STORY CALLIN(G) Sudah Tayang...

Autorstwa Rismami_Sunflorist9

804K 140K 97.4K

SELASA DAN JUMAT #1 - Horor 20 Juli 2020 #1 - Horor 6 November 2020 #1 - Fantasi 24 Desember 2020 Demi menaik... Więcej

PART 1 : LAWAS
PART 2 : BEKAS
PART 3 : TERAS
PART 4 : TERHEMPAS
PART 5 : MEMBERANTAS
PART 6 : BEBAS
PART 8 : RAMPAS
PART 9 : SEKILAS
PART 10 : MELIBAS
PART 11 : MEMBALAS
PART 12 : IMBAS
PART 13 : LEPAS
PART 14 : MELINTAS
PART 15 : RETAS
PART 16 : JELAS
PART 17 : LEMAS
PART 18 : MEMELAS
PART 19 : KELAS
PART 20 : TERTINDAS
PART 21 : WAS-WAS
PART 22 : MEMANAS
PART 23 : AWAS
PART 24 : NAAS
PART 25 : DIPERJELAS
PART 26 : PIAS
PART 27 : MEMPERJELAS
PART 28 : MENUMPAS
PART 29 : MEMPERTEGAS
PART 30 : MELEPAS?
PART 31 : GANAS
PART 32 : BEBAS LEPAS
PART 33 : KUPAS TUNTAS
PART 34 : NAAS
PART 35 : TERTINDAS
PART 36 : IDENTITAS
PART 37 : PARAS
CALLING FOR ROLEPLAYER STORY CALLING
PART 38 : IKHLAS
PART 39 : TERBATAS
PART 40 : KERAS
PART 41 : TERKURAS
PART 42 : MELEMAS
PART 43 : RUAS
PART 44 : DIPERJELAS
PART 45 : MEMBEKAS
PART 46 : BERSIKERAS
PART 47 : CULAS
PART 48 : SEBERKAS
PART 49 : SELARAS
PART 50 : TERAMPAS
PART 51 : SEBERKAS
PART 52 : TEGAS
PART 53 : PANTAS
PART 54 : SEUTAS
PART 55 : SEBERKAS (2)
PART 56 : TERBEBAS
PART 57 : MEMBALAS
PART 58 : CEMAS
PART 59 : MERAMPAS
PART 60 : MENGERAS
61 : MELEPAS
EXTRA PART?
Extra Part
PENGUMUMAN PRE ORDER
PRE ORDER BONUS BEJIBUN DAPET DISKON PULAAAA
TEEEEEEEEEEET WAKTUNYA WAR
ADA APA MISKAH?
EPILOG (OKAN POV)
STORY CALLIN(G) MOVIE
WHAT IF

PART 7 : LEKAS

18.8K 3.1K 1.9K
Autorstwa Rismami_Sunflorist9

Jam berapa baca ini?
Kalo lewat jam 11 malem, Daebak dah. Kalian titisan kalong atau apa?

Ngapain belom tidur woy? Nunggu ketemu 👻👻👻?
2300 kata, semoga nggak ngap-ngapan bacanya.

Jangan lupa tinggalkan jejak diantara 2300 kata yang kutulis buat kalian ini.

***

Kuliah pagi.

Dan sudah bisa dipastikan, Callin bangun kesiangan. Otot-ototnya terasa kaku. Ia bahkan sampai menempel koyo di beberapa bagian tubuhnya. Namun ternyata semakin malam, rasa pegalnya menjalar ke seluruh tubuh.

Alhasil, sebungkus koyo pemberian teman satu kosnya ludes sekali pakai. Pantas saja saat bangun tidur tadi, Callin merasa seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk jarum. Pedas sana-sini. Mana yang dipakai koyo cabe pula! Berasa baru saja nyebur ke kolam sambal.

"Lin, Bu Bestari di belakang, noh. Buruan jalannya," tukas Erlina saat melintasinya di jalan menuju gedung C3.

Tanpa menunggu respon Callin, Erlina berderap cepat menuju ruang C3 yang gedungnya ada di seberang gazebo.

