Jika semesta sudah memberi pertanda, jangan pernah memaksa. Mungkin benar, kebahagiaanmu bukan dengan bersamanya.
***
Sejak Subuh tadi, Late sudah bolak-balik kamar mandi. Bahkan kini setelah ia berpakaian rapi dan siap berangkat sekolah, perutnya lagi-lagi dihantam rasa mulas.
"Lo kenapa sih, Lat? Masuk angin?" Tesa yang sedang membaca majalah di sofa, sampai tidak bisa fokus karena Late bolak-balik melintas di depannya. "Oh, jangan-jangan lo abis makan sambel, ya?"
Tesa menarik ujung bibirnya, kesal bercampur panik. "Ganti baju sana. Gue panggilin dokter, ya. Ntar gue yang telepon sekolah minta ijin lo hari ini absen."
Tangan Late terus meremas perutnya. Bibirnya yang pucat digigit kencang. Baru saja Tesa hendak mengajaknya berbicara lagi, Late sudah melesat ke kamar mandi.
"Nggak usah, Tes! Gue mau berangkat sekolah. TITIK!" Late berteriak kencang dari kamar mandi.
Tesa mengulum bibirnya. Tanpa perlu ditanyakan ke adik laki-lakinya itu, ia tahu apa yang menyebabkan Late bersikeras tetap ke sekolah. Apa lagi penyebabnya kalau bukan gara-gara mau ketemu Vanila?
"Lat, lo keliatan pucet banget, loh." Tesa memperingati. Ia jadi khawatir begitu melihat Late yang ke luar kamar mandi dengan wajah dibanjiri keringat.
"Kalo masih ngeyel berangkat, lo minta tolong Rendy, gih. Suruh nganterin ke sekolah pake mobil lo. Kayak biasanya, motor dia taruh di sini dulu." Terkadang kalau otaknya lagi waras, Tesa bisa menjadi sosok kakak yang bijak.
"Rendy ada jadwal ngampus pagi ini, Tes." Late menanggapi santai. "Bawel amat dah lo kayak emak-emak."
"Ya kan emang udah bertahun-tahun gue ngerangkap jadi emak sama bapak lo? Makanya jangan macem-macem lo, ntar gue sumpahin kayak Malin Kundang baru tahu rasa lo." Kesal karena Late terus membantah, Tesa pura-pura hendak melempar bantal di depan televisi.
Ngomong-ngomong soal sumpah, Late tiba-tiba jadi ingat Vanila. Awalnya ia berpikir akan sulit menjalani hubungan dengan Vanila, mengingat dirinya adalah satu-satunya orang yang bisa membuat sumpah gadis itu mental.
Tapi kenyataannya setelah dijalani, cukup mudah mengatasi segalanya. Ia hanya perlu meminimalisir keributan, tidak membuat mood Vanila buruk, dan satu lagi.. jangan sering-sering mengajak Vanila berghibah.
Late berdecak kemudian melebarkan senyumnya. "Tenaga gue bisa keiisi lagi kalo gue berangkat sekolah, Tes." Disampirkan ranselnya ke pundak lantas melambai singkat ke Tesa yang meresponnya dengan wajah pura-pura ingin muntah.
"DASAR BUCIN!" Teriakan Tesa yang membahana bahkan sampai membuat Browny menggonggong kencang.
***
Helen duduk di kursi penumpang sembari membolak-balik majalah fashion. Selalu saja begini. Hari Senin macet, jalanan padat. Apalagi kalau terlambat berangkat beberapa menit saja dari jam-jam biasanya, jangan harap bisa sampai tepat waktu.
"Mbak Helen, lewat jalan pintas aja, ya?" Pak Lutfi memperhatikan lalu lintas jalan menuju sekolah melalui maps di ponselnya.
Helen mengangkat wajahnya, menatap Pak Lutfi melalui kaca di dalam mobil. "Boleh, Pak. Daripada nanti aku terlambat."
Lama-lama Helen jadi tidak tenang juga. Kalau sampai gerbangnya ditutup, ia harus memohon-mohon pada Pak Broto agar diijinkan masuk.
"Waduh, Mbak." Pak Lutfi panik. Mobil yang dikemudikannya tiba-tiba mogok. "Saya cek dulu, ya."
Untungnya kesabaran Helen tak berbatas. Ia bahkan masih bisa tersenyum saat Pak Lutfi meminta ijin untuk menghubungi bengkel terdekat.
"Kok nggak diangkat-angkat ya, Mbak?" Berulang kali Pak Lutfi mencoba menghubungi nomor yang tertera di ponselnya. Setelah mengecek beberapa bengkel yang muncul di maps, Jaya Abadi Bengkel jaraknya memang yang paling dekat. "Hmm, apa saya ke sana aja ya, Mbak?"
Helen terdiam, ragu untuk memutuskan. Papa Mamanya tidak menginginkan gadis itu memesan taksi atau ojek online. Itu sebabnya Helen selalu bergantung dengan Pak Lutfi, atau Brilian. Tapi sekarang, jangankan untuk meminta tolong mantan pacarnya itu, hanya menghubungi saja rasanya canggung sekali.
"Yaudah Pak, aku tunggu di sini aja." Tidak ingin berada di dalam mobil sendirian, Helen melangkah ke luar. "Pak Lutfi jangan lama-lama, ya."
