▪️15 Hari Lagi
"Bang, lo nggak lagi kesurupan, kan?" Wendy bertanya sambil memandang nampan Revel. Seingatnya, kakak tingkatnya ini bukan orang yang rakus. Tubuhnya yang kurus sangat menjelaskan betapa jarangnya Revel makan.
Lalu sekarang? Lelaki di hadapannya membawa lima potong ayam goreng, hasil promo menggunakan kupon. Meski tanpa nasi, Wendy yakin Revel akan kepenuhan. Ayam-ayam sebesar kepalan tangan itu tercium ke mana-mana. Kepulan asapnya menari di sekitar nampan. Remahannya tercecer di piring.
"Bakal habis nggak, tuh?" tanya Wendy lagi.
"Kalau nggak habis, ada kamu."
"Oh, sorry. Gue sudah punya makanan sendiri."
"Pisang doang? Kayak monyet."
Wendy mencubit tangan cowok itu dengan gemas. Revel langsung meringis kesakitan.
"Ini bukan cuma pisang. Ada apel. Anggur. Strawberry."
"Rujak?"
"Ini salad, bukan rujak."
Revel menirukan gaya bicara Wendy dengan wajah mengejek. Gadis itu sekali lagi hendak melukai jari-jarinya dengan kuku. Beruntung Yeriana segera datang menginterupsi. Cewek yang tadi izin ke toilet itu sudah memesan makanan juga. Sama seperti Revel, ia memilih ayam goreng. Bedanya, jumlah Yeriana hanya dua puluh persen dari milik Revel. Ia juga menambahkan satu porsi kentang dan cola.
Tadi selepas membuang uang dengan karaoke ——ini ungkapan yang diciptakan Revel—— Wendy dan Yeriana sepakat mengisi perut. Sama seperti sebelumnya, Revel menjadi kambing congek selama kaki melangkah. Wendy yang berjalan di tengah, terus saja menoleh pada teman barunya. Seakan-akan lupa kalau Revel ada di sana.
"Harusnya ada, Ri. Inget banget gue taruh di saku."
Tiba-tiba Wendy berkata demikian. Gadis itu tampak kebingungan. Ia meraba-raba saku rok, mengaduk tas selempang, dan celangak-celinguk memandangi lantai. Revel yang baru mencubit kulit ayam goreng, santai saja melihatnya. Ia tahu apa yang akan dikatakan Wendy setelah ini.
"Bang, call hape gue, dong."
Kan?
Tanpa bicara, Revel langsung mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Wendy yang menyaksikan itu langsung nyengir. Menyadari kalau hal ini biasa terjadi. Yang mana Wendy lupa dengan barang bawaannya, kemudian hanya Revel yang sadar, disambung Wendy kelimpungan, dan akhirnya malu sendiri.
"Thank you," kata Wendy tersenyum malu. "Untung ada Abang. Kalau nggak ada Abang, ya nggak ada Abang."
"Itu hidung kalau nggak nempel di kepala, kayaknya bakal lupa juga kamu taruh di mana."
"Dih, sewot."
Revel melengos cuai. Kepalanya kembali terisap ke arah ayam goreng. Wendy dan Yeriana lagi-lagi berbincang ringan. Tentang sesuatu yang tidak diminati Revel. Drama korea, sajak, parfum, lisptik. Benar-benar tidak menarik.
"Hi. My name is Yeri. This water taste like water."
"Oh, so cute."
"It's not cute, Wendy."
"I think ... it's cute."
Semakin lama, obrolan mereka semakin tidak dipahami arahnya. Mereka menggunakan bahasa inggris tanpa topik. Revel geleng-geleng kepala. Apa, sih, nggak jelas. Pikirnya. Apa Wendy menularkan ketidakjelasan sikapnya pada Yeriana? Revel sungguh tidak mengerti kalau memang demikian.
Bosan mengamati, Revel yang masih makan lantas menarik ponsel yang bertengger di saku celana kiri. Membuka catatan sebelum mati. Mengabsen satu-satu.
Beberapa di antaranya sudah ia lakukan.
Menyatakan perasaan pada Joy. Ceklis.
Menemui orangtua. Ceklis setengah karena baru sang ayah.
Memakan lima ayam goreng ...
Oke, ini tidak mugkin. Sekarang Revel sudah kekenyangan. Padahal satu ayam saja belum habis. Duh, dasar tolol! Tabungannya tidak terlalu banyak. Untuk apa boros begini? Memang sih tadi menggunakan kupon sebagai potongan harga. Tapi tetap saja bikin jengkel.
Revel masih merutuk. Ia buru-buru menghapus keinginan pertama. Yang tersisa kini hanya berkelahi sampai babak belur, menemui ibunya, dan making love with beautiful girl.