Callin menunduk, tak peduli mendengar ucapan Erlina. Badannya sedang tidak bisa diajak kompromi. Jangankan berlari, untuk jalan ke ruang C3 saja ia berharap ada yang bersedia menggendongnya. Walau sepertinya mustahil, mengingat tubuhnya tak semampai seperti Lisa atau Jennie Blackpink.

"Eeeh.."

Tatapan Callin terhalang dada bidang milik seseorang. Setumpuk buku dan jurnal-jurnal yang dikerjakan semalaman, jatuh berhamburan. Terlepas dari tangannya usai ditubruk sosok bertubuh tegap yang berdiri depannya itu.

Ditubruk atau Callin sendiri yang menubruknya? Ah, Callin tidak mau ambil pusing. Yang penting sekarang, akhirnya ada yang bisa dijadikan sasaran empuk untuk melampiaskan mood buruknya pagi ini.

Nyaris saja ia memaki sebelum sebuah suara familiar memasuki alam sadarnya.

"Kalo lagi jalan, kesadarannya juga dibawa. Jangan ditinggal kamar kosan."

Alih-alih menatap lawan bicaranya, sorot mata Callin tak lepas dari sneaker yang dikenakan laki-laki itu. Sadar jika kertasnya bercecer di aspal, Callin sontak berjongkok, memunguti kertas berisi jurnal-jurnal yang dikerjakan dengan sistem kebut semalam.

Bahkan meski sedang tak bersitatap, aura dingin yang terpancar dari kakak tingkatnya itu mampu membuatnya terpojok dan merasa seperti sedang dikuliti.

"Lo nggak minta maaf ke gue?"

Suara dingin itu kembali menegurnya.

"Eh.. anu, Kak." Rasa-rasanya Callin ingin menimpuk kepalanya sendiri. Selalu saja seperti ini, gelagapan di depan Junior. "Ma..af soalnya tadi aku buru-buru, Kak."

Callin memalingkan wajah. Pokoknya ke arah mana saja, asal tidak bersitatap dengan Junior, kakak kelas yang diidolakannya semenjak SMA itu.

Nyatanya setelah bertahun-tahun berlalu, hubungannya dengan Junior masih begitu-begitu saja. Tak ada kemajuan. Bahkan hanya sekadar mengobrol di kantin atau mengajak Junior makan siang bersama, Callin tak punya nyali.

"Maaf, Kak. Maaf banget." Gadis itu membungkuk berulang kali sebelum akhirnya berlari kecil menjauhi Junior.

Kalau bisa meminta pada Tuhan, ingin sekali ia diberi kekuatan menghilang di detik yang sama. Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi perasaan kagumnya pada Junior belum juga luntur. Masih sama, bahkan sepertinya levelnya sudah naik ke tingkat bucin.

"Callin!"

Langkah Callin terhenti otomatis. Ia ingin cepat-cepat sampai kelas. Namun suara Bu Bestari yang memanggilnya, tentu tak bisa diabaikan begitu saja.

"Tunggu bentar, Lin!" Bu Bestari memangggilnya lagi, mulai menyadari jika anak didiknya itu hendak kabur.

Terpaksa, Callin menoleh malas-malasan. Ia melihat Dosen Pengantar Akuntansinya itu sedang berderap menuju ke arahnya. Ia juga mendapati sosok Junior yang masih berdiri mematung di tempat semula.

Mampus, kenapa Kak Junior masih di situ? Apa dia marah sama gue?

"Ada apa ya, Bu?" tanya Callin to the point begitu Bu Bestari berdiri di hadapannya.

"Jadi hari ini saya mau keluar kota, gantiin Bu Nanik jadi peserta seminar Pasar Modal di kampus lain," ujar Bu Bestari, menyiratkan sinyal-sinyal jam mata kuliahnya kosong.

"Oh gitu, Bu." Callin pura-pura kecewa. "Terus apa yang bisa saya bantu?"

Disodorkan sebuah buku tebal berjudul Teknik Dasar Penjurnalan pada Callin. "Kalian buat jurnal khusus dari soal halaman dua tiga, ya."

Bahu Callin mendadak lemas lagi. "Dikumpulinnya kapan, Bu?"

Bu Bestari mengerutkan keningnya, menimbang-nimbang sesuatu. "Lusa aja, pas ada mata kuliah saya lagi," tukasnya enteng, membuat bola mata Callin berbinar.

