Bahwa kenyataanya setiap hati pasti pernah merasakan sakit, terluka lalu patah. Tinggal bagaimana masing-masing dari kita mengatasinya ; berusaha mencari penawar, atau menunggu penawar itu datang sendiri.
***.
Bukannya merasa bersalah, Vanila hanya berdecak sembari melipat tangannya di depan dada. Menatap sengit cowok di sampingnya, seperti hendak mengajak berduel.
"Rasa suka gue ke Brilian bukan cuma ilang sementara, tapi bakal selamanya. Dia bukan cuma bikin hati gue patah, tapi gue sempet ngerasa kehilangan harapan begitu tahu dia jadian sama Helen." Vanila menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
"Bego banget kalo gue masih nyisain ruang di hati gue, buat orang yang udah nyia-nyiain gue?" tanya Vanila, ingin meminta persetujuan dari Late.
"Bolehlah kalo bego di pelajaran sekolah, asal nggak bego di pelajaran kehidupan," goda Late sembari terkekeh geli.
"Sok bijak lo. Muka bar-bar lo nggak pantes kalo ngomongin soal kehidupan."
Vanila menyentak lengan cowok itu. "Giliran gue mau serius, malah lo becandain," gerutu Vanila. Setelah terdiam beberapa saat, tiba-tiba ia menepuk jidatnya sendiri.
"Lat, Lat! Sekarang lo puter balik, turunin gue di gang depan situ."
Late yang kebingungan mendapati reaksi gelisah di wajah Vanila, hanya bergeming menatap gadis itu.
"Nggak jadi sarapan?" Kening Late berkerut.
"Dompet Mama ketinggalan. Jadi abis ini pasti Mama balik buat ambil dompetnya. Posisi Mama udah agak jauh, nggak bakal kekejar kalo kita juga pake mobil. Makanya gue minta diturunin di gang depan situ. Ada jalan tikus, gue bisa lari sampe rumah." Vanila menepuk-nepuk heboh pundak Late.
Mendengar instruksi dari Vanila, cepat-cepat Late memutar kemudinya ke arah yang dimaksud gadis itu.
Karena terlalu panik, saat ia hendak memberi jalan pada mobil lain yang datang dari arah berlawanan, tanpa sadar ia malah menginjak gas, bukannya rem. Nyarissss. Tinggal satu jengkal lagi mobilnya bertabrakan dengan mobilain yang baru saja lewat.
"Gila lo, ati-ati dong, Lat." Vanila ngomel. "Kalo sampe tadi ketabrak beneran gimana? Bisa abis kita berdua!"
"Lah yang nyuruh cepet-cepet siapa? Elo, kan?" Late tidak terima dijadikan pelampiasan kekesalan gadis itu.
"Ya tapi kan yang nyetir lo, bukannya gue. Atau mau ganti posisi aja?" tawar Vanila. Bibirnya mengerucut sebal.
Setelah mobil Late melaju beberapa meter pun, Vanila masih tak berhenti mengoceh. Sesekali ia mengguncang pelan lengan Late agar mendapat perhatian dari cowok itu.
"Lo nggak percaya ya kalo gue yang nyetir? Takut mobil lo yang mewah ini kenapa-kenapa?" tanya Vanila sewot karena Late tak juga bereaksi.
Late menatap gadis itu sekilas ketika laju mobilnya terjebak di lampu lalu lintas yang menyala merah.
"Lo sadar nggak tadi itu lo kayak nyumpahin gue? Yaaa, walau gue sendiri nggak yakin itu sumpah atau bukan, tapi mending kita waspada dulu, kan?"
Sepasang alis Vanila bertaut. "Sumpah? Yang mana? Kapan?"
Late mendesah pelan lantas meniru gaya bicara Vanila dan mengulangi kalimat yang sempat dilontarkan gadis itu.
"Coba bayangin kalo mobil lo beneran nabrak motor tadi! Bisa abis kita berdua," tukas Late agak ngos-ngosan karena mengikuti tempo bicara Vanila.
Begitu lampu lalu lintas berpendar hijau, Late kembali fokus menatap jalanan. Namun rupanya ia masih belum selesei memberi siraman rohani pada Vanila.
"Lo nggak inget apa jadinya tiap kali lo nyumpahin gue?" tanya Late, membuat Vanila tiba-tiba menegang.
