Dia tiba-tiba membuka hati. Setelah bertahun-tahun diabaikan dan tersakiti, mungkinkah rasa yang telah kusudahi ini akan mengakar lagi?
***
Bibir Late sedikit pucat. Kulit putih cowok itu berubah kemerahan karena terlalu lama berjemur di bawah matahari. Melihat penampakan pacarnya yang seperti mayat hidup itu, Vanila meremas-remas tangannya gelisah.
"Ini mereka berdua kenapa, Pak?" Bu Weni memicing curiga. Menatap ke arah Late dan Brilian secara bergiliran. "Oh, berantem juga kayak cewek-cewek ini?"
Sontak, wajah Brilian serta Late mengencang. Secara kompak keduanya melempar tatapan ke pacar masing-masing.
"Adu lari di lapangan belakang, Bu. Di luar jam pelajaran pula." Pak Ismed melipat kedua tangannya di depan dada. "Nggak tahu juga tujuan mereka apa."
Late nyengir. Brilian hanya melengos saat Bu Weni mempertanyakan permasalahan di antara kedua bocah laki-laki itu.
"Nggak ada yang mau jelasin ke saya? Oh, oke. Jadi kalian kompakan main gerakan tutup mulut?" Bu Weni mengangguk-angguk maklum, walau sorot matanya menyiratkan hal yang berbeda.
"Jadi kita boleh balik ke kelas kan, Bu?" tanya Vanila memberanikan diri.
Helen, Brilian, juga Late, menanti jawaban guru BK itu sembari merapal doa. Murid yang sudah terjebak masuk ke ruang BK, tidak pernah dibiarkan lolos begitu saja oleh beliau.
"Pulang sekolah bantu petugas kebersihan beres-beres perpustakaan, laboratorium Fisika, gudang penyimpanan alat-alat olahraga, dan Lab.Komputer." Bu Weni menunjuk satu per satu murid di depannya dari yang paling ujung. "Ya, kalian semua."
Vanila mengangkat tangannya ragu-ragu. "Maap-maap aja nih ya, Bu. Saya kan bukan anak IPA, jadi nggak pernah pake lab Fisika. Bisa diganti ke tempat lain aja, nggak?"
Bu Weni menyandarkan bahunya ke kursi. "Van? Kamu lagi nguji kesabaran saya, ya? Atau mau bersihin semua toilet.."
Sepasang tangan Vanila mengibas-ngibas. "Nggak, Bu.. Makasih. Hehe. Saya mending bersihin perpus dan lain-lain aja."
Tak ada yang minat berkomentar atau bahkan protes setelah menyaksikan Vanila nyaris saja mendapat hukuman yang lebih menyiksa.
"Yaudah biar cepat selesai, Vanila sama Brilian bersihin perpus dan Lab.Fisika. Helen sama Late ke gudang, nah sampingnya kan pas Lab.Komputer." Bu Weni memberi mandat yang kedengarannya sudah paten, tak bisa dibantah lagi.
Di antara ke empat murid itu, hanya Vanila yang tampak benar-benar tidak terima. Bukannya patuh dan bergegas menyelesaikan hukuman dari gurunya itu, Vanila bergerak maju mendekati meja Bu Weni.
"Mau protes apalagi, Van?" tanya Weni tanpa menoleh ke arah gadis itu. Kini beliau sibuk mencatat sesuatu di memonya.
"Saya nggak mau dihukum bareng Brilian, Bu." Vanila berterus terang.
Bu Weni meletakkan pulpennya lantas mendongak memandangi gadis itu.
"Kamu sama Brilian kan udah sering dihukum bareng. Jadi otomatis, kalian udah dapet chemistry buat kerja sama. Hukuman kalian bisa selesei lebih cepet. Oke?" Nada bicara Bu Weni yang penuh penekanan, seolah menyiratkan jika beliau tidak ingin dibantah lagi.
Di dalam otak Vanila, ia sudah menyiapkan berbagai macam alasan untuk dilontarkan pada guru BKnya itu. Tapi saat tatapannya tertumbuk ke arah Late, gadis itu tak bisa mengelak lagi. Seakan terkena mantra sihir, Vanila akhirnya mengangguk patuh. Mengurungkan niatnya menyerang Bu Weni melalui kata-kata pedas.
"Nah gitu dong, Van. Dari tadi kek nurutnya biar Ibu nggak pusing," celetuk wanita itu ketika melirik Vanila yang bergerak menjauhi mejanya dengan wajah pasrah.
***
Ketika bel pulang sekolah berbunyi dan murid-murid berhamburan ke luar kelas, Vanila hanya mematung di bangkunya. Virgo sampai terheran-heran menatapnya. Di hari-hari biasa, gadis itu selalu menjadi orang pertama yang ke luar kelas setelah guru mata pelajaran mengakhiri materinya.