"Ah siap, Bu! Nanti saya kasih tahu teman-teman satu rombel." Callin mengangguk penuh semangat kemudian berpisah dengan Bu Bestari yang mengambil arah berlawanan.

Sudah terbayang di benak gadis itu, apa saja yang akan ia lakukan selama jam kosong nanti.

Makan bakso sama teh anget, kayaknya bakal jadi mood booster banget, deh.

Callin melenggang santai menuju kantin. Mendadak lupa jika ia diberi amanah untuk menyampaikan pesan Bu Bestari kepada teman-teman satu rombelnya. Sembari bersiul kecil, Callin menata ulang buku-bukunya yang tersusun tidak beraturan di tangannya.

"Aaaaaa!"

Keseimbangan Callin hilang. Tubuhnya limbung begitu ada tarikan kencang di lengannya.

"Huaaaa!" Callin menjerit ketakutan, sebelum sebuah tangan tiba-tiba datang menopangnya.

"Fyuh, nyaris aja." Penyelamat itu menghela napas lega. "Lo kalo mau atraksi jangan di sini, tapi di arena sirkus sono. Malah dapet duit juga."

Napas Callin berseru hebat. Keringat dingin membajiri dahinya. Bukannya segera mengucap terima kasih pada si penyelamat, fokus gadis itu tampak terfokus pada hal lain.

Cermin di sampingnya.

Ya, Callin sangat yakin ada yang menariknya dari dalam cermin itu hingga membuatnya nyaris terjungkal.

Bola mata Callin menyorot tajam. Sebelah tangannya terangkat lalu perlahan diarahkan ke cermin. Tinggal beberapa inchi lagi ujung jari Callin menyentuh cermin, sebelum tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

"Woy!" Tegang amat muka lo. Kenapa?" tanya suara di belakangnya.

Ketika Callin berbalik, ia mendapati Okan sedang memonyongkan bibir.

Laki-laki itu merasa jasanya tidak dianggap karena Callin malah sibuk melamun. "Nggak ada ucapan terima kasih?"

Sadar jika sempat mengabaikan Okan, gadis itu merespon canggung. "Iya, sorry sorry. Gue tadi ngerasa kayak ada yang narik gitu. Sampe-sampe gue hampir jatuh," tukasnya datar.

Semalam Callin memang sempat bersitatap dengan Okan dari jarak yang begitu dekat. Namun ia tak pernah menyangka, jika ternyata bola mata Okan jauh lebih indah saat dilihat di bawah siinar matahari yang cerah seperti pagi ini.

Secerah senyuman Callin begitu menyadari teman barunya itu datang di waktu yang tepat.

"Lo kok bisa sampe sini?" tanya Callin begitu kesadarannya kembali.

Dahinya berkerut heran. Merasa aneh karena Okan selalu muncul ketika Callin membutuhkan pertolongan. Sebenarnya Okan itu siapa? Petugas intel? Atau mata-mata yang diberi tugas atasannya untuk menjaga keselamatan Callin?

Tapi kalau dipikir-pikir, memangnya Callin siapa?
Orang penting? Bukan.
Anak pejabat? Apalagi itu, jelas tidak.

"Gue juga kuliah di sini, tapi aslinya gue mahasiswa gedung sebelah." Okan menunjukan deretan giginya yang rapi. "Kenapa emang? Nggak boleh? Emang gedung ini punya lo? Punya bokap lo? Punya nenek moyang lo?"

Baru beberapa menit bertemu, Okan sudah menyulut api peperangan. Callin yang kini berjalan di belakangnya, diam-diam bernafsu menendang pantatnya.

Tatapan Callin menyorot penuh tanya. Tampaknya ia mulai penasaran. Banyak hal di diri Okan yang membuatnya jadi menerka-nerka sendiri.

Kira-kira dia semester berapa, ya? Lebih tua dari gue atau nggak? Liat aja, nih, kalo ternyata dia masih satu tingkat di bawah gue. Belagu parah.

Mendapati Callin yang tiba-tiba diam, Okan menarik sudut bibirnya. "Gue satu tingkat di atas lo, jadi nggak usah macem-macem."

Bola mata Callin melebar. Mulutnya menganga. Kebetulan atau apa? Kok Okan bisa baca pikiran gue?