Revel mendesis dalam hati. Kerasukan apa dirinya sampai menulis semua ini? Menemui ibunya masih mungkin. Tapi berkelahi dan making love? Gila!
Tapi, omong-omong soal ML, Revel memang penasaran. Masalahnya hanya satu. Dengan siapa? Ia tidak punya pacar, gebetan pun sudah direbut orang. Jika diukur dari segi kedekatan, Wendy dan Gisel bisa masuk nominasi.
Gisel cantik sih, tapi dadanya rata. Tepos seperti papan triplek. Kalau Wendy lumayan lebih semok, tapi sepertinya bukan pilihan juga.
Eh, tunggu sebentar. Kenapa Revel memikirkan sebegitu jauh? Ah, sial! Revel benar-benar sudah gila karena memikirkan ini.
*
*
*
"Bang, mau gantian nggak?" Wendy bertanya sambil mendongak. Hari sudah petang. Kopi darat Wendy dan Yeriana berakhir satu jam lalu. Sebelum keduanya terpisah, mereka berjanji untuk berkomunikasi nanti malam. Dan mungkin lanjut pertemuan kapan-kapan.
Kini Wendy sudah berada di dalam transjakarta. Duduk manis sementara Revel berdiri. Meski akhir pekan, transportasi umum yang satu ini memang cukup ramai. Memang tidak sepadat jam pergi atau pulang kerja di hari biasa, tapi saat Wendy masuk tadi, tidak ada bangku kosong.
"Nggak usah," jawab Revel pendek.
"Makasih, ya."
"Apaan?"
"Ini." Wendy menggerakkan keresek berisi ayam goreng yang diberikan Revel. Total yang dibeli lima, namun hanya habis satu. Karena Yeriana tidak mau, jadilah Revel membaginya dengan Wendy.
Revel tidak menjawab lagi. Tepat pada saat itu, speaker mengumandangkan informasi halte pemberhentian selanjutnya. Gadis itu lantas bersiap turun.
"Langsung tempatin kursi gue, Bang," bisik Revel pada cowok di hadapannya.
"Hmm."
Pintu transjakarta terbuka diikuti sahutan petugas. Wendy membuntuti tiga penumpang yang bersiap turun. Ia hendak menoleh ke bangku Revel ——dan mungkin melambaikan tangan, namun rupanya waktu tidak mengizinkan. Orang-orang yang sedang mengantri masuk sudah tidak sabar.
Wendy memutuskan untuk melambaikan tangan lewat chat. Ia berjalan menjauhi transjakarta sambil mengaduk tas selempangnya. Karena tidak terasa juga keberadaan si ponsel, ia mulai panik. Berkali-kali ia berguman, Loh, kok, nggak ada? sambil terus mencari.
"Sekali lagi nemuin hape kamu, dapet berlian nih saya."
Wendy berbalik lalu mendongak ke atas. "Bang, kok, turun?"
Revel mengangsurkan benda pipih yang ditemukannya di bangku Wendy.
"Terparah. Makasih lagi, ya." Wendy tersenyum malu. Lesung di pipi kanannya menjorok ke dalam.
"Kali ini nggak gratis."
Mata Wendy membulat. "Berapa duit?"
Alih-alih menjawab, Revel malah memandangi gadis itu dari ujung ke ujung. "Dari sini ke rumahmu, jauh nggak?"
"Kenapa emang?"
"Saya kebelet. Ikut pipis boleh?"
"Kencing maksudnya?"
"Kencing sama pipis apa bedanya?"
Wendy mencubit lengan Revel. "Pipis lebih ke anak-anak."
"Kata siapa itu?"
"Soalnya lagu anak judulnya kebelet pipis. Bukan kebelet kencing."
"Ah, terserah. Yang penting sekarang ke rumahmu, ya."
*
*
*
"Wen, si Yeriana itu beneran anak baik-baik?" Revel bertanya setelah mereka meninggalkan halte.
Wendy diam sejenak. "Ya, baik."
"Yang jujur, Wen. Sebenarnya kalian kenal di mana?"
Wendy lagi-lagi tidak langsung menjawab. Ada jeda sekian detik. "Instagram."
"Kok, bisa?"
"Lupa gue awalnya gimana."
Revel diam memperhatikan. Gadis di sebelahnya itu tampak menghindari obrolan lebih lanjut. Ia pura-pura menyibukkan diri dengan bermain ponsel.
"Masih jauh?" tanya Revel setelah melewati gerbang komplek, dua pos ronda, tiga ratus meter jalan beraspal, dan sekian deretan rumah.
"Dikit lagi."