"Loh, Van? Lo nggak balik? Gerbangnya kan di sana," tanya Virgo ketika Vanila hendak melenggang menuju arah yang berlawanan. "Oh, gue tauuu! Mau mojok sama Late dulu, kan? Acieeeeeeh."
Tanpa perasaan, Vanila meninju kencang lengan teman sebangkunya itu. "Mojok pale lo! Gue mau ngebabu dulu di perpus sama Lab. Fisika."
"Duhh! Sakit bego. Dasar preman sekolah lo." Virgo mengusap-usap lengannya lalu melambai singkat sebelum bergegas menuju area parkir.
Sepasang kaki Vanila yang bergerak menjauhi ruang kelasnya, berhenti melangkah di tengah-tengah koridor. Tatapannya mengedar. Ia celingak-celinguk di depan kelas lain, mengabaikan murid-murid yang melintasinya.
"Maling ya, Mbak?"
Vanila terjingkat. Pegangannya di tepian jendela terlepas. Nyaris ia tersungkur sebelum tiba-tiba sepasang tangan dengan sigap mencengkeram lengannya.
Begitu menoleh ke belakang, ia disuguhi senyum ceria Late sekaligus tatapan lembut yang mematikan seluruh syaraf Vanila.
"Maling-maling apaan sih, lo! Ngagetin gue aja!" sembur Vanila sembari menggerak-gerakkan bahunya.
"Maling hati gue. Ciaaaat-ciaaaat!" Late menunjuk-nunjuk heboh wajah gadis itu.
Vanila mengerucutkan bibirnya. "Gara-gara lo, gue nyaris kejungkel."
"Masih nyaris, berarti belom. Jadi nggak perlu marah-marah," tanggap Late santai.
Setelah memperhatikan raut wajah Vanila selama beberapa detik, mood buruk gadis itu seketika menular.
Sebenarnya ia berencana mengajak Vanila untuk menemaninya menjemput Rendy di bandara. Tapi hukuman dari Bu Weni tengah menanti keduanya. Mana mungkin bisa kabur?
"Gue ke gudang dulu ya, Van." Late berkata lemas. "Kalo nanti situasinya aman, gue mau panggil tukang bersih-bersih online ajalah. Hehe."
"Sekalian dong, ke perpus sama Lab.Fisika." Vanila terkekeh mendengar candaan Late yang sebenarnya garing, tapi secara ajaib ampuh mengembalikan moodnya.
Setelah terpisah di taman, Vanila berbelok ke sisi kiri melewati ruang guru, koridor kelas sebelas, lalu berhenti di depan ruang perpustakaan yang sengaja disterilkan sementara waktu.
Ada selembar kertas putih yang tertempel di kaca jendela perpus. Vanila melengos, seolah sudah bisa menebak tulisan ala yang tertera di sana.
"Perpustakaan harus dikosongkan sebelum jam dua siang."
Tertanda, Magdalena.
Petugas perpustakaan kelas sepuluh.
Vanila menghela napas panjang. Melangkah memasuki perpustakaan dengan wajah terpaksa. Bahunya turun tak bertenaga.
Usai melepas sepatunya dan meletakkan di salah satu rak, ia dikeluarkan id cardnya sebagai member perpus. Tak perlu menunggu lama, pintu kaca di depannya pun terbuka otomatis.
SMA Rising Dream memiliki tiga perpustakaan yang letaknya saling berdekatan. Sesuai kebutuhan tiap-tiap angkatan, koleksi buku-bukunya juga beragam.
"Hai, Van." Brilian menyapanya sumringah.
Suasana perpustakaan yang benar-benar sepi, membuat suara Brilian menggema ke penjuru ruangan.
"Eh elo, Bri." Vanila tersenyum kecil, melambai sekilas, lantas melenggang ke tumpukan buku yang berserakan di meja Bu Magdalena.
Sengaja banget ini Bu Magdalena nggak diberesin dulu. Kesempatan dah, makan gaji buta.
Di hari-hari biasa, sampai sore pun Bu Magdalena seringkali masih terlihat sibuk di meja kerjanya. Merekap buku yang ke luar masuk di hari itu.
Mumpung ada Vanila dan Brilian yang ditugaskan menghandle pekerjaannya di perpustakaan, wanita berkacamata itu pindah ke ruang guru. Beristirahat sejenak sembari berghibah bersama guru-guru lain.
Hatchimmm!
Brilian mengusap-usap hidungnya yang memerah.
"Pake, nih." Vanila melempar jaketnya. "Lo kan nggak bisa kena debu. Ntar jadi flu parah kayak pas waktu lo -"
"Main petak umpet di rumah lo, dan gue milih ngumpet di gudang?" Brilian tersenyum lebar. Selalu antusias ketika mengulik cerita-cerita masa kecilnya bersama Vanila.
