Pukul tujuh pagi, Vanilla sudah selesai mandi dan bersiap hendak pergi ke bandara, sementara Vebby masih tertidur pulas sembari memeluk boneka shaun the sheep kesayangannya. Kata Vebby, hari ini ia akan mengantar Vanilla ke bandara, tapi wanita itu belum juga bangun. Padahal alarmnya sudah lebih dari lima kali berdering.
Sebenarnya penerbangan Vanilla take off pada pukul satu siang nanti, tapi karena tidak ingin terkena macet, maka Vanilla memutuskan untuk berangkat lebih pagi. Toh, gak ada ruginya jika ia cepat beberapa jam sampai bandara.
"Veb... Lo jadi gak anterin gue ke bandara?" Vanilla mengoyang-goyangkan tubuh Vebby agar wanita itu bangun.
Vebby menggeliat dan menendang-nendang dan bergeram kesal. Matanya masih tertutup rapat dan tangannya mengusap sudut bibirnya, lalu beberapa detik kemudian, suara dengkuran kembali terdengar di telinga Vebby.
Vanilla mendengus, ia harus mencari akal untuk membangunkan Vebby. Jika alarm saja tidak mempan membuat mata wanita itu melek, maka Vanilla harus mencari sesuatu yang lebih nyaring dari alarm. Sebuah ide muncul di otak Vanilla, segera Vanilla berlari menuju dapur, mengambil sebuah panci dan juga sendok kayu, lalu kembali ke kamar.
Vanilla mulai memukul panci tersebut dengan kencang hingga menimbulkan suara berisik seraya berteriak, "VEBBY, BANGUN!!!!!!" tangannya semakin memukul kencang panci itu hingga Vebby mengerutkan alis dan perlahan membuka matanya.
"Berisik woy berisik!" balas Vebby berteriak, mencoba menutup kedua telinganya menggunakan bantal, namun suara berisik itu masih menerobos masuk ke indra pendengarannya. "Arggh!! Ica gue masih ngantuk!!!" murka Vebby duduk di kasur dalam keadaan setengah sadar.
Vanilla meletakan panci yang di gunakannya untuk membangunkan Vebby dan beralih menarik kedua tangan Vebby hingga Vebby beranjak dari kasur, "buruan Veb. Cewek kok tidur sampai jam segini. Keburu di patok ayam rejeki lo!" ujarnya masih berusaha menarik tubuh Vebby yang seolah nempel di kasur.
"Ah biarin aja. Nanti gue patok balik rejekinya dari ayam."
Vebby hendak membuang dirinya keatas kasur, namun tangannya masih terus di tarik oleh Vanilla. "Kalau lo gak bangun sekarang juga, gue siram lo pake air seember! Biar banyak kerjaan lo hari ini!" ancam Vanilla.
Vanilla melepaskan tarikannya pada tangan Vebby dan mengambil kembali panci yang tergeletak di atas kasur seraya berlalu menuju kamar mandi dan mengisi panci tersebut dengan air.
"Bangun gak lo, Veb!" Vanilla mengambil ancang-ancang hendak menyiram Vebby ketika mata gadis itu terbuka sepenuhnya dan langsung bangun sebelum Vanilla menyiramnya. Vebby berdecak, turun dari kasur seraya menghentakkan kakinya menuju kamar mandi.
Vanilla mendengus dan meniup helai-helai rambut yang menutupi wajahnya. Pagi harinya di buat kesal oleh Vebby yang susah sekali bangun pagi. Pantas saja Vebby sering terlambat masuk kuliah. Padahal semalam Vebby tidur lebih dulu di banding Vanilla. Akhirnya Vanilla memilih untuk membuat sarapan sembari menunggu Vebby selesai bersiap dan mengantarnya pergi ke bandara.
*****
Bosan, itulah yang Vanilla rasakan saat ini. Vebby baru saja pulang dan tidak menemaninya karena wanita itu harus mengadakan bimbingan tugas akhir dengan dosen di kampus. Tinggalah Vanilla sendirian yang seperti orang bodoh karena hanya diam, duduk dan menghela napas. Dilirik jam berwarna putih di pergelangan tangannya yang menunjukkan hampir pukul sebelas siang.
Vanilla ingin makan, tapi perutnya masih terasa kenyang. Akhirnya Vanilla memutuskan untuk berkeliling bandara sembari mencari cemilan yang bisa menemani dan mengusir rasa bosan yang menderanya. Beberapa orang yang di lewati Vanilla melirik hingga ujung seperti melihat artis hollywood tiba di bandara. Mungkin karena rambut Vanilla yang coklat begitu kontras dengan kulitnya yang putih dan perawakan seperti orang eropa. Maklum saja, Indonesia kebanyakan memiliki warna kulit yang gelap.
Pada akhirnya Vanilla memutuskan untuk menunggu di kedai kopi yang ada di bandara. Lumayan menghilangkan ngantuk dan jenuh. Di liriknya kembali jam di pergelangan tangan yang menunjukka hampir pukul dua belas siang. Vanilla pun kembali menunggu di ruang tunggu hingga gate keberangkatannya di buka.
Sebuah dering notifikasi masuk bertepatan ketika Vanilla baru saja hendak memainkan game piano di ponselnya. Vanilla pun mengecek pesan yang di kirim melalui email tersebut. Vanilla ingat, pengirim email itu sama seperti pengirim yang mengirimkan foto Dava ke emailnya beberapa waktu lalu. Namun kali ini bukan sebuah foto, hanya sebuah pesan yang bertuliskan "Siap bertemu masa lalu atau akan menghindar selamanya?"