"Bingung? Di jidat lo ada tulisannya, tuh." Okan berbalik untuk menatap Callin lantas menyentil dahinya.

Callin meneguk ludah. Bukannya membalas perlakuan Okan, gadis itu hanya mematung. Begitu bola mata Okan yang bening menatapnya dalam-dalam, ia merasa setengah jiwanya seolah terperosok masuk ke sana.

Sial, kenapa ada cowok dengan pahatan sesempurna itu, sih?

Bahkan sekarang beberapa pasang mata menyoroti keduanya. Seolah tak percaya jika Callin yang dikenal ansos di kampus, bisa terlihat begitu akrab dengan lelaki setampan Okan.

"Lo kok ngikutin gue?" Callin berhenti sejenak begitu menyadari Okan mengekorinya sampai ke kantin.

"Gue nggak boleh ke kantin? Emang kantin ini punya lo? Punya bapak lo? Punya..."

"Nenek moyang lo?" tebak Callin lalu mengulas senyum sinis. "Emangnya cuma lo doang yang bisa baca pikiran, gue juga nih buktinya."

Okan berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melangkah masuk kantin, berhenti sejenak untuk mencari kursi yang kosong, lalu melenggang ke salah satu sudut.

Giliran Callin yang membututinya.

Karena pandangan Callin terhalangi pengunjung kantin yang berlalu-lalang, ia memilih mengikuti Okan. Ke mana pun Okan melangkah, belok kanan, jalan lurus, Callin juga melangkah ke arah yang sama.

"Kenapa? Gue nggak boleh duduk di sini? Kan kursinya masih kosong." Callin cepat-cepat membela diri sebelum Okan berkomentar. Tatapannya lantas dialihkan ke Mang Riyandi yang kebetulan melewati mejanya. "Mang, pesen biasa, ya."

Mang Riyandi yang tampak kerepotan membawa mangkok, mengangguk sekali kemudian bergegas kembali ke kedainya untuk menyiapkan pesanan Callin.

"Lo nggak pesen makanan?" Daripada tidak ada topik pembicaraan, Callin mencoba basa-basi.

"Siapa bilang kalo ke kantin berarti harus makan?" Okan merespon sewot.

"Santai elaaah, gue kan tanya baik-baik. NGGAK USAH NGEGAS!"

Callin melengos. Bakat terpendam Okan adalah membuat lawan bicaranya naik pitam. Jika setiap hari Callin bertemu Okan, bisa-bisa ia didiagnosis terkena hypertensi di usia muda.

Untungnya Mang Riyandi datang di waktu yang tepat. Saat mood Callin memburuk, obatnya memang cuma makan.

"Buruan lo makan, daripada nanti keduluan," celetuk Okan sembari mencebik.

"Oh, keduluan lo embat, maksudnya?" Callin menebak asal. "Lo nggak ada duit apa gimana, sih? Mau gue pinjemin dulu? Tapi balikin loh, ya. Awas aja kalo kabur."

Tak sampai sedetik Okan menutup mulut, Callin merasa isi di dalam mangkoknya berkurang.

"Loh, ini tadi siapa yang makan?" Gadis itu kebingungan. Meneliti satu per satu orang yang memenuhi kantin lantas beralih menatap Okan.

"Lo nyari apa di bawah?" Okan bingung sendiri melihat Callin yang tiba-tiba menundukkan kepala. "Nggak mungkin baksonya ngegelinding sendiri jatoh dari mangkok, kan?"

"Lo bisa diem dulu, nggak?" Callin memberi kode pada Okan agar menggeser posisi duduknya. "Badannya tegakin dikit, dong."

Begitu mendapati tatapan Callin tertuju ke luar kantin, Okan berbalik mengikuti arah pandangnya. Di sana tampak sosok laki-laki berkemeja rapi yang dilapisi sweater rajut, berdiri dengan wajah serius. Matanya menyoroti isi kantin dengan teliti.

"Dia asdos? Asisten dosen mata kuliah apa? Lo takut ketahuan bolos mata kuliahnya?" Okan bertanya panjang lebar meski tidak tak mendapat respon.

Callin langsung mencak-mencak. "Enak aja! Emang muka dia setua itu, apa? Masih guanteng kinyis-kinyis gitu, loh."

