"Vanessa, kamu gak kenapa-napa kan?"
Pertanyaan yang di lontarkan Antonio membuat Vanessa tersadar dari lamunannya. Vanessa pun langsung mengulas senyuman, "gak papa, kok. Kayaknya aku kecapean aja seharian urus kerjaan Papa di kantor," jawab Vanessa seratus persen berbohong.
Hal yang menganggu pikiran Vanessa adalah perkataan para karyawan di kantor Antonio yang tadi tidak sengaja di dengar oleh Vanessa. Sebenarnya Vanessa datang ke kantor Antonio karena ingin membawakan makan siang untuk Antonio, namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar sekumpulan orang sedang berbicara mengenai dirinya. Tak lama kemudian Antonio datang dan menegur hingga akhirnya Vanessa memutuskan untuk pergi dan tidak jadi menemui Antonio.
Sepertinya masa lalu Vanessa yang begitu buruk membuat Vanessa tak bisa lepas dari penyesalan. Apalagi sekarang keberadaan adik kembarnya tidak pernah ia ketahui, padahal Vanessa sangat ingin menebus dosa yang pernah ia lakukan kepada Vanilla. Saat itu, Vanessa di penuhi dengan rasa iri kerena merasa Vanilla mendapatkan hidup yang lebih baik dari dirinya. Namun semakin lama, Vanessa semakin sadar bahwa rasa bencinya di manfaatkan oleh seorang psikopat yang selama ini menaruh dendam kepada keluarga dan hendak melampiaskan semua dendam tersebut melalui Vanilla. Andai saja waktu bisa di ulang, Vanessa tidak akan pernah mau tergoda oleh mulut manis psikopat yang sangat mematikan itu.
"Mau mampir?" tanya Vanessa setelah mobil Anton berhenti persis di depan gerbang rumah Vanessa.
"Gausah, aku langsung pulang aja. Masih banyak kerjaan kantor yang belum aku selesaikan."
Vanessa mengulas senyum seraya mengecup pipi Anton, "kalau gitu aku masuk dulu. Hati-hati ya, jangan ngebut." Lalu turun dari dalam mobil Anton dan menunggu hingga mobil hitam tersebut hilang dari pandangannya.
Seharusnya Vanessa sadar, dirinya tidak pantas untuk orang seperti Antonio Gustavo. Antonio merupakan keponakan dari Arsen Gustavo, keluarga angkat Vanilla dan juga kerabat dekat kedua orangtuanya. Jika di lihat dari semua masalah yang pernah terjadi, seharusnya keluarganya tidak lagi membebani keluarga Gustavo, tapi nyatanya malah semakin terikat.
Vanessa menghempaskan tubuh keatas sofa sembari mendengus dan memejamkan mata. Keadaan rumah yang seharusnya ramai, malah sepi karena kehilangan satu per satu anggota keluarga. Orangtuanya pun lebih sering tugas ke luar kota dan Vanessa sendiri menetap karena bekerja sebagai pengganti ayahnya di salah satu perusahaan cabang. Zero, Zero sebenarnya memutuskan tinggal di Manchaster, namun sekarang sedang berada di Indonesia karena pekerjaannya. Ferrio dan Vanilla, keberadaan tidak di ketahui. Terakhir kali Vanessa mendengar kabar mengenai Ferrio ketika Ferrio menikah, setelah itu tidak ada lagi kabar. Sedangkan Vanilla, terakhir kali ia bertemu tiga tahun yang lalu.
"Udah pulang?" Kalimat tersebut membangunkan Vanessa yang sempat tertidur beberapa menit. Matanya melihat Zero yang berjalan sembari memegang secangkir kopi, menghampiri dan duduk di sisi sofa lainnya.
Vanessa mengembangkan senyum seraya memperbaiki posisi duduk dan menghela napas. "Jadi wanita karir, capek juga ya," ucapnya dengan nada bercanda.