Dalam hati Vanilla bertanya-tanya, apa maksud dari pesan tersebut. Terkesan misterius karena Vanilla tidak tahu siapa pengiriminya dan nama yang tertera di alamat email tersebut seperti bukan nama orang lebih tepatnya seperti sebuah nama yang di samarkan. Namun Vanilla hanya menghela napas dan mengabaikan pesan tersebut, hingga matanya tidak sengaja menatap kearah lurus ke depan dan mendapati sesosok orang yang tak asing lagi di mata Vanilla.
*****
"Buruan dong! Lama banget sih lo!" cerocos Dava yang sedari tadi mengganggu konsentrasi Elang menyetir.
Elang menggeram kesal. Dava tak henti-hentinya menyuruh untuk melaju lebih cepat, padahal Dava bisa melihat dengan mata kepalanya jika jalanan yang mereka lalui padat meyarap. Tidak mungkin Elang menghantam buta setiap mobil yang menghalangi jalan mobilnya.
"Kalau lo mau cepat, sewa aja helikopter!" balas Elang dengan nada ketus membuat Dava langsung memicing.
Setelah bimbang antara pergi atau tidak, akhirnya Dava memutuskan untuk pergi. Kebetulan, Elang masih ada di kantornya dan ia pun meminta Elang untuk menemaninya. Dava gusar dan terus melirik jam di tangannya dengan maksud membunuh waktu agar berjalan lebih lambat. Dava tahu mungkin ini tidak masuk akal, tapi harapannya untuk bertemu wanita itu sangatlah besar.
Vanilla, wanita yang sampai saat ini memiliki tempat tersendiri di hati Dava. Meski kedua orangtua Dava mencoba membujuk agar Dava mencari pengganti Vanilla, Dava tidak bergeming dan tetap pada pilihannya. Gadis yang dulu Dava kenal begitu ceria dan ceroboh sukses membuatnya seperti hidup dengan jiwa yang melayang. Vanilla mengobrak-abrik kehidupan Dava, hati dan juga pikiran Dava. Bagaimana bisa ada orang yang begitu tak ingin lepas sampai-sampai menunggu selama apapun demi orang yang di sayangnya.
Banyak yang mengataakan Dava begitu bodoh karena terus menunggu Vanilla. Memang, Dava akui jika dirinya sendiri bodoh, tapi Dava yakin kebodohannya menunggu Vanilla suatu saat nanti akan berubah menjadi kebahagiaan yang selama ini Dava impikan. Kebahagiaannya hanya satu, hidup bersama Vanilla, dan wanita yang di cintainya hanya satu, yaitu Vanilla. Tidak ada oranglain yang bisa menggantikan posisi Vanilla dari tempat di hati Dava.
Setelah sampai di parkiran bandara, Dava langsung bergegas turun dan memasuki area bandara. Matanya menatap tajam ke seluruh penjuru bandara, berharap menemukan gadis dengan ciri-ciri yang ia lihat di foto pemberian Elang. Pukul setengah satu siang, Dava baru berhasil memasuki ruang tunggu keberangkatan setelah berusaha menyakinkan petugas yang sempat menghalanginya karena tidak memiliki tiket. Dava pun mencari ke setiap ruang tunggu, namun sosok yang Dava cari sudah tidak ada.
"Mas, lihat cewek tingginya segini, kulitnya putih, rambutnya warna coklat, dan pake outer warna coklat, tadi duduk di sekitar sini." Dava bertanya pada salah satu petugas bandara dengan memberitahu ciri-ciri Vanilla.
"Oh, tadi saya lihat pergi mas. Mungkin udah masuk ke pesawat."
Hati Dava langsung terasa hampa mendengar jawaban tersebut. Apalagi mengingat jam yang di beritahu foto itu sudah lewat lima belas menit yang lalu. Dava pasti sudah kehilangan jejak Vanilla.
"Mas yakin dia udah masuk ke pesawat?" tanya Dava lagi penuh harap.
"Saya sih kurang tahu mas, soalnya saya lihat dari tadi dia nunggu disini dan waktu ada pengumuman dia langsung pergi."
Dava menggeram dan mengacak rambutnya kesal. Dava kembali melirik jam di tangannya, pukul dua belas lewat empat puluh lima menit. Sudah take off sejak tiga puluh menit yang lalu. Mungkin Dava memang tidak di takdirkan untuk bertemu dengan Vanilla, meskipun Dava berusaha sekeras mungkin.
"Udahlah, Dav..." Elang menepuk pundak Dava. "Lain kali pasti ada waktu kok," ucapnya berusaha memberi semangat.
Dava hanya tersenyum tipis seraya terus menghela napas. Memang, kadang berharap terlalu tinggi itu bisa membuat seseorang jatuh begitu sakit. Seharusnya Dava tahu, sejak awal ia hanya di permainkan. Bodohnya Dava selalu ikut dalam permainan tersebut. Permainan yang akhirnya membuat harapan Dava kembali pupus entah untuk ke berapa kalinya. Bahkan Elang yanh sedari tadi mengoceh di abaikan oleh Dava. Pikirannya hanya tertuju pada satu nama, Vanilla. Orang yang baru saja memberikan harapan baru yang hilang sia-sia.
Telinga Dava mendengar derap suara langkah dari sepatu hak tinggi yang semakin lama semakin terdengar jelas. Lalu tak lama kemudian, langkah itu berhenti dan tidak terdengar lagi, dan seseorang mulai bersuara, "hai, Dav. Apa kabar? Masih dengan perasaan yang sama atau sekedar masa lalu yang tak terlupa?" Suara itu membuat jantung Dava seolah berhenti berdetak saat itu juga.
*****
Kamis, 19 Desember 2019