"Jangan diingusin Bri," tukas Vanila sembari memperhatikan Brilian dari sudut mayanya.
Cowok itu mengangguk patuh kemudian melingkarkan jaket Vanila kehidungnya. Setelah memastikan ikatannya sudah pas, ia kembali menata satu per satu buku ke masing-masing rak.
"Sesayang itu ya lo sama Helen."
Suara dingin Vanila tiba-tiba menyeruak di sela-sela keheningan.
Brilian memutar tubuhnya. Tidak mengucap sepatah kata pun, namun tatapannya menyorot penuh tanya. Desahan napasnya berat. Terlihat lelah dengan drama yang terjadi di antara dirinya dan Vanila akhir-akhir ini.
Apa kali ini gue bakal berdebat lagi sama Vanila?
"Masih nggak paham maksud ucapan gue, Bri?" Tangan Vanila yang sedang membersihkan sela-sela rak dengan kemoceng, berhenti bekerja.
Ia berbalik, mendapati laki-laki terdiam dengan wajah terpukul.
"Masih belum paham maksud gue apa?" Vanila berdecih. "Tega ya lo, Bri. Demi ngelindungin Helen, lo biarin gue tersiksa sama perasaan bersalah gue."
Melihat Brilian yang hanya terpaku dengan tangan mengepal, Vanila kembali meluapkan kekecewaannya.
"Seandainya gue nggak tahu sendiri, sampai kapan lo bakal diem?" Gadis itu mendengkus sembari melipat tangannya di depan dada.
Kesal diabaikan, Vanila meletakkan tumpukan buku di tangannya ke keranjang kosong yang ada di dekat Brilian. Kakinya mengentak kasar. Sudah habis kesabarannya. Sampai kapan pun, Brilian tidak akan pernah bisa menghargai keberadaannya.
"Gue diem bukan buat ngelindungin Helen, tapi karena gue pengen pertahanin lo."
Tubuh Vanila seolah mati rasa. Mendengar suara Brilian yang parau dan mengiba, membuat gadis itu terpaku di dekat pintu.
"Dengan cara bikin gue dihantui perasaan bersalah, Bri?" sindir Vanila sinis. "Lo nggak tahu gimana takutnya gue waktu itu. Sampe gue sempet ngerasa lebih baik gue nggak bisa ngomong, daripada setiap ucapan atau sumpah gue buat orang lain celaka."
Tangan Vanila yang berkeringat meremas-remas ujung roknya. Setiap kali memorinya terlempar ke hari di mana Brilian mengalami kecelakaan, tenaganya seakan-akan terkuras habis. Mendadak ia merasa lemas meski hanya sedang terdiam dan melamun.
"Van, maafin gue -"
Bruk
Suara Brilian tiba-tiba lenyap. Vanila berbalik cepat. Bola matanya membulat penuh saat mendapati tubuh sahabatnya tergeletak di depan salah satu rak.
Sepasang kaki Vanila saling beradu. Secepat kilat, ia menghambur menghampiri Brilian yang masih juga tak bergerak meski Vanila mengguncang-guncang tubuhnya berulangkali.
"Bri, Bri..Lo kenapa?" panggil Vanila dirundung perasaan gelisah.
Diamati lekat-lekat wajah sahabatnya itu sembari menerka-nerka sesuatu.
Dari sejak gue lahir, bayi sampe belasan tahun sahabatan sama ni bocah, dia jarang banget pingsan. Apalagi cuma gara-gara kecapean doang? Nggak Brilian banget deh kayaknya.
"Heh, lo pura-pura pingsan biar gue maafin, ya?" Sambil berjongkok di samping Brilian, Vanila menyentak bahunya. "Serah lo dah, Bri. Doamat. Gue tinggal lo sendirian di sini, baru tahu rasa lo!"
Vanila pura-pura hendak melenggang pergi. Tapi setelah ditunggu beberapa saat, Brilian tidak juga bereaksi.
Atau jangan-jangan dia lagi ngeprank? Eh, tapi kan dia bukan Lalat, apa untungnya dia ngeprank gue? Nggak dapet duit, nggak tambah famous. Berarti dia beneran pingsan, dong?
"Huaaaa, Bri! Lo kenapaaaaaa?"
***
Meski semalem mood ambyar, aku berusaha banget buat nerima kekalahan timnas dengan lapang dada.
Setengah nggak rela, setengah marah dan kesel sama Nguyen FC yang udah bikin pemain legend kita cidera.
But overall, terimakasih udah menyuguhkan permainan yang epic selama Sea Games. Www
Gesss gessss..buat yang kemarin nonton timnas, satu kata buat orang ini??😁
Makasih buat yang udah kasih semangat lewat wattpad juga DM Instagram.
Salam sayang,
Rismami_sunflorist