"Yaudah, lo suruh aja Anton langsung nikahin lo, biar lo gak kerja dan jadi ibu rumah tangga."
Mengingat Anton, Vanessa kembali terngiang perkataan para karyawan Anton yang tadi tidak sengaja di dengarnya. Sekarang ia bertanya-tanya, apa dirinya pantas untuk seorang Antonio Gustavo? Keluarga konglomerat yang pastinya menjunjung tinggi nama baik keluarga besar Gustavo.
Vanessa mendengus, "apa keputusan gue tunangan sama Anton ini salah ya?" itulah pertanyaan Vanessa dalam hati yang tanpa sadar ia lontarkan pada Zero.
"Kenapa bilang gitu?"
"Gue cuma takut kena masalah suatu saat nanti. Kan lo tahu sendiri, hubungan keluarga kita dan keluarga Gustavo semenjak Vanilla di kabarkan meninggal, jadi renggang. Dan sekarang gue malah tunangan with another Gustavo family. Lagi pula... Gue gak pantas untuk seorang Antonio Gustavo."
Zero langsung menatap Vanessa tajam, "we've talk about this before, dan semua pihak setuju untuk melupakan apa yang pernah terjadi kan? Kenapa lo ungkit-ungkit lagi dan membuat luka lama itu kembali terbuka lebar?"
Vanessa tidak menjawab. Ia hanya mengendikkan bahunya dan menghela napas.
"Anton memang bagian dari keluarga Gustavo. Anton juga tahu gimana masa lalu lo. Anton terima lo karena Anton sayang sama lo dan gak mau lo terus-terusan berpikir bahwa lo masih sama seperti dulu. Gue lebih dari lo, gue lebih benci sama saudara gue sendiri, dan jujur gue menyesal. Tapi gak ada yang namanya mantan saudara, mantan keluarga, seberapa besarpun kesalahan yang pernah lo buat, gak akan bisa buat saudara lo, benci sama lo. Vanilla menghilang bukan karena Vanilla benci sama kita, dia cuma belum bisa menerima apa yang pernah dia lalui di masa lalu."
Kalimat Zero melempar kenangan Vanessa ketika dulu ia masih menyimpan rasa iri kepada saudara kembarnya. Vanessa yang berpikir bahwa Vanilla beruntung karena terlahir hampir sempurna membuat Vanessa selalu memojokkan Vanilla. Vanessa merebut apa yang seharusnya jadi milik Vanilla. Kasih sayang, saudara, bahkan kekasih sekalipun, Vanessa berusaha untuk merebutnya. Hingga ketika malam itu tiba, Vanessa di nyatakan bersalah atas kasus pembunuhan berencana yang ia lakukan bersama seorang psikopat bernama Dirga. Malam itu, menjadi malam yang mengerikan bagi Vanessa. Malam dimana ia kehilangan adik kembarnya dan malam dimana ia harus mendekam di dalam penjara.
"Kita, bukan kakak yang baik untuk Vanilla," gumam Zero dengan nada penuh penyesalan, "dan gue harap, kita punya kesempatan untuk menebus semuanya," lanjut Zero.
Vanessa mengembangkan senyum seraya mencoba menahan airmatanya agar tidak terjatuh dan menghela napas. "Dan di saat itu tiba, i'll make her the happiest girl in the world, i promise."
*****
Tak terasa, berbulan-bulan lamanya Vanilla mempersiapkan diri untuk peragaan yang akan di adakan sebagai syarat kelulusannya dan saat ini ia dengan bangga mengembangkan senyumnya disaat seluruh tamu undangan bertepuk tangan dengan meriah setelah mendengar penutupan dari pihak penyelenggara. Vanilla yang sudah berada di belakang panggung langsung menghela napas dan berusaha menetralkan kembali suhu tubuhnya yang terasa dingin.
"Akhirnya..." gumam Sandra yang ikut menghela napas lega, persis seperti Vanilla.