Sesaat setelah ditinggal Pak Lutfi, Helen baru menyadari ia terjebak di sebuah perkampungan yang agak sepi. Oh, sebenarnya masih ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Hanya saja kebanyakan pick up atau kendaraan berukuran besar yang digunakan untuk mengangkut hasil panen dari warga sekitar.
"Sssst, cewek.."
Pegangan Helen di ponselnya terlepas. Ia menoleh ke samping. Takut-takut memandangi dua orang cowok berseragam SMA yang berboncengan.
Sekilas, Helen sempat mengira motor yang terpakir di sampingnya itu milik Brilian. Tapi ternyata cuma warnanya saja yang sama, merk-nya berbeda. Ia semakin panik ketika menyadari sepasang cowok yang menyapanya itu bukan orang yang dikenalnya.
"Lo mau ke sekolah?" tanya si pengemudi. "Bareng gue aja, yuk."
Helen yang lugu dan polos itu, malah sempat-sempatnya bertanya. "Terus temenmu ini gimana? Ditinggal di tengah jalan?"
"Ini kan dipinggir..." Tatapan cowok itu menyipit saat berusaha mengeja nama yang tertulis di seragam Helen, "Len, ayo bonceng tiga aja."
Melihat penampilan cowok-cowok di depannya itu, Helen semakin bergidik. Si pengemudi rambutnya dicat merah di bagian pinggir. Sementara pemboncengnya punya poni yang panjangnya sampai menutupi sebelah mata. Keduanya mengenakan jaket berwarna kuning yang sangat mencolok.
"Dih, sombong banget, sih." Karena tidak kunjung disambut Helen, Tama menyimpan tangannya yang sudah terulur. "Diajak salaman aja nggak mau."
Helen berbalik. Buru-buru memungut ponselnya, lantas mulai berjalan menjauh dari keduanya. Sayangnya cowok-cowok asing itu masih bersikeras membututinya. Ia sudah mencoba menghubungi Pak Lutfi, namun tidak ada jawaban. Sampai tiba-tiba terdengar suara deru mesin motor lain yang mendekat.
"Heh, bocah. Sekolah yang bener dulu sana. Dandanan kayak lampu lalu lintas jalan gitu pake banyak gaya," bentak cowok itu dengan intonasi yang cukup keras.
Tama menyikut lengan kawannya. Sedangkan cowok yang ada di boncengannya itu tampak bergidik memegangi pundaknya. Keduanya sadar sesadarnya, jika lawannya punya badan yang lebih tegap juga kekar.
"Lah? Main kabur aja? Belajar yang rajin, Nak!" teriaknya sebelum dua bocah SMA itu menghilang dari pandangannya.
Helen mundur menjaga jarak. Ponselnya digenggam erat.
"Lo nggak papa, kan?" Cowok itu menatapnya dari ujung rambut sampai kaki. "Hmm, kayaknya nggak ada yang lecet, sih. Berarti tadi mulus dong."
Sebelah alis Helen terangkat. "Mulus apanya?"
"Mulus mendaratnya ke bumi," tukas cowok itu spontan. "Lo bidadari, kan?" Lalu ia terkekeh geli mendengar gombalannya sendiri.
Helen meneguk ludah. Pikirannya jadi kemana-mana. Apa cowok di depannya itu juga ingin menggodanya? Ah, ia jadi muak menjadi cewek lemah yang tidak bisa apa-apa dan selalu dirinya pada orang lain.
Coba kalo Vanila yang di posisi gue, dia pasti bisa ngelindungin dirinya sendiri.
Cowok berperawakan tegap itu mendekati menajamkan tatapannya. "Oh, lo anak Rising Dream? Oh, pantesan gue ngerasa kayak udah pernah liat lo," tanya cowok itu ketika mendapati nama sekolah familiar itu tertulis di lengan seragam Helen.
Helen mengangguk cepat. "Lo...juga?"
Cowok itu menggeleng sembari tersenyum. "Gue anak kuliahan. Tapi gue punya temen yang satu sekolah sama lo."
Tidak ingin berinteraksi lebih jauh, Helen hanya diam saja.
"Kenal Late, kan? Nah dia itu sobat ambyar gue. Hehe." Rendy mengenakan helmnya, duduk di motor lagi untuk bersiap melanjutkan perjalanannya ke kampus. "Nama lo...."
Di luar dugaan, Helen lebih dulu memperkenalkan diri.
"Helen Shabita," tukas gadis itu. Mulai percaya jika Rendy bukan cowok perusuh seperti yang ia duga sebelumnya.
Rendy membalas senyuman Helen dengan sumringah. Tangannya semangat menjabat Helen. "Gue Rendy."
***
Baru sadar kayaknya gue belum milih visual Rendy. Buat para pecinta Timnas Lover, pasti ngebayangin Renjul, Dilannya timnas? Hohoho
Helen udah bahagia, Brilian apa kabar?
Yakin nggak kalian, kalau karakter di VaniLate bakal bahagia semua? JENG JENG.
Masih banyak kejutan lagi sebelum ending.
Btw, ada yang nunggu aku up Gemaya?
Salam sayang,
Rismami_sunflorist