Revel diam berpasrah. Sesekali ia terus mencuri pandang ke arah gadis setinggi bahunya itu. Tidak ada perubahan juga. Wendy senantiasa asyik dengan ponselnya.
"Eh, kok, di sini?" Wendy mendadak kebingungan. Lalu terhadap Revel, ia tersenyum kemalu-maluan. "Sorry. Kelewatan hehe."
Revel merebut ponsel Wendy. Gadis itu menyahut tak terima. Berhubung Revel jauh lebih tinggi, cewek itu tampak kesulitan mengambil kepemilikannya. Beberapa kali ia berjinjit dan melompat. Hasilnya nihil.
"Kembaliin, Bang." Wendy berusaha melompat lagi. "Bang Revellll."
"Anterin ke rumahmu dulu, baru saya balikin."
Wendy bersungut-sungut. Dengan wajah cemberut ia akhirnya pasrah. Sempat beberapa kali ia mencuri kesempatan. Tapi rupanya Revel lebih gesit.
Hingga akhirnya tidak terasa, sampailah keduanya di depan sebuah rumah. Bangunan itu terdiri dari dua lantai. Bergaya modern. Tampak asri. Dan warnanya didominasi biru langit.
"Mama sama Abang gue lagi pergi," kata Wendy setelah membuka pagar. Ia berkata demikian sebab ninja dan kijang tidak terdampar di lahan parkir.
"Pada ke mana?" tanya Revel sambil mengikuti Wendy. Gadis itu sudah berdiri di depan pintu. Ia menunduk ke arah pot bunga di sebelah kaki kiri, kemudian mengangsurkan tangan ke sana. Sebuah kunci langsung ada di tangannya.
"Mama punya toko kue. Baru balik jam delapan malam."
"Abangmu?"
Wendy memasukkan kunci ke liang. Membuka pintu. Barulah berkata, "Keluyuran."
"Maksudnya?"
"Iya, keluyuran. Memang nggak ada otak si Depoy. Dia harusnya lulus tiga tahun lalu, Bang. Cuma ya gitu, nggak bener. Ngabisin duit doang kerjaannya. "
Revel mengangguk-angguk, Wendy mempersilakan masuk.
"Kalau ayah?"
"Sudah meninggal."
"Oh, maaf."
Wendy mengangguk santai. Ia melangkah tenang ke dalam rumah. Menaruh tas selempang dan keresek ayam goreng di sofa. Berjalan lagi ke arah ujung. Yang mana sebuah pintu berdiri gagah di sana.
"Kamar mandinya samping dapur. Masuk ke sini saja, ya."
Revel tidak menjawab. Ia menengok ke belakang dan mendapati kunci yang masih tergantung di luar. Ia lantas menarik kunci tersebut dan memasukkannya ke sisi dalam.
"Pintunya nggak usah dikunci, Bang."
"Nggak apa-apa, kunci saja."
Revel berjalan mendekati Wendy. Langkahnya sangat tenang. Kepalanya fokus pada satu titik. Yang tak lain adalah badan Wendy. Dari ujung ke ujung, dipandanginya tubuh menggiurkan tersebut.
Yang ditatap rikuh sendiri. Seumur mengenalnya, baru kali ini Revel memandang seperti ini. Tapi Wendy masih berusaha tenang. Ia tidak mau berpikir terlalu jauh. Kakak seniornya ini orang baik. Ia percaya itu.
"Wen, badanmu bagus juga."
"Mmm ... Mmaksudnya apa?"
Wajah Revel datar. Ia sudah berada tepat satu meter di depan gadis itu. Perlahan tapi pasti, Wendy mundur selangkah. Dadanya mulai berdetak tak karuan.
Wendy menelan ludah gusar. Ia seperti melihat orang lain. Bukan Revel yang kata-katanya sering sembarangan. Bukan kakak senior yang dikaguminya. Bukan juga lelaki yang ia anggap seperti kakak sendiri.
Wendy sangat merasa asing.
"Jangan macam-macam," kata Wendy dengan suara bergetar. Air mata tiba-tiba saja menumpuk di pelupuk. Keringat mengembun di pelipis.
"Kenapa, Wen?"
Revel maju selangkah. Wendy mundur lagi.
"Kamu ingat kata-kata saya soal making love with beautiful girl?" tanya Revel denga wajah sedingin tadi.
"Bang ... "
Alarm peringatan berdering di benak Wendy. Dada gadis itu semakin berderap keras. Rasanya jantungnya siap meletus sekarang juga. Ketika Revel tiba-tiba mencengkeram bahunya kemudian mendesaknya ke tembok, air mata Wendy benar-benar merebak.
-bersambung
19 Februari 2020