"Sumpah lo mental, kan? Itu berarti seandainya gue kasih ijin lo nyetir, siapa yang bakal nabrak pengendara lain? Kemungkinan lo, Van."
Vanila menggigit bibirnya sendiri. Kaget sekaligus takut.
Late udah tahu soal sumpah serapah gue? Darimana? Kok bisa? Jangan-jangan abis ini dia jadi ilfeel terus...mau ninggalin gue?
"Semenjak jadian sama lo, gue harus ekstra hati-hati. Sebisa mungkin gue nggak bikin lo kesel, marah, atau bahkan sampe bikin lo nyumpahin macem-macem ke gue." Late menarik napas panjang lalu
menghembuskannya perlahan.
"Karena gue nggak mau lo celaka gara-gara sumpah lo ke gue mental."
Laju mobil Late melambat. Ia melirik Vanila yang tampak tertegun memikirkan sesuatu. "Btw Van, lo jadi turun di gang ini, nggak?"
Vanila celingak-celinguk. Karena fokusnya sedari tadi terpusat pada Late, ia sampai tidak sempat memperhatikan situasi di sekitarnya. Dan kini ketika mobil Late sudah menepi, ia langsung gelagapan mengemasi barang bawaannya sebelum turun.
"Heh cewek ninja! Punya lo ketinggalan, nih!" tukas Late sembari melempar sebuah minuman kaleng yang langsung ditangkap Vanila dengan mudah.
"Lat, lo masih utang ngejelasin sesuatu ya sama gue." Vanila menutup pintu mobil Late, namun ternyata gadis itu tidak langsung pergi.
"Iya, iya bawel lo. Ntar sore gue telepon kalo urusan udah kelar. Buruan sana, ntar keduluan Mama yang nyampe rumah." Late mengibas-ngibaskan tangannya, meminta Vanila buru-buru pergi.
Vanila menaikkan sebelah alisnya. "Mama?"
"Heemph, Mama kita!" Late menjawab spontan. Membuat wajahnya mendadak bersemu merah.
Melihat Vanila yang malah senyum-senyum sendiri di samping mobilnya, membuat Late kembali menggoda gadis itu.
"Apalagi, sih? Mau minta cipika-cipiki?" Late mendorong setengah badannya sampai ke kursi di samping pengemudi.
"Hihhhh najis! Sono cium aja si Browny!" sembur Vanila kemudian berlari cepat meninggalkan Late yang masih mengawasi sosok gadis itu dari kaca spion.
***
Peluh membanjiri dahi Vanila. Napasnya ngos-ngosan. Sekitar dua ratus meter lagi ia sampai rumah. Bahkan jemuran di lantai atas rumahnya pun sudah terlihat. Tapi setelah berlari beberapa menit dengan kondisi perut yang masih kosong, kini tenaganya benar-benar terkuras habis.
Begitu sampai di halaman rumah, Vanila akhirnya bisa bernapas lega. Garasi tampak masih kosong. Itu berarti lebih cepat sepersekian menit dari Mamanya yang masih berada di perjalanan.
"Bri! Bri!" teriak Vanila saat memasuki ruang tamu. Tak sabar rasanya ingin memaki dan melabrak cowok itu.
"Van? Lo kenapa sih teriak-teriak? Gue nggak budek kali..."
Sampai di ruang tengah, Vanila mendapati Brilian yang masih duduk bersila di atas sofa. Kali ini acara televisi yang ditontonnya bukan lagi Spongebob, melainkan kartun dari channel yang berbeda, yaitu Upin Ipin.
"Heh! Lo pasti yang udah ngadu ke Mama kan, kalo gue ke luar rumah?" Vanila tampak geram. Tangannya menuding-nuding wajah Brilian, seolah ingin memojokkan sahabatnya itu.
"Ha?"
Brilian bengong. Ditatap Vanila yang masih berdiri dengan menaikkan satu kaki ke atas sofa, mirip preman yang lagi malak.
"Gue bahkan nggak nyadar kalo dari tadi lo nggak di rumah. Kapan emang? Barusan?"
Brilian bertanya balik. Dan tentu saja jawaban itu membuat Vanila kepala Vanila semakin mendidih.
"Kalo bukan lo, siapa lagi? Masa iya kebetulan doang? Udahlah ngaku, nggak usah pura-pura bego kayak gitu. Lo kan yang udah ngadu ke Mama?" tanya Vanila sekali lagi.