"Oh..." Okan mengangguk sekali. Tak berniat ambil pusing dengan urusan Callin. Tapi mulutnya gatal juga kalau tidak terus membeo. "Atau itu cowok yang lo taksir? Tua amat..."

Tak tahan lagi mendengar ocehan Okan, gadis itu tanpa sadar merespon dengan suara kencang. "Enak aja! Dia bukannya tua, tapi lebih tepatnya, dewasa!"

Mampus.. Kak Junior jadi lihat gue, deh.

Bukannya iba melihat Callin yang gelagapan, Okan tertawa puas sembari memegangi perutnya.

"Laki-laki itu kalo dikejar malah menghindar. Tapi kalo lo menjauh, lama-kelamaan dia bakal sadar kalo ternyata lo adalah orang yang paling dia butuh."

Okan menaik-naikkan sebelah alisnya, lalu tanpa perasaan meninggalkan Callin sendirian di kursinya.

"Woy, lo mau ke mana?" teriak Callin panik. Ia hendak menyusul Okan, sebelum sebuah cekakan menahan lengannya.

"Punya lo, kan?"

Selembar kertas dilambai-lambaikan di depan wajah Callin. Gadis itu berbalik, mendapati Junior sedang menatapnya tak sabar.

"Punya lo, bukan?" tanya laki-laki itu dengan suara lebih tegas. "Tadi jatuh di deket kaki gue."

"I..iya, Kak." Callin mendadak gagap.

Junior meletakkan selembar kertas milik Callin ke atas meja. Menatap gadis itu selama beberapa saat tanpa bersuara.

"Tadi siapa?" tanya Junior. Ia berdiri menatap Callin dengan ransel yang tersampir di bahu kanannya.

"Te..men, Kak." Jantung Callin rasanya mau copot saja. Junior terlihat posesif, bahkan marah. Apa sebenarnya laki-laki itu juga menyukainya?

Oke, Callin. Masih terlalu awal buat kepedean. Ntar ternyata jatohnya gue ge-er sendiri.

Tatapan Junior menyorot tajam. "Lo harus jauhin dia."

Callin melebarkan matanya, bingung. "Ha?" Namun belum sempat Junior meresponnya lagi, Callin sudah menyimpulkan sepihak. "Oh, gue paham, Kak. Lo mau ngatain kalo gue yang biasa-biasa aja ini, nggak pantes temenan sama dia, ya?"

"Gue cukup sadar diri kok, Kak. Itu sebabnya gue cuma niat berteman sama dia, nggak lebih." Callin mengentak kasar dari kursinya. Membuat suara derit tak mengenakan di saat kaki kursinya bergesekan dengan lantai. "Makasih udah diingetin," sembur Callin sembari menyambar kertas miliknya dari atas meja.

Tanpa mengucap sepatah kata pun, Callin melenggang begitu saja meninggalkan Junior yang hanya bisa mematung menatap kepergiaannya. Peduli setan jika Junior menganggapnya pemarah, mudah tersinggung atau semacamnya.

Mau apa dia ke sini? Dan kenapa harus Callin yang jadi targetnya?

***

Umpatan Callin masih terdengar bahkan setelah gadis itu menjauh dari kantin. Daripada langsung masuk kelas, ada baiknya ia mampir ke toilet dulu. Mungkin dengan menangis sejenak di sana, akan membuat hatinya jauh lebih lapang.

"Seenaknya aja dia ngehina gue. Emang dia siapa?" Sembari tak berhenti menggerutu, Callin mengentak kasar memasuki toilet.

Kebetulan sekali tidak ada satu orang pun yang terlihat di dalam toilet. Biasanya kalau jam-jam pagi begini, pasti banyak mahasiswi yang bermake-up dulu sebelum mengikuti perkuliahan.

Cepat-cepat Callin membasuh wajahnya dari aliran air kran wastafel. Ia mendongak, menatap pantulan dirinya dari cermin lebar di depannya. Penampilannya sangat berantakan. Kusut. Kacau. Rambut keritingnya bahkan tampak semakin tak beraturan.

Sedetik kemudian, Callin menatap iba pada dirinya sendiri. "Pantes aja Kak Junior tega ngehina gue."