Setelah adegan negosiasi antara Vanilla dan Sandra beberapa bulan yang lalu, akhirnya Vanilla sepakat untuk bekerja sama dengan Sandra, hingga detik ini mereka berhasil menyelesaikannya tanpa cacat sedikitpun. Selangkah lagi, impian Vanilla untuk menjadi seorang designer akan segera terwujud.
"ciao, sei bellissima nel tuo abito (hai, kamu terlihat cantik dengan gaunmu)," sapa seorang pria gemulai yang berdiri di hadapan Vanilla dan Sandra.
"Ah, Vanilla, this is Roy and Roy This is Vanilla," Sandra memperkenalkan Vanilla pada cowok gemulai bernama Roy itu.
Roy langsung menarik tangan Vanilla dan mencium punggungnya, "un nome dolce come il suo proprietario (nama yang manis seperti pemiliknya)," ucap Roy mengembangkan senyumnya.
"Ini orang yang waktu itu gue bilang," bisik Sandra di telinga Vanilla.
"grazie per il complimento (terima kasih atas pujiannya)," ucap Vanilla membalas senyuman Roy yang sedikit terkejut karena Vanilla ternyata mengerti bahasa yang di gunakan Roy.
Tak hanya Vanilla, Sandra yang berdiri di samping Vanilla pun terkejut. Setelah tahu Vanilla ternyata satu kewarganegaraan dengan dirinya, mengerti bahasa mandarin, sekarang mengerti bahasa itali.
"Lo hapal berapa banyak bahasa sih?" bisik Sandra di sela-sela Vanilla yang sedang berbincang-bincang dengan Roy.
Vanilla mengendikkan bahunya, "gak tahu, gak pernah ngitung," balasnya lalu kembali mengobrol bersama Roy.
Mendengar Vanilla yang begitu intens berbincang, Sandra hanya tersenyum masam karena tidak mengerti apa yang sedang di bicarakan oleh Vanilla dan Roy. Sandra harap Vanilla tidak menjelek-jelekan dirinya karena beberapa kali Vanilla terdengar menyebut dalamnya dalam pembicaraan Vanilla bersama Roy.
"So, how is my bid? are you interested in coming to Milan and meeting my boss in person?"
"Only her, or..." sela Sandra.
Roy tertawa, "both of you, of course."
Mata Sandra langsung membelalak dan menatap Vanilla dengan tatapan tak percaya, "serius nih?" tanya Sandra pada Vanilla yang hanya di balas dengan endikan bahu. Sandra pun langsung bersorak dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Roy.
"ci vediamo a milano (sampai jumpa di Milan)," ucap Roy seraya melenggang pergi bersama seorang asisten yang sedari tadi mengekor di balakang Roy.
Sepeninggalan Roy, Sandra langsung bersorak gembira sembari mengguncang tubuh Vanilla kelewat senang. "Akhirnya impian gue," ucapnya dengan mata berkaca-kaca membuat Vanilla tertawa. "Thank you so much, Vanilla. Gue bakal traktir lo sepuasnya!"
Sandra menggandeng Vanilla dan membawa Vanilla pergi. Vanilla rasa, pertemanannya dengan Sandra akan berlangsung lama, toh memiliki satu teman tidak masalah, selagi tidak menambah beban pikiran dan membuatnya susah. Lagi pula, sepertinya Vanilla sedang berusaha mengembalikan sifat yang selama ini ia coba tutupi, Vanilla akan berusaha menjadi dirinya sendiri.
*****
Untuk kalian yang mungkin ngerti dengan bahasa bahasa asing di cerita ini, kalau ada yang salah atau kurang pas mohon di betulkan ya☺️☺️
Btw, di wattpad kalian chapter yang ini eror gak? Katanya notif gak masuk dan sebagian ceritanya kayak nge bug gitu.
Sabtu, 11 Januari 2020