Kini ia duduk di samping Brilian sembari melipat tangannya di depan dada.
"Ngadu soal apa, Van?"
Bersamaan dengan suara itu, muncul sosok wanita berpenampilan rapi yang melenggang terburu-buru menghampiri keduanya.
"Berantem lagi?" tanya Mama Vanila sembari menatap putrinya dengan wajah gusar. "Maksudnya tadi ngadu soal apa, Bri?"
"Anu, Ma.." Brilian menggaruk-garuk tengkuknya. "Mmm, itu... Besok Vanila ngajak bolos lagi. Hahaha," jawab cowok itu sedapatnya.
Mama Vanila hanya geleng-geleng kepala lantas kembali menatap waspada ke arah putrinya.
"Lah, kamu darimana, Van? Kok kayak abis pergi gitu?" tanya Mama Vanila ketika mendapati tangan kanan putrinya menggenggam sesuatu.
Di dalam hati, Vanila merutuki kecerobohannya.
Berarti tadi gue emang kebetulan ketemu Mama? Bukan gara-gara Brilian yang ngadu?
Karena Vanila tampak kebingungan mencari jawaban, Brilian angkat bicara.
"Oh, tadi aku minta tolong Vanila buat ambil camilan di rumahku, Ma. Tapi ternyata adanya cuma minuman dingin. Mana tinggal sekaleng doang. Hahahaha." Takut tertangkap basah berbohong, Brilian mencoba tertawa senatural mungkin.
"Ck, ada-ada aja kalian. Kalo mau beli apa-apa, delivery order aja biar gampang. Nanti uangnya Mama ganti," tukas Mama Vanila lantas melenggang cuek menuju kamarnya.
Setelah menemukan dompetnya yang tertinggal di meja rias, ia kembali menemui Brilian dan Vanila di ruang keluarga.
"Mama berangkat dulu, ya." Sebelum beranjak dari sana, Mama Vanila tiba-tiba berbalik. "Ah, Mama nyaris lupa. Tadi di BetaMart, Mama ketemu temenmu. Siapa tuh namanya..La..."
Tanpa sengaja, tatapan Mama Vanila terarah ke minuman kaleng yang berada di genggaman putrinya.
"Nah, iya Late! Baru sadar kalo ada minuman nama kalian, ya." Mama Vanila terkekeh kecil, membuat Brilian tiba-tiba murung. "Mama utang tiga puluh ribu ke dia. Besok kamu bayar ya, Van."
"Uangnya?" Vanila menengadahkan tangannya. "Soalnya aku jamin, besok Mama pasti lupa."
"Ya kalo Mama lupa, berarti pake uangmu dulu, dong. Orang cuma tiga puluh ribu doang," jawabnya santai. Membuat Vanila sontak mengikutinya sampai ke teras rumah. "Hihh, kamu tu kalo sama Mama jangan pelit-pelitlah. Uangmu kan juga dari Mama, Van."
Tak ada yang tahu jika di depan televisi, Brilian sedang bernegosiasi dengan hatinya. Ia mencoba tidak egois, tapi kenyataannya ada perasaan kecewa yang menyusup lancang.
Sebenarnya ia cukup sadar diri. Tak ada alasan untuknya sakit hati. Namun semakin lama, perasaannya pada Vanila semakin jelas. Bukan lagi samar-samar seperti yang dirasakannya sejak kecil, sampai akhirnya ada sosok baru yang mengusik kebersamaannya dengan Vanila.
Itu berarti, kemungkinan besar tadi Vanila bela-belain kabur dari rumah cuma buat ketemuan sama Late?
***
Ketika patah hati, kamu termasuk tipe yang mencari penawar, atau menunggu penawar itu datang sendiri?
Kalo aku sih jujur, aku bakal cari penawar. Misal nih ya, nge-game, nonton bola, jogging, atau makan enak sendirian.
Penawar itu sifatnya luas, bukan cuma sosok baru yang bisa bikin kamu lupa sama sakit hatimu sebelumnya. Tapi melakukan hal-hal yang kamu sukai, juga bisa jadi obat mujarab buat obatin patah hati kamu.
Salam sayang,
Rismami_sunflorist
(Yang lagi bahagia banget karena di sea games, timnas menang dua kali berturut-turut. Makanya di part ini gue bisa sok-sok an ngasih tausiah ke kalian🤣)