Sebelum beringsut, Callin menyambar beberapa helai tisu untuk mengeringkan tangannya. Namun baru saja melangkah ke arah pintu, Callin mendengar suara aliran air dari salah satu kran wastafel.

Deg!

Callin yang sudah sampai ambang pintu toilet, menoleh perlahan.

Benar, suara itu berasal dari kran yang baru saja ia gunakan.

Untungnya, Callin masih bisa berpikir positif. Tenanglah, untuk urusan semacam itu Callin tidak pernah ambil pusing.

Dengan santai Callin berbalik, melangkah lagi ke dalam toilet, kemudian menghampiri wastafel untuk menutup kran yang kembali menyala.

Setelah memastikan jika ia sudah menutupnya rapat-rapat, Callin melangkah ringan ke luar toilet.

Namun hal serupa terjad lagi. Baru ditinggalkan beberapa detik, air dari kran itu kembali mengucur deras.

"Aissh, kenapa lagi, sih?" Lama-kelamaan Callin emosi sendiri, merasa sedang dipermainkan.

Di depan wastafel, Callin mematung. Matanya memicing. Seakan menantang lawannya agar menampakkan diri di depan cermin yang sedang dipandanginya. Air yang mengucur deras dari salah satu kran dibiarkan menyala begitu saja.

Tepat saat ia hendak berbalik meninggalkan toilet, sebuah tarikan kencang di rambutnya membuat Callin nyaris terjungkal.

Callin tidak tahu siapa atau apa yang berdiri di belakangnya. Tapi saat Callin mencoba meraba-raba sesuatu yang meremas kepalanya, ia tahu nyawanya tengah terancam. Tangan berlendir yang menjambak rambutnya itu sama persis dengan tangan yang mencengkeram lehernya semalam di rumah Ela.

"To..."

Suara Callin tercekat. Mustahil jika yang menarik kepalanya sampai ke kubangan wastafel itu manusia biasa. Kekuatannya sungguh di luar nalar. Callin bahkan tak bisa menggerakkan bagian atas tubuhnya, sebab tarikan di kepalanya terasa sangat kuat.

Callin tak bisa melawan. Seluruh bagian kepalanya tenggelam di dalam wastafel yang sudah terisi penuh air. Ia kesulitan bernapas. Hidungnya terasa perih karena dipenuhi air. Callin meremas dadanya kuat-kuat. Lama-kelamaan persedian oksigen di dalam tubuhnya pun menipis.

Ya Tuhan... Tolong selamatkan aku..

"Callin!"

Bersamaan dengan teriakan yang terdengar dari luar pintu toilet, tubuh Callin merosot ke lantai.

***

JENG JENG!
Si hantu sebelah tangan ngapain sih ganggu Callin teros?

Kira-kira siapa yang nolongin dia, ya? Okan? Atau laki-laki yang dikatain Okan si muka tua?
😂

Curhat dikit ya,
Hari hariku lagi berat, nih. Tapi aku berusaha enggak moody-an up cerita. Karena dengan nulis aku bisa bahagia, dengan nulis aku punya pengalihan. Terimakasih buat diriku sendiri, juga kalian semua yang sudah bertahan sejauh ini.

Masalah kita mungkin nggak sama. Tapi aku tahu, kalian pernah juga ngerasa penat sama kayak situasiku sekarang ini. Atau bahkan malah lebih berat? Percaya semua akan baik-baik aja kalo kalian bisa melewatinya dengan hati lapang.

Salam sayang,
Rismami_sunflorist

***

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

55.1K 6.5K 176
"Lin Shi adalah pendosa seluruh industri film!" "Lin Shi, aku ingin meminta maaf kepada seluruh penonton jaringan!" "Lin adalah pencuri tua, aku ti...
352K 19.4K 30
Juwita Liliana, gadis berparas cantik, cerdas, kemampuan aneh yang dia miliki mengharuskan dia homeschooling, namun setelah satu tahun terakhir akhir...
301K 4.1K 72
KUMPULAN CERITA DEWASA.
9.2K 205 11
(FIKSI) setelah kematian suaminya,Cornelia alias Oniel mengalami kejadian "Ketindihan" yg sampai membuatnya bangun dalam keadaan Telanjang.Ada hal yg...