.

"Nae saen-gag-en nae jajeongeoe munjega issneun geos gat-a," kata Arsel. [Kayaknya motor saya bermasalah.]

"Jeongmal?" tanya Gisuk-hyung sembari megernyitkan dahi. [Beneran?]

Pemuda itu segera memeriksa kendaraan roda dua milik Arsel. Dibongkarnya filter oli perlahan sembari memeriksa keadaan mesin di bagian lainnya. Sementara Gisuk-hyung memperbaiki kendaraan Arsel, si pemilik kendaraan menerima sebuah panggilan seluler.

"Hyung, jamkkan gidalyeoyo." [Kak, tunggu sebentar.]

"Dangsin-i nae dogseo sigan-eul banghaehaessadaneun geos-eul algo gyesyeosssebnikka? Na-ege cheong-guseoleul jibul!" pintanya. [Kamu tahu 'kan kalo kamu udah ganggu waktu membacaku. Traktir aku nanti!]

"Alasseo ... alasseo!" [Iya ... iya!]

Kedua kakinya melangkah begitu cepat memasuki area rumah. Tatapan mata Arsel tertuju pada layar ponsel yang terus berkedip dan memunculkan sebuah nama tak asing baginya.

"Ya, Dra."

"Kamu apa kabar? Gimana di sana? Semua baik-baik saja?"

"Tentu saja. Kamu seperti tidak tahu bagaimana saya. Kamu apa kabar?"

"Aku baik, dia juga baik. Belakangan ini dia terlihat lebih semangat dan senang dari biasanya. Kamu ingin menitip salam untuknya?"

"Ah, kurasa tidak perlu. Mendengar kabar kalian baik-baik saja, sudah cukup membuat saya tenang."

Untuk beberapa saat percakapan via seluler itu lengang. Tak ada yang berkata. Andra menunggu Arsel mengatakan sesuatu tentang dirinya. Sungguh gadis itu berharap bahwa Arsel akan merindukannya seperti dirinya yang seringkali memikirkan pemuda itu dan merindukannya.

"Jaga kesehatanmu, Dra. Jangan terlalu lama menunggu saya."

"Em."

Panggilan seluler itupun berlangsung tak lebih dari lima menit. Andra sungguh berharap Arsel mengatakan sesuatu yang lebih dari itu. Namun, tampaknya Andra tidak boleh egois dengan mengharapkan sesuatu hal yang tidak mungkin ia dapatkan. Ia sangat tahu bahwa segala yang terjadi antara dirinya dan Arsel kala hujan malam itu, hanyalah kekeliruan Arsel yang tidak menyadari keadaan. Bukan salah Andra kalau pada akhirnya ia berharap. Dan, bukan pula salah Arsel kalau pada akhirnya pemuda itu membuat Andra menunggu, karena memang gadis itu yang berniat menunggunya. Andra berani bertaruh bahwa dirinya akan dirindukan oleh Arsel sekalipun sangat kecil kemungkinan yang ada.

Sementaraitu, setelah panggilan seluler berakhir Arsel diam beberapa saat. Ia sangatjelas mendengar bahwa Karina jauh lebih semangat dan senang dari biasanya. Apakah pemuda itu benar-benar telahmenggantikan posisi saya? Ada sedikit penyesalan dalam hati Arsel setelahmenerima panggilan seluler tadi. Ingatannya pada Karina kembali menyeruak.Pikirannya kembali pada keadaan tak tenang. Dimana pun kamu berada ... sehatlah selalu, Karina Mentari. Memang begitu danselalu begitu. Sejauh apa pun jarak mengisi antara dirinya dan Karina, kenangandan perasaannya tidak pernah berjarak. Meski hingga hari itu, separuh hatinyamasih untuk Andra.

Continue Reading

You'll Also Like

29.4K 1.8K 18
Berawal dari sebuah kewajiban dan berakhir sebagai kenangan. Itulah yang turut dirasakan Milla ketika mengikuti KKN. Ya, KKN adalah salah satu dari s...
2.3M 71.6K 10
Orang bilang, hubungan paling rumit dalam cinta adalah saat kedua pasangan memiliki keyakinan yang berbeda. Nyatanya ada yang lebih rumit dari itu...
3.1K 769 51
Amaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak m...
36.3K 6.8K 47
[FOLLOW SEBELUM BACA YA GUYS 😘] **** "Saya Gaya!" Itu ucapan pertama cowok tengil yang tengah berdiri di hadapan pintu kosan. Tentu aku mengerutkan...